Mentari harus merasa beruntung karena malam pertama itu belum terjadi. Semalam Max meninggalkannya seorang diri di dalam kamar karena harus menangani urusan penting. Ia dapat bernapas lega. Meskipun di malam-malam selanjutnya pasti tidak akan sama.
Pagi-pagi sekali Mentari sudah dibangunkan oleh pelayan. Mereka memintanya untuk segera turun ke bawah atas perintah Max. Mau tak mau Mentari harus menurutinya.
Ketika ia sampai di bawah, rasa terkejut menelannya. Orang-orang yang semula dijadikan tawanan oleh Max kini dikumpulkan di satu tempat. Yang menarik perhatian Mentari adalah Raisa. Kini gadis itu berdiri dengan senyum yang tak pernah luntur dari wajah manisnya. Ketika tatapan mereka bertemu, Raisa langsung berlari menghampiri Mentari kemudian memeluknya.
"Terimakasih, terimakasih banyak. Karena kau, kami semua dibebaskan dan akan segera pulang," ucap Raisa berbinar-binar.
Bak mendapat permata berharga, awan mendung di wajah Ment
Mentari masuk ke kamar Max dengan emosi yang naik ke ubun-ubun. Terlihat pria itu duduk di dekat jendela yang ada di pojok ruangan sambil bertumpang kaki dan menghisap rokok. Ada satu botol minuman keras berjenis The Winston Cocktails yang terletak di atas meja di depannya dan hanya tersisa setengah, mungkin setengahnya lagi sudah masuk ke dalam kerongkongannya. Max adalah tipe peminum berat sehingga setengah botol saja tak bereaksi apa-apa pada kesadarannya.Max sadar akan kehadiran Mentari, hanya saja ia mengabaikannya. Justru sibuk memandangi luar jendela dengan asap yang mengepul keluar dari mulut."Apa yang kau lakukan?" Gadis itu berjalan mendekat.Hanya dibalas lirikan sekilas oleh Max. "Duduk, merokok, dan minum. Silahkan duduk jika kau juga ingin mencicipinya."Mentari berjengit kesal, Max terlihat sangat tenang seolah tak melakukan kesalahan apapun.
Mentari duduk di ranjang dengan harap-harap cemas. Secara tak sadar, tangannya mencengkram pinggiran ranjang. Matanya tak henti bergulir pada jam di dinding. Terhitung sudah satu jam Max menguncinya di dalam kamar dan meninggalkannya sendirian. Satu hal yang ia takutkan, pria itu benar-benar menginginkan malam pertama di pernikahan mereka.Ayolah, Max adalah pria yang sangat kejam. Akan bagaimana keadaannya jika dia menyentuh Mentari? Terlebih gadis itu juga masih belum siap menyerahkan kehormatannya meskipun status mereka sudah menikah.Ceklek.Perasaan Mentari semakin tak keruan saat tiba-tiba pintu kamar terbuka. Ia terhenyak karena mendapati Max melangkah masuk dan mengunci pintunya, kemudian berjalan sempoyongan ke arah Mentari. Sepertinya pria itu mabuk lagi.Secara refleks, Mentari berdiri takut. Perasannya benar-benar tak enak meskipun disuguhkan oleh Max yang bertelanjang dada d
Pemuda yang berjalan dengan bantuan tongkat itu hendak masuk ke dalam lift. Sesekali, matanya melirik ke suatu tempat dengan menajamkan indra pendengaran. Baru setelah waktunya tepat, ia masuk ke dalam kotak besi itu dan segera menekan tombol menutup.Ada yang tidak beres. Ia sadar saat telinganya tak sengaja menangkap suara langkah kaki yang mengikuti kemana pun ia pergi. Shaka menjadi lebih waspada. Bagaimanpun, semua anak buah Max sudah disetel untuk menjalankan perintah Boss-nya.Ting! Pintu lift terbuka bersamaan dengan dua orang pria bermasker yang langsung menyerangnya dari luar menggunakan pisau. Shaka yang sejak tadi sudah mengambil kuda-kuda memukulkan tongkatnya hingga mereka tersungkur dan pisaunya terjatuh ke lantai. Pemuda itu bergegas keluar lift.Namun, nasib sial menghampiri ketika salah satu dari mereka justru menarik tongkat yang digunakan Shaka dari bawah. S
Ini semua sulit dicerna. Setiap kata yang Max ucapkan layaknya sembilu yang selalu membuat luka baru di hati Mentari. Ia terkejut hingga secara tak sadar mundur beberapa langkah dari tempatnya. Pegangannya di lengan Max mengendur hingga terlepas begitu saja.Sekali lagi. Harapan yang ia tanam pupus di tengah jalan. Max lah yang telah menghancurkannya untuk kesekian kali.Dia manusia, tetapi tidak memiliki hati. Satu kalimat yang meluncur dari bibirnya terus terngiang di benak Mentari hingga si empunya tak kuasa menahan tangis."Apa ... maksudmu?" tanyanya begitu lirih, tetapi masih bisa didengar oleh Max.Kali ini pria itu berbalik hingga pandangan mereka bertemu. Max berubah menjadi monster lengkap dengan mata elang dan wajah seriusnya."Kau tidak tuli, bukan? Layani pria ini sekarang juga! Dia sudah membayarku dan aku sudah berjanji akan menyerahkanmu padanya," tek
Gadis itu menggeleng pelan, tak percaya dengan apa yang dialaminya. Setelah harga dirinya direnggut paksa, apakah kini takdir juga akan mengambil satu-satunya teman?"Tidak. Itu tidak boleh terjadi!" bantahnya. Ia berusaha membangunkan Shaka dengan menepuk-nepuk pipinya pelan. Kulit pemuda itu terasa dingin hingga wajahnya berubah pucat dan bibirnya membiru. "Kau tidak boleh meninggalkanku apapun yang terjadi, Shaka!"Mentari panik. Ia menekan dada Shaka berulang kali untuk mengeluarkan air yang sudah tertelan juga memacu detak jantungnya. Entah cara ini tepat atau tidak, tetapi Mentari yakin bersama ketulusannya ia akan membuat Shaka bangun.Semua gerak-gerik Mentari tak luput dari perhatian Max. Pria itu berjalan mendekat agar dapat melihat peristiwa menarik di hadapannya. Ia melipat tangan di depan dada kemudian menyeringai."Dia sudah tewas. Itu semua karena kau telat menyelamatkanny
"Bangun! Jangan berpura-pura pingsan di hadapanku!" Max menendang kaki Mentari lumayan kuat. Akan tetapi, gadis itu tak menunjukkan pergerakan. Seolah ia memang sudah larut dalam kehidupan di alam bawah sadar dan tidak akan kembali lagi. "Kau jangan berharap aku akan kasihan denganmu, Mentari! Bangun sebelum aku membuatmu tidak bisa bangun selamanya!"Masih tidak ada pergerakan. Max berjongkok kemudian menarik wajah gadis itu. Ia terlihat pucat, bibirnya yang membiru bergetar dan terlihat menggigil. Sementara matanya masih terus menutup. Sepertinya ia benar-benar tidak sadarkan diri.Max membuang napas kasar lalu meraih tubuh gadis sembilan belas tahun itu dan menggendongnya kembali ke kamar. Ia meringis pelan kala merasakan suhu tubuh Mentari yang tinggi.Max tak langsung meletakkannya ke ranjang. Ia justru menaruhnya di atas sofa karena pakaian Mentari masih basah kuyup.Max merogoh po
Seorang pria dengan wajah datar dan netra elangnya berjalan melalui lorong sempit berbau busuk. Pencahayaan yang temaram tak membuat aura mengerikan dari pria tersebut lenyap. Justru sebaliknya, kegelapan seolah membuatnya semakin terlihat seperti jelmaan iblis yang gemar menyakiti manusia.Max berhenti di depan sebuah bilik penjara yang jauh dari kata layak. Selain ukurannya sempit, tempat tersebut sangat kumuh dan menjadi sarang ternyaman para lalat hijau karena banyak bangkai tikus atau bahkan potongan daging manusia yang tergeletak begitu saja. Ia lalu memandang remeh seorang pria yang meringkuk di dalamnya."Kurasa tempat ini cocok untukmu, Arshaka."Pria malang dengan pakaian yang masih basah kuyup itu terbangun dari tidurnya. Setelah diikat di dasar kolam, anak buah Max selalu menyiramnya dengan seember air setiap satu jam sekali karena tak ingin membiarkan pakaiannya kering.Ia m
"Brengsek! Kenapa kau tidak bilang padaku sejak awal?! Apa yang telah pria itu lakukan sudah melampaui batasannya!" Lagi-lagi suara pria itu berubah tinggi. Wajahnya memerah dan mata teduhnya berkilat tajam. Mentari bahkan tak berani untuk menatap Shaka lebih lama."Ma–maaf ....""Max benar-benar iblis! Bajingan! Rasanya semua umpatan belum cukup untuk menghinanya. Dia ... dia lebih rendah dari anjing." Pemuda itu balik menatap tajam Mentari yang sudah merinding di dekatnya. Shaka kembali memegang kedua bahu Mentari. "Jika saja kau mengatakannya sejak awal, aku pasti akan memberinya pelajaran. Aku tidak peduli jika nantinya aku harus mati mengenaskan di tangannya."Tanpa sadar, Shaka menjadikan bahu Mentari sebagai pelampiasan. Ia mencengkramnya erat hingga gadis itu meringis kesakitan."Shaka, sakit ...."Tidak ada reaksi. Shaka masih tenggelam dalam pikirannya."Shaka, lepaskan! Kau menyakitiku!" Ia menghempas
Wanita bergaun ketat dengan bagian dada yang terbuka itu melengkungkan sudut bibirnya saat berpapasan dengan seorang pria. Tatapan nakalnya mulai berkelana, menjelajahi paras tampan serta tubuh ideal pria di hadapannya hingga tak ada yang terlewat satu inchi pun. Wanita itu sudah seperti jalang murahan yang menggigit bibir bawahnya sendiri untuk menarik perhatian lawan jenis."Ehm, Nyonya Tamara, apa kau melihat Leader? Sejak tadi aku mencarinya tapi tidak kunjung kutemukan. Aku—"Wanita itu menyela, "Ya, aku melihatnya. Dia sedang berada di bawah dan sibuk bekerja bersama Alvin dan Alvian." "Kalau begitu aku juga akan ke bawah."Tamara menghalangi jalan pria itu dan menaikkan gaunnya, menciptakan situasi yang semakin panas karena ia mulai terbakar gairah. Tanpa ragu, Tamara berjalan mendekat lalu mengalungkan kedua tangan di leher sang pria. Tubuh pria itu menjadi kaku seketika hingga sesuatu terasa bangun di bawah sana. Jonathan berusaha menyingkirkan tangan Tamara, tetapi wanita
Kamar Max dan Mentari tiba-tiba menjadi ruang pertemuan dadakan. Tamara bersama putranya memaksa ingin menemui Max. Tingkahnya yang seperti perempuan murahan sebenarnya membuat Mentari muak. Ia ingin mengusirnya jika saja ia tidak membutuhkan penjelasan darinya.Lama terdiam, Mentari akhirnya bersuara dengan nada lirih. "Tolong jelaskan padaku. Dia–""Aku istrinya, apa kurang jelas?" Tamara tersenyum kemenangan, lalu mendekati Max dan bergelayut manja di lengannya. "Kami sudah menikah sejak lama, bahkan kami juga sudah memiliki seorang putra. Itu dia, namanya Peter D'alterio. Cobalah lihat dia, dia sangat mirip dengan ayahnya." Tamara menunjuk putranya lalu kembali kembali memeluk Max.Tidak ada penolakan sama sekali dari pria itu, seolah ia membenarkan apa yang dikatakan Tamara. Keduanya memamerkan kemesraan tanpa memandang bayangan Mentari yang nyaris ambruk saat melihat kebersamaan mereka.Saat pandangan Mentari jatuh pada sosok Peter
Alvin merasa jengkel dengan situasi ini. Sejak dulu, ia selalu malas berhubungan dengan wanita apalagi mereka yang keras kepala. Lalu lihatlah sekarang, ia justru harus menggantikan Leader-nya menemui wanita yang sudah lama menghilang. Jangankan bersimpati, menghirup udara dari ruangan yang sama saja ia sudah kesal setengah mati."Apa maumu?" tanya Alvin tanpa basa-basi. Setelah datang ke apartemen ini sejak lima menit lalu, yang menjadi lawan bicaranya justru diam membisu.Wanita itu berdecak. Meluruskan kaki jenjangnya yang berbalut sepatu hak tinggi berwarna merah ke atas sofa. Ia berbaring di sana, seperti seorang jalang yang sedang merayu pria hidung belang. Namun, semua tingkah lakunya sama sekali tak menarik perhatian Alvin. Ia tetap berwajah datar, bahkan meski wanita itu melucuti pakaiannya sekali pun."Kau masih kaku seperti dulu. Apa Leader-mu itu tidak pernah mengajarimu cara menyenangkan wanita?" ujarnya dengan nada menggoda, kemud
Tangan Mentari yang gemetar perlahan menyentuh kulit wajah Max yang pias. Ia meringis karena merasakan hawa panas yang tak biasa. Suhu tubuh Max tinggi dan sepertinya ia mengalami demam. Semua itu semakin diperparah ketika Mentari tak sengaja menghirup aroma napasnya, bau alkohol yang menyengat begitu ketara. Apakah pria itu mabuk berat saat kondisinya sekarat? Huh, mati baru tahu rasa!Dengan sedikit kesusahan Mentari menuntun tubuh besar Max ke dalam kamar lalu menjatuhkannya ke atas ranjang. Tubuh pria itu langsung ambruk layaknya kulit tak bertulang. Mentari sedikit tertawa menyaksikannya. Andai Max sadar ia memperlakukannya seperti ini, pria itu pasti tak segan memberinya hukuman.Dalam keadaan mata yang tertutup, secara tak sengaja Max bergumam pelan. Entah apa yang ia bicarakan di tengah kondisinya yang tak berdaya seperti ini, Mentari sama sekali tak mengerti. Gadis itu mengangkat bahu dan mengabaikannya. Namun, ia ingin melakukan sesuatu saat Max sedang
Max mengayunkan kaki jenjangnya ke dalam sebuah ruangan yang dipenuhi rak-rak berisi botol minuman keras. Kemudian duduk pada sofa panjang berwarna abu-abu di dekat jendela dan menaikkan kakinya ke atas meja lalu terpejam. Pikirannya sedang penat, kepalanya seperti diikat pada paku besi berukuran besar.Lima menit setelah itu, ia baru membuka mata. Menghubungi Alvin yang sedang menyelesaikan permasalahan jual beli senjata api untuk menyusul ke ruangan tersebut menggunakan ponselnya. Hingga tak lama, sosok yang ia tunggu menampakkan batang hidungnya dari balik pintu. Alvin lalu berdiri di hadapan pria itu."Temani aku minum," ucap Max yang langsung mendapat anggukan dari Alvin.Pria itu mengambil sebotol Cocktails beserta dua gelas kosong dan meletakkannya di atas meja, kemudian duduk di sofa lainnya lalu menuangkan minuman tersebut ke dalam gelas."Kapan wanita itu akan datang?" tanya Max setelah menenggak minumannya hingga tersisa
"A-apa maksudmu?" tanya Mentari dengan suara yang semakin serak. Ia menangis dalam diam beberapa detik setelah mengetahui kabar ini. Ia terlalu syok, bahkan bingung harus bagaimana mengartikan perasannya."Apa kau tuli? Lenyapkan dia sebelum dia tumbuh semakin besar dan–""Tidak!" potongnya. "Apa kau sudah gila? Kau berniat untuk melenyapkan janin yang bahkan belum memiliki bentuk?" Ia menatap Max tak percaya.Max menarik tubuhnya lalu mengusap wajahnya kasar. Ia berbalik memunggungi Mentari dengan wajah kalut. Sungguh, ini diluar dugaan. Max tidak pernah berpikir bahwa Mentari bisa saja hamil karena ulahnya."Justru karena dia belum memiliki bentuk, kau harus mengambil keputusan ini, Gadis Bodoh! Kehamilanmu hanya akan membawa bencana bagi dirimu sendiri!" sarkasnya semakin sengit. Berpikir bahwa pendapatnyalah yang paling benar saat ini.Mentari termangu sambil terus menangis. Jemarinya bergerak gelisah, rasa sakit ini benar-benar men
Semuanya berubah, tidak ada kehangatan seperti yang terjadi beberapa menit lalu. Max kembali pada sikap iblisnya dan menguarkan aura yang kuat. Kakinya terus menjejak lantai marmer, membuat jaraknya dengan Mentari semakin terkikis. Apalagi kini Mentari telah tersudut pada dinding yang menjadi sekat antara ruang makan dan dapur."Kau yang melakukannya." Matanya yang berkilat tajam menusuk Mentari tepat pada retinanya."Bukan," jawab Mentari tegas, tanpa gemetar, karena memang bukan dia pelakunya."Kau yang memasak makanan itu dan kau memiliki banyak alasan untuk menghabisiku." Satu tangan Max terangkat, mengusap permukaan pipi Mentari yang sangat halus. Sampai gadis itu memejamkan matanya selama beberapa detik karena menerima sentuhan Max."Memang, tapi aku tidak menambahkan racun ke dalamnya.""Tapi tidak ada orang di dapur selain dirimu." Sentuhannya menurun ke area rahang Mentari."Demi Tuhan, aku tidak–arrgh!" Gadi
Bunyi tembakan terdengar memekakkan telinga saat timah panas itu mengambil jalur dari lorong pistol. Di waktu yang bersamaan, sesosok tubuh manusia ambruk ke tanah dengan bersimbah darah. Ada lubang di belakang kepalanya yang menjadi sumber cairan kemerahan itu berasal. Sosok itu langsung meregang nyawa dengan mata terbuka, seolah tak rela kehidupannya telah direnggut paksa oleh seseorang."Andrew!" teriak rekannya yang kini melongo tak percaya setelah menyaksikan adegan berdarah itu.Dia berbalik menghadap pintu. Ada dua pria yang kini masuk, salah satunya membawa sebuah pistol yang masih berasap. Secara naluriah ia berjalan mundur dan tak sengaja menubruk tubuh Shaka yang kini memandang heran."Tu-tuan Alvin," ucapnya terbata. Kegugupan seolah menelannya hingga dahinya dibanjiri keringat dingin."Good bye," kata Alvian melambaikan tangannya lalu merebut pistol dari sang kakak. Ia mengarahkan moncongnya pada sang anak buah.
Max menyeringai tajam ketika mata elangnya melirik gadis yang sedang tertidur pulas karena efek obat bius yang sebelumnya telah ia berikan. Satu tangannya terulur untuk menarik rahang Mentari agar menoleh ke arahnya, sementara tangan yang satunya lagi sibuk mengendalikan kecepatan mobil yang kini melaju kencang.Untung saja pihak hotel yang merupakan rekan kerjanya memberitahu kejadian yang menimpa Mentari, sehingga ia langsung membatalkan pertemuan dengan kelompok mafia lain dan segera menyusun rencana untuk mengambil alih Mentari dari tangan polisi. Mentari sudah seperti mainan berharga, ia tidak mau mainannya dicuri, begitu pikir Max.Max menoleh sekilas saat terdengar lenguhan kecil dari bibir gadis itu. Mentari mulai sadar. Akan tetapi, ia pasti kebingungan karena meskipun telah membuka mata, hanya kegelapan yang menyambangi penglihatannya. Ya, Max selalu mengikat matanya dengan kain hitam agar gadis itu tak mengetahui past