Suara ketukan pintu terdengar, membuat Laura yang tengah menonton film kesukaannya langsung mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Kemudian, dia menginterupsi untuk masuk."Nyonya Laura," sapa pelayan, saat melangkah mendekat ke arah Laura. Laura mengalihkan pandangannya, dia menatap seorang pelayan yang berdiri di hadapannya. "Ada apa?" "Maaf Nyonya, saya menganggu waktu anda. Saya hanya ingin memberitahu, di bawah ada Tuan Albert ingin menemui anda, Nyonya," kata pelayan itu."Albert?" Laura mengerutkan keningnya, menatap bingung ke arah pelayannya. "Albert datang? Ada apa dia datang menemuiku?""Maaf Nyonya, saya kurang tahu alasan Tuan Albert menemui anda, Nyonya," jawab pelayan itu.Laura mengangguk. "Aku akan menemuinya." Dia beranjak drai tempat duduknya, lalu berjalan meninggalkan kamar, bersama dengan pelayan yang juga mengikutinya keluar.Saat tiba di bawah, tatapan Laura teralih pada Albert yang sudah menunggu dirinya. Laura mengerutkan keningnya, menatap bingung tidak b
Marsha menggeliat dan mulai membuka matanya, ketika merasakan ada yang mencium di wajahnya. Senyum di bibirnya, terukir melihat William tidak henti mencium dirinya. Tatapan Marsha kini, menatap tubuh polosnya yang hanya terbalut dengan selimut tebal. Tubuhnya, masih terasa remuk, bercinta dengan suaminya sepanjang malam begitu membuat tubuhnya terkulai lemah. Namun, tidak dipungkiri Marsha selalu menyukai setiap sentuhan suaminya itu. William yang melihat Marsha sudah membuka mata, dia langsung melumat lembut bibir istrinya itu. "Maaf membangunkanmu." "Tidak sayang," jawab Marsha sembari mengelus rahang Wiliam. "Apa hari ini kau akan ke kantor?" "Ya, aku harus ke kantor. Banyak yang aku kerjakan sebelum kita berlibur," William mengusap lembut rambut Marsha. "William, tapi-" Marsha mendongakan wajahnya dari dalam pelukan William. Wajahnya terlihat tampak ragu. "Ada apa, sayang?" William mengelus lembut pipi Marsha. "Kau memiliki masalah perusahaan. Aku rasa kita tidak usah berlib
William duduk di kursi kebesarannya, di hadapannya Dimtry yang tengah membahas masalah pembangunan hotel di Roma. William mengambil dokumen di hadapannya, dia membuka setiap lembar berkas itu. Kemudian dia mengambil pena dan menandatangani berkas itu. Tidak ada pilihan lain, dia harus bertanggung jawab atas kerugian ini. Setelah menanda tangani berkas itu, William menyerahkan dokumen itu pada Albert yang berdiri di sampingnya. "Tuan Dimtry, assistantku akan mengurus semuanya. Segala kerugian, telah ditanggung Geovan Group," tukas William. "Tuan William, kenapa anda tidak meminta Watson Group juga ikut menanggung kerugian ini? Mengingat kerugian yang harus anda bayarkan tidak sedikit," kata Dimtry yang memberi saran. "Assistantku akan mengurusnya. Aku memang tidak meminta Watson Group bertanggung jawab. Alasannya, proses pengeluaran dana Watson Group, memakan waktu yang cukup lama. Lebih baik aku yang mengambil alih, dan ketika hotel ini telah selesai, aku akan mengurangi pembangian
Laura melirik jam dinding, kini sudah pukul delapan malam namun Raymond masih belum juga pulang. Ya, setelah dia kembali dari kantor William, Laura ingin sekali menemui Raymond. Dia ingin segera menceritakan semua apa yang telah diucapkan oleh William. Suara ketukan pintu, membuat Laura mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Kemudian, dia langsung menginterupsi untuk masuk. "Nyonya Laura," sapa seorang pelayan seraya membawa nampan yang berisikan makan malam untuk Laura. "Apa kau melihat mobil Raymond sudah datang?" tanya Laura ketika pelayan itu berada di hadapannya. "Belum Nyonya, Tuan Raymond belum datang," jawab pelayan itu. Laura mengangguk. "Terima kasih, kau boleh pergi sekarang." Pelayan itu mendunduk, dia menghidangkan makanan di meja, kemudian undur diri dari hadapan Laura. Laura mendesah pelan, entah kenapa dia malas makan, makanan yang sudah terhidang di hadapannya ini. Tidak biasanya Raymond pulang terlambat. Jika Raymond sibuk, suaminya itu selalu memberikan kaba
"Nyonya? Maaf, apa Nyonya ingin pergi?" tanya Luna ketika melihat Marsha yang kini sudah rapih dengan memakai dress berwarna kuning. "Ya, aku ingin ke rumah orang tuaku," jawab Marsha. "Baiklah, kalau begitu saya akan siapkan sopir dan-" "Tidak perlu pakai sopir. Kau bisa menyetir mobil bukan? Lebih baik kau saja yang membawa mobil," potong Marsa cepat. "Tapi Nyonya, apa Tuan memberbolehkan saya untuk membawa mobil? Saya hanya takut Tuan William marah," ujar Luna yang tampak ragu. Terlihat dari wajahnya, dia takut jika William marah padanya. Karena memang, biasanya Marsha selalu bersama dengan sopir. "Aku akan mengirimkan pesan pada suamiku. Lagi pula kau juga bisa melindungiku. Aku sudah pernah membaca data tentang dirimu, Luna," balas Marsha dengan yakin. Ya, sebelumnya Marsha telah melihat data tentang Luna. Assistantnya itu mampu bela diri, dan juga lulusan terbaik di kampsunya. Marsha menyukai segala data tentang sang assistant. Itu kenapa Marsha memilih untuk hanya membawa
William membaca setiap berkas yang diberikan oleh Albert, kemudian dia mengambil pena dan segera menandatangani berkas-berkas itu. Setelah mendatangani berkas itu, dia langsung memberikanya pada Albert dan mengibaskan tangannya meminta Albert segera meninggalkannya. Albert menundukan kepalanya, lalu undur diri dari hadapan William.William menyandarkan punggungnya, di kursi. Dia memejamkan mata lelah. Suara dering ponsel membuat William membuang napas kasar, dan terpaksa membuka matanya. Dia mengambil ponselnya yang terletak di hadapannya itu. Menatap ke layar tertera nama Frans. William langsung menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian meletakan ke talinganya. "Ada apa?" jawab William dingin saat panggilan sudah terhubung. "William, sepertinya aku baru bisa kembali ke Kanada, bulan depan. Tolong kau selesaikan urusan di sana. Aku belum bisa pulang dalam waktu dekat," ujar Frans dari seberang line."Apa kau mengalami kesulitan di sana? Aku akan meminta Alber
Raymond membuka setiap lembar berkas tentang pembangunan hotel di Roma milik Geovan Group. Dia terdiam sesaat ketika melihat total kerugian yang ditanggung oleh Geovan Group. Jumlah yang sangat besar, bahkan jika masalah ini terjadi di perusahaanya, dia sudah pasti akan menunda proyek ini dalam kurung waktu dua tahun. Ya, Raymond mengakui keberanian William yang tetap melanjutkan proyek ini. Terdengar suara ketukan pintu, Raymond mengalihkan pandangannya ke arah pintu, dan langsung menginterupsi untuk masuk. "Tuan Raymond," sapa Dion sang assistant yang melangkah masuk ke dalam ruang kerja Raymond."Ada apa?" tanya Raymond dingin ketika melihat Dion berada di hadapannya. "Saya ingin menunjukan CCTV kejadian hotel di Roma milik Geovan Group," jawab Dion. "Perlihatkan padaku sekarang," balas Raymond yang sudah tidak sabar. Dion mengangguk patuh, dia meletakan laptop yang ke hadapan Raymond dan memutar rekaman CCTV yang telah dia copy di laptop itu. Tatapan Raymond kini teralih pad
Sudah hampir satu minggu, William sering pulang larut malam. Beruntung, Marsha bisa mengerti, meski William selalu merasa kasihan pada istrinya, tapi dia tidak bisa berbuat apa pun. Dia tidak mungkin membebani Frans, karena sepupunya itu masih berada di Roma. Jika ada masalah perusahaan, William terbiasa dengan memeriksa itu sendiri. Dia tidak sepenuhnya menyerahkan pada Albert. William menyandarkan punggungnya di kursi dan memejamkan mata lelah. Dia ingin sekali selalu berada disisi Marsha, terlebih kandungan Marsha kini sudah memasuki bulan ke enam. Perut istrinya kian membesar, membuat William ingin selalu menjaga istrinya itu. Namun, dia tidak memiliki pilihan lain. Ya, tentu William memikirkan puluhan ribu karyawannnya. Dengan masalah di perusahaannya, akan berdampak pada keuntungan perusahaan. Itu yang membuat William, harus segera menyelesaikan pekerjannya.Suara dering ponsel terdengar, William membuka matanya, dia menatap ponselnya yang terus berdering itu. Kemudian, dia men
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d