William menatap istrinya yang tengah tertidur pulas. Kemudian, dia mengecup seluruh wajah istrinya itu. Bulu mata yang lentik, hidung mancung dan bibir ranum milik Marsha, membuat William tidak berhenti mengaguminya. Perlahan Marsha mulai terbangun, ketika merasakan ada yang menyentuh wajahnya. Senyum di bibir Marsha terukir, saat melihat suaminya tidak henti menciumnya. "Maaf membangunkanmu, sayang..." William menarik dagu Marsha, mencium dan melumat lembut bibir istrinya. Marsha tersenyum, dia langsung membenamkan wajahnya dalam pelukan suaminya. "Tidak sayang, aku memang terbangun karena tidak lagi mengantuk." "Kau sangat cantik," bisik William di telinga istrinya. "Kau selalu merayu!" cebik Marsha. Dia mendongakan kepalanya, menatap suaminya itu. "Aku tidak merayu, sayang." William mengecup hidung Marsha gemas. "Kau memang sangat cantik." Marsha mengulum senyumannya, kemudian dia mengelus rahang William. "Aku berharap, kelak ketika Sean dewasa, dia mirip denganmu." "Bukann
William keluar dari kamar putranya. Sorot mata tajamnya begitu terlihat. Wajah William tampak begitu berusaha mengendalikan amarahnya. Kini William mencari kontak Carol, manager perusahaan cabangnya di ponselnya itu. Ketika William menemukan kontak Carol, dia langsung menghubunginya. "Carol," Suara William menyapa Carol terdengar begitu dingin saat panggilan terhubung. "Selamat pagi, Tuan William," jawab Carol saat panggilan terhubung. "Bagimana keadaan Thompson Group? Kau sudah ambil seluruh investasiku di sana?" "Sudah, Tuan. Saat ini Thompson Group sedang begitu kacau sejak anda menarik investasi anda." "Putuskan semua kerja sama dengan Thompson Group. Aku tidak ingin perusahaanku harus terlibat dengan perusahaan itu." "Baik, Tuan." Tanpa lagi menjawab, William langsung memutuskan sambungan teleponnya, lalu melangkah kembali menuju kamar. Namun, saat William hendak melangkah menuju kamar, langkahnya terhenti ketika soorang pelayan menyapa dirinya. "Ada apa?" tanya William d
"Tuan, apa yang harus aku lakukan agar kau setidaknya memberikan sedikit maaf untukku," Lizzy berkata begitu putus asa. Kepalanya masih menunduk, dia berusaha keras mendapatkan maaf dari William."Aku tidak pernah memaafkan orang yang telah melukai anak dan istriku! Apa kau tidak mendengar ucapanku!" seru William suaranya sedikit meninggi."Ada apa ini?" Marsha melangkah menuju ruang tamu. Seketika dia terkejut melihat Lizzy yang bersimpuh di hadapan William. Dia menatap keadaan Lizzy yang begitu kacau. Jika terakhir Marsha melihat Lizzy begitu sempurna, tapi kini dia melihat keadaan Lizzy yang tampak berantakan dengan mata sembab yang Marsha yakin karena wanita itu tidak henti menangis.Semua orang yang ada di sana, langsung mengalihkan pandangan mereka, saat mendengar suara Marsha. William yang melihat istrinya melangkah mendekat, dia langsung merengkuh pinggang istrinya. "William, ada apa ini?" Marsha mengerutkan keningnya. Kemudian pandangannya menatap Lizzy yang masih bersimpuh
Lizzy menganggukan kepalanya lemah. "Ya, Nyonya. Aku akan menanggung apa yang telah aku lakukan. Tapi aku mohon jangan melibatkan perusahaan suamiku. Suamiku telah bersusah payah membangun perusahaanya. Aku tidak mungkin tega, membiarkan perusahaan suamiku hancur karena kesalahan yang aku perbuat. Hukum aku, Nyonya." Lizzy mengangkat wjaahnya. Matanya berkaca-kaca, menatap Marsha penuh permohonan. Terlihat Beck yang menatap iba Lizzy yang memohon pada Marsha.William masih tidak bergeming dari tempatnya, dia menatap penuh dengan peringatan. Dia masih menunggu apa yang disampaikan oleh istrinya itu. Namun, jika sampai Marsha memaafkannya, William adalah orang pertama yang akan menyeret Marsha meninggalkan tempat Itu."Kau telah memukul anakku, maka yang aku inginkan kau harus berurusan dengan kepolisian. Aku tidak mungin memaafkanmu, Lizzy. Apa yang kau lakukan pada putraku, hingga detik ini tidak bisa dilupakan olehnya. Putraku bahkan bermimpi buruk, kau kembali memukulnya. Segala pen
"William, tapi apa salahnya dengan hanya memberikan hukuman pada Lizzy? Aku mohon jangan seperti ini. Aku tahu kau begitu menyayangi Sean dan selalu ingin melindungi putra kita. Sama halnya denganmu, aku juga begitu menyayangi Sean. Aku tidak mungkin memaafkan orang yang telah melukai putraku," ujar Marsha dengan tatapan begitu lekat pada suaminya itu. Dia berharap William akan mengerti. "Ini adalah kesalahan Lizzy, berikan dia pelajaran tanpa melibatkan orang yang tidak bersalah. Berada di penjara, tentu balasan yang cukup setimpal dengan apa yang dia lakukan, William. Setidaknya, dengan masalah seperti ini, kita bisa mengajarkan Sean untuk bisa bersikap adil dan bijaksana ketika menghadapi masalah, William."William mengepalkan tangannya dengan kuat seraya memejamkan mata singkat saat mendengar perkataan istrinya. Sejak tadi, William sudah yakin Marsha akan meminta untuk dirinya menyelamatkan Thompson Group. Tapi tentu dipenjara, tidak akan membuat William merasa puas. Setiap ketaku
"Mommy..." Sean berlari menghampiri Marsha yang tengah menata tanaman hias milik Karin. "Good morning, sayang." Marsha menundukan tubuhnya, lalu memeluk erat putranya itu. "Dipagi hari seperti ini, Sean sangat tampan." Sean memeluk leher Marsha dengan tangan mungilnya. "Mommy juga sangat cantik." Marsha tersenyum seraya mengelus lembut pipi gemuk putranya itu. "Lebih baik sekarang, kita menonton film kartun kesukaanmu." Sean mengangguk antusias. "Ya, Mommy. Aku mau menonton film kartun." Marsha kembali tersenyum. Kemudian dia menggenggam tangan putranya dan membawa putranya itu menuju ruang keluarga. "Mommy, kenapa kita belum ke Indonesia? Aku merindukan Paman Frans dan Bibi Karin," ucap Sean dengan bibir berkerut, ketika dirinya sudha tiba di ruang keluarga. "Sebentar, sayang. Kita masih harus di sini karena ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan Daddy." Marsha membopong tubuh Sean, duduk di sofa. Kemudian, dia duduk di samping putranya sambil memegang ice cream yang s
Malam semakin larut, Marsha yang tertidur pulas bersama Sean harus terbangun kala mendengar suara petir. Marsha mengerjapkan mata beberapa kali, lalu mengalihkan pandangannya ke samping, dia menatap putranya masih tertidur pulas. Beruntung, suara petir tidak membangunkan putranya itu. Marsha menarik selimut, menutupi tubuh putranya. Cuaca semakin dingin, dia tidak ingin putra merasakan kedinginan. Marsha beranjak dari ranjang, lalu melihat ke jam dinding kini sudah pukul dua belas malam. Sebelumnya, Marsha hanya menemani putranya itu. Tapi dia ikut tertidur bersama dengan putranya. Kini Marsha mengambil ponsel yang terletak di atas meja nakas, dia melihat ke layar ponsel, namun tidak ada satupun pesan dan telepon masuk dari William. "Apa William sudah pulang?" gumam Marsha. Kemudian, dia meminta Ruth untuk menemani Sean. Marsha tidak ingin, saat putranya itu terbangun ketika dirinya tidak ada di sampingnya. Setelah Ruth datang, Marsha langsung meninggalkan kamar Sean menuju kamarny
Keesokan hari, Marsha tengah menyiapkan sarapan untuk suami dan anaknya. Selama di Moscow, Marsha memilih untuk sendiri menyiapkan sarapan tanpa bantuan pelayan. Terlebih Sean juga sering meminta Marsha untuk membuatkan sarapan. Setelah makanan sudah siap, Marsha langsung melangkah keluar dari dapur dan menuju ruang makan. Hari ini, dia membuat pancakes dengan saos coklat dan caramel untuk Sean. Dan pasta carbonara untuk William."Mommy.." Sean berlari masuk ke dalam ruang makan, ketika Marsha tengah menata makanan yang dia buat ke atas meja.Marsha mengalihkan pandangannya. Senyum di bibir Marsha terukir melihat Sean dan William melangkah mendekat ke arahnya. Kemudian, Marsha sedikit menundukan kepalanya, kala Sean memeluk dirinya. "Mommy, aku sangat lapar. Mommy membuatkan apa untukku?" Sean mendongakan kepalanya, menatap lekat Marsha. "Mommy membuatkan pancakes dengan coklat dan caramel, sayang." Marsha mengelus lembut pipi gemuk Sean, sembari mengecupnya. "Aku ingin makan sekar
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d