Keesokan pagi, Marsha sudah bersiap. Seperti biasa, Marsha sudah kembali ke aktivitas kesehariannya menyiapkan pakaian yang di pakai oleh suaminya hari ini. Rasanya sudah lama sekali Marsha tidak menyiapkan ini untuk William. Marsha melangkah mendekat ke arah William yang kini tengah mengancingkan kemejanya. Marsha langsung mengambil alih, dia membantu suaminya. mengancingkan kemeja William. Memasangkan dasi hingga membantu William memakai jas. Terakhir, Marsha memilihkan arloji untuk suaminya. Pilihannya jatuh pada Rolex berwarna silver. "Wiliam kita sarapan di ruang makan saja, tidak enak dengan Laura makan sendiri di ruang makan," kata Marsha. Dia tidak enak jika sarapan di kamar, sedangkan adik iparnya makan di ruang makan. "Ya, kita akan makan di ruang makan," jawab William sembari mengecup kening istrinya. Kemudian William dan Marsha berjalan meninggalkan kamar, biasanya William sering meminta Marsha untuk sarapan di kamar. Untuk sekarang, itu tidak mungkin. Karena Laura sed
Marsha melangkah keluar dari kelas. Dia baru saja menyelesaikan mata kuliahnya hari ini. Marsha melirik arlojinya, kini sudah pukul tiga sore. Marsha mengingat kalau mertuanya kini sudah pulang dari rumah sakit. Marsha mengambil ponselnya di dalam tasnya, lalu dia mulai mencari kontak Veronica, ibu mertuanya dan mulai menghubunginya. "Mama?" sapa Marsha dengan suara lembut saat panggilannya terhubung"Marsha? Apa kabar, sayang?" tanya Veronica dari seberang line. "Aku baik, Ma. Mama dan Aapa apa kabar? Aapa sudah keluar dari rumah sakit, kan Ma?" "Mama baik sayang, Papa juga sudah keluar dari rumah sakit. Saat ini kesehatannya mulai membaik sayang." "Aku senang mendengarnya, Ma.""Ma, saat ini Laura tinggal bersama denganku dan William." "Biarkan Marsha, bukannya Mama tidak mau menemuinya. Hanya saja Papamu belum bisa bertemu dengannya. Dia masih belum mau menemui Laura. Biarkan William menjaga Laura. Mama percaya William akan melakukan yang terbaik." Marsha mendesah pelan. "Aku
Marsha dan William kini berada di dalam kamar mereka. Marsha memutuskan untuk membersihkan diri lebih dulu, Jika tidak, William akan meminta mandi bersama. Marsha tahu, jika mereka mandi bersama itu tidak akan pernah sebentar. Setelah, Marsha baru saja selesai membersihkan diri, dia juga sudah mengganti pakaiannya dengan gaun tidur tipis motif brokat berwarna putih. Kemudian, dia duduk di ranjang dengan punggung yang bersandar di kepala ranjang. William yang masih fokus dengan ipadnya, dia tidak menyadari Marsha sudah selesai mandi. William menoleh saat merasa ada yang duduk di sampingya. Saat William melihat Marsha sudah berada di sampingnya, dia langsung meletakan ipadnya di atas nakas Lalu mengecup kening Marsha. "Kau sudah selesai?" tanyanya. Marsha mengangguk. "Sudah, aku sudah selesai mandi. Kau mandilah, William. Aku akan menyiapkan pakaian untukmu." William mendekatkan bibirnya ke bibir Marsha lalu mengecup dengan singkat bibir Marsha. "Ya, aku akan mandi," jawabnya, lalu
Sinar matahari pagi menembus jendela, perlahan Marsha mulai membuka matanya, menguap dan menggeliat. Tangan Marsha meraba kesamping, namun saat Marsha merasakan ranjangnya sudah kosong. Marsha langsung menoleh, dan benar saja William sudah tidak ada. Marsha mendengus kesal, saat melihat William tidak ada. Marsha beranjak dari ranjang dan mengikat asal rambutnya. Dia menoleh ke jam dinding kini sudah pukul tujuh pagi. "William, kemana sepagi ini," gumam Marsha. Marsha melangkah menuju kamar mandi, dia ingin mencuci muka dan mengosok gigi terlebih dulu. Setelah melihat ke cermin, wajahnya terlihat lebih segar. Marsha melangkah keluar kamar. Dia mengambil gelas yang berisikan air putih. Saat Marsha mengambil gelas, dia menatap sebuah note kecil dan langsung membacanya.*Hari ini aku meeting, aku berangkat lebih pagi. Mungkin pulang akan terlambat. Jangan menungguku, kau tidurlah duluan. - Your husband, WilliamMarsha mengumpat dalam hati setelah membaca note ini, bisa-bisanya William p
Marsha melangkah keluar kamar, kini tubuhnya terbalut gaun berwarna gold yang begitu indah. Gaun ini begitu tampak sempurna, ketika Marsha memakainya. Gaun yang bermodel atas tali spaghetti dan belahan gaun hingga ke pangkal paha, membuat lengkuk tubuh Marsha begitu indah. Senyum di bibir William terukir kala melihat istrunya tampak begitu cantik dengan balutan gaun berwarna gold itu. Sesaat Marsha dan William saling beradu pandang. Tatapan mereka saling memuja satu sama lain. William menatap kagum Marsha yang terlihat begitu sempurna dimatanya, begitupun dengan Marsha yang menatap William dengan tatapan memujka. Tubuh William sudah terbalut oleh tuxedo yang begitu pas ditubuhnya. Dada bidang, lengan kekarnya tercetak sempurna. Kini William melangkah mendekat ke arah Marsha dan mengulurkan tangannya pada istrinya itu. Marsha tersenyum, dia menyambut uluran tangan William. "Kau sangat cantik sayang," William membelai lembut pipi Marsha. Marsha tersenyum. "Kau juga sangat tampan."
Karin melangkah keluar dari kelas, hari ini Marsha tidak masuk ke kampus. Tentu Karin tahu alasannya karena hari ini adalah ulang tahun sahabatnya itu. Waktu berjalan begitu cepat, biasanya Karin selalu datang ke rumah keluarga Marsha saat Marsha berulang tahun. Setiap tahunnya, Karin selalu merayakan ulang tahun bersama dengan Marsha. Tapi kini, Marsha merayakannya dengan suaminya. Bagi Karin, yang terpenting adalah melihat Marsha bisa bahagia. Kini Karin berjalan menuju parkiran mobil, dia melirik arlojinya sudah pukul tiga sore. Seperti hari biasanya, Karin akan menghabiskan waktu membaca novel atau menonton film kesukaanya. "Karin!" suara bariton berteriak kembali memanggil nama Karin. Langkah kaki Karin langsung terhenti mendengar ada yang memanggilnya. Kemudian, dia langsung mengalihkan pandangannya ke sumber suara itu. Kening Karin berkerut, melihat sosok pria tampan yang terbalut jas formal berwarna hitam. Dia mencoba mengingat pria yang ada di hadapannya itu. "Kau-" "Apa
William dan Marsha kini sudah tiba di rumah mereka, setelah kejutan manis dari William benar-benar membuat Marsha tidak akan pernah bisa melupakanya. Selama Marsha merayakan ulang tahun, hadiah dari William adalah hadiah yang terindah yang dia dapatkan. Dia sungguh tidak menyangka akan mendapatkan hadiah yang sangat manis dari William. Bahkan Marsha tidak pernah terpikir William akan melamarnya, karena memang mereka telah menikah berawal karena sebuah perjodohan tapi pada akhirnya mereka saling mencintai. Marsha yakin, di masa depan William akan memberikannya kebahagiaan. William adalah pria yang terbaik untuk dirinya. Bahkan Marsha bisa merasakan William begitu mencintai dirinya. Dulu, Marsha berpikir menikah dengan William tanpa cinta akan memiliki akhir yang menderita. Tapi itu salah, pada akhirnya Marsha dan William saling jatuh cinta. Meraka kini saling bahagia. Meski tidak pernah terpikir di awal Marsha akan jatuh cinta pada William, tentu alasannya karena William memiliki sifa
Kini Marsha duduk di taman, kampusnya. Dia duduk bersantai sambil menunggu mata kuliahnya. Pagi ini, dia tidak bersama dengan Karin, karena sahabatnya itu harus mengulang mata kuliah, itu kenapa Marsha duduk menyendiri di taman. Saat Marsha tengah membaca novel, terdengar suara dering ponsel miliknya. Marsha langsung mengalihkan pandangannya, dia meletakan novel di tangannya lalu mengambil ponselnya di dalam tas. Tatapan Marsha, teralih pada layar ponselnya. Dia mendesah pelan saat membaca nama yang tertera di layar ponselnya adalah Raymond. Tidak ada alasan baginya untuk menolak panggilan Raymond. Marsha menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan, sebelum kemudian meletakan ke telinganya."Raymond?" sapa Marsha saat panggilannya terhubung. "Marsha, apa aku mengganggumu?" tanya Raymond dari seberang line. "Tidak, aku masih bersantai. Aku belum masuk ke kelas. Ada apa, Raymond?""Aku hanya ingin mengucapkan selamat ulang tahun untukmu, Marsha. Maaf aku baru mengucapkannya sekar
Beberapa bulan kemudian... Tokyo, Japan... "Selena... Miracle... Hati-hati, jangan melempar bola salju seperti itu," seru Marsha memberikan peringatan pada kedua putrinya itu, yang tengah bermain salju. "Sean, jaga kedua adikmu. Jangan sampai mereka terluka," lanjutnya yang sedikit berteriak memperingatkan putra sulungnya itu, yang juga ikut bermain salju dengan Selena dan Miracle. "Sayang, Sean akan menjaga Selena dan Miracle dengan baik. Kau tenang saja," William merengkuh bahu Marsha seraya mengecup kening Marsha. "Lihatlah, Dominic masih tertidur pulas, meski tadi suaramu kencang. Tapi dia tetap tenang," ujarnya yang kini melihat ke arah Dominic yang tengah dalam pelukan Marsha. Marsha mendesah pelan, kemudian dia menatap Dominic yang masih tertidur pulas. Beruntung, putra bungsunya itu, tidak terbangun karena mendengar suaranya yang sedikit kencang memperingati ketiga anaknya. Ya, waktu berjalan begitu cepat. Kini Dominic berusia delapan bulan. William dan Marsha, sengaja men
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi laki-lakinya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak keempat mereka adalah laki-laki. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sesaat William menatap Marsha dengan tatapan yang begitu bahagia. Tidak pernah terpikir dalam hidup mereka, akan kembali merasakan kebahagiaan ini lagi."Dia mirip dengan Sean saat bayi," ucap William di telinga Marsha seraya memberikan banyak kecupan dipipi istrinya itu. "Terima kasih, sayang. Terima kasih telah memberikanku hadiah yang luar biasa."Marsha tersenyum dia terus mengusap lembut kepala bayi laki-lakinya itu. "Aku juga sangat bahagia, William. Melahirkan buah cinta kita adala
Marsha mematut cermin. Tubuhnya kini telah terbalut dress khusus wanita hamil yang membuat Marsha sangat nyaman. Ya, lagi dan lagi Marsha mengalami kenaikan berat badan cukup drastis. Berkali-kali suaminya mengatakan dirinya sangat cantik dan seksi saat hamil, namun Marsha tentu tidak akan percaya. Bagaimana tidak? Setiap kali Marsha menatap ke cermin, dia selalu melihat tubuhnya tampak begitu besar. Beruntung, kali ini adalah kehamilan yang terakhirnya. Memiliki empat anak sudah lebih dari cukup bagi Marsha. Padahal dulu, dia hanya menginginkan dua anak saja. Tapi William tidak akan pernah mau jika hanya dua anak. Bahkan hingga detik ini, William selalu meminta untuk kembali menambah anak. Marsha benar-benar tidak habis pikir dengan keinginan sang suami. "Setelah melahirkan, aku harus berolah raga. Aku tidak ingin gemuk seperti ini terus," gumam Marsha seraya mengusap perut buncitnya. "Sayang, Mommy sangat mencintaimu. Tenang saja, Mommy tidak akan menyalahkanmu karena kau membuat t
Suara teriakan yang keras membuat Laura yang baru saja menata pajangan di rumahnya, langsung terkejut. Dengan cepat Laura mengalihkan pandangannya, menatap ke arah pintu rumahnya. Seketika Laura mengerutkan keningnya, melihat Lea yang baru saja pulang sekolah, dengan raut wajah yang marah melangkah masuk ke dalam rumah. "Ahg! Kenapa mereka itu menyebalkan sekali! Mereka menggangguku!" seru Lea dengan suara keras kala tiba di rumah. "Sayang? Kau kenapa?" Laura mendekat ke arah Lea, dia langsung mengelus lembut pipi putrinya itu. "Tidak baik, gadis cantik masuk ke dalam rumah dengan wajah yang kesal. Sekarang katakan pada Mommy ada apa dan di mana Ken? Kenapa Ken tidak pulang bersama denganmu?" Lea mendengus, dia mencebikan bibirnya. "Ken masih berada di sekolah. Ada khursus yag harus dia ikuti. Mommy, aku rasanya ingin pindah sekolah saja. Aku tidak mau bersekolah di sekolah yang sama dengan Ka Sean. Aku pusing, Mommy!" Laura menautkan alisnya menatap bingung Lea. "Kenapa, sayang?
"Mommy..." Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari menghampiri Karin yang tengah memasak di dapur. Disusul dengan anak laki-laki yang juga berusia empat tahun, ikut berlari menghampiri Karin. Karin yang baru saja selesai masak, dan hendak meletakan makanan di atas meja, dia langsung mengalihkan pandangannya kala ada yang memanggilnya. Seketika senyum di bibir Karin terukir, melihat kedua anaknya tengah menghampirinya. Dengan cepat Karin langsung membuka tangannya dan memberikan pelukan hangat pada kedua anaknya itu. "Kelvin... Charlotte... Kalian sudah pulang?" Karin memberikan banyak kecupan pada kedua anaknya itu. "Ya, Mommy. Kami sudah pulang," jawab Kelvin dan Charlotte bersamaan seraya memeluk erat tubuh Karin. "Bagaimana hari kalian di sekolah? Apa kalian selalu bersama Selena dan Miracle?" tanya Karin sambil mengelus lembut pipi Kelvin dan Charlotte. Kelvin Frans Geovan dan Charlotte Frans Geovan, anak kembar dari Frans dan Karin yang berusia empat tahun ini ben
Lima Tahun Kemudian..."Astaga, Miracle. Hentikan bermain dengan pisau! Nanti kau terluka, Miracle!" Suara Marsha berseru dengan nada yang keras, agar putri kecilnya itu menghentikan bermain dengan pisau. Vanessa Miracle William Geovan, sejak kecil William mengajarkan bela diri pada Miracle, demi melindungi dirinya sendiri. Tentu William melakukan itu semua karena Miracle tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. William selalu waspada jika suatu saat ada yang berusaha mencelakai putrinya. Namun, Miracle sangat berbeda dengan Selena, saudara kembarnya yang berambut pirang, memiliki sifat yang begitu lemah lembut. Sangat sulit bagi William, mengajarkan Selena bela diri, karena berkali-kali Selena akan selalu terluka. Itu kenapa Willliam lebih memilih menjaga Selena dengan banyak pengawal yang mengikuti putrinya itu. "Mom, aku bisa melempar pisau di papan tepat sasaran. Aku hebat, kan, Mom?" Miracle tersenyum bangga, kala pisau yang dia lempar ke papan, tepat sasaran. Kemudian, dia pun
Karin menatap keindahan Canada's sugar beach. Sudah sejak beberapa hari lalu dirinya ingin pergi ke pantai ini. Tapi dia terpaksa menunda karena Frans disibukan dengan pekerjaannya. Dengan kaki telanjang, dan perut yang membuncit Karin melangkah melusuri pantai. Ya, kini kandangan Karin memasuki minggu ke tiga puluh empat. Selama kehamilan ini. Karin dilarang untuk melakukan kegiatan berat. Biasanya Karin menghabiskan waktu bersantai di rumah atau menonton film drama kesukannya. Jika Karin ingin keluar rumah, maka Frans harus ikut dengannya. Sejak hamil, sifat Frans memang begitu overprotective padanya. Dulu Karin berpikir, dia tidak akan pernah tahu bagaiamaa sifat seorang suami yang mengatasi istrinya yang tengah mengandung, tapi ternyata Tuhan begitu baik padanya, hingga memberikan kesempatan untuknya hamil. Kebahagiaan Frans dan Karin bertambah saat Dokter memberitahu dia hamil bayi kembar. Tentu Karin dan Frans begitu bahagia menyambut bayi kembar mereka. "Frans, kenapa kau tid
"Karin, pagi ini aku berangkat lebih awal. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan menggantikan William. Beberapa hari ke depan, William tidak masuk ke kantor," ucap Frans seraya memakai dasi. Karin yang tengah duduk, dia bangkit berdiri mendekat ke arah Frans, dan langsung mengambil alih Frans yang tengah memakai dasi. "Aku mengerti, William pasti sedang menemani Marsha yang baru melahirkan. Saat ini Marsha benar-benar membutuhkan William berada disisinnya." Karin menepuk pelan dada Frans kala selesai memakaikan dasi suaminya. "Terima kasih sudah mengerti," Frans menarik dagu Karin, mencium dan melumat lembut bibir Karin. "Yasudah aku berangkat sekarang. Malam ini kau tidurlah duluan. Jangan menungguku." "Hati-hati. Kabari aku jika kau sudah di kantor. Jangan lupakan makan siangmu," balas Karin mengingatkan. Frans mengangguk. Kemudian, dia mengecup singkat bibir Karin, lalu melangkah keluar meninggalkan kamar. Karin hendak menemani Frans, namun, Frans memintanya untuk tetap di
Suara tangis bayi memecahkan kesunyiaan dalam ruang operasi. Marsha meneteskan air matanya, kala mendengar suara tangis bayi kembarnya. Persalinan berjalan dengan lancar. Anak mereka lahir dengan selamat dan sempurna. William selalu mencium Marsha selama proses persalinan. Kebahagiaan William dan Marsha kini benar-benar begitu lengkap ketika mengetahui anak kembar mereka adalah perempuan. Hal yang membuat William bertambah bahagia adalah saat sang Dokter mengatakan anak kembar mereka bukanlah kembar identik. Anak perempuan pertama yang lebih dulu lahir memiliki rambut pirang seperti Marsha. Sedangkan anak perempuan kedua yang lahir, memiliki rambut coklat seperti William. Sungguh, William tidak menyangka, bayi kembarnya akan lahir dengan begitu special. Kini Marsha tidak akan lagi iri, karena sekarang, Marsha memiliki satu anak yang begitu mirip dengannya. "Nyonya Marsha, silahkan lakukan proses IMD." Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Marsha. Sedangkan William d