William menyerahkan dokumen yang baru saja dia tanda tangani pada Aluna. Setelah menanda tangani dokumen, William mengibaskan tanganya, memberi isyarat untuk sekretarisnya segera meninggalkan ruangannya. Aluna menundukan kepala, dia langsung meninggalkan ruang kerja William.William menyandarkan punggung di kursi kerjanya, dia memejamkan mata lelah. Beberapa hari ke depan dia akan disibukan dengan proyek kerja sama dengan Watson Group. Beruntung Marsha selalu mengerti dirinya. Meski terkadang Marsha kesal karena William pulang larut malam, tapi Marsha tidak pernah mengeluh. Marsha lebih banyak mengerti dengan segala tanggung jawab yang William miliki. "William," Frans memanggil dengan cukup keras. Dia langsung menerobos masuk ruang kerja William. William membuka matanya, dia sedikit terkejut, Frans kini berdiri di hadapannya. "Ada apa kau masih di sini? Kenapa kau belum pulang?" Frans tidak langsung menjawab , dia menarik kursi lalu duduk di hadapan William dan menyilangkan kakinya
Suara dering ponsel, membuat Marsha harus terbangun dari tidursnya. Marsha mengerjapkan matanya beberapa kali, dia mengambil poselnya di atas nakas dan langsung menata ke layar. Kening Marsha berkerut dalam, melihat nomor tidak dikenal, yang waktu itu menghubunginya kini kembali menghubunginya. Marsha memilih untuk menolak panggilan itu. Dan kembali meletakan ponselnya ke atas nakas. Dering ponsel kembali terdengar, ketika Marsha ingin membaringkan lagi tubuhnya. Ponselnya terus kembali berdering. Marsha mengumpat pelan, dia menyambar ponselnya. Dengan cepat, dia langsung mengusap layar poselnya dengan kasar untuk menerima panggilan. Lalu meletakan ke telinganya. "Kau siapa? Kenapa kau selalu menghubungiku dengan menggangguku!"Suara Marsha berseru dengan nada dingin. Tersirat penuh dengan kekesalannya. Dia meluapkan emosinya ketika panggilannya terhubung. "Marsha! Begini kau menyapaku ketika aku menghubungimu!" Suara wanita dari seberang line dengan nada yang terdengar marah. Mars
Marsha merendamkan tubuhnya di jacuzzi. Sabun aroma jamine begitu membuat pikirannya lebih tenang dan rileks. Hari ini, William berangkat lebih awal. Beruntung, Marsha tidak terlambat bangun. Menjadi seorang istri, menyiapkan segala keperluan suami, membuat Marsha sangat nyaman dengan hidupnya saat ini. Jika dulu, Marsha tidak pernah berniat menikah muda, namun sekarang dia begitu bersyukur. Menikah muda atau tidak, terpanting bagi Marsha adalah menemukan pria yang tepat dihidupnya. Tidak lama kemudian, saat Marsha selesai berendam, dia langsung memakai bathrobe dan berjalan keluar kamar mandi menuju walk-in closetnya. Marsha memilih gaun sederhana berwarna biru laut tali spaghetti. Kini Marsha mematut cermin, dia memoles wajahnya dengan moisturizer. Tentu semua produk kecantikan kulit, Marsha selalu menggunakan dokter kulit pribadinya. Terlebih dia sedang hamil, dia tidak mungkin sembarangan mengkosnsumsi produk kecantikan. Suara ketuka pintu terdengar, membuat Marsha mengalihkan p
William duduk di kursi kepemimpinan. Tatapnnya menatap Dimitry yang tengah membahas proyek pembangunan hotel di Roma. Kemudian, dia kembali membaca dokumen yang ada di hadapannya. "Tuan William, pembangunan hotel di Roma dan Milan, semua persiapan telah selesai," kata Dimitry yang baru saja selesai menjelaskan tentang proyek pembanguan hotel. William mengangguk. "Aku sudah membacanya. Semua persiapan telah selesai. Hanya tinggal memulai pembanguna. Dokumen semua telah lengkap. Kalau begitu, meeting cukup sampai di sini." William beranjak dari tempat duduknya. "Meeting selanjutnya akan diinformasikan oleh assistantku." William melangkah meninggalkan ruang meeting menuju ruang kerjanya. Suara dering ponsel membuat langkah William terhenti. Dia mengambil ponsel dari dalam jasnya, lalu menatap ke layar. William mengerutkan keningnya, menatap nomor tidak di kenal menghubunginya. Meski William tidak menyukai ada nomor asing yang menghubunginya, tapi jika jam kantor tidak mungkin William
Marsha duduk di tepi kolam renang. Dia memejamkan mata sebentar, menikmati hembusan angin yang menyentuh kulitnya. Hari menjelang sore, Marsha memilih mnenikmati cuaca yang begitu cerah."Kenapa kau di sini sayang?" Suara William dari arah belakang, menbuat Marsha sedikit terkejut dan langsung menoleh ke arah belakang. "William? Kau sudah pulang?" Marsha tersenyum, ketika melihat William kini melangkah mendekat ke arahnya. "Ya, aku sudah pulang. Kita masuk ke kamar, hari sudah sore." William mengulurkan tangannya, membantu Marsha untuk berdiri. Marsha tersenyum, dia langsung menyambut uluran dan langsung beranjak dari tempat duduknya. Kemudian, Marsha memeluk lengan William, dan melangkah masuk menuju kamar. "William, kau mandilah. Aku akan menyiapkan pakain untukmu," kata Marsha saat dia dan William sudah tiba di kamar. William mengangguk, dia mengecup kening Marsha. Lalu berjalan menuju kamar mandi. Melihat William sudah menuju kamar mandi, Marsha langsung menyiapkan pakaian un
Frans melanjutkan mobilnya dengan kecepatan sedang. Dia melihat sebuah note di tangannya yang tertulis alamat pribadi Chloe Watson yang tidak diketahui publik. Rasa penasaran Frans, membuatnya mencari tahu tentang Chloe Watson. Frans sangat yakin, dia mengenal Chloe. Tidak hanya itu, Frans sering melihat Chloe berusaha menutupi kesedihan diwajahnya. Terlebih, pernyataan Chloe yang pernah mengatakan selalu membaca artikel tentang William dan Marsha, membuat keyakinan Frans kini semakin bertambah. Tidak lama kemudian, mobil Frans mulai memasuki apartemen yang sesuai dengan alamat yang ada di note itu. Setelah memarkirkan mobilnya, Frans melangkah masuk ke dalam. Frans menatap apartemen milik Chloe Watson, berada dilantai tertinggi. Lantai 65. di lantai tertinggi apartemen ini hanya ditempati oleh Chloe. Saat tiba di lanti 65, Frans mengedarkan pandangannya. Suana apartemen begitu sepi. Ketika Frans melihat anak buah Chloe yang tengah berkeliling, dengan cepat Frans langsung berembunyi
William yang baru saja menyelesaikan meeting dengan clientnya, dia terkejut saat mendengar ucapan Frans di telepon. Meski dia langsung mengirimkan anak buahnya ke alamat yang dikirimkan Frans, tapi William masih tidak mengerti apa maksud dari ucapan Frans. William melihat beberapa panggilan tidak terjawab dari Marsha, dia sudah beberapa kali mencoba menghubungi istrinya kembali. Tapi tetap tidak ada jawaban. "Tuan," Albert berlari masuk ke ruang kerja William. Dengan wajah panik dan ketakutan, Albert terus menunduk tidak berani menatap William."Ada apa Albert?" tanya William dingin. "T-Tuan, Nyonya.. Tuan...." Albert menunduk, dia terlihat begitu gugup dan tidak berani melihat William. "Katakan yang jelas! Ada apa Albert!" seru William. "Tiga mobil pengawal Nyonya, terbakar Tuan..." Albert mengatakan dengan hati-hati. Dia masih terus menunduk. "Maksudmu apa Albert! Berikan informasi yang jelas!" William melayangkan tatapan tajamnya pada Albert. Terdengar suara geraman kemarahan.
William turun dari mobilnya, bersamaan dengan Frans, Albert dan juga Liana. Tatapan William menatap tajam sebuah gedung seperti gedung kosong, yang tidak pernah terpakai itu. Namun, saat William turun dari mobil, anak buah Chloe berhamburan menyerang William. William menggerakan kepalanya, memberi isyarat anak buahnya melawan anak buah Chloe. Tidak hanya Wiliam, tapi Frans juga langsung memberi isyarat pada anak buahnya untuk membantu anak buah Willliam. "William! Anak buah Chloe terlalu banyak!" tukas Frans. Dia mengepalkan sebelah tangannya dengan kuat. Tatapannya menatap beberapa anak buahnya tersungkur di lantai. "Kita tidak akan kalah," jawab William dingin. Pandangan William mencari jalan masuk ke gedung itu. Dia harus berhati-hati, karena ada puluhan anak buah Chloe di hadapannya.BrakkkSeorang pria hendak memukul William dari belakang, namun Albert lebih dulu menendang pria itu hingga tersungkur di lantai. Kini tiga orang pria hendak menyerang William dan Frans. Albert lan
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d