Sepanjang perjalanan suasana hening tercipta. Karin melirik Frans yang sejak tadi hanya fokus menyetir mobil. Sedangkan Sean tengah tertidur pulas dalam pelukannya. Sejak keluar dari restoran, Frans tidak mengatakan sepatah katapun pada Karin. Dia hanya diam, dan menjawab seperlunya. Jujur saja, Karin kesal dengan sikap Frans yang mendiamkannya itu. "Frans, kau kenapa?" Karin bertanya dengan suara pelan. Dia tidak ingin membangunkan Sean yang tengah tertidur pulas. "Tidak apa-apa," tukas Frans dingin. Karin berdecak. "Aku ini sudah lama denganmu, Frans. Bagaimana mungkin, aku tidak mengenal dirimu. Katakan padaku, ada apa?" "Siapa Bimo?" Frans melirik Karin, dia bertanya dengan raut wajah dingin dan tampak terlihat kemarahannya. "Tunggu," sela Karin cepat. "Jadi kau marah karena Bimo?" tanyanya yang bingung. Karin sungguh tidak menyangka, Frans marah dengannya hanya karena Bimo. "Kau tadi memuji pria itu!" tukas Frans dingin. "Astaga, Frans!" seru Karin seraya menepuk pelan len
Marsha dan Karin kini tengah menata makanan yang telah mereka masak di meja makan. Seperti biasa, Marsha akan memilih memasak makanan Italia. Tentu karena sang suami, menyukai makanan Italia, jadi sudah menjadi kebiasaan Marsha untuk memasak makanan Italia. Tidak hanya makanan Italia, tapi perancis pun seperti Confit de Canard, telah tersajikan di atas meja. Mengingat Sean sangat menyukai daging angsa ataupun bebek. Itu kenapa Marsha sering menghidangkan makanan Perancis. Namun, untuk Marsha dan Karin, mereka tentu lebih memilih makanan Indonesia. Tidak bisa dipungkiri, citra rasa pedas makanan asal Indonesia, menjadi makanan kesukaan mereka. Meski Marsha hanya memiliki darah Indonesia dari sang Ibu, tapi dia lahir dan besar di Indonesia, dan itu juga yang membuat Marsha terbiasa dengan budaya dan makanan Indonesia. Ya, sejak kecil, Clara, Ibunya lebih sering membuatkan makanan Indonesia dari pada western food. "Selesai," ucap Karin kala dia telah selesai menyajikanan masakan yang t
Keesokan hari, Marsha tengah menyiapkan jas dan kemeja yang akan dipakai oleh suaminya. Ya, tadi pagi William baru saja memberitahu padanya, dia harus bertemu dengan seseorang, mengingat William akan membangun hotel di Jakarta dan di Bali. Meskipun segala persiapan sudah diurus oleh Albert, tapi William tetap tidak menyerahkan sepenuhnya pada assistantnya itu. "William, nanti kau akan pulang jam berapa?" tanya Marsha saat melihat William masuk ke dalam walk-in closet. "Hari ini, aku akan pulang terlambat," William mendekat, dia mengecup kening Marsha. "Kau jangan menungguku, tidurlah duluan." Marsha mengangguk. "Kau akan sarapan dulu, kan?" "Tidak, sayang. Aku akan sarapan di kantor. Aku ada janji sebentar lagi. Aku rasa kau sangat tahu keadaan jalanan di Jakarta. Aku tidak ingin terlambat," jawab William. Ya, ini adalah hal yang sering William keluhkan tentang Jakarta. Hampir setiap harinya, William kesal tentang Jakarta yang memiliki tingkat kemacetan yang tinggi. Jika mendengar
William turun dari mobil, dia melangkah masuk ke dalam perusahaan cabangnya yang ada di Jakarta. Ya, dia memang sengaja membuka perusahaan cabang di sini. Mengingat Jakarta, adalah kota kelahiran sang istri, itu salah satu alasan yang membuat William memilih untuk membuka perusahaan cabangnya di sini. Khusus hari ini, William juga meminta Frans untuk datang ke kantor. Meski dia tahu ini Frans masih mengambil cuti, tapi William meminta waktu Frans sebentar untuk membantunya. Para karyawan yang ada di lobby, mereka langsung menunduk dan menyapa saat melihat William. Terlihat wajah para karyawan berubah menjadi ketakutan melihat William datang. Pasalnya, selama ini William memang sangat jarang datang ke kantor cabangnya ini. Bahkan mungkin, bisa menghitung dengan jari kapan dia datang ke perusahaan cabangnya."Tuan William," sapa Albert seraya menundukan kepalanya. "Apa Frans sudah datang?" tanya William dingin. "Sudah, Tuan. Saat ini Tuan Frans sudah menunggu anda di ruang kerja anda
Suara dering ponsel terdengar, Marsha langsung mengambil ponselnya yang terletak di atas meja lalu menatap ke layar tertera nomor ibunya. Tanpa menunggu lama, Marsha menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian meletakan ke telinganya. "Ya, Ma?" jawab Marsha saat panggilan terhubung. "Marsha, hari ini Mama akan membawa Sean menginap di rumah kita yang di Kemang. Sudah lama rumah kita yang ada di kemang itu kosong. Jadi Papa dan Mama memutuskan membawa Sean menginap di sana," ujar Clara dari seberang line. "Iya, Ma. Nanti malam sebelum Sean tidur, berikan dia susu vanila ya, Ma. Biasanya Sean selalu memilih susu vanila di malam hari. Dan susu coklat di pagi hari." "Kau tenang saja, Mama tidak mungkin tidak tahu kebiasaan cucu kesayangan Mama. Yasudah Mama tutup dulu, salamkan untuk William." "Iya, Ma.." Panggilan tertutup, Marsha meletakan kembali ponselnya ke tempat semula. Sebenarnya, Marsha sudah yakin, Sean akan diajak menginap oleh kedua orang tuanya itu.
"William, kau menyakitiku.." rintih Marsha kesakitan kala William mencengkram tanganya dengan kuat—masuk ke dalam kamar. "Apa kau berbohong padaku, Marsha?" William menghunuskan tatapan tajam pada istrinya itu."Kau menyaikitiku, William..." Marsha kembali merintih kesakitan. Perlahan William mulai melepaskan tangannya, kala mendengar Marsha merintih. Terlebih wajah sang istri begitu terlihat merasa kesakitan. William membuang napas kasar. Dia berusaha mengendalikan emosinya. "Aku tidak suka kau berbohong padaku, Marsha. Bukanya aku sudah berkali-kali mengatakan padaku, jangan pernah berbohong padaku?" "Apa maksud ucapanmu, William? Aku tidak pernah membohongimu sedikitpun," ujar Marsha jujur. Tatapanya menatap bingung sang suami. Sungguh, dia tidak mengerti dengan apa yang dikatakan suaminya itu. "Bimo Sanjaya! Kau mengatakan Bimo menyukai Karin, tapi kenyataanya dia menyukaimu! Apa dulu dia pernah menjadi kekasihmu?" seru William dengan tatapan dingin. Terlihat jelas sorot mata
"William, besok malam kau memiliki undangan makan malam dari rekan bisnismu asal Milan yang sedang ada di sini, kan?" Marsha melangkah masuk ke dalam ruang kerja William. Ya, selama berada di Jakarta, William menggunakan ruang kerja yang dulunya di pakai oleh Mario. Dan hampir setiap hari Wiliam selalu menyelesaikan pekerjaannya di ruang kerja yang dulunya di pakai oleh Mario. William yang kini tengah membaca email masuk di MacBooknya, dia langsung mengalihkan pandangannya kala mendengar pertanyaan sang istri. "Ya besok malam, Di mana Sean? Apa dia sudah pulang?" tanyanya yang menyadari putranya masih belum terlihat. "Mama sedang di jalan mengantar Sean ke sini," Marsha mendekat, seperti biasa dia duduk di pangkuan William. "Kau seperti tidak tahu Mama dan Papa saja, mereka tidak pernah bisa jika hanya sebentar bertemu dengan Sean." "Ini alasanku selalu ingin kau hamil lagi, sayang..." William menarik dagu Marsha, mencium dan melumat lembut bibir istrinya. "Orang tuamu dan orang tu
Marsha mematut cermin, kini tubuhnya sudah terbalut dengan gaun berwarna merah dengan model tali spaghetti yang sangat seksi. Gaun ini benar-benar membuat lengkuk tubuh Marsha sangat sempurna. Dia memoles wajahnya dengan make up, serta lipstik berwarna merah untuk penyempurna penampilannya. Malam ini, Marsha tidak menggunakan make up tipis. Dia memakai make up yang sedikit tebal, namun tidak berlebihan. Malam ini, dia harus menemani William dalam undangan rekan bisnis suaminya. Tanpa Marsha sadari, William berdiri di ambang pintung. Dia menatap sang istri yang tengah berias tampk begitu cantik. Gaun merah, membuat istrinya terlihat begitu seksi. Meski gaun ini masih terbilang tertutup, tapi warna merah adalah warna yang memperlihatkan wanita tampak begitu seksi. Kemudian, William langsung melangkah mendekat, dia memeluk tubuh Marsha dari belakang."William, kau mengejutkanku," Marsha menatap cermin, dia melihat sang suami yang tengah memeluknya dari belakang. "Kau sangat cantik.." W
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d