Raymond turun dari mobil, dia membanting kasar pintu mobil. Wajah Raymond terlihat begitu marah, dia masih mengingat semua perkataan Marsha. Raymond berjalan masuk ke dalam rumah. Bahkan saat masuk ke dalam rumah, Raymond tidak membalas sapaan para pelayan yang menyambut dirinya. Raymond terus melangkah menuju ruang keluarga. "Celine!" Suara Raymond berteriak begitu keras. Hingga membuat semua orang yang ada di ruang keluarga terkejut, ketika melihat Raymond masuk ke dalam ruang kerluarga. "Raymond? Ada apa? Kenapa kau berteriak seperti ini?" Dahlia beranjak dari tempat duduknya, dia melangkah mendekat ke arah putranya. Raymond tidak menjawab, tatapannya menatap tajam Celine yang masih duduk tidak jauh darinya. "Ka kenapa kau berteriak memanggilku seperti itu?" seru Celine kesal. Dia paling tidak suka jika dipanggil dengan keras seperti ini. "Kau masih bertanya kenapa setelah ulah yang kau perbuat Celine? Sejak kapan kau memandang seseorang dari sudut pandangmu yang buruk itu?" R
"Jika kau mengatakan itu aku sungguh malu," Marsha terkekeh kecil. "Selama ini aku hanya kuliah. Sebelumnya ayahku yang memberikanku uang dan segala fasilitas. Dan sekarang, aku memiliki suami, tentu semuanya di ambil alih William. Aku tidak pernah merasakan susahnya mencari uang seperti orang lain. Terkadang aku ingin seperti orang lain, tapi itu pasti tidak mungkin. William tidak mungkin membiarkanku harus memikirkan cara mencari uang. Jika Willam tahu, itu sama saja aku mencari masalah dengannya."Laura mengulum senyumannya. "Dulu aku pernah mencari uang sendiri. Ketika aku di Melbourne, aku menjual hasil lukisanku. Dan mengikuti beberapa kompetisi pameran. Hingga aku berhasil membuat pameran lukisanku sendiri di Melbourne. Di sana aku belajar untuk bertahan hidup. Aku tidak mengandalkan uang kelaurgaku. Aku belajar bagaimana susahnya mencari uang. Tapi percayalah Marsha, ada masa dimana aku tidak tahan karena uangku masih belum cukup membeli barang-barang mahal yang biasa aku beli
Karin melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, kini dia mulai membelokan mobilnya masuk ke dalam halaman parkir rumah Marsha. Karin turun dari mobil. dia langsung berjalan masuk ke dalam rumah sahabatnya itu. "Selamat pagi Nona Karin," sapa seorang pelayan menundukan kepalanya saat Karin masuk ke dalam rumah. Karin tersenyum ramah. "Pagi, apa Marsha sudah bangun?" "Nyonya Marsha sepertinya masih di dalam kamar. Apa Nona Karin ingin saya panggilkan nyonya?" tawar pelayan itu. "Tidak usah, aku ke ruang makan saja. Nanti pasti Marsha turun," jawab Karin. "Baik nona. Kalau begitu saya permisi," pamit pelayan itu, lalu dia undur diri dari hadapan Karin. Karin melanjutkan langkahnya menuju ruang makan. Karin sengaja tidak membangunkan Marsha, dia memilih untuk menunggu Marsha hingga turun ke bawah."Karin?" Laura sedikit terkejut melihat Karin berada di ambang pintu. Tatapan Karin menatap Laura dan Raymond yang tengah berada di meja makan. "Hi Laura, Hi Raymond." Karin mendekat, d
Siang itu, Marsha menemani Karin pergi ke Dufferin Mall. Sesuai dengan keinginan Karin, Marsha menemani sahabatnya itu berjalan-jalan di mall. "Karin, kau ingin membeli sesuatu?" tanya Marsha sambil melihat ke arah Karin yang berdiri di sampingnya. "Aku ingin membeli beberapa dress untuk ibuku," jawab Karin. "Kita ke sana saja, aku juga ingin membeli sesuatu untuk ibuku dan ibu mertuaku," tunjuk Marsha pada salah satu toko yang lokasinya tidak jauh darinya. "Oke kita ke sana." Karin langsung memeluk lengan Marsha, kini mereka berjalan menuju toko yang lokasinya tidak jauh dari mereka. Saat di dalam toko, Marsha memilh beberapa dress untuk Clara dan Veronica. Beruntung ukuran badan mereka sama. Meski Clara dan Veronica sudah tidak muda lagi, tapi mereka masih memiliki tubuh yang indah. Itu yang membuat Marsha tidak sulit memilihkan dress untuk mereka. Pilihan Marsha jatuh pada gaun berwarna navy dan maroon. Marsha menatap kedua gaun ini benar-benar sangat indah. "Karin, apa kau
Marsha melangkah masuk ke dalam kamar. Dia merenggangkan lehernya, dan segera melepas sepatu. Setelah pergi ke mall bersama dengan Karin, sampai bertemu dengan Dahlia membuat Marsha sedikit kelelahan. Semenjak hamil, Marsha memang mudah sekali lelah. Berbeda dengan Laura yang terlihat begitu kuat. Mungkin alasan salah satunya karena Marsha jarang sekali olah raga. Berbeda dengan Laura yang setiap pagi selalu yoga sebelum memulai aktivitasnya. Marsha melangkah menuju sofa, dia duduk di sofa empuk kamarnya. Mengambil remote televisi dan menekan tombol on. Marsha mengambil pacakes yang baru saja diantar pelayan. Tidak mungkin Marsha bersantai di dalam kamar sambil menonton televisi tanpa ngemil. Kehamilan membuat Marsha sering mudah lapar. "Kenapa ini enak sekali," gumam Marsha saat menikmati pancakes saus coklat. Pandangan Marsha kini menatap layar televisi yang menyiarkan berita terbaru. Namun, seketika Marsha sedikit terkejut dengan apa yang dikatakan oleh pembawa berita itu. Marsh
Malam itu, hujan begitu deras membasahi kota. Setelah perjalanan cukup panjang, William kini sudah tiba di mansion. Saat di bandara, dia langsung memilih untuk pulang ke rumah. Para pelayan dan penjaga menundukan kepala mereka ketika William melangkah masuk ke dalam rumah. "Di mana istriku?" tanya William pada pelayan yang berada di sampingnya. "Nyonya Marsha sedang tidur tuan," jawab pelayan itu.William mengangguk singkat, dia melanjutkan langkahnya menuju kamar. William melirik arloji kini sudah pukul sepuluh malam. Pantas saja jika istrinya itu sudah tidur.Saat William sudah tiba di kamar, dia menatap Marsha yang masih tertidur lelap. Bahkan ketika William masuk, istrinya itu tetap masih tertidur. William melonggarkan dasinya, lalu dia melepaskan jas dan dasi. Kemudian meletakannya di sofa. William berjalan mendekat ke arah ranjang, dia duduk di tepi ranjang. Pandangannya terus menatap wajah Marsha yang terlihat begitu polos ketika tertidur pulas. William mengelus lembut pipi
Sinar matahari pagi menembus tirai-tirai. Marsha menguap dan menggeliat. Dia mulai membuka matanya. Tangan Marsha meraba ke samping, ketika ranjang sudah kosong Marsha langsung menoleh. Marsha mendengus ketika melihat William sudah tidak ada di sampingnya. Marsha beranjak dari tempat tidur, dia mengikat asal rambutnya. Kemudian berjalan menuju kamar mandi. Tidak ingin marah di pagi hari, lebih baik Marsha memilih untuk membersihkan diri.Setelah selesai mandi dan sudah mengganti pakaiannya. Marsha memeriksa nakas. Biasanya William selalu meletakan note di sana. Namun, ketika Marsha memeriksa di atas nakas masih kosong. Tidak ada note yang biasa ditulis William. Dengan cepat Marsha menyambar ponselnya yang terletak di atas nakas dan langsung menghubungi William."William menghubungi siapa sepagi ini!" gerutu Marsha saat nomor telepon William tengah sibuk. Marsha kembali mencoba, tapi hingga lima kali Marsha menghubungi suaminya itu tetap saja nomor telepon Willam sibuk. "Apa kau menca
Marsha melihat jam dinding, kini sudah pukul dua siang. Marsha yang masih berada di kamar pribadi suaminya tengah duduk di sofa empuk sembari menonton film. Sedangkan William berada tidak jauh dengan Marsha. Hanya saja suaminya itu tengah berkutat dengan macbook ditangannya. "William, apa nanti kau akan meeting lagi?" tanya Marsha memastikan. Rasanya dia tidak rela jika William meninggalkannya. Ya, meski Marsha tahu itu terdengar sangat egois. Tapi Marsha memang ingin selalu berada disisi suaminya. "Aku rasa Direktur pemasaranku bisa menggantikanku," jawab William tanpa mengalihkan pandangannya yang fokus pada macbooknya. Terdengar suara ketukan pintu, William dan Marsha mengalihkan pandangan mereka ke aarah pintu. William langsung menginterupsi untuk masuk. "Tuan.. Nyonya.." sapa Albert saat masuk ke dalam. "Ada apa Albert?" tanya William dingin. "Tuan, Luna sudah menunggu di ruangan anda tuan," jawab Albert. "Siapa Luna?" Marsha memincingkan matanya ke arah William. William
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d