William dan Marsha kini sudah tiba di rumah mereka, setelah kejutan manis dari William benar-benar membuat Marsha tidak akan pernah bisa melupakanya. Selama Marsha merayakan ulang tahun, hadiah dari William adalah hadiah yang terindah yang dia dapatkan. Dia sungguh tidak menyangka akan mendapatkan hadiah yang sangat manis dari William. Bahkan Marsha tidak pernah terpikir William akan melamarnya, karena memang mereka telah menikah berawal karena sebuah perjodohan tapi pada akhirnya mereka saling mencintai. Marsha yakin, di masa depan William akan memberikannya kebahagiaan. William adalah pria yang terbaik untuk dirinya. Bahkan Marsha bisa merasakan William begitu mencintai dirinya. Dulu, Marsha berpikir menikah dengan William tanpa cinta akan memiliki akhir yang menderita. Tapi itu salah, pada akhirnya Marsha dan William saling jatuh cinta. Meraka kini saling bahagia. Meski tidak pernah terpikir di awal Marsha akan jatuh cinta pada William, tentu alasannya karena William memiliki sifa
Kini Marsha duduk di taman, kampusnya. Dia duduk bersantai sambil menunggu mata kuliahnya. Pagi ini, dia tidak bersama dengan Karin, karena sahabatnya itu harus mengulang mata kuliah, itu kenapa Marsha duduk menyendiri di taman. Saat Marsha tengah membaca novel, terdengar suara dering ponsel miliknya. Marsha langsung mengalihkan pandangannya, dia meletakan novel di tangannya lalu mengambil ponselnya di dalam tas. Tatapan Marsha, teralih pada layar ponselnya. Dia mendesah pelan saat membaca nama yang tertera di layar ponselnya adalah Raymond. Tidak ada alasan baginya untuk menolak panggilan Raymond. Marsha menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian meletakan ke telinganya."Raymond?" sapa Marsha saat panggilannya terhubung. "Marsha, apa aku mengganggumu?" tanya Raymond dari seberang line. "Tidak, aku masih bersantai. Aku belum masuk ke kelas. Ada apa, Raymond?""Aku hanya ingin mengucapkan selamat ulang tahun untukmu, Marsha. Maaf aku baru mengucapkannya sekar
Marsha dan Karin kini sudah tiba di Scarborough Town Centre, salah satu mall terkenal di Toronto. Mereka melangkah masuk ke dalam mall. Rasanya sudah lama sekali Marsha tidak menghabiskan waktu bersama dengan Karin. Semenjak sudah menikah, Marsha sangat jarang pergi ke mall bersama Karin. "Marsha, kita makan ice cream di sana, aku sangat ingin ice cream rasa matcha," Karin menunjuk salah satu ice cream yang letaknya tidak jauh darinya. Marsha mengangguk. "Ya, belikan aku juga. Aku ingin rasa coklat. Aku ingin kirim pesan pada William. Tadi aku belum kirim pesan padanya jika aku ke mall bersamamu." "Baiklah, kalau begitu kau tunggu disini sebentar. Aku akan membelinya dulu," ujar Karin. "Ya, ingat berikan aku porsi large. Jangan small," balas Marsha mengingatkan. Dia tidak suka jika dia dibelikan ice cream dengan ukuran kecil.Karin mendengus. "Kau ini badan kecil, makanmu banyak sekali," cibirnya. "Memangnya kau ini sedikit? Kau juga banyak!" jawab Marsha tak mau kalah. "Sudah
"Marsha," Suara bariton memanggil nama Marsha cukup keras. Marsha dan Karin yang tengah mengobrol, mereka menghentikan obrolan mereka saat ada seseorang yang memanggil nama Marsha. Marsha dan Karin, langsung mengalihkan pandangan mereka ke sumber suara itu.Marsha mengerutkan keningnya, saat melihat sosok pria dengan balutan jas formal berjalan mendekat ke arahnya. "K-Kau?"Pria itu melangkah mendekat ke arah meja Marsha dan Karin. "Apa kabar Marsha? Lama tidak bertemu," sapanya dengan senyuman di wajahnya. "Melvin? Kau di sini?" Marsha sedikit terkejut, melihat Melvin kini berdiri di hadapannya. Melvin tersenyum. "Kau masih mengingatku rupanya, setelah kita sudah lama tidak bertemu." "Ingatanku masih bagus, Melvin. Kau juga pemilik perusahaan tempat di mana aku magang. Tidak mungkin aku lupa," balas Marsha. Tatapan Melvin kini teralih pada Karin yang duduk di depan Marsha. "Hi, Karin.." "Hi, Tuan Melvin," sapa Karin dengan senyuman di wajahnya. "Cukup panggil aku Melvin," jawab
Pagi hari, Marsha dan Laura tengah duduk bersantai di ruang keluarga sambil menonton film. Ya, seperti biasa weekend, Marsha akan menghabiskan waktunya di rumah. Karena sekarang ada Laura di rumanya, dia mengajak Laura menonton film. Sedangkn William, meskipun ini adalah weekend, tapi William tetap berada di ruang kerjanya. Sejujurnya, Marsha kesal dengan William, karena suaminya itu masih memikirkan pekerjaannya saat weekend seperti ini. Padahal Marsha ingin menonton film bersama William sambil memakan ice cream. Beruntung ada Laura, yang bisa menemaninya, Jika tidak ada Laura, mungkin saat ini dia sudah marah dengan suaminya itu. "Marsha, kenapa pemeran utama prianya romantis sekali. Aku rasa itu hanya ada di film," ujar Laura yang tengah menonton film. Dia tersenyum, melihat pemeran pria tampak begitu romantis. Marsha terkekeh. "Mungkin di dunia nyata ada, tapi tentu di film jauh lebih sempurna." Laura pun terkekeh. "Ya, kau benar. Tapi apa kakakku itu romantis? Karena setahuku
William tersenyum sinis. "Apa yang ingin kau bicarakan padaku?""Aku rasa kau sangat tahu, apa yang ingin aku katakan padamu," jawab Raymond tegas."Katakan apa yang ingin kau katakan padaku?" William menghunuskan tatapan tajamnya ke arah Raymond. "Alright, tentu aku datang k esini untuk membahas pernikahan ku dengan Laura, adikmu," Raymond semakin melangkah mendekat ke arah William. Jarah antara keduanya begitu dekat. Terlihat Raymond masih bersikap tenang. Namun tidak untuk William. William menggeram kala mendengar ucapan Raymond. Laura menelan salivanya susah parah ketika mendengar ucapan Raymond. Sektetika tubuhnya menegang, saat dia melihat wajah William yang terlihat begitu marah. "Raymond Jefferson, aku harus mengakui keberanianmu datang ke sini. Terlebih kau memaksa untuk masuk dan membawa banyak anak buahmu," tukas WIlliam sinir. "Tapi, jika tujuan kedatanganmu untuk bermimpi membicarakan pernikahan. Lebih baik kau pergi dari sini, sebelum aku benar-benar melenyapkanmu de
Saat Marsha dan William sudah berada di dalam kamar, Marsha meminta William untuk duduk di sofa, dia mengambil kotak obat yang telah di siapkan oleh pelayan, kemudian dia duduk si samping William dan langsung mengompres luka lebab di wajah suaminya itu."Kenapa kau meminta persyaratan yang tidak masuk akal, William!" Marsha menekan luka lebam di wajah suaminya denga sedikit kuat. "Ah," ringin William kesakitan saat Marsha semakin menekan luka lebam di wajahnya. "Sakit? Jika tahu sakit kenapa kau masih berkelahi seperti ini!" seru Marsha kesal. Dia tidak habis pikir dengan apa yang dipikirkan suaminya ini. Kenapa bisa, mengajukan persyaratan seperti itu. Hasilnya wajahnya penuh dengan luka. "Maaf, aku hanya ingin tahu apa dia bisa melindungi Laura," jawab William. Marsha mendengus tak suka. "Tapi tidak perlu dengan cara seperti ini, William! Aku tidak suka melihatmu seperti ini." "Maaf, sayang.." William mengelus lembut pipi Marsha. "Lihatlah sekarang, wajahmu penuh dengan luka.
Melvin turun dari mobil, setelah memarkirkan mobilnya. Dia langsung berjalan memasuki lobby apartemen yang ditempati oleh Alice. Melvin sudah lama mengurung Alice, dia sudah tidak lagi mengizinkan Alice memakai aprtemen pemberian dari William. Tujuan Melvin mengurung Alice, agar Alice tidak melarikan diri dari Kanada. Melvin tidak perduli bagaimana dengan nasib Alice, bagi Melvin anaknya yang ada di dalam kandungan Alice itu yang sangat penting. Meski harus lahir dari wanita seperti Alice, tapi setidaknya saat anak itu lahir nanti, dia akan memberikan uang besar pada Alice agar Alice meninggalkan Kanada dan tidak pernah kembali menginjakan kakinya ke negara ini. Kini Melvin sudah tiba di unit apartemen yang ditempati oleh Alice. Namun, kening Melvin berkerut, kala melihat pintu, sudah terbuka setengah. Tidak biasanya, Alice melupakan untuk mengunci pintu. Tanpa menunggu lama, dia langsung masuk ke dalam apartemen Alice itu. "Tolong! Ada orang di luar!" Suara bariton berteriak semb
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d