Mendengar ada yang mengetok pintu kamarnya, Almera segera bangkit.
"Ada apa, Bun?" tanya Almera setelah membuka pintu yang ternyata Bunda Tina.
"Ke bawah yuk! Ada yang mau diomongin," jawab Bunda Tina.
"PAK, DISURUH KE BAWAH!" teriak Almera membuat Bunda Tina yang berada di sebelahnya terlonjak kaget. Padahal jarak dari ambang pintu ke sofa hanya beberapa langkah, tetapi Almera memilih berteriak.
"Hust, enggak sopan. Kalau mau ngomong itu di dekat orangnya," tegur Bunda Tina mencubit pipi Almera pelan. Padahal sedari kecil sudah sering diperingati untuk tidak berteriak, tetapi tetap saja. Hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
"Capek yang mau jalan, Bun," jawab Almera cengengesan.
"Ayo!" ajak Bunda setelah melihat Romeo di belakang Almera.
Kemudian mereka bertiga berjalan menuruni tangga, menuju ruang tamu yang sudah ramai. Setelah sampai, mereka langsung mendudukkan diri di sofa yang kosong.
"Ada apa?" tanya Almera lan
Romeo tidak menjawab pertanyaan Almera. Setelah mematikan mesin, Romeo beranjak keluar dari mobil. Sedangkan Almera hanya terdiam memandang semua gerak-gerik Romeo dengan bingung. Tidak mau larut dalam kebingungannya, Almera lebih memilih bermain handphone. Saat sedang asik berselancar di dunia maya, ada yang mengetuk kaca mobil di sebelah kirinya."Ada apa, Pak?" tanya Almera."Kamu mau jadi manusia oven?" tanya Romeo datar."Manusia oven?" Almera mengernyitkan dahinya tidak mengerti."Mesinnya sudah mati, kamu enggak merasa panas? Lagian kita sudah sampai, betah banget duduk di mobil saya," sahut Romeo yang langsung melenggang pergi, menuju bagasi untuk menurunkan koper.Almera masih mencerna ucapan Romeo, kemudian melihat sekelilingnya. Saat tahu dia berada dimana, mulutnya langsung terbuka dengan mata yang membulat sempurna. Dengan cepat Almera membuka pintu mobil dan keluar. Mata Alme
Mendengar suara bel berbunyi, Almera sontak langsung mengalihkan pandangannya ke arah Romeo yang tetap pada posisinya. Apa Romeo tidak mendengar suara bel? Almera bergidik, bulu kuduknya tiba-tiba meremang. Dia takut kalau itu bukan manusia, apalagi rumah ini masih baru."Pak," panggil Almera.Tidak ada sahutan."Pak," panggil Almera sekali lagi. Namun tetap tidak ada sahutan dari Romeo. Bahkan badan Romeo terlihat tenang, seperti orang tidur."Sabar Al. Dia itu budeg karena faktor usia," gumam Almera mengelus dadanya, mencoba sabar.Selama beberapa detik, Almera menarik napasnya pelan dan mengulanginya hingga beberapa kali."PAK!" teriak Almera keras. Kalau sampai Romeo masih tidak mendengar, dia akan melemparkan remot AC ke kepalanya."Hm," deham Romeo dengan badan yang masih tertutup selimut."Ada yang pencet bel," ucap Almera memberi tahu. Untung saja Romeo menjawab, jika tidak, maka remot AC akan melayang."Buka!" p
Setelah memastikan bahwa Romeo benar-benar pergi, Almera membuka matanya yang basah. Air matanya masih mengalir, dia tidak menyangka kalau Romeo akan berbicara seperti itu. Pernikahan ini memang atas dasar perjodohan, tetapi dia sudah bertekad di dalam hati untuk menerima semuanya dengan ikhlas, bahkan dia sedang belajar mencintai Romeo, walau pun di dalam hatinya saat ini masih terukir nama Farrel. Dia pikir meskipun cuek dan datar, Romeo akan bersikap selayaknya seorang suami pada umumnya. Dia tadi memang tertidur, tetapi tidak berapa lama kemudian dia terbangun karena badannya terasa lengket. Namun, saat akan membuka mata dia mendengar suara Romeo, membuat dia mengurungkan niatnya untuk bangun."Kenapa gue nangis sih." Almera menghapus air mata yang sempat mengalir di wajahnya. Kemudian bangkit dari posisi tidurnya dan berjalan membereskan alat kebersihan yang tadi dia gunakan. Berhubung dia belum tahu dimana letak gudang, akhirnya dia simpan di dapur.Setelah semua
Almera tetap setia menyodorkan mangkok berisi sup buatannya ke hadapan Romeo. Walaupun merasa pegal, tetapi Almera tetap tersenyum."Tidak nafsu, saya langsung berangkat saja," ucap Romeo yang langsung melenggang keluar rumah tanpa menunggu jawaban dari Almera.Senyum Almera luntur, matanya memandang punggung Romeo yang hilang di balik pintu. Kemudian Almera menunduk, menatap sup yang merupakan masakan pertamanya dengan tatapan nanar. Walaupun cuma sup daging, tetapi dia sudah bersusah payah membuat semua ini hanya untuk Romeo. Namun, semuanya sia-sia. Sehari sebelum menikah, bunda berpesan banyak hal kepadanya. Salah satunya adalah harus menyiapkan makanan untuk suami, entah itu pagi, siang, atau malam. Namun, kenapa Romeo tidak menghargai usahanya?"Gue makan sendiri aja deh," ucap Almera kemudian mendudukkan dirinya di kursi dan mulai memakan sup dagingnya. Ternyata rasanya sudah lumayan, hanya kurang sedikit garam. Mulai saat ini dia harus giat belajar masak
Almera menjatuhkan tasnya dan tidak lama kemudian badannya ikut luruh ke lantai. Baru kali ini dia merasakan sesak di dada hanya karena ucapan seseorang dan orang itu adalah suaminya sendiri. Dia sudah berbaik hati ingin membuatkan Romeo makan malam, dia ingin menjadi istri yang baik. Namun, semua niat baiknya ditepis dengan ucapan Romeo yang begitu tajam. Meskipun rasa masakannya tidak seenak masakan bunda, tetapi setidaknya dia sudah berusaha untuk belajar memasak. Dia bisa menjamin kalau masakannya itu bersih, karena dia mengikuti langkah-langkah sesuai dengan yang ada di handphone. Sewaktu awal kenal, Romeo masih bisa diajak bercanda walaupun menggunakan nada datarnya, tetapi kenapa sekarang seperti ini?"Haha bodoh lo Al. Nikah juga baru sehari, mungkin memang seperti ini sifat aslinya," ucap Almera terkekeh miris. Dia baru menikah kemarin dan bisa-bisanya dia membandingkan sifat Romeo sebelum dan sesudah nikah. Ya jelas dia belum tahu betul sifat asli Romeo, memangnya d
Almera terbengong dengan menatap punggung Romeo yang berjalan menjauh. Otak dia masih berputar, mencerna ucapan Romeo."Pak, tunggu!" teriak Almera berlari kecil menyusul Romeo yang sudah lumayan jauh di depan."Ini," ucap Romeo ketika sudah sampai di taman.Mata Almera berbinar kagum. Tamannya begitu luas dengan berbagai macam bunga, terlihat begitu cantik. Almera merasa senang dan tenang berada di taman ini, udaranya begitu sejuk.Ting!Deringan ponsel pertanda ada yang mengirim pesan membuat Almera menoleh ke arah Romeo. Terlihat Romeo yang sedang fokus membaca pesan, entah dari siapa. Almera mengangkat kedua bahunya acuh, tidak terlalu penting. Mungkin itu hanya dari rekan kerja atau sekertaris Romeo. Dia kembali menolehkan kepadanya menatap taman dengan bibir yang melengkung, membentuk senyuman."Pak, mau kemana?" tanya Almera saat melihat Romeo yang berjalan menjauhi taman. Jangankan menjawab pertanyaan Almera, menoleh saja tidak. Rome
Almera memejamkan matanya takut saat ada yang membuka selimutnya. Apa pun yang akan terjadi nanti, dia sudah pasrah."Tidur?"Dahi Almera mengernyit, suara ini begitu familiar di telinganya. Almera membuka matanya secara perlahan. Setelah terbuka sempurna, seketika emosi dan rasa kesal yang sedari tadi dia tahan langsung meluap, apalagi melihat wajah Romeo yang seakan tidak merasa bersalah. Ya, seseorang yang membuka pintu dan selimutnya adalah Romeo. Seorang suami yang tega meninggalkan istrinya di rumah sendirian."BAPAK, KEMANA AJA?" teriak Almera bangkit dari posisi tidurnya dan memukuli dada Romeo brutal. Meskipun dia tidak pandai silat atau semacamnya, tetapi jangan remehkan kekuatan memukulnya. Apalagi disaat emosi, tenaganya seakan bertambah dua kali lipat."Stop, sakit! Kamu kenapa?" tanya Romeo menggenggam kedua tangan Almera, menghalanginya supaya tidak terus memukul. Jujur saja, dadanya terasa
Sedari tadi Almera hanya berguling-guling di atas kasurnya. Setelah kabur dari Romeo, dia langsung mengunci pintu kamar dan tidak berani keluar. Entah Romeo sudah berangkat atau belum, dia tidak peduli."BOSAN!" teriak Almera dengan posisi telentang. Rambut dan pakaiannya sudah kusut seperti orang gila. Bahkan bantal dan teman-temannya sudah berserakan di lantai.Almera menatap langit-langit kamarnya, dia membayangkan segala hal. Mulai dari kejadian yang sudah berlalu hingga memikirkan kemungkinan yang akan terjadi kedepannya. Dia takut kalau pernikahan ini tidak bertahan lama. Cinta memang bisa datang karena terbiasa, tetapi melihat sikap Romeo membuat dia ragu. Apa dia bisa? Hingga tiba-tiba suara dering ponsel pertanda ada telepon masuk membuyarkan lamunan Almera."Siapa sih?" tanya Almera pada dirinya sendiri dengan menoleh ke arah handphonenya yang berada di atas nakas, sebelah tempat tidur. Merasa tidak kunjung berhenti, dengan malas Almera bangkit dan men
Di sebuah ruangan berwarna abu-abu, terdapat seorang pria yang berdiri di dekat jendela. Romeo, pria yang dulunya bertubuh kekar kini semakin kurus. Rambut-rambut halus mulai tumbuh di sekitar dagunya. Bahkan kumisnya sudah tebal seperti bapak-bapak yang ada di warung kopi. Dengan tangan yang berada di saku celana, Romeo menatap kosong langit malam yang penuh bintang. Sudah pukul sepuluh malam, tetapi matanya enggan terpejam. Padahal besok pagi ada rapat penting. Ingatannya kembali berputar pada kejadian beberapa bulan lalu. Di saat Almera masih di sini dan dia melukainya seenak hati. Perasaan bencinya kepada Almera telah melebur menjadi penyesalan. Penyesalan yang sangat dalam. "Bahkan sampai saat ini pun saya belum bisa nemuin kamu," ujar Romeo tersenyum kecut. Hidup memang selalu berputar. Jika dulu nama Almera tidak pernah ada di pikirannya, maka sekarang tiada hari tanpa memikirkan perempuan itu. Semakin memikirkan maka semakin dalam dan besar pu
"Wid, Widya," panggil Almera mengetuk pintu kamar Widya. Ketukan yang awalnya pelan semakin keras dan cepat saat tidak mendapat sahutan dari sahabatnya. "Widya! Widya!" teriak Almera tidak sabaran. Sedangkan di dalam kamar, Widya yang sedang tidur siang pun mulai terusik. Mengubah posisi tidurnya menjadi miring lalu menutup telinganya dengan bantal. Merasa tidak berguna, Widya melempar bantalnya asal dan kembali terlentang. Selanjutnya, dia menendang selimut lalu bangkit dengan mata yang memerah. Antara mengantuk dan marah. Widya membuka pintu kasar. "Apaan sih? Lo ganggu tidur gue tau nggak!" Bukannya merasa takut atau bersalah, Almera justru cengengesan tidak jelas. "Wid, jalan-jalan yuk!" ajak Almera antusias. Dengan gerakan malas, Widya menoleh ke dalam kamarnya, melihat jam yang menunjukkan pukul satu siang. Seketika matanya melotot. "Lo gila? Siang-siang gini lo ngajak gue jalan? Please deh, Al, lo jangan aneh-aneh. Ini panas ban
"Bagaimana?" tanya Romeo kepada Rizky yang berdiri di depannya. Saat ini keduanya berada di ruangan Romeo.Rizky mengernyit tidak paham. Ini Bosnya bertanya tentang apa sih? "Maaf, Pak, maksudnya apa ya?""Bagaimana kabar pencarian Almera? Apa sudah menemukan jejak?" tanya Romeo memperjelas, membuat bibir Rizky membentuk bulatan kecil seraya mengangguk pelan."Maaf, Pak. Belum ada," jawab Rizky menatap Romeo sendu. "Terakhir kali mereka berdua berada di rumah Widya."Romeo menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Punggung tegapnya dia sandarkan pada sandaran kursi. Perlahan matanya terpejam dengan tangan kanan yang memijat pelan pelipisnya. Kepalanya semakin sakit, begitu pula dengan rasa bersalah dan juga gelisah.Kapan dia bisa bertemu Almera? Harus berapa lama lagi dia menunggu kabar tentang keberadaan sang istri? Atau mungkin selamanya dia t
Hal yang paling membahagiakan bagi para orang tua adalah dengan kehadiran anggota keluarga baru. Apalagi seorang bayi mungil yang menggemaskan. Meskipun tidak ada hubungan darah, tetapi orang tua Widya begitu antusias saat mendengar kabar tentang kehamilan Almera. Mereka yang awalnya sedang perjalanan bisnis di Bandung langsung terbang ke Bali. Selama perjalanan, senyum Vania dan Efendi - orang tua Widya tidak luntur satu detik pun. Perasaan mereka benar-benar bahagia. Brak! Suara pintu yang dibuka kencang sukses membuat Almera yang sedang menonton kartun terlonjak kaget. Belum sempat melihat siapa pelakunya, Almera kembali dikejutkan dengan sebuah pelukan yang sangat erat. Sampai membuat badannya sedikit terhuyung. Tidak jauh berbeda dengan Almera, Widya dan Nenek Mia yang berada di dapur pun juga terkejut. Keduanya saling pandang lalu berjalan tergopoh-gopoh menuju tempat Almera dengan perasaan panik. Takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada ibu h
"Nek, Widya mana?" tanya Almera kepada Nenek Mia yang sedang menata makanan di meja.Mendengar suara seseorang yang semalam membuatnya khawatir, lantas Nenek Mia menghentikan kegiatannya dan mendongak. Terlihat Almera yang memakai dress berwarna abu-abu selutut berdiri empat langkah di depannya."Kamu sudah bangun, Nak? Ayo makan dulu!" ajak Nenek Mia tanpa menjawab pertanyaan Almera. Kakinya bergerak gesit menghampiri Almera dan menuntunnya duduk. Senyumnya pun merekah bahagia.Semua rasa khawatir yang dia rasakan semalam langsung sirna.Almera duduk dengan wajah bingungnya. "Nenek, Widya mana?""Oh itu Widya lagi di toko," jawab Nenek Mia santai yang mendapat tatapan penuh binar dari Almera."Almera mau ke sana! Ayo, Nek! Al udah dari kemarin-kemarin pingin ke toko roti punya Nenek." Almera menatap antusias Nenek Mia yang hendak meng
"Inget ya, Al, lo nggak boleh makan sembarangan. Harus banyak istirahat. Nggak boleh banyak pikiran," ucap Widya seraya menuntun Almera menaiki tangga menuju kamarnya. Sejak Almera sadar dan diperiksa bahwa sahabatnya itu hamil, Widya tidak berhenti mengeluarkan petuah-petuah dengan kalimat yang sama secara berulang. Terutama nenek Mia yang sangat antusias hingga langsung membuat kue untuk dibagikan ke tetangga. Sedangkan sang empu justru menutup mulut rapat-rapat dengan pandangan kosong. Pikiran dan perasaannya menjadi campur aduk. Meskipun sudah menikah dan menginginkan malaikat kecil hadir di rumah tangganya, tetapi tidak cara seperti ini. Calon anaknya hadir karena paksaan yang Romeo kira bahwa dirinya adalah Citra, kekasihnya. Bukan atas dasar saling mau dengan balutan cinta yang menggebu. Ada rasa terkejut, sedih, marah dan senang di hati Almera. Kenapa anak ini hadir di saat dirinya masih dibaluti rasa takut dan pergi dari Romeo? Bagaimana cara dia men
Di dalam ruangan yang tampak berantakan dengan kertas yang berhamburan, Romeo duduk termenung di meja kerjanya. Beberapa hari tidak datang ke kantor membuat mejanya dipenuhi tumpukan berkas. Karena memang sedang dalam kondisi hati dan pikiran yang kacau, akhirnya tanpa ragu Romeo melempar semua berkas-berkas tersebut. Sebenarnya laki-laki yang memakai kemeja biru muda itu sangat malas untuk bekerja. Dia hanya ingin mencari Almera. Namun, atas paksaan papanya dengan dalih akan membantu mencari Almera, akhirnya Romeo pun menurut. Meskipun sekarang yang dia lakukan hanya duduk termenung. Romeo menunduk dengan tangan yang memegang kening dan mata terpejam lelah. "Almera, maaf," gumamnya. Semenjak kepergian Almera, Romeo merasakan sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Hatinya terasa kosong seolah ada yang hilang. Bahkan Romeo tidak dapat tidur dengan nyenyak. Bagaimana tidak, setiap memejamkan mata selalu terbayang wajah Almera dari yang tersenyum hingga menangis.
"Sini, Nak, makan!" Nenek Mia melambaikan tangannya memanggil Almera yang baru saja datang dari arah tangga. "Nenek hari ini masak sop buntut, perkedel sama sambal. Kata Widya, kamu suka sama sayur sop." Mendengar perkataan Nenek Mia, Almera langsung mengalihkan pandangannya ke meja makan. Benar, makanan yang disebut Nenek Mia sudah tertata rapi dan terlihat menggoda. "Widya mana, Nek?" tanya Almera setelah duduk di salah satu kursi yang ada di meja makan. "Tadi pamitnya mau ke depan sebentar. Udah biarin aja. Sekarang kamu makan ya? Yang banyak, mau dihabisin juga nggak papa," jawab Nenek Mia seraya mengambil piring Almera lalu mengisinya dengan nasi yang lumayan banyak. Almera dibuat meringis melihat piringnya yang penuh. Porsi makannya tidak sebanyak itu! "Nek, udah nanti aku ambil sendiri aja kalau kurang. Ini kebanyakan," ungkap Almera mengambil alih piring tersebut. "Sekarang kamu makan gih! Nenek mau nyiram tanaman dulu." Tanpa
Sesuai ajakan Widya kemarin, kini sepasang sahabat itu sedang berada di pantai. Sebenarnya, Almera ingin ke pantai ketika hari sudah menjelang sore. Namun apalah daya, Widya sang sahabat dengan tidak tahu dirinya justru membangunkan Almera dari pagi-pagi buta. Bahkan Nenek Mia saja lelah dengan tingkah Widya yang terus merengek untuk segera berangkat. Entah Widya yang memang tidak pernah ke pantai atau ada maksud terselubung hingga gadis itu begitu antusias. "Bagusnya kalau ke pantai itu sore-sore. Sekalian liat sunset," gerutu Almera menghentakkan kakinya kesal. Di dalam hati perempuan yang memakai kaos berwarna biru dan dipadukan dengan hotpants itu tidak berhenti untuk menyumpah serapahi sahabatnya. Bayangkan, Widya membangunkan dirinya dari mulai pukul empat pagi. Cara membangunkannya pun tidak ada sopan-sopannya. Mengguncang, menyiratkan air dan memutar musik dengan volume full tepat di telinganya. Sebenarnya Widya ini ingat tidak sih kalau Almer