Ruangan kerja Lucas terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara dentingan halus jam dinding yang terdengar, berpadu dengan gemerisik api kecil yang membakar sumbu lilin di atas meja. Ia duduk diam di kursinya, matanya menatap kosong ke arah jendela besar di sampingnya. Ucapan ayahnya masih terngiang di kepalanya. "Kau tak bisa lari dari garis keturunanmu, Lucas. Cepat atau lambat, kau harus mengambil alih apa yang seharusnya menjadi milikmu." Lucas mengepalkan tangannya. Ia membenci kenyataan bahwa darah Aldrin mengalir di dalam tubuhnya. Sejak dulu, ia selalu mencoba membangun jalannya sendiri, terpisah dari bayang-bayang ayahnya. Namun pada akhirnya, kehidupannya tetap berputar di sekitar dunia yang sama—sebuah dunia di mana kekuasaan, pengkhianatan, dan pertumpahan darah adalah hal biasa. Kediamannya yang luas ini adalah buktinya. Tembok tinggi yang mengelilingi properti ini bukan hanya untuk membangun batasan antara dirinya dengan dunia luar, tapi juga sebagai perlindungan.
Malam itu, kastil terasa lebih sunyi dari biasanya. Emma baru saja selesai membaca sebuah buku ketika suara ketukan pelan terdengar di pintu kamarnya. Ia mengerutkan kening, lalu berjalan ke arah pintu untuk membukanya.Lucas berdiri di sana, mengenakan pakaian yang lebih santai daripada biasanya—sweater hitam dan celana panjang. Tidak ada jas formal atau ekspresi tegang seperti yang pria itu kerap kenakan.Emma menatapnya dengan sedikit bingung. "Lucas?"Lucas tidak langsung menjawab. Mata pria itu mengamati wajahnya sejenak sebelum akhirnya berkata, "Ikut aku."Emma mengangkat alis. "Ke mana?"Lucas tersenyum kecil, tetapi tidak menjawab langsung. "Kau percaya padaku, kan?"Emma diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Tentu saja."Lucas mengulurkan tangan, dan tanpa ragu, Emma menyambutnya. Ia tidak tahu ke mana Lucas akan membawanya, tetapi ada sesuatu dalam sorot mata pria itu yang membuatnya yakin bahwa ini adala
Angin malam masih berhembus lembut saat Lucas dan Emma duduk berdampingan di balkon vila. Keheningan yang nyaman mengelilingi mereka, hanya diiringi suara gemerisik dedaunan dan nyanyian serangga malam. Emma menyandarkan kepalanya di bahu Lucas, menikmati kedamaian yang jarang mereka temukan. "Aku suka tempat ini," bisiknya pelan. Lucas menoleh ke arahnya, tersenyum tipis. "Aku juga." Mereka kembali terdiam, menikmati suasana. Namun, ketenangan itu perlahan mulai terganggu ketika Lucas merasakan sesuatu. Perasaan tak nyaman yang muncul begitu saja. Ia mengangkat kepalanya, matanya menyapu sekitar vila. Emma merasakan perubahan kecil dalam sikapnya. "Ada apa?" tanyanya, kini duduk lebih tegak. Lucas mengerutkan kening, mendengarkan lebih seksama. "Aku tidak tahu," gumamnya. "Tapi sesuatu terasa… salah." Emma ikut mengamati sekitar, tetapi baginya, semuanya tampak biasa saja. Tidak
Pagi datang dengan cepat, tetapi ketegangan yang mengendap di udara semalam masih terasa. Matahari belum sepenuhnya naik ketika Lucas sudah terjaga, berdiri di balkon dengan tatapan tajam mengamati sekitar vila.Di belakangnya, Emma menggeliat pelan di tempat tidur, matanya perlahan terbuka. Ia melihat Lucas yang berdiri dengan punggung tegap, jelas-jelas masih memikirkan sesuatu."Lucas…" panggilnya dengan suara serak.Lucas menoleh dan tersenyum tipis. "Kau sudah bangun?"Emma duduk di tepi tempat tidur, meraih selimut untuk menutupi tubuhnya yang masih terasa hangat setelah tidur. "Kau tidur semalam?"Lucas mengangguk. "Sedikit."Emma tahu jawaban itu berarti ‘hampir tidak sama sekali.’ Ia bangkit, berjalan mendekat, lalu melingkarkan tangannya ke pinggang Lucas dari belakang, menyandarkan kepalanya di punggungnya."Jangan terlalu banyak berpikir," gumamnya.Lucas menghela napas panjang. "Aku harus berpikir E
Pagi itu, Lucas duduk di ruang kerjanya, membaca laporan yang baru saja diberikan oleh Andrew. Peringatan dari organisasi ayahnya semakin agresif, dan kali ini mereka tidak hanya mengirim ancaman, tetapi juga mulai menekan orang-orang di sekelilingnya."Berapa lama kau bisa bertahan, Lucas?"Pesan itu ditinggalkan di salah satu kantor investasinya di pusat kota, menunjukkan bahwa mereka ingin melihat bagaimana reaksinya.Lucas bersandar di kursi, matanya menatap tajam ke arah laporan tersebut.“Mereka mencoba memancingku keluar,” gumamnya pelan.Andrew, yang berdiri di hadapannya, mengangguk dengan ekspresi serius. “Mereka ingin kau mengambil keputusan.”Lucas berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, “Aku akan pergi ke kota. Jika mereka ingin membuat gerakan, aku harus melihatnya sendiri.”Andrew tampak ragu. “Itu cukup berisiko.”Lucas hanya tersenyum kecil. “Mereka ingin menekanku, tapi aku tidak akan memberikan mereka kesempatan itu.”Saat ia hendak melangkah keluar, suara langka
Angin malam berembus melalui jendela kendaraan yang bergerak cepat, membawa hawa dingin yang menusuk kulit. Emma duduk diam, kedua tangannya terikat di depan tubuhnya. Ia mengatur napasnya, berusaha tetap tenang meskipun situasi di sekitarnya jelas tidak menguntungkan.Di dalam kendaraan, tiga pria berbadan kekar duduk bersamanya. Salah satunya duduk di sampingnya, sementara dua lainnya berada di depan. Mereka tidak mengatakan sepatah kata pun, tetapi sesekali meliriknya seolah memastikan ia tidak akan melakukan hal yang bodoh.Emma menatap ke luar jendela. Jalanan yang gelap semakin membuatnya tidak tahu ke mana mereka membawanya.Ia menggigit bibirnya, mencoba berpikir jernih.Lucas pasti akan menyadari ini.Dia akan datang.Namun, ia tidak bisa hanya bergantung pada Lucas. Ia harus mencari celah.Dengan hati-hati, ia mencoba menggerakkan pergelangan tangannya. Ikatan di tangannya cukup kuat, tetapi tidak sepenuhnya me
Emma menatap Stefan dengan mata membelalak. Tubuhnya menegang seketika saat melihat pria itu berdiri di antara para penculiknya dengan sikap yang begitu tenang, seolah ia memang bagian dari mereka.“Stefan?” suara Emma bergetar, bukan karena takut, tetapi karena keterkejutan yang bercampur dengan amarah.Stefan menghela napas sebelum melangkah lebih dekat. “Emma.”Emma mundur selangkah, matanya menatap Stefan dengan tajam. “Apa yang kau lakukan di sini? Jangan bilang kalau kau—”“Kupikir kau sudah bisa menebaknya,” Stefan memotong.Dada Emma naik turun. Ia tidak ingin percaya. Stefan, yang selama ini bekerja dengan Lucas, yang selalu berada di sisi mereka—bagaimana mungkin dia bisa berada di pihak lawan sekarang?Salah satu pria di ruangan itu menepuk bahu Stefan dengan nada akrab. “Bagaimana? Dia tampak baik-baik saja, bukan?”Stefan tidak bereaksi. Tatapannya tetap tertuju pada Emma.Emma mengepalkan tangannya
Malam itu, angin bertiup lebih dingin dari biasanya. Mobil yang membawa Emma melaju melewati gerbang besar yang dijaga ketat oleh pria-pria bersenjata. Cahaya lampu jalan yang temaram hanya sedikit menerangi perjalanan, tetapi dari kejauhan, Emma bisa melihat siluet bangunan megah yang berdiri kokoh di tengah kompleks yang luas.Kediaman keluarga Aldrin.Pusat dari segala kekuatan dan kekuasaan yang selama ini berada di balik bayangan.Emma menatap bangunan itu dengan hati yang berdegup kencang. Ia tidak tahu apa yang menunggunya di sana, tetapi satu hal yang pasti—ini akan menjadi pertemuan yang tidak mudah.Setelah mobil berhenti di depan pintu masuk, salah satu pria yang mengawalnya membukakan pintu. “Turun.”Emma tidak punya pilihan selain mengikuti instruksi. Ia turun dengan langkah terukur, matanya langsung menyapu sekeliling. Di bawah cahaya lampu-lampu yang mewah, ia bisa melihat betapa megahnya tempat ini. Pilar-pilar tinggi meno
Emma menatap langit malam yang terbentang luas di atasnya. Kilauan bintang-bintang tampak berkelip di antara gelapnya malam, menciptakan pemandangan yang menenangkan. Angin berembus lembut, membelai kulitnya dengan kesejukan yang menenangkan. Ia berdiri di samping Lucas, di sebuah bukit kecil yang menawarkan pemandangan kota dari kejauhan. Tempat ini begitu sunyi, seolah terpisah dari dunia yang penuh hiruk-pikuk di bawah sana. Emma mengerti bahwa Lucas tidak membawa dirinya ke sini tanpa alasan. "Tempat ini..." Emma membuka suara, memecah keheningan di antara mereka. "Kenapa kau membawaku ke sini?" Lucas mengalihkan pandangannya dari hamparan kota dan menatap Emma. "Ini tempat yang sering kudatangi saat aku butuh berpikir," jawabnya pelan. "Di sini, aku bisa merasa bebas. Tidak ada gangguan, tidak ada tekanan, hanya aku dan pikiranku sendiri." Emma mengangguk mengerti. Ia bisa merasakan ketenangan yang sama. Dalam sebulan terakhir, hidup mereka penuh dengan kekacauan. Konflik
Matahari baru saja terbit di ufuk timur, menyapu kediaman Lucas dengan cahaya keemasan yang lembut. Setelah malam yang panjang dan penuh ketegangan, pagi ini terasa lebih tenang. Tidak ada lagi ancaman yang membayangi, tidak ada lagi pertarungan yang harus dihadapi. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Lucas bisa menarik napas lega.Ia berdiri di balkon kamarnya, menatap hamparan taman di bawah sana. Udara pagi yang sejuk menyentuh wajahnya, membawa aroma embun yang menyegarkan. Namun, pikirannya masih terpusat pada satu hal—Emma.Wanita itu telah melalui begitu banyak hal. Ia terluka karena menjadi bagian dari dunianya, dunia yang penuh dengan bahaya dan intrik. Tetapi, meskipun demikian, Emma tidak pernah menunjukkan penyesalan. Ia tetap berada di sisinya, menghadapi semuanya dengan keteguhan hati yang luar biasa.Lucas tahu, ada satu hal yang harus ia lakukan sekarang.Tanpa ragu, ia melangkah keluar dari kamarnya dan menuju ke kamar te
Malam di kediaman Lucas begitu sunyi. Udara dingin menyusup melalui jendela besar di ruang kerjanya, tetapi pria itu tetap duduk tegak di balik meja kayu besar, menatap laporan-laporan yang tersusun rapi di hadapannya. Setelah semua konflik yang ia hadapi, organisasi mulai kembali stabil. Ia telah menyingkirkan Morelli dan Vasquez, membuktikan bahwa ia bukan pemimpin yang bisa diremehkan. Namun, Lucas tahu bahwa masih ada satu orang lagi yang harus ia hadapi—ayahnya.Seakan menjawab pikirannya, ketukan keras terdengar di pintu ruang kerjanya. Lucas tidak terkejut. Ia sudah menduga bahwa cepat atau lambat pria itu akan datang menemuinya."Masuk," katanya, suaranya tetap dingin dan terkendali.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Antonio Aldrin. Meski usianya sudah semakin tua, auranya masih menekan, menandakan bahwa ia adalah seseorang yang telah lama terbiasa dengan kekuasaan. Namun, malam ini, ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Sorot matanya t
Malam sudah larut, tetapi Lucas masih duduk di ruang kerjanya, menatap peta besar yang terhampar di mejanya. Titik-titik merah menandai lokasi para sisa anak buah Morelli dan Vasquez yang masih berkeliaran. Beberapa di antara mereka sudah melarikan diri ke luar negeri, tetapi sebagian kecil masih bertahan, berusaha mencari perlindungan.Lucas menghela napas panjang. Satu langkah lagi, dan ini semua akan selesai.Pintu ruang kerja terbuka tanpa ketukan. Stefan masuk dengan ekspresi tegas. "Semuanya sudah siap. Anak buah kita sudah berada di posisi masing-masing."Lucas mengangguk, lalu berdiri. "Bagus. Pastikan tidak ada celah bagi mereka untuk melarikan diri.""Kita juga sudah mengamankan jalur komunikasi mereka. Jika mereka mencoba meminta bantuan, pesan itu tidak akan pernah sampai," tambah Stefan.Lucas menyeringai kecil. "Kali ini, aku ingin memastikan mereka tidak punya tempat untuk kembali."Stefan menatapnya sejenak sebelu
Pagi menjelang dengan tenang di kediaman Lucas. Sinar matahari keemasan menyelinap melalui celah-celah jendela besar, menerangi ruangan dengan kehangatan yang lembut. Suara burung di kejauhan terdengar samar, berpadu dengan desiran angin yang berembus perlahan.Emma membuka matanya perlahan. Rasanya tubuhnya lebih ringan, meski masih ada sedikit nyeri di lengannya yang belum sepenuhnya pulih. Saat ia menggerakkan kepalanya, matanya langsung menemukan sosok Lucas yang masih duduk di sampingnya, menatapnya dengan ekspresi lembut."Kau tidak tidur?" suara Emma serak karena baru bangun.Lucas menggeleng pelan. "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."Emma tersenyum kecil. Ia tahu Lucas masih merasa cemas, tetapi ia juga tahu pria itu tidak akan mengatakannya secara langsung. Jadi, ia hanya meraih tangan Lucas dan menggenggamnya erat. "Aku sudah lebih baik. Kau tidak perlu terus mengkhawatirkanku."Lucas menghela napas, lalu akhirnya i
Malam telah larut ketika Lucas duduk di ruang kerjanya, menatap peta besar yang terbentang di atas meja. Wilayah kekuasaan yang sebelumnya dikuasai Morelli dan Vasquez kini sepenuhnya berada di bawah kendalinya. Namun, meskipun kedua orang itu telah ditangkap dan dihabisi, Lucas tahu bahwa masalah tidak berhenti di situ. Stefan berdiri di sampingnya, melaporkan perkembangan terbaru. "Beberapa anggota bawahan Morelli dan Vasquez masih bertahan. Mereka kehilangan pemimpin, tetapi tidak kehilangan ambisi." Lucas menghela napas. "Aku sudah menduga ini. Mereka tidak akan menyerah begitu saja." "Tepat," Stefan mengangguk. "Ada laporan bahwa sebagian dari mereka mencoba membentuk kelompok baru. Mereka masih belum cukup kuat untuk menantang kita secara langsung, tetapi jika dibiarkan, mereka bisa menjadi ancaman dalam beberapa bulan ke depan." Lucas menatap peta di hadapannya. "Siapa pemimpin mereka sekarang?" Stefan
Ruangan itu gelap dan dingin, hanya diterangi oleh satu lampu gantung yang menggantung rendah di langit-langit, memberikan cahaya redup yang membuat bayangan panjang di dinding. Bau debu bercampur darah masih terasa di udara, dan suara napas berat memenuhi keheningan.Di tengah ruangan, dua pria yang terikat pada kursi dengan tangan ke belakang tampak gemetar. Morelli dan Vasquez, dua pemimpin organisasi yang berani mengkhianati Lucas, kini tidak lebih dari bayangan diri mereka yang dulu.Lucas berdiri di depan mereka, mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang digulung hingga siku. Matanya dingin, penuh ketegasan. Ia tidak langsung berbicara, membiarkan ketegangan menggantung di udara, membiarkan ketakutan menyusup ke dalam tulang kedua pria itu.Stefan berdiri di sudut ruangan, mengamati dengan ekspresi santai, tetapi matanya penuh kewaspadaan. Beberapa anak buah Lucas berjaga di sekitar, memastikan tidak ada celah bagi Morelli dan Vasquez untuk melarikan diri.Akhirnya, Lucas menar
Suasana di dalam kastil terasa tegang. Para penjaga masih berjaga di berbagai sudut, memastikan tidak ada lagi penyusup yang berkeliaran. Stefan telah memerintahkan pembersihan menyeluruh, tetapi atmosfer tetap dipenuhi ketegangan.Di dalam salah satu kamar di sayap barat, Emma terbaring di tempat tidur dengan perban yang melingkari bahunya. Dokter pribadi keluarga Aldrin baru saja selesai membersihkan dan menutup lukanya.Meskipun bukan luka yang fatal, rasa nyeri masih terasa setiap kali Emma bergerak. Namun, yang lebih mengganggunya bukanlah rasa sakit itu sendiri—melainkan ekspresi Lucas.Ia berdiri di sudut ruangan, diam, dengan ekspresi yang gelap dan penuh kemarahan yang tertahan.“Lucas…” Emma memanggil pelan.Lucas tidak segera menjawab. Ia hanya menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba memastikan bahwa Emma benar-benar masih di sana, masih bernapas, masih hidup.Butuh beberapa saat sebelum ia akhirnya mendekat. Ia duduk d
Dunia seakan melambat saat suara tembakan bergema di luar kastil. Emma menatap keluar jendela dengan mata membelalak, napasnya tertahan melihat beberapa pria bersenjata yang mulai menyerbu area luar.Pelayan yang tadi bersamanya langsung menarik tangannya. “Nona, kita harus pergi! Ini berbahaya!”Emma tersentak dari keterkejutannya dan mengangguk cepat. Mereka berdua bergegas melewati koridor kastil yang panjang, tetapi baru beberapa langkah, suara ledakan kecil terdengar dari luar, mengguncang dinding-dinding kastil.Panik mulai menjalari tubuh Emma. “Lucas! Aku harus menemui Lucas!”“Tuan Lucas pasti sudah bergerak!” Pelayan itu mencoba menenangkannya, tetapi suara alarm yang mulai meraung di seluruh kastil membuat situasi semakin mencekam.Para penjaga segera bergerak, mengambil posisi untuk mempertahankan kastil dari serangan mendadak ini. Emma bisa melihat beberapa orang berlari menuju titik pertahanan, dan di tengah kekacauan itu, ia merasakan ketakutan yang luar biasa.Namun, s