"Tunggu dulu!"
Suara bariton seorang pria tepat terdengar di belakang telinga Adley. Deru napas tersengal dan hembusan napas dari pria itu juga membuat bulu-bulu halus di belakang leher Adley bergidik merinding. Adley langsung memutar tubuhnya dan melihat Kael berdiri tepat di hadapan Adley.
"Kael!" seru Adley dengan terkejut.
"Dari mana?" Kael tampak tersenyum padanya.
"Ada urusan."
Kael tersenyum kembali ke arah Adley. "Kenapa kau terus tersenyum padaku? Apa ada sesuatu di wajahku atau ...,"
"Tidak."
"Lalu?"
"Tak ada apa-apa. Aku hanya bahagia."
"Bahagia? Syukurlah kalau kau bahagia, Kael." Adley menguraikan senyum manisnya dan jemarinya berniat ingin menarik gagang pintu di depannya. Tiba-tiba ....
"Teonna, jangan masuk!" Kael mengenggam jemari Adley tiba-tiba.
"K--Kael!" seru Adley sambil menunjukkan ekspresi terkejut atas sikap Kael.
"Teonnaaa ...," Kael langsung mendekatkan wajahnya dan hawa panas sangat terasa menyelimuti wajah Adley bak sauna. Tak hanya itu, Kael juga sedikit mendorong tubuh Adley hingga mundur beberapa langkah dari pintu putih itu.
"Kael! Apa maumu!?" pekik Adley langsung memegang tangan Kael dan ....
"Astaga, Kael! Tanganmu ...,"
Tak lama, Adley memindahkan tanganya ke kening Kael dan membelalakkan matanya.
"Kau sakit!" ucapnya.
"A--aku tak sakit. Aku baik-baik saja." Kilah Kael mulai sempoyongan dengan mata mulai menyipit namun masih bisa tersenyum.
"Kael! Kael! Hei, sadarlah!" Adley menepuk-nepuk pelan pipi Kael, namun ....
BRUK!!
Seketika tubuh Kael langsung tersungkur dan jatuh ke lantai granit hitam nan dingin.
"KAEL! KAEL! KAEL!" teriak Adley kembali menepuk-nepuk pipi Kael sedikit lebih kencang.
Tak ada jawaban, Adley segera menggedor-gedor pintu masuk di depannya dengan kencang.
"Siapa pun yang ada di dalam! Cepat buka pintunya!" Teriak Adley sembari memapah Kael yang pingsan.
Tak ada jawaban. Adley terus menggedor-gedor pintu megah nan besar itu beberapa kali hingga ....
"Ah, N--Nyonya Muda,"
Seorang asisten rumah tangga Keluarga Graciano segera membukakan pintu dan menundukkan kepalanya.
"APA KAU TULI, HAH! BERAPA KALI LAGI AKU HARUS MENGGEDOR PINTU SIALAN INI AGAR KAU DENGAR!" emosi Adley seraya mendelikkan matanya.
"M--maaf, Nyonya. Tadi--tadi ...,"
"Jangan banyak omong! Cepat bantu aku!"
"T--Tuan Muda!" sang asisten rumah tangga itu terkejut melihat Kael tengah terkapar pingsan.
"Cepat, bantu aku!"
"B--baik." Adley dan sang asisten rumah tangga memapah Kael yang tergolek pingsan dan membaringkannya di sebuah sofa hitam legam sembari membuka satu per satu kancing bajunya.
"Bawakan aku sekantong es batu balok, sekarang!" tegas Adley sembari menggulung lengan panjang kemeja putihnya yang telah ia ganti sebelumnya.
"Nyonya, ini." Sekantong es balok kini ada di tangan Adley dan langsung ia tempelkan di dahi Kael yang panas bak gunung berapi.
"Saya akan memanggil Dokter John." Sang asisten rumah tangga itu langsung beranjak menuju telepon di samping kiri pintu keluar dapur kediaman Graciano.
"Siapa Dokter John?" tanya Adley sedikit mengencangkan suaranya.
"Dokter pribadi keluarga Graciano, Nyonya." Jawab asisten itu dan segera menekan angka-angka yang tertera di papan telepon warna pastel itu.
'Panas sekali, apa yang terjadi? Sepertinya dia masih baik-baik saja ketika kami bertemu tadi.' Gumam Adley terus menempelkan es batu tersebut di dahi Kael.
***
Selang beberapa menit kemudian, seseorang terdengar mengetuk pintu kediaman Graciano. Dengan langkah cepat, sang asisten membuka pintu putih megah tersebut dan tampak di hadapannya seorang pria berusia sekitar 30-an dengan kemeja blue navy serta celana model slim fit warna hitam, rambut panjang bergelombang seleher yang digerai serta kacamata dengan frame tipis yang menutupi blue ice miliknya.
"Dokter John! Anda sudah datang, mari masuk, cepat Dokter!" asisten rumah tangga itu segera mengarahkan John ke tempat di mana Kael dibaringkan.
"Nyonya, Dokter John sudah datang."
John dan Adley bertemu 'tuk kali pertama dan John, tanpa membuang banyak waktu langsung melihat kondisi Kael dan memeriksa denyut nadi, napas juga jantungnya.
"Bagaimana? Apa yang dialami oleh Kael?" tanya Adley berdiri di sebelah John.
John bergeming.
"Sudah berapa lama Tuan Muda seperti ini?" tanya John dengan bariton dalam.
"Baru saja. Ada apa? Apa ada masalah?" Adley semakin penasaran.
"Tak ada. Tuan Muda hanya kelelahan. Saya akan menyuntikkan beberapa vitamin yang biasa saya gunakan untuk menyuntikkan Tuan." Jelas John sembari membuka bungkus jarum suntik dan memberikan suntikan vitamin C pada tubuh Kael.
"Lalu bagaimana eengan panasnya? Apakah akan berefek luas?" tanya Adley lagi sembari memperhatikan nama cairan yang diberikan John untuk Kael.
"Saya akan memberikan beliau resep obat yang biasa saya berikan. Anda ...." John melihat Adley dan berkata, "Saya belum pernah melihat Anda. Siapa Anda?"
"Saya ...,'
"Dia istriku!"
Mezzo-sopran seorang laki-laki dengan langkah kaki lantang dan tegas menuruni anak tangga yang terbuat dari granit abu-abu melihat ke arah mereka berdua.
"Oh, Tuan Cleon. Apa kabar? Lama tak berjumpa," sapa John tersenyum.
Cleon hanya memasang wajah dingin dan datar dan menghampiri keduanya. Melirik ke arah Kael, Cleon dengan seringainya berkata, "Inilah balasan Tuhan untuk seorang yang TAMAK DAN SERAKAH SEPERTI DIA!" ucapnya dengan penekanan kata-kata yang lantang dan tajam.
"Apa maksud Anda, Tuan Cleon?" John menaikkan kacamatanya yang turun sedikit mengenai tulang hidungnya yang mancung.
"Bukan urusan Anda, Dokter. Lebih baik sembuhkan saja pasien tercinta Anda ini!"
Cleon tak banyak bicara panjang lebar dan langsung meninggalkan mereka bertiga. Adley semakin yakin jika ada sesuatu yang tak 'biasa' dengan keluarga ini.
"Maaf, Dokter. Tadi Anda bilang Anda biasa memberikan resep obat pada Kael. Apa dia ...," Adley menghentikan kata-katanya.
"Maaf, saya tak bisa mengatakannya, Nyonya Cleon ...,"
"Teonna"
"Apa?"
"Panggil saya Teonna saja. Tak perlu ada tambahan Nyonya. Karena itu sangat mengganggu di telinga saya," jelas Adley sembari tersenyum.
John hanya membalas dengan senyum tipis nan manis.
"Tuan Kael telah tidur. Saya juga telah menyuntikkan cairan untuk penghilang panasnya serta vitamin untuk rasa lelahnya." Jelas John membereskan peralatannya.
"Apa saya boleh tahu kenapa Anda mengatakan 'resep obat biasa'?"
Salah satu tangan Adley disembunyikan di balik celana skinny jeans hitam miliknya yang telah ia selipkan alat perekam berbentuk mikrochip. Dengan mengulas senyum tanpa dosa, Adley mulai 'menginvestigasi' dokter muda nan tampan itu.
"Bagaimana jika saya menjamu Anda dengan secangkir teh lemon yang hangat, Dokter?" tawar Adley.
"Terima kasih, Nyo--Teonna. Tapi maaf, saya masih ada pasien yang harus segera ditangani." Balas John menundukkan kepalanya sedikit dan beranjak keluar dari kediaman keluarga Graciano.
"Benar-benar dokter yang dingin!" ucap Adley menyeringai.
****
Malam itu, entah mengapa Adley memiliki niat untuk menjaga sang adik ipar. Tak terbesit di benaknya untuk memulai misinya. Seharusnya ini adalah kesempatan yang bagus baginya untuk menggeledah isi rumah besar ini. Sementara Cleon pergi dan sang kepala keluarga entah pergi ke mana. Namun Adley urung melakukannya. Dia malah duduk di samping Kael dan terjaga sepanjang malam. Menemani layaknya seorang istri menemani sang suami yang sedang terkapar tak berdaya.
Adley juga kerap memeriksa suhu tubuh Kael yang belum stabil. Ekspresi kekhawatiran jelas-jelas tampak di wajah cantiknya. Sikap Adley yang 'tak biasa' itu ternyata diam-diam diawasi oleh kepala rumah tangga keluarga Graciano, Jeff.
Keesokan paginya, Kael yang telah membuka mata terlebih dahulu melihat Adley tengah duduk di sofa kecil sebelah dirinya terbaring. Dengan selimut yang masih menutupi tubuhnya, Kael membuka pelan mata besarnya, memegang kepalanya yang masih terasa pusing dan mata yang memyeloroh ke langit-langit rumahnya.
Netra biru laut itu kini beralih ke sebuah kaki panjang jenjang yang dilipat menyilang di sofa sebelah tempat ia tidur. Dengan mata yang masih agak berat, Kael melirik ke atas dan mendapati seorang wanita cantik dengan rambut dark-brown red bergelombang tengah tertidur pulas di sofa tersebut. Kael tanpa sadar mengulas senyum tipis di wajahnya. Senyum manis layaknya suami yang merindukan kasih sayang, kekasih yang merindukan belaian dan pelukan hangat. Seperti itulah yang Kael rasakan saat ini.
Dirinya pun berdiri dari sofa itu, perlahan. Tak ingin membangunkan Adley, dia melipat selimut dan merapikan bantalnya dengan hati-hati. Netranya tak dapat berpaling dari wajah cantik Adley. Meskipu sedang tidur, namun kecantikan alami yang dimiliki Adley benar-benar membuat buta hati Kael.
"Kenapa kau menolongku? Kenapa kau harus menikah dengan kakakku? Kenapa kau harus datang ke Blue House dan bekerja di sana? Kenapa ... kenapa ...." ucap Kael perlahan tepat di wajah Adley. Jarak wajah mereka yang hanya terpaut beberapa inci membuat Kael menelan saliva-nya dalam-dalam. Matanya menatap intens wajah cantik Adley dan tanpa sadar, tangannya menyentuh wajah Adley dan merasakan kelembutan pipi oval wanita cantik itu.
Kael hanya terus memandang Adley yang tengah tertidur pulas dan beberapa saat kemudian dia berdiri dan segera beranjak dari hadapan Adley.
Tak disangka, Kael yang mengira Adley masih tertidur pulas, ternyata membuka matanya dan melihat siluet Kael pergi dari hadapannya.
'Benar, kenapa aku harus menolongmu? Kenapa aku harus bersusah payah menghabiskan energi dan waktu untuk menjagamu? Apakah itu karena ...."
BRAKKKKK!!
BRAAAKKKK!! Adley langsung terbangun dari tidurnya dengan terkejut, begitu pula Kael yang langsung berjalan menghampiri sumber suara. Mata Adley dan Kael saling bertemu, keduanya langsung menuju pintu utama kediaman Graciano dan alangkah terkejutnya mereka berdua ketika melihat apa yang terjadi di depan mereka! "Cleon!" Teriak Kael menghampiri mobil sang kakak yang menabrak pohon palem di halaman depan mereka. Sontak, Kael dan Adley langsung menghampiri mobil yang dikemudikan Cleon dan melihat Cleon dalam keadaan pingsan. Beruntung, dia tak mengalami keadaan yang lebih parah karena ditopang oleh air bag yang ada di kemudi stirnya. Kael, Adley, serta beberapa asisten rumah tangga Graciano segera datang dan menolong sang tuan muda dan membantu tubuhnya keluar dari mobil yang mengalami ringsek cukup parah di bagian depan. "Cepat, hubungi John! Cepat!!" terial Kael seakan membentak. "B--baik, Tuan." Salah satu asisten
Kediaman Dangelo Cayson Vroom ... vroom ... vroom Suara knalpot motor balap warna hitam dengan veleg krom yang dikendarai oleh seorang wanita berhenti di depan mansion Dangelo Cayson. Boot hitam dengan kostum layaknya cat woman menempel dengan indah di tubuh seorang Massimo Moratti Ambrosini. Seorang model kenamaan Italia dan juga kekasih Dangelo Cayson. Derap sepatu boot yang nyaring dan melengking terasa menggema di mansion benuansa gaya victoria itu. Amber berdiri di depan sebuah cermin yang besar. Lama menatap dirinya, Amber kemudian berkata, "Aku tak pernah membiarkan satu ekor lalat pun menghinggapi makananku! Akan kusingkirkan mereka, atau jika harus ... akan kubunuh lalat itu!" Sepasang tangan kekar besar serta urat-urat di tangan yang terlihat seakan menyeruak keluar ditambah bulu-bulu lebat di sekujur tangan kekar itu membuat sensasi nikmat bagi Amber kala tubuh seksinya disergap dari belakang oleh Dangelo Cayson. Wanita yang telah men
PLAK!!! Sebuah tamparan keras mendarat dengan mulus di wajah flawless Sabrina. Dangelo terkejut dengan sikap wanita blonde-nya itu dan langsung menarik tangannya. "Apa yang kau lakukan, Amber? Kenapa kau menampar Sabrina tanpa alasan yang jelas?" Dangelo menaikkan volume suaranya. "Tanpa alasan yang jelas!?" Amber lalu menunjuk wajah Sabrina yang memerah menahan panas akibat tamparan kerasnya. "Jalang ini! Kenapa bisa dia ada di sini? Dan kenapa kau tiba-tiba memerlukan sekretaris pribadi!? Apa aku tak cukup, Dangelo?" Sabrina menahan emosinya sembari melirik ke arah Amber dengan tatapan tajam dan tangan sebelah mengepal kencang. "Kenapa kau melihatku begitu? Apa kau marah, hah? Apa kau tak terima dengan tamparanku? Apakah sebegitu sakitnya tamparanku?" tanya Amber mulai melangkah menghampiri Sabrina. Sabrina hanya tertunduk, menahan emosinya dan menelan saliva-nya dalam. Seakan ingin balik menampar wanita yang berdiri dengan ang
"Apakah dari awal kau sudah menginginkan Blue House, Kael?" tanya Adley penasaran. "Jika kujawab ya, bagaimana menurutmu?" 'Dia bukan seperti Kael yang aku kenal sebelumnya.' Adley bergumam sembari menatap pria yang akan menjadi laki-laki dewasa di depannya itu. "Kenapa diam?" tanya Kael. "Kurasa saat ini kau tak tepat berkata begitu. Lagipula, Blue House sudah ada di tanganmu. Dan sekarang Cleon, kakakmu sedang terbaring di rumah sakit. Apa kau masih bisa berdiri dengan mendongakkan kepalamu?" "Cleon, dia ...." Kael lagi-lagi tak meneruskan ucapannya. "Kael, jika kau ingin bicara, bicara saja! Jangan selalu menggantungkan kata-kata!" kesal Adley. "Ada hal yang harus aku urus. Tolong jaga kakakku." Kael segera meninggalkan kamar Cleon seraya melirik sedikit ke arah sang kakak. Sementara Adley hanya termangu melihat sikap duo Graciano bersaudara yang layaknya bukan seperti kakak-adik. Setelah Kael pergi, Adle
Blue House Club Kael yang saat ini menjadi pemimpin sekaligus pemilik Blue House tengah berada di ruangan yang dulu milik sang kakak. Netra biru lautnya menyeloroh setiap bagian ruangan yang belum berubah sama sekali. Gelas-gelas wine serta beberapa minuman alkohol maaih terpampang di etalase kaca dan kulkas mini ruangan itu. Dengan setelan tuksedo lengkap, Kael merapikan kembali penampilannya dan melihat dirinya di sebuah cermin yang berujuran sedang sambil berkata, "Aku tak ingin selalu berada di bawah bayang-bayangmu. Kini aku memiliki apa yang aku inginkan dan tak akan kulepaskan, meskipun nyawa taruhannya!" Tok ... tok ... tok ... "Masuk!" "Tuan, semua persiapan telah selesai." Salah satu pegawai Blue House menghadap Kael. "Hnn. Panggil Maddy ke sini." "Baik." Tak lama kemudian, seorang wanita cantik dengan berbusana mini warna gold dengan renda serta anting besar dan rambut ditata menyamping datang menemui K
Sabrina langsung melumat bibir Kael di depan banyak orang! Kael yang sangat terkejut dengan wanita yang tak dikenalnya itu langsung mendorong dengan kasar hingga terjatuh. Entah dari mana sekelompok paparazi tiba-tiba datang dan mengambil foto Kael ketika mendorong tubuh Sabrina hingga terjatuh. "Dari mana sampah paparazi itu datang, hah!?" bentak Kael pada pegawainya. "B--baik, Tuan. Akan segera kami bereskan!" Para petugas keamanan Blue House langsung mengambil kamera paparazi itu dan mengusir mereka dari Blue House. Sontak, acara yang seharusnya menjadi malam yang menyenangkan bagi Kael harus berubah menjadi bencana tatkala ia menerima 'sesuatu' di luar dugaannya. "Paparazi itu ...," Amber melirik Dangelo. Dangelo hanya tersenyum sinis dan membalikkan tubuhnya meninggalkan Blue House. Amber yang melihat bagaimana Sabrina diperlakukan oleh Kael tersenyum puas dan tak lama mengikuti Dangelo keluar Blue House. "Siapa kau!?" tanya Kael
"Jadi, kapan kau akan membuka jalur sutera di Blue House, Sayang?" tanya Amber seraya menyandarkan kepalanya di bahu datar Dangelo. "Sabar, Sayang. Kita nikmati saja dulu suasana tenang ini. Aku ingin lihat kelinci yang telah kita beri makan, apakah akan bisa menjerat para kelinci jantan di luar sana." "Lalu Sabrina?" "Kenapa Sabrina?" tanya balik Dangelo. "Apa yang kai inginkan darinya? Kenapa dia harus ada bersama kita? Dan lagi, kenapa kau menerimanya sebagai sekretaris pribadimu? Bukankah aku cukup untuk menemani dan memuaskanmu!?" Amber spontan mengangkat kepalanya dari bahu Dangelo dan menatap tajam lelaki di sebelahnya "Kau ... cemburu?" pancing Dangelo. "Tentu saja aku cemburu! Lagipula ada sesuatu yang tak aku senangi dari dirinya!" sinis Amber melihat sang kekasih. "Haha, Sayang, you're just being jealous. Apa kau pikir aku benar-benar menyukainya? Bukankah sudah kukatakan berulang kali dia hanya ump
"Lyn, bagaimana? Apa Adley menghubungimu?" tanya Ignacio / Iggy sedikit menaikkan volume suaranya dari ruangannya. "Belum, Pak. Adley sama sekali belum mengabarkan apa pun," jawab Lyn lugas. "Kabari aku segera jika dia telah menghubungimu!" "Baik, Pak." Segera, Lyn berdiri dari kursinya dan mencari tempat yang aman untuk menghubungi Adley. Dengan was-was dan suara pelan, Lyn mencoba menghubungi Adley namun tak ada jawaban. "Adley ... Adley, ke mana dirimu--" Berulang kali menghubungi, berulang kali pula tak ada jawaban. Lyn kemudian memeriksa berita mengenai Adley yang pernah menjadi viral di media online, "Aneh! Kenapa tiba-tiba beritanya hilang?" gumam Lyn sambil membuka beberapa situs berita terkenal dan mencari berita tentang Adley. "Benar-benar aneh! Semua berita tentang Adley hilang! Siapa yang memiliki kuasa begitu besar hingga mampu menghapus berita tentang Adley hanya dalam waktu singkat?" pikir Lyn. Drrt
Adley yang memarkir mobilnya di sebuah taman kota tengah Kota London, langsung menyelasar tempat itu dengan teliti. Suasana yang tak begitu ramai memudahkan netranya menemukan target yang ia cari. "Bingo, gotcha!" Ucapnya langsung melangkah cepat menghampiri kerumunan sekelompok remaja yang tengah bergumul dan menenggak bir lokal sambil bernyanyi-nyanyi. "Selamat malam, Tuan-tuan. Apa aku menggangu pesta kalian?" Tanya Adley tersenyum di hadapan para pemuda tanggung tersebut. "Hey, babe. Apa kau datang ke sini untuk memanaskan malam kami?" tanya salah seorang di antara mereka sambil tertawa lebar. "Anggap saja begitu, Tuan." Jawab Adley sembari mengamati ketujuh remaja itu. "Hei, teman-teman! Sepertinya malam ini akan menjadi malam 'panas'. Hottie ini akan menjadi tungku kita." Ucap remaja itu lagi tambah tertawa lebar. Di saat para remaja tanggung itu tertawa lebar, netra Adley langsung menangkap visual salah satu di antara mereka yang berusa
"Tuan Cleon!" Seorang wanita dengan dress one-shoulder hitam di atas lutut dan ketat serta anting-anting besar di kedua telinganya menyambangi Syden dan Cleon yang tengah minum di depan meja bartender. "Sst ... sst." Senggol Syden ke siku Cleon. "Benar, ternyata ini Anda! Tuan, bagaimana kabar Anda? Sudah lama sekali Anda tak datang ke sini." Wanita itu, Mady mengulas senyumnya lebar dan sesekali melirik Syden. "Hi, Nona. Siapa nama Anda?" tanya Syden tersenyum tipis sambil menatap genit Mady. "Madeleine. Panggil saja aku Mady, Tuan ...," "Syden. Itu namaku." "Syden? Bukankah Anda model terkenal itu, Anda yang sering berada di halaman depan majalah pria, Famous Magazine? Dan juga, anak seorang perancang tas ternama, Lilith Jude?" tanya Mady terkesiap. "Itu ..." Syden hanya tertawa sembari menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tak gatal. "Mau apa kau kemari?" Cleon menyela mereka dengan nada dingin. "S-
Kring ... kring ... kring Ponsel dengan volume dering nyaring terdengar di salah satu kantong jaket jenis hoodie milik seorang pemuda plontos dengan piercing telinga sebelah kanan. Pemuda yang tengah asyik minum dengan beberapa orang teman wanitanya di sebuah kafe pinggir Kota London mengacuhkan panggilan yang datang dari seseorang yang paling ditakutinya. "Brengsek! Bajingan! Cari mati dia!" Adley yang tampak kesal langsung menuju parkiran Blue House dan membuka pintu mobil sport merahnya. Kring ... kring ... kring Kali ini giliran ponsel Adley yang berdering. "Rupanya masih mau hidup dia, hah!" ucap Adley membuka kunci password gawainya dan matanya terbelalak ketika tahu siapa yang sedang menghubunginya. Beberapa menit Adley mendiamkan panggilan itu. Kini dia membisukan ponselnya dan hanya menggetarkannya, wajah kesal Adley semakin bertambah dengan panggilan masuk yang baru saja datang ke ponselnya. 'Mau apa orang
Wanita itu merendahkan tubuhnya, mensejajarkan tingginya dengan duduk di seberang meja Daria."A-Anda ... Nona Teonna!" serunya.Adley hanya mengulas senyum ramah. "Apa kabar? Kau kenal aku?" tanya Adley sok jual mahal."Eh, itu ...," Daria tampak tersipu malu menundukkan kepalanya."Hahaha, tenang saja. Aku hanya bercanda. Tapi, dari mana kau tahu namaku dan bagaimana kau yakin jika aku adalah Teonna?""Hanya menebak."Teonna mengulas senyumnya. Dia melihat wanita muda nan cantik dengan wajah eksotis itu terkesiap. "Kau itu cantik, apa kau tahu?" seloroh Adley menatap Daria lekat.Tersipu malu dan terkejut, dia membalas, "Terima kasih, Anda juga terlihat sangat cantik bahkan layaknya anugerah dewi Athena.""Hahaha, Athena, ya ... bijak dan adil. Tapi sayangnya, aku tak sebijak dan seadil dia." Ucap Adley tersenyum lepas. "Oh, ya ngomong-ngomong Daria, dari mana asalmu kemarin?""Uzbekistan, Nona.""Ah, ya.
"Bagaimana jika kita mainkan permainan yang kau mainkan sebelumnya?" bisik Cleon di telinga Adley."A--apa maksudmu?" Adley terkesiap dan memandangnya."Apa kau pikir aku tak tahu, hah! Kau yang akan mendapatkan keuntungan jika aku bekerja sebagai CEO di perusahaan keluarga! Sementara aku bekerja, kau bisa bebas dan leluasa bertemu dengan saudaraku!"Adley hanya terdiam, 'Kupikir dia curiga akan apa,' gumam Adley menatap datar ke arah sang suami."Kenapa diam? Benar begitu, kan?" tanya Cleon lantang.Adley menyeringai. "Kenapa kau senyum seperti itu? Apa yang lucu, hah?""Sejak kapan kau mulai memperhatikan gerak-gerikku, suamiku? Apa kau ... cemburu?" seloroh Adley."Jangan gila! Kita menikah tanpa cinta, tanpa mengenal satu sama lainnya, dan kini kau bilang aku cemburu? Sinting kau!""Benarkah? Jika kau memang tak ada rasa cemburu, berarti aku bebas mau pergi ke mana dan dengan siapa. Sekarang ... lepaskan tanganmu!" pe
"Aku menikahi Lucas karena satu alasan!" "Apa?" "Balas dendam!" "Apa!?" **** 'Jangan kau kira bisa lari dariku, Lucas! Aku tahu apa yang sedang kau lakukan di belakangku! Kali ini, aku tak akan membiarkan hal itu menimpa pada putriku! Nyawa pun akan kuberikan demi melindunginya.' Kediaman Graciano Mini dress warna hitam nan seksi dipilih Adley sebagai 'pembuka' untuk menyambut kedatangan sang 'suami'. Eyeliner yang tajam ditambah riasan nude dan pemerah bibir yang sangat mencolok, membuat Adley menunjukkan sisi yang lain dari dirinya. Kecantikan yang paripurna! Begitulah kiranya yang bisa menggambarkan sosok Adley Britta Calla. "Hmm, seharusnya ini bisa membuat pria itu 'jatuh cinta' denganku. Tapi kenapa sulit sekali menaklukkan Gunung Kilimanjaro, huh." Tin ... tin ... tin .... Adley melihat jam dinding yang terpasang di kamar utama mereka, "Pukul delapan, it's time for show!" Ucapnya setelah selesai m
"Kita akan lakukan black conspiracy!" Senyum tipis di bibir atas Cleon terlihat samar namun ekspresi yang menyiratkan 'ada sesuatu' tampak dengan jelas tergambar di wajahnya. "Maaf, Pak. Tapi apa itu black konspirasi?" tanya salah satu dari mereka. Cleon hanya terdiam menanggapi pertanyaan salah satu pegawainya. Ia malah mengambil telepon yang ada di meja kerjanya dan menghubungi Stacy. "Stacy, ke ruanganku. Sekarang!" [Baik, Pak.] Tok ... tok ... "Masuk." "Pak, Anda memanggil saya?" tanya sang asisten pribadi, Stacy berdiri di antara pegawai lelaki yang dipanggil Cleon. "Kalian, keluarlah! Ada yang ingin kubicarakan dengan asisten baruku ini," titah Cleon melirik Stacy. "Baik, Pak." Kini hanya tinggal Stacy dan Cleon yang ada di ruangan itu. Cleon berdiri menghampiri Stacy, memutarinya dan berkata, "Aku memiliki sebuah misi untukmu!" "Misi? Misi apa, Pak?" tanya wanita itu de
"Apa kau mau menggantikan posisi suamimu di perusahaaan yang ia pegang saat ini? Dan buat seakan itu sebagai suatu 'kecelakaan'?" Sebuah pernyataan yang entah dari mana atau siapa yang mengatakannya pada Kael, hingga dia bisa berkata seperti itu. Adley yang telah keluar dari Blue House dan menuju parkiran. Dirinya tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang mahasiswa hukum bisa mengatakan hal seperti itu! Jemari lentik nan panjang terawatnya mengetuk-ngetuk stir mobil yang semakin lama semakin kencang ketukannya, gemas juga cemas! Irisnya menyeloroh ke depan kaca mobilnya dan tiba-tiba, ia melihat Dangelo juga Amber keluar dari sebuah restoran yang berseberangan dengan Blue House. Dengan tawa lebar, sang wanita terus menggelayuti lengan Dangelo bagai lem kayu. Dan sang pria, tampak menikmati tawa lepas sang wanita. "Sudah kuduga! Mereka bukanlah klien 'biasa'! Siapa sebenarnya dua orang ini?" ucap Adley melihat keduanya bersiap akan meninggalkan tempat tersebut.
"Apa aku mengganggumu, Tuan Kael?" Suara bariton Dangelo membuat Kael terkejut dan segera merapikan pakaiannya. Dangelo hanya tersenyum satu garis menarik bibir atasnya melihat perbuatan Kael dengan salah satu 'kelinci putih' miliknya, Audrey. Dangelo melirik Audrey yang hanya mengenakan pakaian yang ada di bagian dalam tubuhnya dan terlihat kikuk di depan sang majikan. "Apa saya mengganggu Anda?" tanyanya sekali lagi. "Keluarlah, aku ada urusan." Perintah Kael seraya menepuk pelan bahu Audrey. Audrey dan Dangelo saling bertatap pandang, Dangelo mengangguk seakan memberi tanda padanya, "Ada apa, Tuan Dangelo? Kenapa Anda tiba-tiba datang ke sini tanpa memberitahu?" tanya Kael yang telah selesai berpakaian. "Jika saya memberitahu Anda, maka saya tak akan pernah tahu kelakuan seorang mahasiswa teladan universitas terkenal di negara ini dan juga seorang CEO dari tempat terkenal." Seloroh Dangelo dengan pandangan seakan memandang rendah Kael.