Bab 83Amina menaiki lift dengan terburu - buru menuju apartemennya.Wajah Bik Susi kelihatan cemas. Dia terlihat berjalan mondar - mandir di depan kamar Amina."Ayang apa masih di dalam Bik?" tanya Amina gugup. Dia melemparkan tasnya di sofa."Masih di dalam Bu, dari tadi saya panggil - panggil, tetapi Ayang tidak menyahut. Saya takut ada apa - apa."Amina memanggil - manggil nama anaknya. "Ayang, tolong buka lpintu Nak. Ini Ibu sudah datang."Sama tak ada jawaban. Amina sampai menempelkan telinganya ke pintu. Dia tak mendengar gerakan gerakan sedikitpun di dalam."Eril, bagaimana ini?" Air matanya mulai merebak. Sedangkan raut muka Amina tak bisa menyembunyikan ketakutannya."Bik, tolong ambilkan perkakas di dapur." Eril menggulung lengan kemejanya. Bik Susi melesat seperti burung mengambil apa yang diperintahkan Eril. Beberapa detik kemudian lelaki itu sibuk mencongkel pintu kamar Amina. Hingga keringatnya bergerombol di dahinya.Di belakang pemuda itu, Amina dan Bik Susi menungg
Bab 84Amina berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan pikiran mengambang. Setelah perdebatan yang diwarnai drama, akhirnya ia berhasil membujuk Ayang ikut dengannya ke Jember.Bik Susi juga diajaknya supaya bisa menjaga Ayang. Walaupun anak itu sudah mandiri, tetapi Amina merasa tenang ada orang yang membantunya menjaga Ayang.“Tolong, tidak usah diungkit soal omongan Bapak ke Ayang. Sedapat mungkin, jaga perasaan dan kesehatannya.” Eril mengingatkan.“Hmm…” Amina menjawab pendek. Setibanya di Bandara Jember, pikirannya melayang pada sang Ibu. Selama beberapa hari ini ia belum mendengar kabar tentangnya. “Apa ada berita soal Ibu?” tanya Amina dengan khawatir. Ia tahu Eril menyebarkan berita kehilangan ibunya di media sosial.“Nanti aku ceritakan setelah kita menjenguk Bapak,”Amina menangkap teka – teki dalam kalimat Eril. Perasaan takut kehilangan ibunya ia telan sendiri. “Apakah ada kabar bahagia?” Ia bertanya lagi setengah menuntut.Eril hanya tersenyum kecil. “Kamu nanti aka
Bab 85Eril kemudian mengajak Dokter Kartika bicara lebih pribadi supaya tidak terdengar orang lain."Tolong jelaskan jelaskan dengan rinci, apakah kejiwaan Ibu Amina sulit disembuhkan?""Bisa, tapi Ibu Amina perlu perhatian khusus, dia tidak boleh stres dan tertekan. Selama ini dia memendam masalah, dan tekanan bertubi-tubi yang dialaminya membuat jiwa Ibu Amina tak kuat dan akhirnya meledak."Eril manggut - manggut. "Apa yang harus Amina lakukan Dok?""Untuk sementara, Ibu Amina harus dikirim ke panti rehabilitasi jiwa dulu. Dia harus berada di lingkungan kondunsif. Nanti saya akan berikan rekomendasi.” Dokter Kartika memandang Eril.“Setelah kondisinya membaik, sebaiknya Amina membawanya ke Jakarta. Berada di dekat cucu dan anak yang dicintainya akan mempercepat proses kesembuhannya,” lanju Dokter Kartika.Eril menggigit bibir bawahnya. Apartemen Amina sempit, dan hanya memiliki satu kamar. Jika dia mengajak ibunya, maka harus pindah ke tempat yang lebih luas. Wanita itu juga harus
Bab 86"Istighfar Pak. Apa salah Ibu?" teriak Amina gusar. Ia tidak suka melihat sikap Bapak yang mempermalukan ibunya di depan banyak orang. Perempuan itu lalu merangkul Ibu dan anaknya yang mulai menangis ketakutan.Dada Amina bergemuruh dan bersiap - siap meledak melihat wajah bapaknya yang berubah datar dan bengis.Ibu tidak bersuara dia diam dengan muka polos. Dia malah memakan kue yang dilempar Bapak kepadanya.Emosi Bapak naik melihat sikap masa bodoh Ibu. Dia mengambil kue nogosari yang tercecer di lantai. Kemudian pria tua yang baru sembuh dari sakit itu satu tangannya memegang kepala Ibu dan tangan lainnya menyumpalkannya kue ke mulut Ibu.“Makan ini perempuan gila! Kamu mau lagi huh!”Mulut Ibu kewalahan memakan kue yang dijejalkan suaminya. Matanya sampai melotot.Amina ketakutan.Sementara ibu – ibu tetangga yang membantu di situ tertegun dengan sikap Bapak yang lain dari biasanya. Lelaki yang sangat memuja istrinya, tiba – tiba berulah dan tampak sangat membenci perempua
Bab 87Amina mendengarkan obrolan tetangganya itu sepintas lalu. Dia tidak terlalu membawa informasi tersebut ke dalam hati karena pikirannya sedang fokus memikirkan Ayang."Bagaimana Bik, apa ada respon dari Ayang?" tanya Amina setengah berbisik.Bik Susi masih menempelkan telinga kirinya ke pintu kamar Bapak.Tangis Ayang sudah terhenti, dan dia mendengar percakapan anak itu dengan kakeknya."Kek, Ayang sakit perut. Ayang mau ke toilet.""Tahan dulu, masih ada orang berdoa di luar."Beberapa saat kemudian, terdengar suara ketukan yang tertata di pintu."Apa itu Bik?""Ayang bilang, kakeknya main hape."Bik Susi berusaha berkomunikasi dengan Ayang. Suara ketukannya bersinergi dengan tahlil yang dilantunkan oleh para undangan.Di dalam kamar kakeknya, Ayang mencari akal supaya bisa keluar tanpa menimbulkan keributan. Dia duduk di belakang pintu seraya memperhatikan kakekknya. Lelaki tua itu masih sibuk dengan ponselnya, sesekali dia tertawa mengikik.Kemudian, prlia tua beberapa kali
Bab 88Mendengar perkataan Bude Surti. Amina bergegas berlari ke rumah tetangganya itu dan di sana, kaki wanita itu lemas. Di atas amben, dia melihat ibunya terbujur dan Dokter Kartika terlihat lemas duduk di samping amben. Kesedihan tampak sekali di wajahnya.“Maafkan aku Amina, aku tak bisa menolong ibumu.” Dokter cantik itu merangkul Amina yang membeku.Melihat jasad ibunya yang masih hangat. Amina seperti orang linglung. Hanya air matanya yang tumpah laksana air terjun. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Baru beberapa menit yang lalu ia melihat ibunya segar bugar, kini wanita yang melahirkannya itu telah berpulang dan tak kan kembali.Takdir sungguh mengejutkan!Eril, Bude Surti disusul Ayang dan Bik Susi kemudian masuk. Eril kemudian memeluk Ayang dan Amina. Mulut lelaki itu terkunci. Dia bisa merasakan kesakitan luar biasa pada wanita yang dicintainya itu.Kematian ibunya Amina yang mendadak menghebohkan semua orang yang masih berada di rumah Amina. Suasana berubah ch
Bab 89“Masak sih? Kamu tahu dari mana?”“Dari gossip di warung. Katanya Amina itu dulu mau diambil sama Pakde Sule dan Bude Surti, tapi Yu Mukidi tidak mengijinkan.”“Pantesan saja, wajah Amina cantik sekali, kulitnya putih bersih, beda dengan almarhum Ajeng. Aku yakin ibunya Amina pasti cantik sekali. Tapi ngomong – ngomong di mana sekarang ibunya Amina. Apa dia pernah nyari Amina?”“Soal itu aku tidak tahu. Aku hanya kesel sama kelakuan Kang Mukidi, apalagi dia sekarang sedang tergila – gila sama Asih – keponakannya Yu Mukidi. Katanya nih, Yu Mukidi pernah memergoki mereka sedang ena – ena di rumah Asih.”“Hah, yang bener? Berani amat Asih. Aduh, kalau aku sudah kucincang kemaluan suaminya. Terus… terus?”“Yu Mukidi hanya diam, dia pulang ke rumahnya ngurus Ajeng.”“Hih, gemes aku. Kok gak langsung dilabrak saja sih Asih, masak dia gak punya malu gitu. Gimana juga perasaan adik Yu Mukidi melihat kakak iparnya menggagahi keponakannya sendiri.”“Mana peduli mereka. Yang penting merek
Bab 90Kedua alis Amina tersentak bersama – sama. Senyum wanita itu hilang ditelan gelombang kemarahan. “Saya tidak akan memberikan uang sesenpun untuk Bapak! Apalagi untuk menikahi Asih!”Dia kemudia berdiri di samping Asih. “Aku tak menyangka, kamu bisa sekejam itu pada ibuku, Sih! Apa kamu ingat, Ibu rela mengais sampah supaya bisa membantumu membayar sekolahmu! Tapi apa balasanmu sekarang padanya!” ujar Amina dengan mata berkilat. Muak sekali wanita itu melihat sepupunya Asih berdiri mesra dengan bapaknya.Amina mengamati penampilan Asih. Dia memang lebih terawat daripada sebelumnya. Rambutnya dicat merah dengan alis terukir rapi, mukanya glowing dengan lipstick merah menggoda.Asih melengos. “Aku gak minta. Bude saja yang minta aku sekolah dan asal kamu tahu, aku mencintai Pakde dengan tulus.” Matanya mengerling manja pada Bapak, tangannya memegang dada Bapak. “Aku cinta kamu sayang.”Amina ingin muntah melihatnya. “Persetan dengan cintamu. Aku tak percaya itu. Kamu hanya mengeja
Bab 178 – Last Episode Jantung Amina serasa mau berhenti, wajahnya seketika memucat melihat Mama dan Neneknya Eril hadir di sana. Wanita itu melepaskan pelukannya. “Kenapa kamu memeluk Amina di sini? Lebih baik bawa Amina ke KUA. Jangan bikin malu orang tua!” kata Iswati bengis. Sontak, Amina terkejut. “Kejutan apa lagi ini, Rey?” tanyanya kebingungan. Reynard, Bu Hesti, Pak Mulyadi, dan Diana bertepuk tangan. “Luar biasa sekali acting Bu Iswati ini. Cocok jadi pemeran antagonis,” ucap Pak Mulyadi bersemangat. “Hesti, kamu mestinya ambil dia untuk salah satu sinetronmu?” Bu Hesti tertawa. “Urusan talent, aku kan pakarnya. Bu Iswati sudah aku kontrak. Baru saja kami menandatangi surat – suratnya.” Iswati tersenyum malu. Amina semakin bingung. “Ril… tolong jelaskan semua ini kepadaku?” “Biar saya yang menjelaskan,” kata Bu Hesti. “Amina, seperti yang saya bilang sebelumnya. Saya mempunyai dua kejutan. Yang pertama adalah kembalinya Eril bersama kita. Dia sangat mencintaimu,
Bab 177 Amina mengenakan baju terbaiknya. Ia mematut dirinya lama sekali di depan kaca. “Ibu sudah cantik, kok,” kata Ayang geli, melihat sikap ibunya yang bolak – balik menatap cermin. “Benarkah? Ibu merasa kurang pede,” kata Amina. “Yang dikatakan Ayang benar. Ibu cantik sekali.” Bik Susi mengacungkan dua jempolnya. Hari ini ia tidak berjualan dengan Amina, karena Reynard mengajak semuanya pergi. Fahri yang telah berpakain rapi lalu memotret sang Ibu dan memperlihatkannya pada Amina. “Ibu cantik!” Anak itu tersenyum bahagia. Amina tersipu, mendapat pujian dari keluarganya. “Ngomong – ngomong, Reynard mau mengajak kita kemana ya, Bik?” Baru saja Amina selesai bertanya, Reynard sudah muncul di depannya. Pakaian dia rapi dan wangi. “Aku akan membawa kalian ke tempat spesial,” jawab Reynard dengan senyum lebar. “Apa kalian semua sudah siap?” “Sudah dong.” “Kalau begitu, mari kita berangkat.” “Mas Rey, kita mau naik apa?” tanya Bik Susi. “Naik mobil dong, Bik. Masak mau naik
Bab 176“Bagaimana kami percaya? Kamu bisa saja mengelak dengan cara menuduh orang lain?” kata Reynard.“Aku juga tidak percaya dengan kalian. Siapa tahu Eril juga berbohong supaya dia tidak mau bertanggung jawab pada Dokter Kartika.” Vincent membela diri.“F*ck,” cetus Eril gusar. “Kita berdua sama – sama terjebak, dan satu – satunya cara kita harus mendatangi datang ke Jember dan menemui Dokter Kartika dan memintanya mengaku siapa lelaki yang harusnya bertanggung jawab.”“Hmm… sorry, pekerjaanku banyak. Aku tidak bisa ikut kalian.”Reynard menyeringai. “Boleh saja kamu begitu, dan aku tinggal menyebarkan soal hubunganmu dengan Dokter Kartika ke media, beres kan?” Ia mengancamnya. “Aku juga tahu, sugar mommymu.”Gigi Vincent gemeretuk. Dia tidak bisa mengelak lagi.***“Dokter Tika, aku kecewa dengan dirimu. Tak kusangka, kamu bisa senekat itu untuk mendapatkan apa maumu. Kamu rela menghancurkan sahabat baikmu sendiri, dan sekarang meminta pertanggung jawaban aku.” Eril menatap mata
Bab 175“Apa kamu yakin ini cara yang akan kamu tempuh, akan membuat Dokter Kartika mengaku?” Reynard menatap Eril dengan was – was. Lelaki itu selalu membuatnya khawatir.“Bagaimana aku tahu, jika aku tidak mencobanya?” jawab Eril datar. “Sumpah demi Allah! Aku tidak pernah meniduri Dokter Kartika, dan sekarang dia meminta aku bertanggung jawab atas kehamilannya.”Pria itu mendengus, kemudian mengambil rokok dan menyalakannya. “Atau kamu punya ide lain?”Reynard menyalakan rokok dan menghembuskannya pelan ke udara. Mereka masih di salah satu café di bandara. Rencananya, Eril mengajaknya ke Jember, menemui Dokter Kartika dan menyelesaikan masalahnya. Setelah itu barulah ia mau bertemu dengan keluarganya dan Amina. “Aku ragu, jalan yang kamu tempuh akan berhasil, mengingat Dokter Kartika itu licik. Jujur aku tidak menyukainya.” Reynard melihat Eril.“Apa kamu tahu, dia menjelek – jelekkan Amina ke media, ke ibumu. Selain itu dia juga menjadi mata – mata Jazuli bersama Amel. Dia perna
Bab 174Eril terhenyak. “M-maksudmu? Amina tidak jadi artis lagi?”Adrien menggeleng. Dia lalu mengajak Eril duduk di living room lalu menceritakan apa yang didengarnya dari Reynard.“Amina bahkan melarang Reynard untuk mengambil mobilmu, meskipun hidupnya sengsara.” Perempuan itu memandang Eril, dengan sendu. “Karena dia sangat mencintaimu Ril.”Mendengar cerita kelabu Amina, Eril menggigit bibirnya. Dadanya dihantam rasa bersalah tidak bisa melindungi perempuan itu.“Aku juga menemui Ibu dan nenekmu, mereka mengharapkan kehadiranmu dan tanggung jawabmu pada Dokter Kartika,” lanjut Adrien. Kedua matanya nanar memandang Eril.Eril memberikan respon. “Tanggung jawab apa? Aku tidak punya hutang apapun kepada Dokter Kartika.”“Apa hubunganmu dengan Dokter Kartika?” tanya Adrien hati – hati. Ia khawatir pertanyaan menyinggung hati Eril.“Teman biasa. Aku mengenalnya karena dia adalah Psikolog Amina. Justru Amina yang dekat dengannya?” Eril menjelaskan.Adrien mengambil napas. “Aku serius
Bab 173BRAKHesti membuka pintu kantor dengan kasar. “Diana!” Ia memanggil sekretarisnya dengan nada melengking tinggi.Diana yang sedang berada dalam toilet, kaget dan buru – buru menghadap Hesti.“Ada apa, Tante?” jawabnya gugup dengan dengkul gemetaran. Baru kali ini ia melihat Tantenya itu sangat marah dan frustasi.“Kenapa kamu tidak pernah memberitahu saya soal Amina? Apa yang kamu kerjakan selama ini?” Hesti melemparkan tas Hermes miliknya ke kursi.Bola mata Diana berputar kemudian naik ke atas, mengingat – ingat kejadian. “Bukankah Tante yang meminta saya, untuk tidak membicarakan soal Amina?” Ia ingat betul, beberapa waktu lalu, Hesti marah besar kepadanya. Gara – gara dia memberikan titipan Amina dari satpam RTV.Hesti kelihatan menghela napas berat. Dia merasa tertohok dan menjadi orang jahat. Diana, tak bersalah, ia saja yang suka memarahinya. “Mana titipan Amina?” tanyanya parau. Ia ingat pernah meminta sekretarisnya itu untuk membuang titipan Amina.Bergegas Diana menu
Bab 172 “Hih, najis aku ke rumahmu,” sahut wirda jutek. Seketika dirinya muak melihat Amina yang masih kelihatan cantik meski dengan sandal jepit dan pakaian sederhana. Amina tersenyum tipis. “Terserah!! Aku tidak mau memaksa. Asal kamu tahu, Bapakmu sudah menyiksaku selama 6 tahun, dan itu sudah cukup menimbulkan trauma berat. Meskipun aku melarat, tak sudi aku mau merebut suami orang.” Perempuan itu menghela napas pendek. “Daripada kamu menuduh sembarangan, lebih baik telepon suamimu sekarang dan tanyakan apakah dia punya selingkuhan bernama Wirda?” Ia menduga arwah gentayangan yang menemuinya semalam adalah selingkuhan suami kakaknya Wahyu. Mereka memiliki nama yang sama. Wajah Wirda tegang, urat di mukanya menonjol sehingga membuat wajahnya kian tua. Gigi perempuan itu gemeretuk menahan emosi. “Bangsat! Kamu sekarang malah berani menyuruhku!” katanya kasar. “Mba, tahan emosimu, lebih baik kita tengok Bapak sekarang.” Wahyu menyeret tangan kakaknya menjauhi Amina. “Amina, maa
Bab 171 Amir, teman Abah Anom mendekati tubuh Jazuli. Ia menaruh tangannya di depan hidung pria itu. “Dia masih bernapas,” katanya. Lelaki itu melihat ke Abah Anom dan Amina. “Selanjutnya, kita apakan dia?” “Amina, Abah menunggu perintahmu. Jika kamu mau dia mati, anak buah Abah bisa menghabisinya dan membuangnya ke tempat yang tak terdeteksi. Kedua orang itu sangat professional.” Dengan tenang Abah Anom mengatakannya. Lelaki itu dulu terkenal sebagai jawara di kampungnya. Ia ditakuti banyak orang. Amina bergidik mendengar penjelasan tuan rumahnya. Sebenci – bencinya dia pada Jazuli, dia takkan mau menorehkan sejarah sebagai otak pembunuh. “Kita bawa dia ke rumah sakit saja. Nanti saya akan hubungi keluarganya.” Amir dan temannya menggeleng – gelengkan kepala dengan kebaikan hati Amina. Padahal nyawa perempuan itu tadi terancam, tetapi dia malah menolong orang yang mengancam hidupnya. Abah Anom tersenyum kecil. Dia menepuk pundak Amina dua kali. “Kamu memang wanita baik. Abah kag
Bab 170 Serta merta Jazuli menerkam Amina hingga perempuan itu terjatuh ke lantai. Kemudian ia menciumi wanita itu dengan penuh nafsu. “Sudah lama aku menginginkan kamu Amina sayangku!” Kedua tangannya menekan tubuh Amina hingga perempuan itu sulit berkutik. Bau jigong menyeruak dan menusuk hidung Amina. Perut wanita itu bergolak hebat, pingin muntah entah antara rasa jijik dan putus asa. “Lepaskan aku. Aku janji akan membayar hutangmu segera!” Amina meronta berusaha melepaskan cengkeraman Jazuli dan menghindari serangan ciuman Jazuli yang membabi buta. Napas perempuan itu ngos – ngosan. Akan tetapi kekuatannya kalah besar dengan pria gaek itu. Jazuli tertawa terbahak – bahak. Semakin Amina melawan, nafsu binatangnya itu kian menggelora. “Aku tidak butuh uangmu, cantik! Aku hanya butuh kamu!” Ia merasa dirinya menang dan berusaha menindih Amina. Tatapan pria itu kian liar menelusuri wajah cantik Amina. Melihat posisi Amina yang terancam, Fahri mengambil tongkot bisbol. Ia men