POV Farabi part 2
Lamaran“Zafran!”Aku memandang Zafran yang berdiri dengan dada naik turun. Aku tak percaya kalai adikku sendiri berbuat seperti itu padaku hanya karena seorang wanita. Aku mendekatinya, meminta Zafran untuk tenang dan membicarakan masalah kami dengan kepala dingin. Namun, apa yang kudapat, ketika hendak memegang bahunya, pria itu justru menghalauku menyentuhnya.“Jangan sok baik kamu Farabi!” Mata adikku itu merah. Memperlihatkan amarahnya yang tak terkendali. Aku tahu dia sangat kecewa dengan keputusanku menikahi Deema. Aku juga tahu, melihat Deema berada di sampingku kelak, dia akan lebih sakit.“Kalau kamu ingin aku tenang, urungkan niatanmu untuk menikahi Deema. Aku mencintainya. Aku tak bisa melihatnya berada di sampingmu.” Pria itu mengacak rambutnya kasar.“Bagaimana dengan Deema? Apa dia bisa melihatmu bersama Namira? Setelah apa yang kamu lakukan pada wanita itu kamuMalam itu semua tampak sibuk. Sibuk merias diri agar terlihat pantas pada acara lamaran yang segera terjadi.Mbak Darsi pun bekali-kali ke luar masuk rumah. Bukan tanpa alasan. Wanita itu sibuk memasukkan hantaran yang akan dibawa ke rumah Deema.Dari cincin, pakaian, tas, sepatu, dan banyak lainya sudah dibungkus dan dihias rapi. Ada juga buket bunga uang.Aku yang sudaah siap dengan kemeja berwarna abu-abu berdiri memandang Mbak Darsi. Ingin membantunya tapi wanita itu menolak. Akhirnya aku hanya mengambil buket uang dan cincin. Aku berkata padanya ingin membawanya sendiri.“Bagaimana, Bi? Apa kamu suka?” tanya ibuku yang baru saja keluar dari kamarnya. Wanita mengenakan gamis brokat berwarna cokelat muda itu berjalan mendekatiku. Beliau ikut memandang hantaran yang sedang dipindahkan ke mobil oleh Mbak Darsi. Walaupun usianya sudah tak muda lagi, tapi Ibu memiliki jiwa muda. Dia selalu mengikuti tren masa kini. Aku pun mengangguk.“Papa.
“Bagaimana para saksi, sah?”Sah!Doa menggema di setiap sudut rumah. Hari ini adalah acara pernikahanku dengan Pak Farabi. Sesuai dengan permintaanku, acara ijab dilakukan secara sederhana. Hanya dihadiri dari dua keluarga saja.Bukan tak mau menerima tawaran kedua orang tua Pak Farabi, tapi memang aku ingin acara sederhana saja. Apalagi aku bukan gadis lagi. Aku tidak mau jadi bahan cemooh para tetangga. Apalagi pernikahanku dengan Pak Farabi hanya sekedar balas budi atas bantuan yang diberikannya.Sejenak aku memandang Pak Farabi yang sedang menengadahkan tangan. Setelah ya aku kembali menundukkan pandangan. Dalam hati aku berdoa. Walaupun tak ada cinta di hatiku untuknya, semoga saja pernikahan ini akan langgeng hingga maut memisahkan. Semoga juga Zafran tak menjadi duri dalam pernikahan kami.Usai semua prosesi selesai, aku meraih tangan Ayah, menciumnya takzim. Bersamaan itu, air mataku berurai. Rasanya begitu berat untuk meninggalkan
Padahal pria itu sangat baik dan lembut. Dia berbeda dengan Mas Bhanu. Dulu pria itu yang memintaku duluan untuk melakukan hubungan suami istri. Walaupun awalnya aku menolak karena masih merasa takut. Pria itu merayu dan menegaskan kalau sudah kewajibanku melakukannya.Aku berharap seiring berjalannya waktu, rasa cinta akan tumbuh dengan sendirinya.***“Loh kenapa kalian sudah pulang? Masih sisa satu hari lagi kan?”Aku mendekati ibunya Pak Farabi dan mencium tangannya takzim. Selama kami tak di rumah, wanita itu yang menjaga Airin sementara waktu.“Bunda.” Airin mendekatiku. Gadis kecil itu memelukku. Aku membalas pelukannya.“Kenapa buru-buru pulang sih?”Pak Farabi menjelaskan pada ibunya kalau dirinya ada keperluan sebentar.“Ibu tahu yang sebenarnya loh!”Wanita itu menceramahi Pak Farabi. Dia tahu kalau semalam kami tak tidur satu kamar.Pak Farabi terdiam mende
Akhirnya hari yang ditunggu tiba. Kami semua berlibur di pulau Dewata. Siang itu, kami berwisata ke tanah lot bali. Ingin menikmati keindahan senja di sana.“Aku ke sana dulu, Bu.” Zafran dan keluarga kecilnya memilih berpencar dari kami.Bu Sekar tak melarang dan mengizinkan mereka untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya. Aku, Pak Farabi, kedua orang tuanya, dan Airin jalan bersama.“Pak Adilaga.” Tanpa sengaja ayah mertua bertemu sahabat lamanya. Pria itu lantas meminta izin pada istrinya untuk berbincang dan melepas rindu bersama sahabatnya.Bu Sekar mengizinkan. Kami lantas kembali melanjutkan langkah untuk menikmati keindahan tanjung batu bolong.Suasana begitu ramai hari itu. Kebanyakan pengujung merupakan turis asing. Bu Sekar begitu antusias ketika kami tiba di dekat batu bolong. Beliau lantas berdiri di tepi pagar, memandang ke ara batu bolong.Lokasi di sana begitu indah dan sangat coc
“Jangan sampai menyesal kamu tidak bisa memiliki apa yang kamu suka. Seperti aku yang mencintaimu.” Pria itu juga menjelaskan bahwa perasaannya sama seperti menyukai topi itu. Maka dari itu dengan cara apa pun dia lakukan untuk mendapatkanku. Tanpa peduli perasaanku. Yang dia tahu saat itu adalah menjaga dan menghapus air mataku.Aku terkesima mendengar perkataan pria itu.“Deema, ayo kita cari makan. Aku lapar.” Pak Farabi memegang perutnya. Aku tersenyum mengiyakan permintaan pria itu.Pria itu berjalan menggandeng tanganku. Menyusuri jalan. Mencari tempat makan. Bersama Pak Farabi, entah mengapa aku merasa nyaman. Ada perasaan hangat saat bersamanya. Perasaan ini begitu beda ketika aku bersama Mas Bhanu Zafran.***“Kalian dari mana saja?” tanya Bu Sekar yang duduk di lobi bersama Airin. Pak Adilaga dan keluarga Zafran sudah terlebih dulu masuk ke dalam kamar.Usai makan bersama Pak Farabi, aku menikmati senj
“Zafran. Dia tak terima aku menyentuhmu.” Pak Farabi menjelaskan semua padaku tentang apa yang terjadi tadi. Ternyata Pak Farabi tadi ke luar mencari musala untuk salat. Pria itu lantas beristirahat sebentar di kafe dekat hotel. Pria itu sengaja berlama-lama di luar agar aku bisa melakukan apa pun secara nyaman.Ketika beliau hendak kembali ke kamar, pria itu berpapasan dengan Zafran. Melihat situasi sepi waktu itu, Zafran meluapkan amarahnya pada Pak Farabi. Kesal mendengar jawaban kakaknya, dia meninju kakaknya.Beruntung ada Namira baru saja dari kamar Bu Sekar untuk mengambil Rana. Kehadiran Rana menjadi alasan mereka berhenti bertengkar. Akhirnya Zafran memenuhi permintaan Namira dan kembali ke kamarnya.Sebagai seorang kakak, Pak Farabi juga menjelaskan, kalau dirinya tak membalas perbuatan adiknya. Semua yang dilakukan demi kebaikan Zafran.“Sudah kamu tidur saja.” Pak Farabi mengambil bantal lalu beranjak menuju ke sofa
Aku berdiri di depan mobil. Aku sangat cemas, juga merasa bersalah. Semua yang terjadi karena aku.Hingga beberapa kali mengetuk pintu, Zafran tak menanggapi permintaan kakaknya. Dari kaca mobil, aku bisa melihat pandangan pria itu kosong. Dia menatap lurus ke depan. Namira yang duduk di sampingnya terus saja menangis. Aku tak bisa membayangkan bila berada di posisi Namira.Pak Farabi terus berusaha membujuk Zafran.“Zafran! Apa yang kamu inginkan? Jangan seperti ini!”Zafran tetap diam. Namira berusaha membuka pintu mobil. Akhirnya, wanita itu keluar dan memelukku.Badan Namira bergetar hebat. Betapa sakit dan pedih cobaan hidup yang selama ini dia rasakan. Hidup dengan pria yang tak mencintainya. Walaupun sepenuh jiwa dia melayaninya, tapi tetap saja pria itu hanya menjadikannya pelampiasan.“Maafkan aku, Namira.” Seribu kata maaf pun, mungkin tak akan cukup untukku membayar segala penderitaan wanita itu. Semu
Malam itu, Pak Farabi dan Zafran pergi untuk menunaikan Salat Magrib, aku memilih menunaikan salat di ruang perawatan Namira. Usai melaksanakan kewajiban tiga rakaat, tak lupa kupanjatkan doa kepada Sang Maha Kuasa untuk kesembuhan Namira. Memang wanita itu sudah merebut kebahagiaanku dulu. Namun, aku sama sekali menaruh dendam padanya. Toh semua yang terjadi bukan keinginan wanita itu. “Deema.” Mendengar seseorang memanggil, aku mengedarkan pandangan. Tak ada orang lain di ruangan itu, hanya ada aku dan Namira. Bergegas aku melipat mukena dan perlahan mendekati ranjang. Aku memandang wanita yang terbaring tak berdaya di atas ranjang. Beruntung tak ada luka serius yang didapat. Hanya kaki dan tangannya yang terluka. Kaki yang dulu patah, kini kembali patah. Menurut dokter, hal itu akan sulit untuk disembuhkan. Ternyata wanita itu sudah terjaga. Dia tersenyum memandangku. Ada setitik air menetes melihat wanita itu telah sadar. Ada perasaan lega bisa kembali mendengar suaranya. Be
Hal itu membuatku malu, aku lantas menyenggol lengan pria itu karena malu. Sedangkan Ayah tersenyum melihat tingkah kami. “Ayah, Deema punya kabar bahagia,” ucapku. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin memberitahukan perihal kehamilanku pada Ayah. “Kabar apa, Deema?” Ayah yang duduk di teras bersama kami memandangku. Pria itu sepertinya sudah tidak sabar untuk mendengarnya. Sejenak aku memandang Pak Farabi yang duduk di sampingku untuk meminta izin padanya. Pria itu mengangguk. Gegas, aku mengambil sebuah kotak kecil dari dalam tas dan menyerahkannya pada Ayah. “Buka, Yah. Kabar bahagianya ada di sana.” Aku menunjuk kotak beludru berwarna biru itu pada Ayah. Perlahan, Ayah membukanya. “Apa ini, Deema?” tanya Ayah memandangku. Pria itu lantas mengamati benda kecil yang berada di dalam kotak. “Deema hamil Ayah.” Mendengar itu, mata Ayah berkaca-kaca. “Benarkah itu, Deema?” Pria itu seakan tak percaya dengan apa yang aku katakan. “Iya, Ayah. Sebentar lagi, Ayah akan memiliki cuc
Aku begitu terharu ketika dokter menyatakan aku telah hamil delapan minggu. Memang aku terakhir datang bulan sebelum berangkat bulan madu. Sehari setelah mengetahui kabar kehamilan, aku dan Pak Farabi pulang ke kota kelahiran kami. Kepulangan kami tak ada satu keluarga pun yang tahu. Pun dengan berita kehamilanku. Aku dan Pak Farabi berencana ingin memberi kejutan pada semua keluarga. Pulang dari bandara kami sengaja tak menelepon sopir untuk menjemput. Melainkan mengendarai taksi daring. “Deema, Farabi, kenapa kalian sudah pulang?” tanya Bu Sekar. Beliau begitu terkejut melihat kepulanganku dan Pak Farabi malam itu.Berbeda dengan beliau, Airin justru sangat bahagia melihat kehadiran kami. Gadis kecil itu bahkan berlari untuk memelukku.Kami berdua hanya diam mendengar pertanyaan Bu Sekar.“Apa ada kabar bahagia untuk kami?” tanya Bu Sekar kembali.Pak Farabi yang sedari tadi pura-pura memasang wajah memelas, menjawab kalau aku tak mau disentuh olehnya.Sontak Bu Sekar marah pad
Hubunganku dengan Pak Farabi juga semakin baik, hanya saja aku belum melakukan ritual malam pertama dengan pria itu. Padahal sebelumnya kami berdua sama-sama pernah menikah. Aku heran juga pada pria itu, kenapa dia bisa begitu sabar menahan hawa nafsunya. “Farabi, kapan kamu punya anak dari Deema?” Minggu siang, Bu Sekar ke rumah bersama dengan Rana. Waktu itu Rana dan Airin asyik bermain di ruang keluarga. Aku menemani mereka berdua. Sedangkan Ibu dan Pak Farabi duduk di sofa. Seketika tatapan Pak Farabi beralih padaku. Pria itu seakan-akan memintaku untuk menjelaskan semua pada Ibu. Tak mau ambil pusing, aku mengalihkan pandangan pada gadis kecil yang sedang asyik main kereta es krim di sampingku. “Kalau perlu, kalian pergi ke dokter.” Wanita itu semakin memojokkan Pak Farabi. “Bu, bagaimana bisa Deema hamil, Farabi aja belum menyentuhnya.” Entah pria itu keceplosan atau memang sengaja. Suara Ibu seketika menggelegar, memenuhi ruang keluarga. Tak ingin mendengar obrolan orang
Menurutnya, semalam yang melihatku dan menahan agar tidak jatuh adalah Mbak Darsi. Wanita itu juga yang menjagaku hingga Pak Farabi pulang. Mengenai kepulangan Pak Farabi, Zafran yang menghubunginya.“Deema bagaimana keadaanmu saat ini? Sudah enakkan kah?” Aku tak menjawab pertanyaan pria itu. Melihatku hanya diam saja, Pak Farabi coba meraih tubuhku.“Eh! Bapak mau ngapain?”“Membawamu ke dokter.”“Aku sudah tidak apa-apa. Mungkin karena semalam aku lupa makan. Jadi masuk angin.”Melotot, Pak Farabi memandangku. Dia bertanya kenapa aku tak makan semalam. Alih-alih menjawab, aku justru mengalihkan perhatian dengan menanyakan kenapa dirinya pulang lebih cepat. Tak mungkin juga aku mengatakan Zafran adalah alasanku tak makan.“Mendengarmu sakit saja sudah mampu mengalihkan duniaku. Beruntung pekerjaan sudah selesai hanya Ayah yang tinggal di sana. Sedangkan aku memilih pulang. Mana sanggup aku jauh darimu!” Pria itu menoel hidungku.Aku begitu bersyukur bisa memiliki Pak Farabi. Walaup
“Ya, sudah. Aku pergi dulu. Kamu baik-baik Deema.” Sebelum pergi Pak Farabi mengecup keningku. Hal itu juga dilihat oleh Zafran yang sedang duduk di ruang tamu. Aku bisa melihat pria itu intens menatap ke arah kami. Pada posisi ini aku benar-benar merasa tidak enak hati.Pada acara makan malam bersama aku merasa canggung karena duduk satu meja dengan Zafran. Sedangkan Namira berada di kamar. Wanita itu makan di kamarnya karena kondisi yang tidak memungkinkan.Di sampingku duduk, ada Rana dan Airin. Telaten, aku menyuapi buah hati Namira dan Zafran itu. Ibu juga menawarkan diri untuk menyuapi gadis kecil itu, tapi aku melarangnya dengan dalih dia kelelahan.Kami makan hanya berlima, karena Pak Adilaga juga pergi bersama Pak Farabi Da urusan penting katanya. Menurut Pak Farabi mereka baru pulang besok pagi. Urusan apa aku sendiri tidak tahu.“Deema, kamu tidak makan?” Ibu memandangku yang masih menyuapi Rana.“Habis menyuapi Rana, Bu.”“Ya sudah.” Wanita itu kembali melanjutkan makan.
Napas terasa berat. Dada terasa sesak. Aku begitu tak menyangka dengan kejadian yang menimpaku tadi. Beruntung Pak Farabi sigap dan mendorong tubuh Mas Dhanu menjauh. Dibantu Bu Nirmala, suamiku itu mendorong tubuh pria itu. Sedang aku berlari keluar. Bu Nirmala gegas mengunci pintu kamar pria itu. Dari luar, aku masih bisa mendengar beberapa kali pria itu memanggil namaku. Merasa bersalah dengan apa yang terjadi, Bu Nirmala berkali-kali meminta maaf. “Deema. Tenanglah.” Pak Farabi menggenggam kedua pundakku. Air mata tak henti-hentinya mengalir membasahi pipi. Bukan hanya rasa takut yang menyelimuti diri, tapi juga rasa berdosa karena disentuh pria bukan mahramku. Kami bergegas pamit pada Bu Nirmala dan Bu Diah. Dengan derai air mata penyesalan, wanita itu melepas kepergianku. Mungkin, ini kali terakhir, aku menginjakkan kaki di rumah itu Di tengah perjalanan, karena tak tega melihat kondisiku, Pak Farabi menghentikan mobil. Memberi waktu agar aku lebih tenang. Namun, setengah jam
Heran, aku memandang pria itu.“Aku ikut denganmu.” Pria itu memandangku dengan tatapan entah.Mengangguk, aku mengiyakan permintaannya.Kopi dalam gelas pun segera dihabiskan. Ingin jalan bersama alasannya.Diam, itu yang bisa aku lakukan ketika jemari kami saling terkait. Semakin hari, aku semakin nyaman dengan pr8a itu. Walaupun, hubungan kami berawal dari sebuah keterpaksaan karena tragedi yang menimpa ayahku, diri ini berharap, rumah, pernikahan kami akan langgeng hingga maut memisahkan.***Sebelum berangkat ke kantor, Pak Farabi mengantarkanku ke rumah Bu Diah. Pikirku, pada pukul enam pagi Bu Nirmala pasti belum berangkat bekerja. Usai dari rumah Bu Nirmala, aku langsung berangkat bekerja. Rana, sementara bersama pengasuhnya. Sedangkan Airin ada Mbak Darsi.Pagi tadi, aku juga menyiapkan sarapan buat Bu Nirmala. Pasti wanita itu kerepotan karena harus bekerja. Aku berharap, makanan yang aku bawa bisa bermanfaat untuknya.“Deema, apa kamu tidak takut untuk bertemu dengan Bhanu
Di luar rumah angin bertiup cukup kencang. Ditambah mendung merajai malam. Sendiri aku menyepi. Duduk menatap ke luar melalui jendela. Korden yang menutupi sebagian jendela, melambai. Aku kembali mengingat perkataan Ayah siang tadi. Entah. Haruskah aku tertawa? Menertawakan kabar yang dibawa Ayah atau aku harus bersedih mendengar sang mantan mendapat karma dari segala yang dilakukan padaku pada masa lalu. Tidak! Aku bukan wanita seperti itu. Aku bukan wanita jahat, yang akan menyimpan dendam karena kejadian masa silam. Semua yang terjadi pada Mas Bhanu ada sebab dan akibatnya. Andai, dia tak terlalu diperbudak oleh cinta, maka hal tragis itu tak akan terjadi. Dari cerita Ayah, nasib Mas Bhanu dan ibunya kini terlunta-lunta. Rumah mereka sudah dijual oleh Afseen. Beberapa waktu mereka tinggal di rumah wanita itu. Hingga pada akhirnya, anak dan ibu itu diusir dari rumah wanita kejam itu seperti anjing. Bukan hanya itu, janin dalam kandungan Afseen juga buka darah daging Mas Bhanu. M
Malam itu, Pak Farabi dan Zafran pergi untuk menunaikan Salat Magrib, aku memilih menunaikan salat di ruang perawatan Namira. Usai melaksanakan kewajiban tiga rakaat, tak lupa kupanjatkan doa kepada Sang Maha Kuasa untuk kesembuhan Namira. Memang wanita itu sudah merebut kebahagiaanku dulu. Namun, aku sama sekali menaruh dendam padanya. Toh semua yang terjadi bukan keinginan wanita itu. “Deema.” Mendengar seseorang memanggil, aku mengedarkan pandangan. Tak ada orang lain di ruangan itu, hanya ada aku dan Namira. Bergegas aku melipat mukena dan perlahan mendekati ranjang. Aku memandang wanita yang terbaring tak berdaya di atas ranjang. Beruntung tak ada luka serius yang didapat. Hanya kaki dan tangannya yang terluka. Kaki yang dulu patah, kini kembali patah. Menurut dokter, hal itu akan sulit untuk disembuhkan. Ternyata wanita itu sudah terjaga. Dia tersenyum memandangku. Ada setitik air menetes melihat wanita itu telah sadar. Ada perasaan lega bisa kembali mendengar suaranya. Be