Raymond menarik dagu Laura, mencium dan melumat lembut bibir wanita itu. Tidak hanya diam, Laura memejamkan matanya membalas pagutan yang diberikan Raymond. "Sialan! Beraninya kau menyentuh adikku!" Suara teriakan William begitu menggelegar saat masuk ke dalam rumah. Tatapannya menajam ke arah Raymond yang berani mencium Laura."K-Kakak?" Laura terkejut ketika melihat William sudah berada di rumah. Tidak hanya itu, Laura juga sungguh malu karena ada Marsha, Karin dan Frans. "William, tenangkan dirimu." Marsha yang berdiri di samping William, menahan tangan William berusaha menenangkan suaminya itu. William melepaskan tangan Marsha yang menahan dirinya. Frans yang menghalangi langkah William, juga tidak berhasil. Karena William langsung mendorong tubuh Frans hingga membuat Frans tersungkur di lantai. William menarik kerah baju Raymond, dia melayangkan pukulan di pelipis dan hidung Raymond berkali-kali. Raymond tersungkur di lantai dengan wajah yang penuh dengan darah. Marsha, Laura
William duduk di tepi ranjang sembari merapihkan rambut istrinya. Beruntung dokter segera datang. Meski dokter mengatakan tidak terjadi sesuatu pada istri dan anaknya, tapi tetap saja William tidak pernah bisa tenang. Jika Marsha sudah merintih kesakitan di perut, William tidak akan pernah bisa untuk tidak mencemaskan anak dan istrinya. "Setelah ini, kau harus lebih banyak beristirahat Marsha. Jika kau ingin berbelanja dan membeli sesuatu, kau bisa meminta Luna untuk membelikannya. Aku tidak ingin kau terlalu lelah," ujar William mengingatkan istrinya itu. Dia tidak ingin terjadi sesuatu pada istri dan anaknya. "Aku tidak apa-apa William," jawab Marsha. "Hanya sakit sedikit saja, lagi pula ini bukan pertama kalinya sakit. Jadi kau tidak perlu cemas." Marsha berusaha mengulas senyuman hangat di wajahnya. Sungguh dia merasa bersalah karena membohongi suaminya. Tapi, jika Masha tidak berpura-pura seperti tadi maka William bisa saja membunuh Raymond. Tidak ada pilihan lain, hanya ini y
Keesokan hari, Marsha sudah lebih dulu bangun. Dia menyiapkan pakaian untuk suaminya. Jika biasanya Marsha sering terlambat bangun, kali ini Marsha bangun jauh lebih awal dari William. Marsha memilih jas berwarna silver dengan arloji yang warnanya senada dengan jas yang dia pilih. Senyum di bibir William terukir, ketika melihat Marsha yang tengah sibuk menyiapkan pakaian untuknya. William melangkah masuk ke dalam walk in closet, dia langsung memakai pakaian yang di siapkan oleh istrinya itu. "William, apa kau malam ini pulang terlambat?" tanya Marsha sembari memakaikan dasi untuk William. "Aku belum tahu apa saja jadwalku hari ini." William mengecup kening Marsha. "Tapi, aku akan usahakan pulang lebih awal.""Yasudah, jangan terlalu pulang larut malam," balas Marsha mengingatkan. "Aku tidak suka tidur sendirian." William menarik dagu Marsha, mencium dan melumat lembut bibir istrinya itu. "Aku juga tidak suka jika tidur sendirian." "Marsha, hari ini kau jangan terlalu lelah. Jika
Raymond menyandarkan punggungnya di kursi sembari menyesap wine di tangannya. Beberapa hari ini, meski dirinya terus memikirkan Laura tapi tidak membuat Raymond mengabaikan pekerjan. Kenyataannya, dia mampu membuat perusahaan yang berada di bawah kepemimpinannya kini berkembang pesat.Terdengar suara interkom masuk, membuat Raymond menghentikan lamunannya. Raymond meletakan gelas sloki di atas meja, lalu menekan tombol penerima. "Ya, ada apa?" jawab Raymond saat panggilannya terhubung. "Tuan Raymond, maaf mengganggu anda tapi ada tamu yang ingin bertemu dengan anda," ujar Lydia sang sektretaris dari seberang line. Raymond mengerutkan keningnya. "Siapa yang mencariku? Bukannya hari ini sudah tidak ada lagi yang memiliki janji denganku?""Tuan William Geovan, beliau yang datang menemui anda tuan." "William Geovan?" "Benar tuan." "Persilahkan dia masuk," Raymond menekan tombol untuk mengakhir panggilan.Pandangan Raymond kini teralih ke arah pintu. Menunggu tamu yang sama sekali ti
Marsha duduk di sofa dengan tatapan menatap bingung William yang terngah bersiap-siap. Marsha tidak percaya dengan apa yang dikatakan William sebelumnya. Suaminya itu akan bermain badminton. Bahkan hari ini William sengaja tidak bekerja hanya untuk bermain badminton. "William, kau yakin bermain badminton hari ini?" tanya Marsha memastikan. Dia masih belum percaya, suaminya memilih bermain badminton dari pada harus berangkat ke kantor. Sedangkan yang Marsha tahu, pekerjaan adalah bagian hidup William. Suaminya itu tidak mungkin meninggalkan pekerjaan hanya karena ingin bermain badminton."Ya, kau juga ikut." William mengambil jaket yang terletak di sofa, lalu memakai jaket itu. "Kau mengajakku?" Marsha mengerutkan keningnya. "Tapi, aku sudah lama tidak bermain badminton. Untuk kegiatan olah raga, biasanya yang hebat itu Karin. Bukan diriku. Aku tidak terlalu hebat bermain badminton. Pasti aku akan kalah darimu."William tersenyum, dia melangkah mendekat ke arah Marsha. Lalu mengusap
"Dan kau pikir aku ini mudah kau tipu?" balas Willam dengan seringai di wajahnya. "Apa kau ingin, anak buahmu aku lenyapkan karena berani mematai-mataiku?" "Sialan kau William!" seru Frans. "Hentikan Wiliam, kenapa kau berdebat dengan Frans.." kata Marsha menengahi. "Frans, sudahlah.." Karin menarik tangan Frans, menenangkan kekasihnya yang tengah kesal. "Apa aku datang terlambat?" Suara bariton dari arah belakang, membuat semua yang ada di sana mengalihkan pandangan mereka menatap sosok pria yang baru saja masuk ke dalam."Raymond?" Marsha dan Laura, sama-sama terkejut melihat kedatangan Raymond. "Jadi, seorang William Geovan ingin bermain-main hari ini?" Raymond menyunggingkan senyuman miring. "Aku menyukai caramu memilih permainan ini." "Kau tidak takut?" William melayangkan tatapan dingin pada Raymond yang berdiri di hadapannya. "Tidak," Raymond menggeleng tegas. "Aku akan menerima segala tantanganmu," "Alright, buktikan jika memang kau mampu." William menyeringai, dia men
Permainan kembali dimulai. Raymond terus menangkis setiap serangan William. Terlihat William begitu hebat melawan Raymond. Waktu tersisa hanya satu menit lagi. Dan suara pekikan terdengar ketika waktu sudah habis, salah satu diantara mereka berhasil menambah skor.Suara pekikan Laura begitu keras terdengar. Raymond berhasil membuat skor satu sama. Terlihat wajah Laura yang begitu bahagia. Meski Raymond tidak mengalahkan William, namun pria itu memiliki skor yang sama dengan William. Setidaknya Laura sangat bahagia akan hal itu. Marsha tersenyum senang ketika melihat kebahagiaan di wajah Laura. Bagi Marsha, tidak perduli kalah atau menang. Suaminya tetap melakukan yang terbaik. Bahkan William begitu hebat dalam bermain badminton. Kali ini Marsha harus mengakui kebenaran, suaminya begitu sempurna. Pantas saja, selama ini begitu banyak wanita yang mengagumi William. "Yess! Akhirnya aku bisa melihat lawan seimbang William!" seru Frans antusias. "Jika seperti ini, sepupuku itu tidak lagi
William tersenyum sinis mendengar perkataan Raymond. "Kau menggantikan posisi adikmu? Bukannya aku sudah mengatakan, kalau aku tidak memiliki sifat baik? Kau pikir aku akan menerima permintaan maaf jika kau yang melakukan itu? Aku hanya ingin adikmu yang dipermalukan. Sama seperti adikmu mempermalukan adikku. Jika aku berada dalam posisimu, aku tidak akan bertanggung jawab. Aku selalu mengajarkan adikku, untuk menerima akibat dari segala yang telah dia lakukan."Raymond terdiam, dia tidak mampu lagi berkata-kata. Kali ini, perkataan William sukses membuat dirinya bungkam. "William..." tegur Marsha pelan. Dia langsung menyentuh lengan suaminya. "Lebih baik sekarang kau ganti pakaianmu." Marsha sengaja melakukan ini. Dia ingin menghentikan perdebatan ini. "Laura, kau bawa Raymond ke kamar tamu. Nanti aku akan meminta Luna untuk menyiapkan makanan untuk kalian," ujar Marsha. "Kau juga Frans, bawa Karin masuk. Lebih baik kalian istirahat. Nanti Luna juga akan membawakan makan untuk kali
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d