Albert bersembunyi di balik dinding, ia terus mengawasi pergerakan Anneta. Para pengawal telah berpura-pura memakan cake yang dibuat oleh Anneta. Saat Anneta keluar dari kamarnya dan membawa koper dengan cepat Albert melangkah maju kearah Anneta. "Kau ingin kemana?" tanya Albert dingin dan tatapan tajam pada Anneta. "T-Tuan Albert?" Anneta gugup saat melihat Albert menghadangnya. "Kau ingin melarikan diri Anneta?" tukas Albert. "T-Tidak tuan, saya tidak melarikan diri. Saya hanya ingin menjenguk keluarga saya yang sedang sakit tuan." jawab Anneta, ia menundukan kepalanya tidak berani menatap Albert. "Anneta, kau tahu kau ini bekerja dengan Tuan William Geovan. Kenapa kau sangat berani? kau mengantarkan sendiri kematian mu Anneta!" tukas Albert, tajam. "M-Maksud tuan apa? saya tidak mengerti apa yang tuan katakan." ucap Anneta gugup. "Jangan berpura-pura Anneta! kau tidak bisa menipu ku! kau memasukan obat di dalam cake buatan mu dan kau memberikan pada seluruh pengawal disini?
Melvin menarik lengan Alice dengan kasar. Ia menyeret Alice masuk ke dalam kamarnya. Amarah Melvin sudah tidak bisa lagi tertahan. Terlebih ketika melihat perut Alice kini sudah tidak lagi membuncit. Ini sudah jelas, Alice telah membunuh anaknya. Rahang Melvin mengeras, sorot mata tajam dan menuusuk ketika mengingat Alice telah membunuh anaknya. BrukkkMelvin melempar Alice hingga bersimpuh di lantai. Alice meringis dan menjerit kesakitan. Tapi Melvin tidak akan pernah memperdulikan setiap rintihan kesakitan Alice. Itu semua tidak sebanding karena Alice dengan kejam telah membunuh anaknya."Sialan kau Melvin! lepaskan aku!" sentak Alice, ia mengelus lengannya menahan sakit. "Harus aku apakan wanita yang begitu kejam membunuh anaknya sendiri!" tukas Melvin dengan penuh emosi."Aku sudah mengatakan pada mu! jika kau menginginkan anak, kau bisa mencari wanita yang mau mengandung anak mu!" seru Alice. Melvin menarik kasar rambut Alice. "Kau wanita rendah yang pernah aku temui! kau menc
Raymond menatap setumpuk dokumen di atas mejanya. Keadaan ruangan kerja Raymond kini berantakan, ia tidak bisa lagi berpikir. Proyek yang dia kerjakan dengan dana yang sangat besar tidak berjalan dengan baik. Waktu yang diberikan oleh William hanya tinggal beberapa hari lagi, itu sangat tidak mungkin Raymond akan berhasil. Jika seperti ini bukan hanya dia gagal, tapi perusahaanya berada di ambang kehancuran. Dering ponsel milik Raymond tidak berhenti berdering sejak kemarin. Raymond tahu, itu pasti keluarganya yang berada di Jepang. Anak buah dari ayahnya selalu mengawasi pekerjaan Raymond. Mengingat dulunya Jefferson Company pernah hampir bangkrut. Ribuan karyawan menggantungkan nasibnya di prusahaan ini, Raymond tidak mungkin membiarkan perusahaan keluarganya hancur karena ulah yang dia perbuat. "Tuan Raymond." sapa Dion assistant Raymond. Ia menundukan kepalanya saat masuk ke ruang kerja Raymond. "Ada apa? bukannya aku sudah mengatakan pada mu untuk jangan menganggu ku?" suara R
Karin berjalan keluar dari kelas, ia melirik arloji kini sudah pukul sebelas siang. Hari ini Karin dan Marsha memiliki jadwal mata kuliah yang berbeda. Karin melirik ke arah taman, tapi Marsha tidak ada di taman. Akhirnya Karin melangkah menuju kelas Marsha, ia berpikir mungkin Marsha masih di dalam kelas. Karin duduk di depan kelas Marsha, sembari menunggu Marsha menyelesaikan mata kuliahnya hari ini. Sebenarnya perut Karin sudah lapar, tapi tidak mungkin Karin meninggalkan Marsha. Biasanya Marsha selalu menunggu dirinya, jadi dia juga harus menunggu Marsha. Saat Karin tengah duduk menunggu Marsha, terdengar dering ponsel miliknya. Karin mengambil ponselnya di dalam tas dan melihat ke layar. Karin mengerutkan keningnya ketika nomor tidak di kenal mengirimkan pesan padanya. +1613879XXX : Hari ini seperti biasa aku akan menjemput mu, sopir ku akan membawa mobil mu. Aku tidak menerima penolakan Karin. Karena kita harus saling mengenal satu sama lain. - Frans Geovan. Karin berdecak k
Marsha memarkirkan mobilnya ke dalam mansion. Hari ini ia pulang lebih cepat, karena tadi Karin sudah di jemput oleh Frans. Ia tidak mungkin mengganggu Karin dan Frans. Marsha ingin memberikan ruang bagi Karin mengenal lebih dekat Frans. Marsha melangkah masuk ke dalan rumah, ia langsung menuju studio lukis Laura. Tadi sebelumnya Laura sudah mengirim pesan padanya jika ia sudah berada di rumah. "Laura." panggil Marsha, ia melangkah masuk ke dalam studio lukis. Laura menoleh dan tersenyum. "Kau sudah pulang dari kampus Marsha?" "Ya aku sudah pulang. Kau sedang melukis apa?" Marsha mendekat dan duduk disamping Laura. "Coba tebak aku melukis apa." ucap Laura. Marsha menatap lukisan Laura. "Ah kau melukis kota Venice." jawab Marsha. "Kau benar, aku sudah lama sekali tidak mendatangi kota yang indah itu." ujar Laura. "Hem, bagaimana saat kau berbulan madu dengan Raymond kau mendatangi Venice?" tawar Marsha. Laura mendesah pelan. "Apa Raymond berhasil di persyaratan kedua? waktunya
Sinar matahari pagi begitu cerah, kini Marsha tengah bersiap menunuju kampus. Ia menatap cermin dan memoles make up tipis di wajahnya. Hari ini Marsha lebih memilih berpenampilan casual namun tetap terlihat sangat cantik. Ia memilih mini skrit denim dan kaos berwarna hitam dan di padukan sneakers berwana pink. Marsha melirik jam dinding sekarang masih pukul delapan pagi. William memang sudah berangkat lebih awal, sejak perbedatan kemarin dengan dirinya William memilih untuk diam. Marsha mengambil tasnya diatas meja, lalu ia melangkah keluar kamar menuju ruang makan. Perasaannya kini tidak enak karena sejak kemarin malam William mendiamkannya. Marsha hanya ingin membantu Laura, ia tidak ingin Laura kecewa. Selain itu Raymond adalah teman masa kecilnya. Marsha tahu, ini semua terjadi karena persyaratan dari William. Itu kenapa Marsha meminta William membantu Raymond. Jujur, Marsha tidak tega jika melihat perusahaan Raymond hancur. "Morning Laura." sapa Marsha saat memasuki ruang makan
Raymond menatap dokumen yang baru saja diberikan oleh Dion assistantnya. Kini pikirannya tidaka bisa lagi berpikir jernih, setelah Dion mengatakan ada investor yang akan menyuntikan dana sebesar dua miliar dollar ke perusahaanya. Tapi saat Raymond membaca dokumen tersebut, tertera nama Laura Geovan sebagai investor di perusahaannya. Rasanya tidak mungkin Raymond bisa menerima ini. Sungguh dia sangat malu jika wanitanya yang harus mengerluarkan uang demi menyelamatkan perusahaan miliknya. Disisi lain, Raymond juga tidak memiliki waktu terlebih dia kesulitan mendapatkan investor dalam waktu dekat ini. Raymond tidak bisa lagi berpikir, waktu yang diberikan William hanya tinggal beberapa hari. Jika dia tidak menerima dana yang di berikan Laura maka perusahaannya akan merugi dan pasti berada di ambang kehancuran. Raymond sudah berusaha mencari investor lain, tapi itu tidak mudah karena kondisi perusahaannya yang sedang tidak baik. Terlebih media selalu memberitakan tentang perusahaan mil
Marsha mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Ia baru saja mengunjungi rumah mertuanya. Beruntung kini keadaan mertuanya sudah membaik. Lukas sudah mulai pulih, hanya saja Marsha tahu ayah mertuanya masih enggan membahas tentang Laura. Marsha mengerti, Lukas sangat kecewa pada Laura. Tapi setidaknya tadi ibu mertuanya masih berpesan padanya untuk menjaga Laura. Veronica memang sosok wanita yang sangat baik dan lembut. Marsha yakin, suatu saat nanti ayah mertuanya akan memaafkan dan menerima Laura kembali. Ketika Marsha ingin membelokan mobilnya menuju mansionnya, ia memutar balik mobilnya. Rasanya mengunjungi suaminya di sore hari bukan hal yang buruk. Terlebih kemarin ia berdebat dengan William. Kali ini Marsha akan mencoba lagi menbujuk suaminya. Marsha memutar arah, ia menuju perusahaahn milik William. Saat Marsha tengah menyetir, terdengar dering ponsel miliknya. Ia mengambil ponselnya dan menatap ke layar, tertera nama Karin. Marsha berdecak kesal, kenapa temannya itu se
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d