Bab 43“Sssttt… dia artis yang pernah diculik itu kan?” bisik Carla, sama – sama artis pendatang baru pada teman perempuannya, Amel yang memakai pakaian tank top.“Iya. Dia sampai punya anak lho Beb, jijik banget gak sih. Kalau aku jadi dia, mending mau dinikahin sama yang menculik. Daripada menghidupi anak sendirian dan menjual cerita sedihnya ke mana – mana.” “Iya sih, lama – lama orang bosen dengernya. Tapi ngomong – ngomong seberapa kaya lakinya?”“Denger – dengernya sih dia punya beberapa toko emas. Istrinya baru meninggal. Anaknya juga sudah berumah tangga semua. Kok aneh dia gak mau?”“Bisa jadi, tuh anak ngebet sama Eril. Mereka sudah tinggal bareng. Eril kan cakep, terkenal lagi. Wanita mana yang gak bakalan klepek – klepek sama dia.” Perempuan itu mengerlingkan mata julidnya.“Jangan – jangan ceritanya waktu diculik itu cuma settingan?” kata Amel.Carla mengubah posisi duduk dan mencondongkan tubuhnya mendekat ke Amel.“Adoh! Otak lo lemot sekali Car. Gini nih, sebenarnya
Bab 4411092022Amel tersenyum. Matanya memandang genit ke arah Eril. Kemudian lengan perempuan itu bergelayut manja pada Eril yang disambut risih oleh lelaki itu.Dengan halus pemuda bertampang manis dan berlesung pipi itu menepisnya. “Lo jangan sok tahu deh Mel. Lo tahu dari mana memangnya Jazuli bebas bersyarat,” tanya Eril dengan suara pelan.“Aku yakin apa yang dikatakan Amel valid. Dia kan dengan wartawan,” celetuk Carla yang mengikuti jejak Amel.“Ember! Gue memang tahu dari wartawan, masak tahu dari lo,” Amel pura – pura bersungut. Dia masih berusaha menempelkan badannya ke tubuh Eril tanpa peduli dengan tatapan Amina yang ingin tahu.“Kalau gue gak salah denger, si Jazuli dan keluarganya berniat menemui Amina dan akan menyuntingnya,” lanjut Amel, seraya memainkan rambut ikalnya.“Impossible! Mereka gak bakalan berani menemui Amina!” Eril berusaha menekan emosinya mendengar berita yang dibawa Amel.“Yaelah Ril. Kenapa lo yang sewot. Lo gak bisa ngatur hidup Amina, Bro. Memang
Bab 45"Hahaha, jangan mimpi Pak Tua!! Kamu sudah bau tanah," cemooh salah satu fans berat Amina.Jazuli melengos. "Siapa yang mimpi. Amina dan Ayang memang anakku!""Mana buktinya coba?!"Jazuli celingukan. Dia tidak bisa membuktikan Amina adalah istrinya. "Pokoknya dia itu istriku. Kamu tidak boleh menyukainya.""Dasar laki - laki gila. Suka - suka gue lah. Kenapa situ mau kontroll orang.""Sembarangan bilang aku gila! Kamu tahu siapa aku? Jazuli! Pemilik toko mas kaya raya!" Dia menepuk nepuk dadanya."Terusin dah mimpinya!" Anak muda menyingkir dari Jazuli sambil tertawa terbahak - bahak.Jazuli hendak memukul anak muda yang bergaya funky itu tapi dicegah oleh Wahyu."Sudah, sudah Pak. Jngan bikin keributan. Dia fansnya Amina. Biarkann saja!""Bapak tidak suka anak cowok itu menyebut Bapak gila. Kamu mestinya bela Bapak, bukannya diam begitu.""Bukannya begitu Pak, tapi aku menjaga Bapak. Apa Bapak mau masuk penjara lagi?" bisik Wahyu kalem.Jazuli mengurungkan niatnya. "Aku kange
Bab 46 Eril menutup ponselnya dengan muka kusut. Gara – gara menerima kabar tak mengenakkan dari Gatot yang memberitahunya soal niat Jazuli ke Jakarta. Mood pria itu menjadi buruk. Perasaannya tak enak. Kedongkolannya bertambah tapi tak bisa melakukan apa – apa mengetahui betapa rentannya hukum di negaranya yang tumpul dengan orang kaya. Setelah Amina selesai menyanyi. Eril langsung membawa perempuan itu dan anaknya pergi melalui pintu belakang. Pria itu melihat Amina menyandarkan keningnya pada dinding lift yang sedang menuju lantai atas menuju apartemennya. Sedangkan Ayang memegangi tangan ibunya yang gemetar. Sudut hati Eril iba melihat perjuangan Amina menghilangkan trauma yang masih melekat pada dirinya. Lelaki itu tahu, Tiap menaiki lift, wanita itu diserang oleh rasa panik dan sakit kepala karena mengingatkannya pada penjara yang dibuat oleh Jazuli. Dia pun geram takkala mendengar Jazuli berniat mendekati perempuan itu lagi. “Jangan tegang. Sebentar lagi kita sampai,” kat
Bab 47 Ucapan Amina sontak membuat Eril kaget. Ia merasa bersalah telah mencium gadis itu. “Amina, maaf dengan sikapku barusan. A-aku terbawa suasana.” Garis muncul diantara alisnya. “Aku memang bermaksud pindah. Tabunganku sudah cukup untuk menyewa rumah sendiri.” Amina berusaha menenangkan hatinya yang berdetak tak karuan. Ia lebih banyak menunduk. Ciuman Eril membuatnya kaget sekaligus senang. Mendadak aliran darahnya memanas, kemudian muncul debar – debar aneh nan lembut mengalir ke seluruh vena. Perasaannya diliputi rasa bahagia yang belum pernah ia rasakan. Eril bertambah gusar dengan keinginan Amina. “Kenapa mendadak? Apakah kamu tidak suka tinggal bersamaku di sini?” Amina menggeleng. “Tidak! Hanya saja, aku tidak enak menjadi benalu bagi dirimu. Sudah saatnya aku dan Ayang pindah.” Otak Eril berubah tumpul, membayangkan kesenyapan di apartemennya tanpa kehadiran Amina dan Ayang. “Oh please, aku tidak setuju kalian pindah dari sini. Kalian bukan benalu. Kita partner ker
Bab 48 “Tolong, tolong saya,” kata Ajeng memelas dengan suara parau. Tangannya menggapa – gapai di udara. Dia sangat lemah hingga tak kuat untuk bangun. Lelaki di depannya itu mencibir. “Huh, enak saja kau minta tolong! Memangnya aku babumu! Kamu minta tolong saja sama gondoruwo!” dengusnya dengan pongah. Sebelum pergi kaki pria itu menendang tubuh Ajeng yang ringkih hingga perempuan itu membentur kerikil, dengan santai ia berjalan melangkahi wanita itu. “Bedhes! Asu!” teriak Ajeng marah diperlukan seperti anjing buluk oleh pria yang tak ia kenal. “Kamu yang setan! Kudoakan kamu mati tertabrak kereta.” Dia mengumpat sambil menahan rasa sakit yang mendera tubuhnya. Sayangnya, suaranya tertelan oleh suara bising kereta api yang lewat. Ajeng hanya bisa tergeletak pasrah di atas rumput berharap ada seseorang yang membantunya. Malam kian larut membawa udara dingin yang menusuk hingga tulang sumsum. Badan Ajeng menggigil. Demamnya tinggi! Antara sadar dan tidak perempuan itu meracau t
Bab 49 “Heleh! Miskin saja sombongnya minta ampun,” balas Yu Rahma. Kamar Yu Rahma yang bersebelahan dengan kamar Ajeng merasa terganggu. Dia mendatangi kamar perempuan itu dengan berkacak pinggang. “Pergi sana Yu!” Ajeng berusaha mendorong tubuh Yu Rahma yang jauh lebih besar dari dirinya. Tetapi, sia – sia saja. Tubuh Yu Rahma tidak bergeser sesenti pun. Mata Yu Rahma tertumpu pada makanan dan sebungkus rokok di atas kardus. Dengan santai perempuan itu mengambilnya. Setelah itu ia melihat teh botol di dekat bantal. “Jadi manusia itu jangan pelit – pelit! Toh makanan gak dibawa mati!” “Jangan dibawa Yu! Itu punyaku!” Setengah histeris Ajeng mau merebut makanan dan minuman miliknya. “Wkwkwkwk… itu tadi, sekarang semua ini milikku!” ucap Yu Rahma gembira meminum teh botol dan bergegas pergi ke kamarnya. Sementara Ajeng terlihat gelisah. Ia bolak – balik di atas kasurnya. Berkali – kali ia melirik jam weker butut di atas kardus. Jantungnya berdetak lebih cepat. Sementara itu di
Bab 50 Matahari bersinar sangat terik. Panasnya menyengat menghanguskan kulit. Ajeng berjalan lamban di tepi jalan, memaksa kakinya tetap melangkah meski dengkulnya gemetar sejak dua jam lalu. Peluh bergerombol memenuhi kening Ajeng dan beratus kali ia menyekanya. Panas matahari dan capai tak sanggup ia tahan lagi. Fisiknya semakin lemah, kepalanya pening dan terasa mau pingsan. Ajeng memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon Trembesi. Ia duduk berselonjor dan membuka botol minum lalu menghabiskan isinya yang tinggal seteguk. Mata wanita itu menerawang menembus batas cakrawala. Rumahnya masih 2 km lagi dan ia tak sanggup meneruskan… __________ “Jangan ngomong ngawur kamu Pak. Bagaimanapun Ajeng itu anakmu. Kalau dia mati kamu juga yang sedih!” dengus Ibu Amina. Mukanya menekuk menahan kesal. Bapak tertawa sinis. “Jikalau pun Ajeng mati. Aku gak bakalan sedih! Aku masih punya Amina dan Ayang cucuku yang cantik. Mereka perhatian dan sayang sama kita. Coba Ibu pikir siapa yang
Bab 178 – Last Episode Jantung Amina serasa mau berhenti, wajahnya seketika memucat melihat Mama dan Neneknya Eril hadir di sana. Wanita itu melepaskan pelukannya. “Kenapa kamu memeluk Amina di sini? Lebih baik bawa Amina ke KUA. Jangan bikin malu orang tua!” kata Iswati bengis. Sontak, Amina terkejut. “Kejutan apa lagi ini, Rey?” tanyanya kebingungan. Reynard, Bu Hesti, Pak Mulyadi, dan Diana bertepuk tangan. “Luar biasa sekali acting Bu Iswati ini. Cocok jadi pemeran antagonis,” ucap Pak Mulyadi bersemangat. “Hesti, kamu mestinya ambil dia untuk salah satu sinetronmu?” Bu Hesti tertawa. “Urusan talent, aku kan pakarnya. Bu Iswati sudah aku kontrak. Baru saja kami menandatangi surat – suratnya.” Iswati tersenyum malu. Amina semakin bingung. “Ril… tolong jelaskan semua ini kepadaku?” “Biar saya yang menjelaskan,” kata Bu Hesti. “Amina, seperti yang saya bilang sebelumnya. Saya mempunyai dua kejutan. Yang pertama adalah kembalinya Eril bersama kita. Dia sangat mencintaimu,
Bab 177 Amina mengenakan baju terbaiknya. Ia mematut dirinya lama sekali di depan kaca. “Ibu sudah cantik, kok,” kata Ayang geli, melihat sikap ibunya yang bolak – balik menatap cermin. “Benarkah? Ibu merasa kurang pede,” kata Amina. “Yang dikatakan Ayang benar. Ibu cantik sekali.” Bik Susi mengacungkan dua jempolnya. Hari ini ia tidak berjualan dengan Amina, karena Reynard mengajak semuanya pergi. Fahri yang telah berpakain rapi lalu memotret sang Ibu dan memperlihatkannya pada Amina. “Ibu cantik!” Anak itu tersenyum bahagia. Amina tersipu, mendapat pujian dari keluarganya. “Ngomong – ngomong, Reynard mau mengajak kita kemana ya, Bik?” Baru saja Amina selesai bertanya, Reynard sudah muncul di depannya. Pakaian dia rapi dan wangi. “Aku akan membawa kalian ke tempat spesial,” jawab Reynard dengan senyum lebar. “Apa kalian semua sudah siap?” “Sudah dong.” “Kalau begitu, mari kita berangkat.” “Mas Rey, kita mau naik apa?” tanya Bik Susi. “Naik mobil dong, Bik. Masak mau naik
Bab 176“Bagaimana kami percaya? Kamu bisa saja mengelak dengan cara menuduh orang lain?” kata Reynard.“Aku juga tidak percaya dengan kalian. Siapa tahu Eril juga berbohong supaya dia tidak mau bertanggung jawab pada Dokter Kartika.” Vincent membela diri.“F*ck,” cetus Eril gusar. “Kita berdua sama – sama terjebak, dan satu – satunya cara kita harus mendatangi datang ke Jember dan menemui Dokter Kartika dan memintanya mengaku siapa lelaki yang harusnya bertanggung jawab.”“Hmm… sorry, pekerjaanku banyak. Aku tidak bisa ikut kalian.”Reynard menyeringai. “Boleh saja kamu begitu, dan aku tinggal menyebarkan soal hubunganmu dengan Dokter Kartika ke media, beres kan?” Ia mengancamnya. “Aku juga tahu, sugar mommymu.”Gigi Vincent gemeretuk. Dia tidak bisa mengelak lagi.***“Dokter Tika, aku kecewa dengan dirimu. Tak kusangka, kamu bisa senekat itu untuk mendapatkan apa maumu. Kamu rela menghancurkan sahabat baikmu sendiri, dan sekarang meminta pertanggung jawaban aku.” Eril menatap mata
Bab 175“Apa kamu yakin ini cara yang akan kamu tempuh, akan membuat Dokter Kartika mengaku?” Reynard menatap Eril dengan was – was. Lelaki itu selalu membuatnya khawatir.“Bagaimana aku tahu, jika aku tidak mencobanya?” jawab Eril datar. “Sumpah demi Allah! Aku tidak pernah meniduri Dokter Kartika, dan sekarang dia meminta aku bertanggung jawab atas kehamilannya.”Pria itu mendengus, kemudian mengambil rokok dan menyalakannya. “Atau kamu punya ide lain?”Reynard menyalakan rokok dan menghembuskannya pelan ke udara. Mereka masih di salah satu café di bandara. Rencananya, Eril mengajaknya ke Jember, menemui Dokter Kartika dan menyelesaikan masalahnya. Setelah itu barulah ia mau bertemu dengan keluarganya dan Amina. “Aku ragu, jalan yang kamu tempuh akan berhasil, mengingat Dokter Kartika itu licik. Jujur aku tidak menyukainya.” Reynard melihat Eril.“Apa kamu tahu, dia menjelek – jelekkan Amina ke media, ke ibumu. Selain itu dia juga menjadi mata – mata Jazuli bersama Amel. Dia perna
Bab 174Eril terhenyak. “M-maksudmu? Amina tidak jadi artis lagi?”Adrien menggeleng. Dia lalu mengajak Eril duduk di living room lalu menceritakan apa yang didengarnya dari Reynard.“Amina bahkan melarang Reynard untuk mengambil mobilmu, meskipun hidupnya sengsara.” Perempuan itu memandang Eril, dengan sendu. “Karena dia sangat mencintaimu Ril.”Mendengar cerita kelabu Amina, Eril menggigit bibirnya. Dadanya dihantam rasa bersalah tidak bisa melindungi perempuan itu.“Aku juga menemui Ibu dan nenekmu, mereka mengharapkan kehadiranmu dan tanggung jawabmu pada Dokter Kartika,” lanjut Adrien. Kedua matanya nanar memandang Eril.Eril memberikan respon. “Tanggung jawab apa? Aku tidak punya hutang apapun kepada Dokter Kartika.”“Apa hubunganmu dengan Dokter Kartika?” tanya Adrien hati – hati. Ia khawatir pertanyaan menyinggung hati Eril.“Teman biasa. Aku mengenalnya karena dia adalah Psikolog Amina. Justru Amina yang dekat dengannya?” Eril menjelaskan.Adrien mengambil napas. “Aku serius
Bab 173BRAKHesti membuka pintu kantor dengan kasar. “Diana!” Ia memanggil sekretarisnya dengan nada melengking tinggi.Diana yang sedang berada dalam toilet, kaget dan buru – buru menghadap Hesti.“Ada apa, Tante?” jawabnya gugup dengan dengkul gemetaran. Baru kali ini ia melihat Tantenya itu sangat marah dan frustasi.“Kenapa kamu tidak pernah memberitahu saya soal Amina? Apa yang kamu kerjakan selama ini?” Hesti melemparkan tas Hermes miliknya ke kursi.Bola mata Diana berputar kemudian naik ke atas, mengingat – ingat kejadian. “Bukankah Tante yang meminta saya, untuk tidak membicarakan soal Amina?” Ia ingat betul, beberapa waktu lalu, Hesti marah besar kepadanya. Gara – gara dia memberikan titipan Amina dari satpam RTV.Hesti kelihatan menghela napas berat. Dia merasa tertohok dan menjadi orang jahat. Diana, tak bersalah, ia saja yang suka memarahinya. “Mana titipan Amina?” tanyanya parau. Ia ingat pernah meminta sekretarisnya itu untuk membuang titipan Amina.Bergegas Diana menu
Bab 172 “Hih, najis aku ke rumahmu,” sahut wirda jutek. Seketika dirinya muak melihat Amina yang masih kelihatan cantik meski dengan sandal jepit dan pakaian sederhana. Amina tersenyum tipis. “Terserah!! Aku tidak mau memaksa. Asal kamu tahu, Bapakmu sudah menyiksaku selama 6 tahun, dan itu sudah cukup menimbulkan trauma berat. Meskipun aku melarat, tak sudi aku mau merebut suami orang.” Perempuan itu menghela napas pendek. “Daripada kamu menuduh sembarangan, lebih baik telepon suamimu sekarang dan tanyakan apakah dia punya selingkuhan bernama Wirda?” Ia menduga arwah gentayangan yang menemuinya semalam adalah selingkuhan suami kakaknya Wahyu. Mereka memiliki nama yang sama. Wajah Wirda tegang, urat di mukanya menonjol sehingga membuat wajahnya kian tua. Gigi perempuan itu gemeretuk menahan emosi. “Bangsat! Kamu sekarang malah berani menyuruhku!” katanya kasar. “Mba, tahan emosimu, lebih baik kita tengok Bapak sekarang.” Wahyu menyeret tangan kakaknya menjauhi Amina. “Amina, maa
Bab 171 Amir, teman Abah Anom mendekati tubuh Jazuli. Ia menaruh tangannya di depan hidung pria itu. “Dia masih bernapas,” katanya. Lelaki itu melihat ke Abah Anom dan Amina. “Selanjutnya, kita apakan dia?” “Amina, Abah menunggu perintahmu. Jika kamu mau dia mati, anak buah Abah bisa menghabisinya dan membuangnya ke tempat yang tak terdeteksi. Kedua orang itu sangat professional.” Dengan tenang Abah Anom mengatakannya. Lelaki itu dulu terkenal sebagai jawara di kampungnya. Ia ditakuti banyak orang. Amina bergidik mendengar penjelasan tuan rumahnya. Sebenci – bencinya dia pada Jazuli, dia takkan mau menorehkan sejarah sebagai otak pembunuh. “Kita bawa dia ke rumah sakit saja. Nanti saya akan hubungi keluarganya.” Amir dan temannya menggeleng – gelengkan kepala dengan kebaikan hati Amina. Padahal nyawa perempuan itu tadi terancam, tetapi dia malah menolong orang yang mengancam hidupnya. Abah Anom tersenyum kecil. Dia menepuk pundak Amina dua kali. “Kamu memang wanita baik. Abah kag
Bab 170 Serta merta Jazuli menerkam Amina hingga perempuan itu terjatuh ke lantai. Kemudian ia menciumi wanita itu dengan penuh nafsu. “Sudah lama aku menginginkan kamu Amina sayangku!” Kedua tangannya menekan tubuh Amina hingga perempuan itu sulit berkutik. Bau jigong menyeruak dan menusuk hidung Amina. Perut wanita itu bergolak hebat, pingin muntah entah antara rasa jijik dan putus asa. “Lepaskan aku. Aku janji akan membayar hutangmu segera!” Amina meronta berusaha melepaskan cengkeraman Jazuli dan menghindari serangan ciuman Jazuli yang membabi buta. Napas perempuan itu ngos – ngosan. Akan tetapi kekuatannya kalah besar dengan pria gaek itu. Jazuli tertawa terbahak – bahak. Semakin Amina melawan, nafsu binatangnya itu kian menggelora. “Aku tidak butuh uangmu, cantik! Aku hanya butuh kamu!” Ia merasa dirinya menang dan berusaha menindih Amina. Tatapan pria itu kian liar menelusuri wajah cantik Amina. Melihat posisi Amina yang terancam, Fahri mengambil tongkot bisbol. Ia men