Setelah acara ulang tahun William, kini William dan Marsha sudah kembali ke rumah. Marsha memeluk lengan William dan melangkah masuk ke dalam kamar. Marsha sengaja untuk memberikan hadiah untuk suaminya saat mereka sudah berada di kamar. Marsha bersyukur semua rencana dirinya dan Laura berlangsung dengan sempurna. Beruntung Laura selalu membantu Marsha. Tidak hanya itu, Laura juga mengingatkan Marsha ulang tahun suaminya. Sungguh memalukan, Marsha ingat ulang tahun William masih bukan depan. Tapi kenyataannya salah. Jika saja Marsha sampai melupakan ulang tahun suaminya sendiri, Marsha pasti akan sangat malu pada suaminya. Tiba-tiba saat William dan Marsha sudah berada di dalam kamar, tanpa di duga William langsung menangkup pipi Marsha dan melumat bibir istrinya itu. Tangan kanan William mulai meremas pelan gundukan kembar di dada Marsha hingga membuat Marsha mendesah."William, kau harus melihat hadiah dariku dulu," bisik Marsha saat pagutan mereka terlepas. William menyapukan je
Sinar matahari pagi menembus dari sela-sela tirai. William yang sudah lebih dulu bangun, dia tidak henti menatap wajah Marsha yang tertidur pulas. Tubuh polos istrinya masih terbalut dengan selimut. William mengelus lembut pipi Marsha yang mulai bertambah berisi. William senang, melihat pipi istrinya yang mulai berisi itu. William mulai menelusuri wajah Marsha, bulu mata yang lentik, hidung yang mungil, bibir ranum yang selalu menggodanya itu. Perlahan Marsha mulai menggeliat dan membuka matanya ketika merasakan sentuhan di wajahnya. Senyum di bibir Marsha terukir, ketika melihat suaminya terus menatap dirinya. William menarik pelan tangan Marsha dan membawanya ke dalam pelukannya. "Apa aku mengganggu tidurmu?" Marsha membenamkan wajahnya di dada William, menghirup aroma tubuh suaminya yang begitu dia sukai. Kemudian Marsha mendongak dari dalam pelukan William. "Tidak, kau tidak membangunkanku. Aku menyukai seperti ini, ketika aku bangun pagi kau masih berada di sampingku.""Maaf
William tengah membaca dokumen yang baru saja diberikan oleh Aluna sekretarisnya. Meski sudah diperiksa oleh Albert, tapi William selalu kembali memeriksa dokumen sebelum menandatanganinya. Suara ketukan pintu terdengar membuat William mengalihkan pandangannya. Kemudian William menginterupsi untuk masuk. "Tuan," Albert menundukan kepalanya saat melangkah masuk ke dalam ruang kerja William. "Ada apa?" tanya William dingin. Dia kembali membaca dokumen di hadapannnya. "Tuan saya ingin memberitahu kalau saya sudah mendapatkan assistant paling tepat untuk nyonya. Namanya Luna , dia lulusan terbaik dari Cambridge University. Tidak hanya itu Luna juga mampu menguasai lima bahasa. Russia, prancis, jepang, mandarin dan english. Luna juga mampu bela diri. Saat ini usianya masih 26 tahun," jelas Albert. "Apa kau yakin dia tidak akan seperti yang terakhir kau pilih?" suara William bertanya tersirat sindiran dan nada yang tidak ramah. "Tidak tuan," jawab Albert meyakinkan. "Saya sudah menyel
Keesokan hari, Marsha bangun lebih awal. Marsha sengaja bangun lebih awal untuk menyiapkan segala kebutuhan yang akan di bawa oleh suaminya itu. Kini Marsha tengah memasukan barang-barang yang akan dibawa William. Meski berat, Marsha harus mengerti suaminya memiliki tanggung jawab atas perusahaan. Jika dulu William melakukan perjalanan bisnis selalu membawa dirinya, sekarang niat itu harus tertunda. Benar apa yang dikatakan William tadi malam. Saat ini dirinya tengah hamil, mereka baru saja kembali dari Las Vegas. Tidak mungkin Marsha harus kembali dalam perjalanan yang cukup jauh. William yang baru saja masuk ke dalam kamar, dia menatap istrinya tengah menata barang-barang yang akan dia bawa ke Madrid. Senyum di bibir William terukir, ketika mengingat istrinya itu merajuk meminta untuk ikut. Semenjak Marsha hamil, istrinya itu memang lebih bersikap seperti anak-anak. Apa pun yang Marsha inginkan, biasanya Marsha selalu memaksa William memenuhi keinginannya. Hingga kemudian, Willia
Mobil Marsha mulai memasuki lobby kampus. Sebelum turun dari mobil, Marsha meminta sopirnya untuk menunggu di kafe dekat kampusnya. Karena Marsha masih tidak tahu, kapan dia akan selesai berbicara dengan dosennya. Marsha melangkah masuk ke dalam kampus. Senyum di bibir Marsha terukir ketika melihat banyak mahasiswa baru. Tanpa terasa waktu berjalan begitu cepat, dirinya sebentar lagi akan lulus kuliah. Tidak pernah Marsha berpikir, di usianya yang masih muda, dia sudah akan menjadi seorang ibu."Marsha," panggil Karin ketika melihat Marsha, dia langsung berlari ke arah sahabatnya itu. Marsha menoleh dan menatap Karin yang tengah berlari ke arahnya. "Karin? Kau baru sampai? Aku pikir kau sudah di ruangan Mr. Gerald." Karin mendesah pelan. "Ban mobilku kempes, dan Frans menjemputku sangat lama. Salahkan Frans, menjemputku lama!" Marsha mengulum senyumannya. "Yasudah, lebih baik kita ke ruangan Mr. Gerald. Aku tidak ingin menjelang lulus harus mendengar dia memarahiku." "Mr. Gerald
Laura mematut cermin, kini tubuhnya sudah terbalut dengan gaun berwarna navy dengan model bagian atas x-straps. Perutnya sudah semakin membucit. Semua orang yang melihat tentu tahu, jika dirinya tengah mengandung. Hingga detik ini Laura masih belum bertanya apakan keluarga Raymond tahu jika dirinya tengah mengandung. Mengingat keluarga Raymond tinggal di Jepang dan Raymond juga sangat sibuk. Laura yakin, Raymond masih belum memberitahu keluarga pria itu.Suara dering ponsel, memecahkan keheningan. Laura mengalihkan pandangannya pada ponsel, kemudian dia mengambil ponsel di atas meja rias dan menatap ke layar. Tertera nama Raymond mengirimkan pesan padanya. Tanpa menunggu lama, Laura langsung membuka pesan dari Raymond itu. *Aku sudah di depan rumahmu, keluarlah. - Raymond. J.* Laura tersenyum ketika membaca pesan Raymond. Laura langsung mengambil tas dan ponsel di atas meja rias, serta shopping bag yang berisikan dua tas terbaru untuk ibu dan adiknya Rayomd. Tidak hanya untuk ibu da
Suasana hening di dalam mobil, baik Laura dan Raymond mereka berdua tidak berbicara sepatah kata pun. Setelah pertemuan dengan keluarga Raymond, Laura lebih memilih untuk diam dan tidak mengatakan apa pun. Sedangkan Raymond, sesekali melihat Laura yang lebih memilih menatap ke luar jendela."Laura?" panggil Raymond yang sejak tadi sudah tidak tahan ingin bicara dengan Laura. Laura mengalihkan pandangannya, lalu menoleh ke arah Raymond. "Ada apa?" "Aku sungguh minta maaf atas apa yang dikatakan adikku. Celine begitu dekat dengan Marsha, aku mohon maafkan Celine. Aku berjanji setelah ini Celine tidak akan bebricara seperti itu lagi." Raymond membawa tangannya, menyentuh tangan Laura dan meremasnya pelan. Raymond tahu, ini sangat melukai hati Laura dan Raymond tidak ingin Laura terluka karena itu. Laura mendesah pelan. "Aku mengerti Raymond. Aku tahu, pasti adikmu menginginkan Marsha menjadi kakak iparnya. Ini tidak sepenuhnya salah Celine. Lambat laun. Celinen akan menerimanya. Jadi
Pagi hari, Marsha memilih untuk berenang. Sinar matahari pagi, begitu menyejukan. Hembusan angin begitu menangkan kulitnya. Marsha memang jarang berenang, dia tidak terlalu hebat dalam berenang. Tidak seperti Karin dan Laura, dua wanita itu sangat hebat. Tiga puluh menit kemudian, setelah Marsha puas berenang dia langsung naik dan duduk di tepi kolam. Pelayan datang menghampirinya membawakan Marsha orange juice dan sandwich daging."Apa kau melihat Laura?" tanya Marsha pada pelayan yang membawakannya sarapan. "Nona Laura sedang berada di studio lukis nyonya," jawab pelayan itu. Marsha mengangguk. "Terima kasih." "Sama-sama nyonya. Kalau begitu saya permisi," pelayan itu menundukan kepalanya lalu undur diri dari hadapan Marsha. Kemarin ketika Laura menceritakan pertemuan dengan Keluarga Raymond, jujur saja Marsha merasa tidak enak. Laura memang mengatakan jika dia mengerti dengan semuanya, tapi Marsha tahu hati Laura pasti sakit. Marsha sangat mengenal Celine, adik Raymond itu mem
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d