Bab 103 Eril berdiri di depan pintu kamar Amina. "Amina, Amina, buka pintunya sayang," teriaknya berulang kali. Tidak ada jawaban dari dalam. Kemana Amina? Telponnya juga tidak aktif. Sesuatu pasti telah terjadi dengan Amina dan Ayang. Tidak mungkin mereka tidak menjawab panggilannya. Eril mulai frustrasi. Dia terduduk lesu di depan pintu.seraya memeluk kedua lututnya. "Ngapain kamu di situ, Ril? Amina sudah pergi. Dia tidak membutuhkan kamu sekarang." Iswati yang melihat Eril seperti orang putus asa kesal. Perempuan itu mengomel sepanjang waktu. "Pergilah Ma, biarkan aku sendiri di sini." Eril mengusir mamanya. "Mama tidak akan pergi, selama sikapmu begitu." "Kalau begitu, Eril yang pergi. Mama telah membuat hidup Eril hancur! Mama sok tahu mau mengatur hidup Eril." Lelaki itu bangkit dengan lunglai dan mengemasi pakaiannya. Iswati tercenung. "Jangan pergi Ril. Semua yang Mama lakukan demi kebaikan kamu." Ia berusaha mencegah. "Kebaikan apa Ma? Apa yang Mama tahu dari Eri
Bab 104 Dengan senyum manisnya, Dokter Kartika menjawab dengan lugas. “Saya selama ini sibuk bekerja hingga tak sempat memikirkan pasangan.” Senyum Iswati lebar sekali. Dia senang sekali dengan jawaban polos Dokter cantik itu. Sebuah ide tercetus di kepalanya. Betapa bahagianya jika dia mendapatkan mantu seorang Dokter. “Sungguh suatu kebetulan.” Perempuan itu melihat ke arah Eril. Eril bertambah muak dengan gelagat mamanya. Terang - terangan sekali dia ingin menjodohkannya dengan Dokter Kartika. “Dokter istirahatlah dulu, aku mau melanjutkan tidur dulu.” Lelaki itu menghindar. “Eril benar, sebaiknya Dokter Kartika istirahat dulu. Setelah itu kita makan siang. Tante mau masak spesial dulu.” Iswati mengajak Dokter Kartika ke kamarnya. Dokter Kartika mengangguk, meski dia tampak kecewa dengan sikap Eril yang dingin. Dia tahu lelaki itu sedang patah hati. Dengan napas tertahan, wanita muda itu duduk di tepi ranjang dan melihat sebuah lukisan siluet wanita berdiri di tepi jendela. M
Bab 105“Tante tahu saja maksud saya?” jawab Dokter Kartika tanpa malu – malu.Iswati tertawa terbahak – bahak. Anak sekarang memang lebih berani daripada ia saat muda dulu. Akan tetapi, dia menyukai wanita muda itu yang memiliki masa depan cerah, profesinya Dokter, masih muda, cantik, single pula. Bukankah dia menantu idaman?“Tentu saja. Tante senang dengan keterus teranganmu dan akan mendukungmu 100 persen!” Iswati mengedipkan mata.“Terima kasih, Tante.” Dokter Kartika memeluk Iswati hangat. “Bagaimana kalau kita shopping setelah itu memanjakan diri ke Spa?”“Siapa takut. Tante sudah lama tidak ke Spa.”***Eril mengendarai mobilnya ke studio RTV dengan pikiran melayang. Syutingnya masih 4 jam lagi, dan dia memilih datang sangat awal. Sesampainya di parkiran RTV, ia berdiri di samping mobil, matanya seperti elang menyusuri tiap jengkal sudut mencari sesosok wanita yang amat dirindukannya.Tak jauh dari tempatnya berada, Ibu Hesti yang baru datang dari meeting melewati Eril. “Pak,
Bab 106 Eril menatap punggung Bu Hesti dengan kepala berdenyut. Omongan perempuan itu pedas dan ia bisa menangkap kesakitan luar biasa dalam nada suaranya. Bu Hesti berbeda dari mamanya. Mama yang mengandung dirinya, sering mencemoohnya. Sedangkan Bu Hesti tidak. Meskipun kata – katanya pedas, semua yang diucapkannya mengandung kebenaran. Ia lelaki, dirinya tidak boleh lemah hanya karena cinta. Dia harus bisa membuktikan pada Amina bahwa cinta yang diberikannya bukanlah pepesan kosong. Cintanya agung dan tulus. Sebuah kesadaran muncul. Eril menghembuskan napas ke udara. Kemudian pandangannya tertuju pada sebuah mobil sedan hitam. Seorang wanita turun dengan elegan. Mulut Eril ternganga, dan tanpa sadar mulutnya berteriak. “Amina…!” Amina menoleh, hatinya berdegup kencang. Kerinduan yang dipendamnya selama 3 hari mengulik hati. Perempuan itu mempercepat langkahnya. “Amina! Tunggu!” Eril mengejarnya. Dia lalu menarik lengan perempuan itu. Ia lalu memeluknya erat. “Aku kangen kamu.
Bab 107 Kecemasan Bik Susi sampai di ubun – ubun. Dia berusaha menelpon Amina. Tapi telponnya tidak aktif. Ah dia lupa, Amina saat ini sedang syuting, dan acaranya selesai jam 12 malam nanti. Tak mungkin dia bisa menghubunginya. Di tengah rasa bingungnya, Bik Susi menelpon Eril. Sama saja, telponnya sama – sama tidak aktif. “Duh Gusti, aku harus telepon siapa ini?” Ia berpikir keras. “Apakah aku harus ke RTV?” Tempatnya jauh sekali. Jaraknya kira – kira 2 jam dari tempatnya sekarang. Perempuan itu garuk – garuk kepalanya sendiri. “Sudahlah, aku kesana saja, daripada aku stress sendirian? Tapi bagaimana jika Ayang pulang ke rumah? Dia tidak bisa masuk.” Bik Susi semakin bingung memutuskan. Ia berjalan mondar – mandir di taman. *** Sore itu mendung tebal menggantung di langit. Kepala Ayang mendongak ke atas. “Ya Allah, jangan hujan. Ayang belum sampai di rumah.” Ia memijit kakinya yang letih. Ia tadi nekad pulang ke apartemen lamanya, dan ia sekarang kebingungan mencari jalan untuk
Bab 108 Hujan deras mengguyur, Bik Susi memutuskan untuk pergi menemui Amina. Siapa tahu Ayang mencari ibunya. Dia menempuh perjalanan 2 jam perjalanan itu sambil berlinang air mata. Ia takut sekali Amina menyalahkannya. Sesampainya di RTV, Amina memarkir mobilnya dan menemui satpam yang berjaga. “Pak, saya mau menemui Ibu Amina. Ini penting sekali.” “Gak bisa, Ibu Amina sedang syuting. Saya tidak bisa mengganggunya.” “Tapi Pak… tolong, anaknya Ibu Amina tidak ada di sekolah. Saya dari beberapa jam lalu mencarinya dan saya tidak bisa menghubungi Ibu Amina. Tolong, Pak, tolong!” Bik Susi mulai menangis. “Maksud kamu, Ayang diculik?” tanya satpam kaget. “Saya tidak tahu! Pokoknya saya mau bertemu Ibu Amina sekarang!” Bik Susi mulai kesal. “Apa Bapak tidak kasihan sama saya, saya naik motor 2 jam ke sini hujan – hujan?” “Baik… baik. Ayo ikuti saya,” ajak satpam itu. Pembicaraan antara Bik Susi dan satpam itu didengar oleh wartawan gossip. Lelaki itu mengikuti keduanya diam – diam
Bab 109 Melihat Fahri kesakitan. Ayang bertindak, dengan keberaniannya dia lantang berbicara. “Lepaskan kakakku, Om. Dia tidak menculikku. Kak Fahri membantuku.” Pelayan itu tidak percaya. “Kamu jangan percaya sama pengamen ini Dek. Biar Om bawa dia ke Polisi.” Mendengar nama Polisi, serta merta Ayang menggigit lengan pelayan itu.” “Aduh! Sialan! Sakit tahu!” Pelayan itu melepaskan tangannya ke Fahri. “Ayo Kak, lari!” kata Ayang kencang. Dia lari terlebih dahulu. Fahri mengikutinya. Hujan sudah berhenti lama, malam sudah mulai turun, cahaya bulan terpendar menerangi bumi. Napas Ayang dan Fahri ngos- ngosan. Mereka berhenti di depan sebuah toko mainan anak – anak. Anak lelaki itu tak menyangka Ayang larinya kencang sekali. Hampir kewalahan dia menyusulnya. “Ayang, apakah baik – baik saja?” tanya Fahri melihat Ayang terbatuk – batuk. Dia menempelkan punggung tangannya ke kening Ayang. “Kamu masih demam. Sebaiknya kamu kuantar pulang. Aku tadi melihat ibumu pingsan di televisi.”
Bab 110 “Apakah anak saya tidak apa – apa, Dokter?” tanya Amina cemas seraya memeluk anaknya cemas. “Amina hanya terkena virus. Semoga besok panasnya turun,” ucap Dokter Kamil. Hati perempuan itu lega, dia menciumi wajah Ayang yang pucat. Suhu badannya masih tinggi. “Papa… Papa… Ayang kangen Papa.” Ayang mengingau. Amina tercekat. Mungkinkah dia ke Setia Budi untuk bertemu Eril? Mungkinkah anaknya rindu dengan pemuda itu? Eril yang mendengar suara Ayang merespon. “Papa di sini sayang.” Dia mengecup kening Ayang dengan sayang. Anak kecil itu melenguh. “Papa… Papa…” Eril meminta Amina turun dari ranjang. Dia lalu memeluk Ayang. “Papa di sini bersama, Ayang.” Ayang bangun sebentar, dia lalu tersenyum saat menyadari Eril bersamanya. Dia lalu meringkuk manja di pelukan Eril. Amina dan Bik Susi menyentuh dadanya. Mereka lega Ayang telah ditemukan dan bertemu dengan Eril. “Bu, pengamen dan Mas Ojol yang mengantarkan Ayang ke rumah sakit, masih di depan. Apa Ibu mau menemuinya,” u
Bab 178 – Last Episode Jantung Amina serasa mau berhenti, wajahnya seketika memucat melihat Mama dan Neneknya Eril hadir di sana. Wanita itu melepaskan pelukannya. “Kenapa kamu memeluk Amina di sini? Lebih baik bawa Amina ke KUA. Jangan bikin malu orang tua!” kata Iswati bengis. Sontak, Amina terkejut. “Kejutan apa lagi ini, Rey?” tanyanya kebingungan. Reynard, Bu Hesti, Pak Mulyadi, dan Diana bertepuk tangan. “Luar biasa sekali acting Bu Iswati ini. Cocok jadi pemeran antagonis,” ucap Pak Mulyadi bersemangat. “Hesti, kamu mestinya ambil dia untuk salah satu sinetronmu?” Bu Hesti tertawa. “Urusan talent, aku kan pakarnya. Bu Iswati sudah aku kontrak. Baru saja kami menandatangi surat – suratnya.” Iswati tersenyum malu. Amina semakin bingung. “Ril… tolong jelaskan semua ini kepadaku?” “Biar saya yang menjelaskan,” kata Bu Hesti. “Amina, seperti yang saya bilang sebelumnya. Saya mempunyai dua kejutan. Yang pertama adalah kembalinya Eril bersama kita. Dia sangat mencintaimu,
Bab 177 Amina mengenakan baju terbaiknya. Ia mematut dirinya lama sekali di depan kaca. “Ibu sudah cantik, kok,” kata Ayang geli, melihat sikap ibunya yang bolak – balik menatap cermin. “Benarkah? Ibu merasa kurang pede,” kata Amina. “Yang dikatakan Ayang benar. Ibu cantik sekali.” Bik Susi mengacungkan dua jempolnya. Hari ini ia tidak berjualan dengan Amina, karena Reynard mengajak semuanya pergi. Fahri yang telah berpakain rapi lalu memotret sang Ibu dan memperlihatkannya pada Amina. “Ibu cantik!” Anak itu tersenyum bahagia. Amina tersipu, mendapat pujian dari keluarganya. “Ngomong – ngomong, Reynard mau mengajak kita kemana ya, Bik?” Baru saja Amina selesai bertanya, Reynard sudah muncul di depannya. Pakaian dia rapi dan wangi. “Aku akan membawa kalian ke tempat spesial,” jawab Reynard dengan senyum lebar. “Apa kalian semua sudah siap?” “Sudah dong.” “Kalau begitu, mari kita berangkat.” “Mas Rey, kita mau naik apa?” tanya Bik Susi. “Naik mobil dong, Bik. Masak mau naik
Bab 176“Bagaimana kami percaya? Kamu bisa saja mengelak dengan cara menuduh orang lain?” kata Reynard.“Aku juga tidak percaya dengan kalian. Siapa tahu Eril juga berbohong supaya dia tidak mau bertanggung jawab pada Dokter Kartika.” Vincent membela diri.“F*ck,” cetus Eril gusar. “Kita berdua sama – sama terjebak, dan satu – satunya cara kita harus mendatangi datang ke Jember dan menemui Dokter Kartika dan memintanya mengaku siapa lelaki yang harusnya bertanggung jawab.”“Hmm… sorry, pekerjaanku banyak. Aku tidak bisa ikut kalian.”Reynard menyeringai. “Boleh saja kamu begitu, dan aku tinggal menyebarkan soal hubunganmu dengan Dokter Kartika ke media, beres kan?” Ia mengancamnya. “Aku juga tahu, sugar mommymu.”Gigi Vincent gemeretuk. Dia tidak bisa mengelak lagi.***“Dokter Tika, aku kecewa dengan dirimu. Tak kusangka, kamu bisa senekat itu untuk mendapatkan apa maumu. Kamu rela menghancurkan sahabat baikmu sendiri, dan sekarang meminta pertanggung jawaban aku.” Eril menatap mata
Bab 175“Apa kamu yakin ini cara yang akan kamu tempuh, akan membuat Dokter Kartika mengaku?” Reynard menatap Eril dengan was – was. Lelaki itu selalu membuatnya khawatir.“Bagaimana aku tahu, jika aku tidak mencobanya?” jawab Eril datar. “Sumpah demi Allah! Aku tidak pernah meniduri Dokter Kartika, dan sekarang dia meminta aku bertanggung jawab atas kehamilannya.”Pria itu mendengus, kemudian mengambil rokok dan menyalakannya. “Atau kamu punya ide lain?”Reynard menyalakan rokok dan menghembuskannya pelan ke udara. Mereka masih di salah satu café di bandara. Rencananya, Eril mengajaknya ke Jember, menemui Dokter Kartika dan menyelesaikan masalahnya. Setelah itu barulah ia mau bertemu dengan keluarganya dan Amina. “Aku ragu, jalan yang kamu tempuh akan berhasil, mengingat Dokter Kartika itu licik. Jujur aku tidak menyukainya.” Reynard melihat Eril.“Apa kamu tahu, dia menjelek – jelekkan Amina ke media, ke ibumu. Selain itu dia juga menjadi mata – mata Jazuli bersama Amel. Dia perna
Bab 174Eril terhenyak. “M-maksudmu? Amina tidak jadi artis lagi?”Adrien menggeleng. Dia lalu mengajak Eril duduk di living room lalu menceritakan apa yang didengarnya dari Reynard.“Amina bahkan melarang Reynard untuk mengambil mobilmu, meskipun hidupnya sengsara.” Perempuan itu memandang Eril, dengan sendu. “Karena dia sangat mencintaimu Ril.”Mendengar cerita kelabu Amina, Eril menggigit bibirnya. Dadanya dihantam rasa bersalah tidak bisa melindungi perempuan itu.“Aku juga menemui Ibu dan nenekmu, mereka mengharapkan kehadiranmu dan tanggung jawabmu pada Dokter Kartika,” lanjut Adrien. Kedua matanya nanar memandang Eril.Eril memberikan respon. “Tanggung jawab apa? Aku tidak punya hutang apapun kepada Dokter Kartika.”“Apa hubunganmu dengan Dokter Kartika?” tanya Adrien hati – hati. Ia khawatir pertanyaan menyinggung hati Eril.“Teman biasa. Aku mengenalnya karena dia adalah Psikolog Amina. Justru Amina yang dekat dengannya?” Eril menjelaskan.Adrien mengambil napas. “Aku serius
Bab 173BRAKHesti membuka pintu kantor dengan kasar. “Diana!” Ia memanggil sekretarisnya dengan nada melengking tinggi.Diana yang sedang berada dalam toilet, kaget dan buru – buru menghadap Hesti.“Ada apa, Tante?” jawabnya gugup dengan dengkul gemetaran. Baru kali ini ia melihat Tantenya itu sangat marah dan frustasi.“Kenapa kamu tidak pernah memberitahu saya soal Amina? Apa yang kamu kerjakan selama ini?” Hesti melemparkan tas Hermes miliknya ke kursi.Bola mata Diana berputar kemudian naik ke atas, mengingat – ingat kejadian. “Bukankah Tante yang meminta saya, untuk tidak membicarakan soal Amina?” Ia ingat betul, beberapa waktu lalu, Hesti marah besar kepadanya. Gara – gara dia memberikan titipan Amina dari satpam RTV.Hesti kelihatan menghela napas berat. Dia merasa tertohok dan menjadi orang jahat. Diana, tak bersalah, ia saja yang suka memarahinya. “Mana titipan Amina?” tanyanya parau. Ia ingat pernah meminta sekretarisnya itu untuk membuang titipan Amina.Bergegas Diana menu
Bab 172 “Hih, najis aku ke rumahmu,” sahut wirda jutek. Seketika dirinya muak melihat Amina yang masih kelihatan cantik meski dengan sandal jepit dan pakaian sederhana. Amina tersenyum tipis. “Terserah!! Aku tidak mau memaksa. Asal kamu tahu, Bapakmu sudah menyiksaku selama 6 tahun, dan itu sudah cukup menimbulkan trauma berat. Meskipun aku melarat, tak sudi aku mau merebut suami orang.” Perempuan itu menghela napas pendek. “Daripada kamu menuduh sembarangan, lebih baik telepon suamimu sekarang dan tanyakan apakah dia punya selingkuhan bernama Wirda?” Ia menduga arwah gentayangan yang menemuinya semalam adalah selingkuhan suami kakaknya Wahyu. Mereka memiliki nama yang sama. Wajah Wirda tegang, urat di mukanya menonjol sehingga membuat wajahnya kian tua. Gigi perempuan itu gemeretuk menahan emosi. “Bangsat! Kamu sekarang malah berani menyuruhku!” katanya kasar. “Mba, tahan emosimu, lebih baik kita tengok Bapak sekarang.” Wahyu menyeret tangan kakaknya menjauhi Amina. “Amina, maa
Bab 171 Amir, teman Abah Anom mendekati tubuh Jazuli. Ia menaruh tangannya di depan hidung pria itu. “Dia masih bernapas,” katanya. Lelaki itu melihat ke Abah Anom dan Amina. “Selanjutnya, kita apakan dia?” “Amina, Abah menunggu perintahmu. Jika kamu mau dia mati, anak buah Abah bisa menghabisinya dan membuangnya ke tempat yang tak terdeteksi. Kedua orang itu sangat professional.” Dengan tenang Abah Anom mengatakannya. Lelaki itu dulu terkenal sebagai jawara di kampungnya. Ia ditakuti banyak orang. Amina bergidik mendengar penjelasan tuan rumahnya. Sebenci – bencinya dia pada Jazuli, dia takkan mau menorehkan sejarah sebagai otak pembunuh. “Kita bawa dia ke rumah sakit saja. Nanti saya akan hubungi keluarganya.” Amir dan temannya menggeleng – gelengkan kepala dengan kebaikan hati Amina. Padahal nyawa perempuan itu tadi terancam, tetapi dia malah menolong orang yang mengancam hidupnya. Abah Anom tersenyum kecil. Dia menepuk pundak Amina dua kali. “Kamu memang wanita baik. Abah kag
Bab 170 Serta merta Jazuli menerkam Amina hingga perempuan itu terjatuh ke lantai. Kemudian ia menciumi wanita itu dengan penuh nafsu. “Sudah lama aku menginginkan kamu Amina sayangku!” Kedua tangannya menekan tubuh Amina hingga perempuan itu sulit berkutik. Bau jigong menyeruak dan menusuk hidung Amina. Perut wanita itu bergolak hebat, pingin muntah entah antara rasa jijik dan putus asa. “Lepaskan aku. Aku janji akan membayar hutangmu segera!” Amina meronta berusaha melepaskan cengkeraman Jazuli dan menghindari serangan ciuman Jazuli yang membabi buta. Napas perempuan itu ngos – ngosan. Akan tetapi kekuatannya kalah besar dengan pria gaek itu. Jazuli tertawa terbahak – bahak. Semakin Amina melawan, nafsu binatangnya itu kian menggelora. “Aku tidak butuh uangmu, cantik! Aku hanya butuh kamu!” Ia merasa dirinya menang dan berusaha menindih Amina. Tatapan pria itu kian liar menelusuri wajah cantik Amina. Melihat posisi Amina yang terancam, Fahri mengambil tongkot bisbol. Ia men