Robin Luciano bersenandung tak jelas sambil menatap dirinya di pantulan cermin kamar mandi. Kedua tangannya meremas-remas rambut yang berbusa, lalu menoleh ke kanan-kiri dengan gerakan lambat, seperti sedang mencari-cari kecacatan di wajahnya. “Apa aku memang setampan itu?” Gerakan Robin berhenti, lalu terkekeh lirih dan singkat. Dia bersikap seolah-olah tidak terlalu bahagia walaupun hanya ada dirinya sendiri di dalam kamar mandi itu. ‘Robin … lebih cepat lagi … aku suka melihat wajah tampanmu saat mendapat kepuasan dariku.’ Robin mengingat lagi racauan Poppy semalam. Badannya tiba-tiba berguncang pelan, merinding oleh gelenyar nikmat yang seolah masih bisa dirasakannya. “Kakek … kakek … jangan harap kau bisa merayu istriku. Wajahmu tidak setampan aku.” Robin menyeringai pada diri sendiri di depannya. TOK TOK! “Lihat, lihat … dia sudah tidak sabar melihatku sampai menggangguku yang sedang mandi.” Robin bergeleng-geleng sambil berdecak dengan satu sudut mulut terangkat.
Robin menatap kakeknya tak percaya. “Lalu kenapa, katamu? Aku suaminya dan berhak menyingkirkan semua orang yang berani mendekatinya! Termasuk kau, Kakek!”Ucapan Dante, tentu saja, membuat Robin semakin meradang. Namun, Dante segera menyangkal, “Aku menginginkan Poppy untuk urusan lain. Bukan seperti yang kau pikirkan.”“Apa kau pikir akan akan memercayaimu?! Apa kau kira aku tidak pernah melihatmu memanggil gadis-gadis muda ke kamarmu?”Poppy menelan ludah susah payah selagi menyembunyikan kengerian. Dia seharusnya tahu jika Dante sama saja dengan para mafia lainnya, selalu berbuat buruk meski kondisinya sekarang cukup membuat Poppy iba padanya. Namun, kata-kata Robin masih terlalu mengejutkan. Poppy hanya pernah mendengar tentang Dante yang gemar menyewa gadis-gadis penjaja malam, tak sepenuhnya percaya. Dia tak menyangka jika hal tersebut adalah kebenaran.‘Bagaimana mungkin orang yang sudah berumur seperti Dante Luciano tega menggauli gadis seusia cucunya, bahkan lebih muda? Apa
Dante tiba-tiba mengancam dengan kebohongan mereka. Kebohongan apa yang dimaksud Dante? Sebab, telah banyak kebohongan yang mereka lakukan. Apakah tentang pernikahan palsu mereka atau identitas asli Poppy? Poppy dan Robin diam, setidaknya mereka harus mendengar lebih dulu agar tak salah paham dan menjawab berbeda dari maksud Dante, yang justru akan membongkar kebohongan lainnya. “Kau tidak akan bisa berbohong tentang hidupmu, Poppy. Haruskah aku memanggilmu Stella mulai sekarang?” Dante langsung menyelidiki latar belakang Poppy dengan kedua wanita yang mengaku sebagai ibunya. Tak banyak yang bisa ditemukan oleh orang suruhannya karena Robin telah menutup sebagian besar masa lalu Poppy. Akan tetapi, masih ada beberapa orang yang mengenal Carita dan keluarganya yang bisa ditanyai. Dalam semalam, Dante menerima informasi tambahan yang membenarkan bahwa Carita adalah ibu tiri Poppy. Entah bagaimana hubungan mereka, termasuk sosok April yang telah diberikan identitas baru, Dante belum
Keinginan Dante begitu jelas sampai Poppy yang tidak begitu ahli membaca ekspresi wajah seseorang pun dapat mengetahuinya. Apa pun yang terjadi, Poppy tak sudi melakukan hal keji kepada orang lain.Sayangnya, Poppy tak punya kuasa untuk menolak perintah itu. Robin pun tidak membantah Dante lagi.Mereka bahkan sudah sampai di depan markas besar keluarga Luciano saat ini …“Pegang tanganku,” titah Robin ketika mereka turun dari mobil.Di area parkir luas itu, banyak pria bertato hanya mengenakan kaos tanpa lengan. Mereka segera berbaris, menunduk singkat kepada Robin.“Halo, Bos! Tumben kau datang siang-siang,” sapa pria bertubuh kekar yang menjadi satu-satunya orang berpakaian rapi.“Kakek menyuruh istriku untuk berlatih menembak. Siapkan tempatnya,” perintah Robin, lalu menggandeng Poppy masuk ke pintu ganda besar.“Ingat, kau harus terus berada di sisiku.”Poppy menunduk. Dia semakin erat mencengkeram jaket kulit suaminya.Suasana di markas Lucia
“Tuan, hentikan …,” isak seorang gadis muda. “Ah, sial! Jangan banyak meronta! Kau sendiri yang merayuku … buka saja kakimu lebih lebar!” Mata Poppy terbelalak ketika melihat pria tampan dan gadis muda sedang bergumul tanpa busana di sofa panjang. Wajahnya sontak merah padam, kemudian Robin menutup matanya. “Jangan berani melihat milik pria lain!” Robin menatap tajam anak buahnya yang akhirnya menyadari kehadirannya. “Keluar dari ruanganku!” bentaknya. Pria itu segera menyeret si gadis keluar sambil membawa pakaian mereka. Robin sudah terbiasa melihat pemandangan seperti itu, tetapi tidak dengan istrinya, dan bukan di ruang kerjanya. Robin mencoba untuk menahan amarahnya. Baru dua hari dia tak datang, kantornya digunakan untuk melakukan tindakan asusila. Dia benar-benar ingin segera merealisasikan tujuannya dan menghabisi semua pria hidung belang itu. “Robin, lepas …,” pinta Poppy, setelah mendengar pintu ditutup. Robin melepaskan tangannya dari mata Poppy. Dia kemudian melempa
Sementara itu, Robin tak tahu kesulitan apa yang sedang dihadapi istrinya. Dia justru sibuk memilih-milih cincin pernikahan yang tampak elegan, namun dapat terlihat semua orang dengan jelas.“Yang ini sepertinya akan cocok di jari manisnya.” Robin tersenyum puas sambil melipat tangan di depan dada dan menyandarkan punggung di kursinya. Dia membayangkan Poppy akan tersenyum lebar sambil memamerkan cincin itu kepada semua orang, lalu mengatakan bahwa dia adalah milik Robin Luciano.“Tuan, saya sudah datang.” Antonio membuka pintu ruangan itu, lalu menghampiri Robin, berdiri di dekat kursinya. “Anda akan membeli cincin itu?” tanyanya kemudian.Robin memicingkan mata, mengamati gerak-gerik mencurigakan tangan kanannya itu. Antonio sedikit memiringkan kepala ketika melihat cincin dengan berlian tanpa warna. Dia terlihat tak menyukai ide Robin membeli cincin itu.“Cincin itu tidak cocok untuk Anda, Tuan.”“Apa kau pikir aku yang akan memakainya?”“Oh, Anda ingin membelikan cincin itu untuk
DEG!Robin berhenti berjalan selagi meremas dadanya. Entah mengapa dia tiba-tiba merasakan seseorang memanggilnya. Kemudian, kedua alisnya terangkat ketika terbersit firasat buruk.“Apa yang terjadi dengan perempuan itu?” gumamnya.Dia segera mengayunkan kaki dengan cepat. Hingga akhirnya, dia sampai di lapangan latihan tembak tak sampai lima menit.“Apa yang kau lakukan, Jose?!” bentak Robin ketika dia melihat istrinya sedang mengarahkan senjata pada salah satu tawanan mereka.Suara keras Robin biasanya membuat dada Poppy bergetar takut. Namun, sekarang dia sangat lega mendengar suara itu, hingga ingin melempar senjata dan berlari memeluk suaminya.“Apa maksud Anda, Bos?” Jose tak memahami kemarahan Robin.“Aku menyuruhmu mengajarinya menembak, bukan membunuh orang!”Robin mengumpat dalam hati. Dia seharusnya tak teralihkan pada masalah kecil seperti cincin pernikahan. Karena kelalaiannya, Poppy mungkin akan mengingat traumanya.“Oh, kupikir akan lebih baik jika Nyonya Poppy belajar
‘Kenapa dia memanggilku dengan nama itu?’ batin Poppy gelisah. Entah mengapa dia justru tak senang ketika Robin memanggilnya dengan nama asli. Sudah lama dia berharap Robin memanggil nama Poppy, namun Robin justru seperti ingin menunjukkan jarak, seakan ingin mengembalikan Poppy ke tempat asalnya dengan identitas Stella Valentine.“Apa … maksudmu?”Ucapan Robin yang menyuruhnya untuk bisa melindungi diri sendiri bisa memiliki banyak makna. Akan tetapi, hanya ada satu hal yang muncul di benak Poppy. Robin mungkin akan meninggalkan dirinya sehingga tak akan bisa melindunginya lagi.“Kembali pada posisi menembak,” titah Robin, enggan membicarakan masalah itu.Poppy akhirnya kembali melanjutkan latihan. Mereka hanya membicarakan tentang teknik menembak yang benar, tanpa membahas perkataan Robin sebelumnya.Meski Poppy terlihat sudah melupakan ucapan Robin, namun dalam kepalanya masih dipenuhi tanda tanya. Dia tak berani bertanya ataupun menyela Robin yang bersungguh-sungguh mengajarinya.
Firasat Poppy benar. Dia begitu sakit hati saat Robin berniat mengembalikan identitas aslinya.‘Aku seharusnya senang. Tanpa usaha apa pun, aku bisa kembali ke kehidupanku semula. Tapi, rasanya sakit sekali saat tahu kau mungkin akan melepasku,’ batin Poppy, diam ketika Robin melepas tangannya dan melangkah masuk ruang kerjanya, seakan-akan saat ini adalah masa-masa terakhirnya bisa memegang tangan pria itu.“Mari masuk, Nyonya.” Poppy melangkah dengan berat. Namun, ketika masuk ke ruangan kerja suaminya, pikirannya segera teralihkan oleh pemandangan di hadapannya. Ruang kerja yang luas itu tampak menciut dengan banyak pria besar memenuhi ruangan. Poppy tak bisa menahan kekagetan ketika melihat sosok yang tak terduga di antara mereka, orang yang pernah memohon bantuannya agar mau memintakan izin kepada Robin karena mengaku takut padanya. Namun, orang itu sekarang justru duduk di tengah-tengah pria berbadan besar seperti seorang bos tanpa jas snellinya. “Bagaimana kabar Anda, Nyonya
‘Kenapa dia memanggilku dengan nama itu?’ batin Poppy gelisah. Entah mengapa dia justru tak senang ketika Robin memanggilnya dengan nama asli. Sudah lama dia berharap Robin memanggil nama Poppy, namun Robin justru seperti ingin menunjukkan jarak, seakan ingin mengembalikan Poppy ke tempat asalnya dengan identitas Stella Valentine.“Apa … maksudmu?”Ucapan Robin yang menyuruhnya untuk bisa melindungi diri sendiri bisa memiliki banyak makna. Akan tetapi, hanya ada satu hal yang muncul di benak Poppy. Robin mungkin akan meninggalkan dirinya sehingga tak akan bisa melindunginya lagi.“Kembali pada posisi menembak,” titah Robin, enggan membicarakan masalah itu.Poppy akhirnya kembali melanjutkan latihan. Mereka hanya membicarakan tentang teknik menembak yang benar, tanpa membahas perkataan Robin sebelumnya.Meski Poppy terlihat sudah melupakan ucapan Robin, namun dalam kepalanya masih dipenuhi tanda tanya. Dia tak berani bertanya ataupun menyela Robin yang bersungguh-sungguh mengajarinya.
DEG!Robin berhenti berjalan selagi meremas dadanya. Entah mengapa dia tiba-tiba merasakan seseorang memanggilnya. Kemudian, kedua alisnya terangkat ketika terbersit firasat buruk.“Apa yang terjadi dengan perempuan itu?” gumamnya.Dia segera mengayunkan kaki dengan cepat. Hingga akhirnya, dia sampai di lapangan latihan tembak tak sampai lima menit.“Apa yang kau lakukan, Jose?!” bentak Robin ketika dia melihat istrinya sedang mengarahkan senjata pada salah satu tawanan mereka.Suara keras Robin biasanya membuat dada Poppy bergetar takut. Namun, sekarang dia sangat lega mendengar suara itu, hingga ingin melempar senjata dan berlari memeluk suaminya.“Apa maksud Anda, Bos?” Jose tak memahami kemarahan Robin.“Aku menyuruhmu mengajarinya menembak, bukan membunuh orang!”Robin mengumpat dalam hati. Dia seharusnya tak teralihkan pada masalah kecil seperti cincin pernikahan. Karena kelalaiannya, Poppy mungkin akan mengingat traumanya.“Oh, kupikir akan lebih baik jika Nyonya Poppy belajar
Sementara itu, Robin tak tahu kesulitan apa yang sedang dihadapi istrinya. Dia justru sibuk memilih-milih cincin pernikahan yang tampak elegan, namun dapat terlihat semua orang dengan jelas.“Yang ini sepertinya akan cocok di jari manisnya.” Robin tersenyum puas sambil melipat tangan di depan dada dan menyandarkan punggung di kursinya. Dia membayangkan Poppy akan tersenyum lebar sambil memamerkan cincin itu kepada semua orang, lalu mengatakan bahwa dia adalah milik Robin Luciano.“Tuan, saya sudah datang.” Antonio membuka pintu ruangan itu, lalu menghampiri Robin, berdiri di dekat kursinya. “Anda akan membeli cincin itu?” tanyanya kemudian.Robin memicingkan mata, mengamati gerak-gerik mencurigakan tangan kanannya itu. Antonio sedikit memiringkan kepala ketika melihat cincin dengan berlian tanpa warna. Dia terlihat tak menyukai ide Robin membeli cincin itu.“Cincin itu tidak cocok untuk Anda, Tuan.”“Apa kau pikir aku yang akan memakainya?”“Oh, Anda ingin membelikan cincin itu untuk
“Tuan, hentikan …,” isak seorang gadis muda. “Ah, sial! Jangan banyak meronta! Kau sendiri yang merayuku … buka saja kakimu lebih lebar!” Mata Poppy terbelalak ketika melihat pria tampan dan gadis muda sedang bergumul tanpa busana di sofa panjang. Wajahnya sontak merah padam, kemudian Robin menutup matanya. “Jangan berani melihat milik pria lain!” Robin menatap tajam anak buahnya yang akhirnya menyadari kehadirannya. “Keluar dari ruanganku!” bentaknya. Pria itu segera menyeret si gadis keluar sambil membawa pakaian mereka. Robin sudah terbiasa melihat pemandangan seperti itu, tetapi tidak dengan istrinya, dan bukan di ruang kerjanya. Robin mencoba untuk menahan amarahnya. Baru dua hari dia tak datang, kantornya digunakan untuk melakukan tindakan asusila. Dia benar-benar ingin segera merealisasikan tujuannya dan menghabisi semua pria hidung belang itu. “Robin, lepas …,” pinta Poppy, setelah mendengar pintu ditutup. Robin melepaskan tangannya dari mata Poppy. Dia kemudian melempa
Keinginan Dante begitu jelas sampai Poppy yang tidak begitu ahli membaca ekspresi wajah seseorang pun dapat mengetahuinya. Apa pun yang terjadi, Poppy tak sudi melakukan hal keji kepada orang lain.Sayangnya, Poppy tak punya kuasa untuk menolak perintah itu. Robin pun tidak membantah Dante lagi.Mereka bahkan sudah sampai di depan markas besar keluarga Luciano saat ini …“Pegang tanganku,” titah Robin ketika mereka turun dari mobil.Di area parkir luas itu, banyak pria bertato hanya mengenakan kaos tanpa lengan. Mereka segera berbaris, menunduk singkat kepada Robin.“Halo, Bos! Tumben kau datang siang-siang,” sapa pria bertubuh kekar yang menjadi satu-satunya orang berpakaian rapi.“Kakek menyuruh istriku untuk berlatih menembak. Siapkan tempatnya,” perintah Robin, lalu menggandeng Poppy masuk ke pintu ganda besar.“Ingat, kau harus terus berada di sisiku.”Poppy menunduk. Dia semakin erat mencengkeram jaket kulit suaminya.Suasana di markas Lucia
Dante tiba-tiba mengancam dengan kebohongan mereka. Kebohongan apa yang dimaksud Dante? Sebab, telah banyak kebohongan yang mereka lakukan. Apakah tentang pernikahan palsu mereka atau identitas asli Poppy? Poppy dan Robin diam, setidaknya mereka harus mendengar lebih dulu agar tak salah paham dan menjawab berbeda dari maksud Dante, yang justru akan membongkar kebohongan lainnya. “Kau tidak akan bisa berbohong tentang hidupmu, Poppy. Haruskah aku memanggilmu Stella mulai sekarang?” Dante langsung menyelidiki latar belakang Poppy dengan kedua wanita yang mengaku sebagai ibunya. Tak banyak yang bisa ditemukan oleh orang suruhannya karena Robin telah menutup sebagian besar masa lalu Poppy. Akan tetapi, masih ada beberapa orang yang mengenal Carita dan keluarganya yang bisa ditanyai. Dalam semalam, Dante menerima informasi tambahan yang membenarkan bahwa Carita adalah ibu tiri Poppy. Entah bagaimana hubungan mereka, termasuk sosok April yang telah diberikan identitas baru, Dante belum
Robin menatap kakeknya tak percaya. “Lalu kenapa, katamu? Aku suaminya dan berhak menyingkirkan semua orang yang berani mendekatinya! Termasuk kau, Kakek!”Ucapan Dante, tentu saja, membuat Robin semakin meradang. Namun, Dante segera menyangkal, “Aku menginginkan Poppy untuk urusan lain. Bukan seperti yang kau pikirkan.”“Apa kau pikir akan akan memercayaimu?! Apa kau kira aku tidak pernah melihatmu memanggil gadis-gadis muda ke kamarmu?”Poppy menelan ludah susah payah selagi menyembunyikan kengerian. Dia seharusnya tahu jika Dante sama saja dengan para mafia lainnya, selalu berbuat buruk meski kondisinya sekarang cukup membuat Poppy iba padanya. Namun, kata-kata Robin masih terlalu mengejutkan. Poppy hanya pernah mendengar tentang Dante yang gemar menyewa gadis-gadis penjaja malam, tak sepenuhnya percaya. Dia tak menyangka jika hal tersebut adalah kebenaran.‘Bagaimana mungkin orang yang sudah berumur seperti Dante Luciano tega menggauli gadis seusia cucunya, bahkan lebih muda? Apa
Robin Luciano bersenandung tak jelas sambil menatap dirinya di pantulan cermin kamar mandi. Kedua tangannya meremas-remas rambut yang berbusa, lalu menoleh ke kanan-kiri dengan gerakan lambat, seperti sedang mencari-cari kecacatan di wajahnya. “Apa aku memang setampan itu?” Gerakan Robin berhenti, lalu terkekeh lirih dan singkat. Dia bersikap seolah-olah tidak terlalu bahagia walaupun hanya ada dirinya sendiri di dalam kamar mandi itu. ‘Robin … lebih cepat lagi … aku suka melihat wajah tampanmu saat mendapat kepuasan dariku.’ Robin mengingat lagi racauan Poppy semalam. Badannya tiba-tiba berguncang pelan, merinding oleh gelenyar nikmat yang seolah masih bisa dirasakannya. “Kakek … kakek … jangan harap kau bisa merayu istriku. Wajahmu tidak setampan aku.” Robin menyeringai pada diri sendiri di depannya. TOK TOK! “Lihat, lihat … dia sudah tidak sabar melihatku sampai menggangguku yang sedang mandi.” Robin bergeleng-geleng sambil berdecak dengan satu sudut mulut terangkat.