Di ruang persalinan, William terlihat begitu panik dan cemas, kala Marsha menjerit, merintih kesakitan. Sang dokter mengatakan pada William, jika seorang ibu melahirkan akan merasakan sakit yang luar biasa. Namun, sang dokter langsung mendapatkan tatapan begitu tajam dari William. William tidak mungkin tega, melihat istrinya terus menjerit kesakitan seperti ini."William.." Marsha terlihat begitu pucat, keringatnya membasahi keningnya. Air mata Marsha terjatuh, membasahi pipinya. Dia sungguh merasakan sakit yang luar biasa."Sayang, bertahanlah. Aku di sini," bisik William seraya mengecupi pucak kepala istrnya. "Kau bisa memukulku dan menarik rambutku untuk mengurangi rasa sakitmu.""Sakit, William," rintih Marsha dengan air mata yang terus jatuh membasahi pipinya. "Iya sayang, aku di sini, bertahanlah," William mengecup bibir Marsha, memberikan kekuatan untuk istrinya itu. "William, aku tidak kuat," Marsha memejamkan matanya, saat perutnya kini begitu merasakan sakit. "Jangan bia
Suara tangis bayi begitu kencang, membuat Marsha dan William yang tengah tertidur pulas harus terbangun. Marsha membuka matanya, dia mengerjap beberapa kali. Kemudian, dia melirik jam dinding, kini masih pukul dua pagi. Marsha mengikat asal rambutnya, lalu hendak beranjak dari tempat tidur. Namun, saat Marsha hendak beranjak dari tempat tidur, tangan William menahan lengannya. "William, Sean sedang menangis. Aku harus menghampirinya," ucap Marsha sambil melihat William. "Biarkan Ruth saja. Kau pasti lelah, Marsha. Kau baru tidur," jawab William yang tidak tega pada istrinya. Jika tengah malam seperti ini, William selalu meminta Ruth, pengasuh Sean untuk berjaga-jaga jika Sean menangis."Kau tahu, Wiliam. Sean terkadang tidak mau minum susu di botol." Marsha beranjak dari ranjang dan melangkah, menuju kamar Sean yang berada di samping kamarnya. Sedangkan William mengulum senyumannya, mendengar ucapan Marsha. Ya, putranya itu lebih menyukai diberikan ASI secara langsung. Ditengah mala
"Oh sayang... Apa kau merindukan Daddy? Kau mau hari ini kita ke kantor Daddy, sayang?" Marsha menggendong Sean, dia tidak henti mengecupi pipi gemuk Sean. Sean tertawa setiap Marsha menciumnya. Marsha menghirup aroma tubuh Sean yang begitu harum. "Kau mau hem? Oke let's go. Kita ke kantor Daddy," ucap Marsha sembari mencium hidung Sean gemas. Kemudian, Marsha meminta Ruth, pengasuh Sean mempersiapkan beberapa keperluan Sean. Serta Luna yang menyiapkan mobil. Seperti biasa, Marsha meminta Luna untuk membawa mobil. Marsha sudah terbiasa dengan Luna. Itu kenapa Marsha meminta Luna menjadi assistant sekaligus sopir pribadinya. "Nyonya Marsha," sapa Luna yang kini melangkah mendekat ke arah Marsha. "Ya? Semua sudah siap?" tanya Marsha sambil melihat Luna yang berdiri di hadapannya. "Sudah Nyonya," jawab Luna. Marsha mengangguk. Kemudian, dia berjalan meninggalkan kamar bersama dengan Sean yang berada digendongannya. Ruth dan Luna mengikuti Marsha dari belakang. Saat tiba di depan mob
Frans duduk di kursi kebesarannya. Pikirannya terus memikirkan cara bertemu dengan Karin. Beberapa kali dia mencoba menghubungi Karin, tapi tetap saja tidak bisa. Sebenarnya, bisa saja, Frans meminta anak buahnya untuk melumpuhkan security di rumah Karin, tapi jika dia melakukan itu, sama saja akan membuat Karin semakin membenci dirinya. Frans mengambil botol wine di hadapannya, lalu menuangkan pada gelas sloki kosong di depannya. Dia menegak wine hingga tandas seraya memejamkan mata singkat. "Tuan Frans," Devin, assistant Frans berlari menerobos masuk ke dalam ruang kerja Frans. "Ada apa? Kenapa kau menggangguku? Bukannya aku sudah mengatakan padamu, jangan menggangguku!" seru Frans dengan tatapan dingin pada Devin. "M-Maaf, Tuan. Tapi saya hanya ingin mengantakan saat ini Nona Karin sedang dalam perjalanan menuju bandara," jawab Devin gugup. Frans tersentak, dia begitu terkejut mendengar ucapan Devin. "Apa maksudmu? Kau bilang padaku, keberangkatan Karin, minggu depan!" "Nona
Tiga tahun kemudian...Marsha turun dari mobilnya dan melangkah masuk ke dalam rumah. Ya, dirinya baru saja kembali dari perusahaan keluarganya. Kini Nicholas Group berada dalam pimpinan Marsha. Tentu William turut membantu Marsha dalam perusahaan. Sebagai anak tunggal, Marsha tidak mungkin tidak menjalankan perusahaan yang telah diserahkan padanya. Mario, ayahnya lebih banyak menghabiskan waktu memimpin perusahaan cabang. Mario susdah tidak lagi, memegang kendali perusahaan pusatnya. Semuanya Mario serahkan pada Marsha dan William. Minggu lalu, Marsha meminta Mario mengajak bulan madu kembali Clara. Saat ini. Marsha hanya menginginkan ayah dan ibunya menghabiskan masa tua mereka, dengan bersenang-senang. Selama tiga tahun terakhir, Marsha fokus mengembangkan perusahaan keluarganya. Begitupun dengan William, perusahaan miliknya kini berkembang pesat. William mampu menambah puluhan ribu cabang tersebar diluar Amerika. Namun, meski William dan Marsha sama-sama disibukan dengan urusan
Moscow, Russia. Frans menatap Karin yang tengah tertidur pulas. Dia mengelus lembut pipi wanita yang dia cintai itu. Tanpa terasa, sudah tiga tahun, dirinya dan Karin meninggalkan Toronto dan menetap di Moscow. Selama tiga tahun ini, Frans memimpin perusahaan cabang milik Geovam Group yang berada di Moscow. Sedangkan perusahan pribadinya yang ada di Toronto, dia percayakan pada salah satu direktur yang telah dia pilih. Selama Frans memimpin perusahaan cabang milik Geovan Group yang ada di Moscow, Karin pun turut membantu. Meski Frans tahu, Karin belum sepenuhnya memaafkan dirinya, tapi dia tidak perduli. Bagi Frans, berada di samping Karin sudah lebih dari cukup. Dia tidak membutuhkan apapun selain Karin berada disisinya. Bahkan, jika dia harus menunggu lebih lama lagi, agar mendapatkan maaf dari Karin, dia pun tidak mempermasalahkan itu. Terpenting, Karin tidak pernah meninggalkanna itu sudah lebih dari cukup untuk Frans. Karin yang tegah tertidur pulas, dia merasakan ada yang men
Kini Marsha tengah memasukan barang-barang pribadi milik Sean, Lea, William dan juga miliknya sendiri ke dalam koper. Sebelum menutup koper, dia kembali memastikan semuanya keperluan yang dibutuhkan di Moscow telah di bawa. Setelah memastikan semua barang-barangnya terbawa. Marsha langsung menutup koper itu. Kemudian, meletakan kopernya di sudut ruangan bersamaan dengan koper pakaian yang telah disiapkan oleh pelayan. "Sayang, kau sudah siap?" tanya William saat melangkah masuk ke dalam kamar. "Sudah, kita pesawat jam berapa, William?" Marsha mendekat, menghampiri William. "Jam sepuluh pagi, lebih baik kita berangkat sekarang. Sean dan Lea sudah menunggu di bawah," jawab William sembari mengecup kening Marsha. "Kau tidak perlu membawa koper, nanti biarkan pengawalku saja yang akan membawa koper kita ke dalam mobil." "Tunggu, William. Aku ambil tasku," Marsha langsung mengambil tas yang berada di atas meja riasnya, lalu dia memeluk lengan William berjalan meninggalkan kamar."Mommy
Mosow, Russia.Kini William dan Marsha telah tiba di Moscow. Marsha langsung menggenggam tangan Lea turun dari pesawat. Sedangkan Sean digenggam oleh William turun dari pesawat. Mereka langsng menuju lobby. Ketika Sean melihat ada paparazzi yang memotret dirinya, Sean langsung mengulurkan tangannya meminta digendong oleh William. William tersenyum, melihat tingkah putranya itu. Dia mengulurkn tangannya dan menggendong Sean. Sejak dulu Sean tidak menyukai ada orang lain yang memotret dirinya. Seperti saat ini, Sean langsung membenamkan wajahnya di leher William, dan memeluk erat leher Willim, agar tidak ada lagi orang yang memotret dirinya. Marsha yang tengah menggenggam tangan Lea, dia melirik putanya yang tengah menyembunyikan wajah di leher William. Marsha langsung mengecup puncak kepala Sean gemas. Kemudian, William merengkuh bahu Marsha dengan tangan kirinya, lalu berjalan menuju mobil yang telah menjemput mereka. "Daddy... Mommy..." Lea berteriak ketika melihat Raymond dan Laur
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d