hai semuanya, apa kabar? gimana bab kali ini? semoga menghibur ya!! || Perhatian!!!, novel ini hanya karangan dan imajinasi author. jadi jangan menganggap serius dan melakukan hal hal yang ada di dalam cerita ini secara sadar, karena itu akan membahayakan kamu dan orang di sekitarmu || terima kasih semuanya atas perhatiannya 😘😘😘.
Malam hari, salah satu sudut gunung agung. “Crak.” Suara retakan halus terdengar nyerah. Bersama dengan suara itu, sebuah batu besar hancur menjadi butiran-butiran pasir. Sementar itu sosok pemuda yang berada tepat di hadapan sebuah batu mulai tercengan. “Apa ini?” “Apakah ada yang salah dengan batu ini?” “I—ini tidak seperti apa yang aku pikirkan kan?” tanya Surya kebingungan Setelah berdebat dengan dirinya cukup lama, Surya memiliki pemikiran baru di benaknya. “Apakah itu mungkin?” Berjalan ragu ke arah sebuah batu di dekatnya. Surya mulai menunjukan posisi kuda kudanya kembali sebelum melambai. Sekali lagi tempat itu sunyi tanpa ada pergerakan apa pun di sekitar. “Ahhh, tampaknya aku terlalu berharap.” Kata Surya menghela nafas. Namun Ketika Surya hendak berbalik untuk pulang ke guanya. Suara kecil mulai terdengar. “Crack” Karena cukup familiar dengan suara itu, surya mulai berbalik kembali dan melihat sesuatu yang menakjubkan. Butiran-butiran pasir melayang dengan te
Di bengkel pandai besi milik datuk merah. Sekelompok orang sedang berdiri dengan canggung. Jelas mereka sedang dalam kondisi yang tidak nyaman. “Apakah kakek ini sungguh mengirimkan magang ini untuk bertemu dengan walikota?” Tindik hidung meledak marah dalam hati. Sementara itu temannya yang bertindik di telinga sedikit mengernyit. Dia jelas kesal terhadap perlakuan datuk merah. Namun datuk merah tidak bisa dibantah sama sekali. Dengan kepribadian datuk merah yang jujur, adil dan lugas, orang orang akan membelanya. Lagipula walikota tidak pernah di tempatkan di matanya pada awalnya. Lalu mengapa dia harus menunjukan kesopanan sekarang. Jelas datuk merah bukan orang sembarangan! Menghela nafas dalam dalam. Sosok tindik di telinga itu hanya bisa mengikuti apa yang sudah berjalan. Lagi pula mereka sudah berusaha sebaik mungkin. “Baiklah datuk merah, kami akan membawa anak ini untuk menjumpai wali kota,” kata bertindik telinga dengan pasarah. “Tapi- “ “Sudah, yang terpenting sekaran
Di depan pintu aula kantor walikota. Suara teriakan teriakan garing dan melengking mulai terdengar Ketika sejumlah beruk meloncat menerjang ke arah seorang pemuda. “Hahahah, ini sungguh penampilan yang menarik.” Tawa licik mulai bergema di dalam pikiran Rono. “Sial aku sangat senang anak ini dipermalukan, namun apa yang harus aku katakan ke datuk merah untuk dijelaskan.” Detak jantung Reno mulai meningkat Ketika semangat dan kecemasan bercampur aduk menjadi satu. Sementara itu, sosok Surya yang sebagai tokoh utama dari pertunjukan ini tampak diam membatu, tidak bergerak sama sekali. Ini membuat orang orang di sekitar yang bertugas hanya bisa menganggapnya aneh. Sementara itu sosok Rono hanya bisa melihatnya dengan jijik. Ketiga beruk itu semakin mendekat ke arah Surya. Lima meter... Empat meter... Tiga meter... Dua meter... “Ukkkkk ukkkkk ekkkkk ukkk.” Teriakan semangat beruk-beruk itu semakin melengking dengan frekuensi tinggi. Satu meter... Dan akhirnya kelompok monyet
Di depan aula kantor wali kota Dataran tinggi bagian barat Suma tara jiwa. Sekelompok orang tampak sedang berkumpul membahas sebuah masalah. “Ketika kami berpikir bahwa rencana kami berhasil karena bocah ini dia hanya mematung seperti boneka, namun siapa sangka bahwa tiba tiba para beruk mulai berhenti bergerak, dan mereka mulai terjatuh dengan teriakan meringis layaknya kesurupan.” Menjelaskan dengan sedikit tidak percaya. Setelah mendengar penjelasan dari orang yang bertanggung jawab atas insiden ini, sosok yang lebih muda dari kelompok karambia tampak marah melihat ke arah wali kota. jelas dia menanti pertanggungjawaban. Wali kota yang sadar akan tatapan kesal dari seseorang pun hanya bisa tertawa canggung. “Hahahah, ini hanya kesalah pahaman. Mari kita masuk untuk membuat masalah ini lebih nyaman.” Berusaha tersenyum ramah mengajak. “Uwuwuwuwu Ucup bangun uwuwuw.” Tangisan gadis dari kelompok keluarga karambia. Sosok yang lebih muda menatap gadis itu dengan sedikit prihatin
Di sebuah bengkel pandai besi milik seorang yang ada di kota dataran tinggi. “Tang!” “Ting!” “Tang!” Suara nyaring dari tabrakan benda logam pun memenuhi ruangan. Sosok kakek yang cukup enerjik sedang menempa sebuah pedang di hadapannya. Dia sangat berkonsentrasi dengan itu semua tampak sangat telaten dan bertekad. Suasana ruangan bengkel itu tampak sangat panas. Dengan memicingkan matanya sosok kakek tua itu mulai bergumam. “Tampaknya waktunya sudah siap untuk mulai.” Mengangkat pedang itu melihat detailnya dengan seksama. Datuk merah mulai meletakan besi setengah jadi itu ke dalam wadah berisikan air yang terlihat kental. Selanjutnya dia mulai menyiapkan beberapa barang secara teliti dari waktu ke waktu. Kini kakek itu sudah siap dengan seluruh hal yang akan digunakannya. Kakek itu duduk bersila menutup matanya dengan khusyuk. Setelah beberapa saat, sejumlah uap putih yang panas mulai merembes keluar dari pori pori kakek itu. Dia melakukan kegiatan itu cukup lama. ... Di
“Duar!” Suara memekakkan telinga terdengar di salah satu sudut kota dataran tinggi. “Datuk! datuk!” teriak Surya cemas. Dengan sangat prihatin, sosok remaja itu langsung menghampiri tempat datuk merah berdiri sebelumnya. Namun, sebelum dia bisa sampai tepat waktu ke arah yang ia tuju, sapuan energi panas mulai menerpa ke arahnya. Dengan energi itu membuat pandangan dalam bengkel yang awalnya misterius kini berubah menjadi terang dan jelas. Seorang lelaki tua tampak memegang sebuah benda di kedua tangannya dengan bertekad. Giginya yang putih sudah lama terkuak saat dia mencoba menyalurkan energi benihnya secara besar besaran. Surya yang melihat ke arahnya hanya bisa diam diam takjub. “ ... “ Tempat itu kini menjadi tenang setelah badai. Namun meskipun tempat itu menjadi tanpa suara, proses pembentukan pedang itu terus berlanjut. Serat serat yang ada di bilah pedang itu kini menyembunyikan setiap utas kata yang terukir di bagian itu. Prosesnya tidak terlalu cepat, namun jelas
Di Kawasan hutan yang gelap, seorang remaja sedang berjalan perlahan sembari memikirkan sesuatu. Remaja laki laki itu tampak sedikit bingung. Sosok pemuda laki laki itu adalah Surya yang hendak pulang ke guanya setelah seharian bekerja di bengkel datuk merah. Dia berjalan perlahan beberapa waktu hingga akhirnya indra surya yang sensitif mulai mendengar suara yang cukup riuh di salah satu sudut hutan gunung Agung. Tampak kesal, Surya langsung berlari ke arah suara itu dengan mengutuk. “Bandit bandit sialan ini, mereka selalu saja mengganggu di hutanku.” Berfikir akan menjumpai beberapa bandit acak, Surya malah menemukan sesuatu yang mencengangkan ketika dia sampai di sumber suara. Sekelompok orang misterius sedang mengepung dua wanita cantik yang tampak lemah. Saat kedua wanita itu benar benar terpojok, salah satu orang misterius mulai tertawa serakah. “Hahahah, mengapa kita sangat beruntung? Kita tidak sempat untuk bermain dengan perempuan karena tugas kita. Tapi mereka malah m
Di dalam hutan yang gelap, hiruk pikuk yang cukup kacau terjadi di area itu. sekelompok orang misterius melihat ke arah seorang pemuda dengan tatapan aneh dan tidak percaya. “Pralaya?” “Bagaimana pedang Pralaya bisa bersamamu?” tanya seorang yang tampak berpengaruh di kelompok misterius itu. Di sudut lain sosok pemuda yang mendengarnya tak lain adalah Surya. dia juga tampaknya sedikit bingung tentang apa yang terjadi. “Lagi, sudah beberapa kali orang mengenali pedang jelek ini,” kata Surya bingung dalam hati. Sementara Surya sedang berpikir, keheningan terjadi karena pihak lain menantikan jawaban dari Surya. Melihat Surya yang tampak sedikit berpikir. pemimpin kelompok orang misterius itu hanya bisa menebak-nebak. Ada banyak spekulasi yang terjadi di pikirannya. “Penjagal kida, sudah lama tidak melapor ke atasan.” Melihat ke arah pedang pralaya dan Surya, dia mulai bergumam lagi dalam hati. “Beruang bodoh itu tidak mungkin berkhianat karena pedang itu. jika begitu ...” wajahn