Almera tetap setia menyodorkan mangkok berisi sup buatannya ke hadapan Romeo. Walaupun merasa pegal, tetapi Almera tetap tersenyum.
"Tidak nafsu, saya langsung berangkat saja," ucap Romeo yang langsung melenggang keluar rumah tanpa menunggu jawaban dari Almera.
Senyum Almera luntur, matanya memandang punggung Romeo yang hilang di balik pintu. Kemudian Almera menunduk, menatap sup yang merupakan masakan pertamanya dengan tatapan nanar. Walaupun cuma sup daging, tetapi dia sudah bersusah payah membuat semua ini hanya untuk Romeo. Namun, semuanya sia-sia. Sehari sebelum menikah, bunda berpesan banyak hal kepadanya. Salah satunya adalah harus menyiapkan makanan untuk suami, entah itu pagi, siang, atau malam. Namun, kenapa Romeo tidak menghargai usahanya?
"Gue makan sendiri aja deh," ucap Almera kemudian mendudukkan dirinya di kursi dan mulai memakan sup dagingnya. Ternyata rasanya sudah lumayan, hanya kurang sedikit garam. Mulai saat ini dia harus giat belajar masak
Almera menjatuhkan tasnya dan tidak lama kemudian badannya ikut luruh ke lantai. Baru kali ini dia merasakan sesak di dada hanya karena ucapan seseorang dan orang itu adalah suaminya sendiri. Dia sudah berbaik hati ingin membuatkan Romeo makan malam, dia ingin menjadi istri yang baik. Namun, semua niat baiknya ditepis dengan ucapan Romeo yang begitu tajam. Meskipun rasa masakannya tidak seenak masakan bunda, tetapi setidaknya dia sudah berusaha untuk belajar memasak. Dia bisa menjamin kalau masakannya itu bersih, karena dia mengikuti langkah-langkah sesuai dengan yang ada di handphone. Sewaktu awal kenal, Romeo masih bisa diajak bercanda walaupun menggunakan nada datarnya, tetapi kenapa sekarang seperti ini?"Haha bodoh lo Al. Nikah juga baru sehari, mungkin memang seperti ini sifat aslinya," ucap Almera terkekeh miris. Dia baru menikah kemarin dan bisa-bisanya dia membandingkan sifat Romeo sebelum dan sesudah nikah. Ya jelas dia belum tahu betul sifat asli Romeo, memangnya d
Almera terbengong dengan menatap punggung Romeo yang berjalan menjauh. Otak dia masih berputar, mencerna ucapan Romeo."Pak, tunggu!" teriak Almera berlari kecil menyusul Romeo yang sudah lumayan jauh di depan."Ini," ucap Romeo ketika sudah sampai di taman.Mata Almera berbinar kagum. Tamannya begitu luas dengan berbagai macam bunga, terlihat begitu cantik. Almera merasa senang dan tenang berada di taman ini, udaranya begitu sejuk.Ting!Deringan ponsel pertanda ada yang mengirim pesan membuat Almera menoleh ke arah Romeo. Terlihat Romeo yang sedang fokus membaca pesan, entah dari siapa. Almera mengangkat kedua bahunya acuh, tidak terlalu penting. Mungkin itu hanya dari rekan kerja atau sekertaris Romeo. Dia kembali menolehkan kepadanya menatap taman dengan bibir yang melengkung, membentuk senyuman."Pak, mau kemana?" tanya Almera saat melihat Romeo yang berjalan menjauhi taman. Jangankan menjawab pertanyaan Almera, menoleh saja tidak. Rome
Almera memejamkan matanya takut saat ada yang membuka selimutnya. Apa pun yang akan terjadi nanti, dia sudah pasrah."Tidur?"Dahi Almera mengernyit, suara ini begitu familiar di telinganya. Almera membuka matanya secara perlahan. Setelah terbuka sempurna, seketika emosi dan rasa kesal yang sedari tadi dia tahan langsung meluap, apalagi melihat wajah Romeo yang seakan tidak merasa bersalah. Ya, seseorang yang membuka pintu dan selimutnya adalah Romeo. Seorang suami yang tega meninggalkan istrinya di rumah sendirian."BAPAK, KEMANA AJA?" teriak Almera bangkit dari posisi tidurnya dan memukuli dada Romeo brutal. Meskipun dia tidak pandai silat atau semacamnya, tetapi jangan remehkan kekuatan memukulnya. Apalagi disaat emosi, tenaganya seakan bertambah dua kali lipat."Stop, sakit! Kamu kenapa?" tanya Romeo menggenggam kedua tangan Almera, menghalanginya supaya tidak terus memukul. Jujur saja, dadanya terasa
Sedari tadi Almera hanya berguling-guling di atas kasurnya. Setelah kabur dari Romeo, dia langsung mengunci pintu kamar dan tidak berani keluar. Entah Romeo sudah berangkat atau belum, dia tidak peduli."BOSAN!" teriak Almera dengan posisi telentang. Rambut dan pakaiannya sudah kusut seperti orang gila. Bahkan bantal dan teman-temannya sudah berserakan di lantai.Almera menatap langit-langit kamarnya, dia membayangkan segala hal. Mulai dari kejadian yang sudah berlalu hingga memikirkan kemungkinan yang akan terjadi kedepannya. Dia takut kalau pernikahan ini tidak bertahan lama. Cinta memang bisa datang karena terbiasa, tetapi melihat sikap Romeo membuat dia ragu. Apa dia bisa? Hingga tiba-tiba suara dering ponsel pertanda ada telepon masuk membuyarkan lamunan Almera."Siapa sih?" tanya Almera pada dirinya sendiri dengan menoleh ke arah handphonenya yang berada di atas nakas, sebelah tempat tidur. Merasa tidak kunjung berhenti, dengan malas Almera bangkit dan men
"Kampret lo, Al. Nyesel gue dan gue pastikan ini terakhir kalinya gue nerima ajakan lo," ucap Widya menatap Almera sengit, dengan tangan yang bersedekap dada. Setelah ke taman tadi, Almera mengajak dia berkeliling di lantai dua dan dengan teganya, Almera meninggalkan dia di lorong yang terdapat banyak ruangan. Almera bilang bahwa di ruangan yang paling ujung itu tempat aksesoris dan dengan semangat dia berjalan masuk. Namun ternyata dia ditipu, karena ruangan itu hanya sebuah kamar yang berisi ranjang dan lemari. Baru kali ini dia menyesali hobinya yang pengoleksi aksesoris, bahkan dia melupakan sifat jahil Almera yang sudah tingkat dewa."Haha yakin ini yang terakhir? Kalau gue ajak ke mall gimana?" tanya Almera menggoda Widya. Menurutnya, menjahili orang itu sangat seru apalagi sampai menangis. Seperti Widya tadi, padahal dia bersembunyi di salah satu kamar yang tidak jauh dari tempat Widya. Awalnya, dia memantau Widya dari lubang intip yang ada di pintu
Almera menghentikan pukulan tangannya di meja saat mendengar suara seseorang. Matanya mengerjap mencoba mengumpulkan kesadarannya, takut jika suara itu bukan suara manusia."Almera."Mata Almera langsung melotot sempurna, bulu kuduknya meremang. Kenapa dia bisa tahu namanya?"Ampun, Mbah. Saya minta maaf kalau ganggu, tetapi kalau mau marah ke Romeo aja ya, Mbah. Karena dia yang membuat saya kesal jadi saya mukul meja. Kalau mau dibawa juga enggak papa kok, Mbah," ucap Almera memejamkan mata dengan tangan yang ditadahkan."Buka mata kamu! Saya bukan mbah seperti yang kamu sebut tadi."Dahi Almera mengernyit, dia merasa familiar Dengan suara datar ini. Dengan cepat Almera menolehkan kepalanya ke belakang, seketika raut wajahnya berubah canggung. Ternyata yang berbicara adalah Romeo dan sekarang berdiri dengan menatap dia tajam."Hehe, Bapak. Ngapain berdiri disitu, Pak?" tanya Almera asal."Ngapain kamu disini?" tanya Romeo tanpa menja
"Kamu pikir saya mau? Tidak, meskipun kamu mau bersujud di kaki saya sekalipun, saya tidak akan pernah meninggalkan kekasih saya," tekan Romeo dengan suara yang semakin dingin. Memangnya Almera siapa? Sampai berani menyuruh dia untuk meninggalkan sang kekasih. Kalau mau belajar jadi istri yang baik, ya belajar saja sendiri. Kenapa mengajak dia?"Saya memang menyuruh Bapak untuk meninggalkan perempuan itu, tetapi jika untuk bersujud memohon di kaki Bapak, saya tidak sudi. Memangnya apa ada jaminan, kalau Bapak akan benar-benar meninggalkan perempuan itu?" tanya Almera dengan suara datar dan tangan yang mengusap air matanya kasar. Dikhianati seorang pacar memang sakit, tetapi dikhianati oleh suami jauh lebih sakit. Semua orang pasti menginginkan pernikahan satu kali seumur hidup, sama seperti dirinya. Namun, jika sudah seperti ini, apa pernikahannya akan bertahan lama? Sedangkan salah satunya ada yang memiliki kekasih. Dia pikir, Romeo cuek dan tidak mau mem
"Almera!" teriak Romeo dari atas tangga.Dengan cepat Almera berlari menuju asal suara, dia takut kalau Romeo keceplosan marah-marah dan pada akhirnya orang tua mereka tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi. Di dalam hati dia tidak berhenti menggerutu, padahal ada handphone kenapa harus berteriak?"Ayo!" ajak Almera ketika sudah sampai di depan Romeo dan menarik tangannya paksa, membawanya kembali ke lantai atas."Ada apa?" tanya Romeo datar, dia mengelap bekas tangan Almera di bajunya.Almera yang melihatnya hanya bisa tersenyum miris di dalam hati. Sampai segitunya Romeo tidak mau dia sentuh? Padahal dia cuma memegang tangannya, tetapi sudah dilap. Apalagi kalau dia peluk, mungkin bukan cuma dilap, tetapi langsung mandi."Bapak, kenapa teriak? Di bawah ada kedua orang tua kita," ucap Almera memberi tahu dengan suara yang begitu pelan, takut kalau orang tuanya mendengar.
Di sebuah ruangan berwarna abu-abu, terdapat seorang pria yang berdiri di dekat jendela. Romeo, pria yang dulunya bertubuh kekar kini semakin kurus. Rambut-rambut halus mulai tumbuh di sekitar dagunya. Bahkan kumisnya sudah tebal seperti bapak-bapak yang ada di warung kopi. Dengan tangan yang berada di saku celana, Romeo menatap kosong langit malam yang penuh bintang. Sudah pukul sepuluh malam, tetapi matanya enggan terpejam. Padahal besok pagi ada rapat penting. Ingatannya kembali berputar pada kejadian beberapa bulan lalu. Di saat Almera masih di sini dan dia melukainya seenak hati. Perasaan bencinya kepada Almera telah melebur menjadi penyesalan. Penyesalan yang sangat dalam. "Bahkan sampai saat ini pun saya belum bisa nemuin kamu," ujar Romeo tersenyum kecut. Hidup memang selalu berputar. Jika dulu nama Almera tidak pernah ada di pikirannya, maka sekarang tiada hari tanpa memikirkan perempuan itu. Semakin memikirkan maka semakin dalam dan besar pu
"Wid, Widya," panggil Almera mengetuk pintu kamar Widya. Ketukan yang awalnya pelan semakin keras dan cepat saat tidak mendapat sahutan dari sahabatnya. "Widya! Widya!" teriak Almera tidak sabaran. Sedangkan di dalam kamar, Widya yang sedang tidur siang pun mulai terusik. Mengubah posisi tidurnya menjadi miring lalu menutup telinganya dengan bantal. Merasa tidak berguna, Widya melempar bantalnya asal dan kembali terlentang. Selanjutnya, dia menendang selimut lalu bangkit dengan mata yang memerah. Antara mengantuk dan marah. Widya membuka pintu kasar. "Apaan sih? Lo ganggu tidur gue tau nggak!" Bukannya merasa takut atau bersalah, Almera justru cengengesan tidak jelas. "Wid, jalan-jalan yuk!" ajak Almera antusias. Dengan gerakan malas, Widya menoleh ke dalam kamarnya, melihat jam yang menunjukkan pukul satu siang. Seketika matanya melotot. "Lo gila? Siang-siang gini lo ngajak gue jalan? Please deh, Al, lo jangan aneh-aneh. Ini panas ban
"Bagaimana?" tanya Romeo kepada Rizky yang berdiri di depannya. Saat ini keduanya berada di ruangan Romeo.Rizky mengernyit tidak paham. Ini Bosnya bertanya tentang apa sih? "Maaf, Pak, maksudnya apa ya?""Bagaimana kabar pencarian Almera? Apa sudah menemukan jejak?" tanya Romeo memperjelas, membuat bibir Rizky membentuk bulatan kecil seraya mengangguk pelan."Maaf, Pak. Belum ada," jawab Rizky menatap Romeo sendu. "Terakhir kali mereka berdua berada di rumah Widya."Romeo menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Punggung tegapnya dia sandarkan pada sandaran kursi. Perlahan matanya terpejam dengan tangan kanan yang memijat pelan pelipisnya. Kepalanya semakin sakit, begitu pula dengan rasa bersalah dan juga gelisah.Kapan dia bisa bertemu Almera? Harus berapa lama lagi dia menunggu kabar tentang keberadaan sang istri? Atau mungkin selamanya dia t
Hal yang paling membahagiakan bagi para orang tua adalah dengan kehadiran anggota keluarga baru. Apalagi seorang bayi mungil yang menggemaskan. Meskipun tidak ada hubungan darah, tetapi orang tua Widya begitu antusias saat mendengar kabar tentang kehamilan Almera. Mereka yang awalnya sedang perjalanan bisnis di Bandung langsung terbang ke Bali. Selama perjalanan, senyum Vania dan Efendi - orang tua Widya tidak luntur satu detik pun. Perasaan mereka benar-benar bahagia. Brak! Suara pintu yang dibuka kencang sukses membuat Almera yang sedang menonton kartun terlonjak kaget. Belum sempat melihat siapa pelakunya, Almera kembali dikejutkan dengan sebuah pelukan yang sangat erat. Sampai membuat badannya sedikit terhuyung. Tidak jauh berbeda dengan Almera, Widya dan Nenek Mia yang berada di dapur pun juga terkejut. Keduanya saling pandang lalu berjalan tergopoh-gopoh menuju tempat Almera dengan perasaan panik. Takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada ibu h
"Nek, Widya mana?" tanya Almera kepada Nenek Mia yang sedang menata makanan di meja.Mendengar suara seseorang yang semalam membuatnya khawatir, lantas Nenek Mia menghentikan kegiatannya dan mendongak. Terlihat Almera yang memakai dress berwarna abu-abu selutut berdiri empat langkah di depannya."Kamu sudah bangun, Nak? Ayo makan dulu!" ajak Nenek Mia tanpa menjawab pertanyaan Almera. Kakinya bergerak gesit menghampiri Almera dan menuntunnya duduk. Senyumnya pun merekah bahagia.Semua rasa khawatir yang dia rasakan semalam langsung sirna.Almera duduk dengan wajah bingungnya. "Nenek, Widya mana?""Oh itu Widya lagi di toko," jawab Nenek Mia santai yang mendapat tatapan penuh binar dari Almera."Almera mau ke sana! Ayo, Nek! Al udah dari kemarin-kemarin pingin ke toko roti punya Nenek." Almera menatap antusias Nenek Mia yang hendak meng
"Inget ya, Al, lo nggak boleh makan sembarangan. Harus banyak istirahat. Nggak boleh banyak pikiran," ucap Widya seraya menuntun Almera menaiki tangga menuju kamarnya. Sejak Almera sadar dan diperiksa bahwa sahabatnya itu hamil, Widya tidak berhenti mengeluarkan petuah-petuah dengan kalimat yang sama secara berulang. Terutama nenek Mia yang sangat antusias hingga langsung membuat kue untuk dibagikan ke tetangga. Sedangkan sang empu justru menutup mulut rapat-rapat dengan pandangan kosong. Pikiran dan perasaannya menjadi campur aduk. Meskipun sudah menikah dan menginginkan malaikat kecil hadir di rumah tangganya, tetapi tidak cara seperti ini. Calon anaknya hadir karena paksaan yang Romeo kira bahwa dirinya adalah Citra, kekasihnya. Bukan atas dasar saling mau dengan balutan cinta yang menggebu. Ada rasa terkejut, sedih, marah dan senang di hati Almera. Kenapa anak ini hadir di saat dirinya masih dibaluti rasa takut dan pergi dari Romeo? Bagaimana cara dia men
Di dalam ruangan yang tampak berantakan dengan kertas yang berhamburan, Romeo duduk termenung di meja kerjanya. Beberapa hari tidak datang ke kantor membuat mejanya dipenuhi tumpukan berkas. Karena memang sedang dalam kondisi hati dan pikiran yang kacau, akhirnya tanpa ragu Romeo melempar semua berkas-berkas tersebut. Sebenarnya laki-laki yang memakai kemeja biru muda itu sangat malas untuk bekerja. Dia hanya ingin mencari Almera. Namun, atas paksaan papanya dengan dalih akan membantu mencari Almera, akhirnya Romeo pun menurut. Meskipun sekarang yang dia lakukan hanya duduk termenung. Romeo menunduk dengan tangan yang memegang kening dan mata terpejam lelah. "Almera, maaf," gumamnya. Semenjak kepergian Almera, Romeo merasakan sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Hatinya terasa kosong seolah ada yang hilang. Bahkan Romeo tidak dapat tidur dengan nyenyak. Bagaimana tidak, setiap memejamkan mata selalu terbayang wajah Almera dari yang tersenyum hingga menangis.
"Sini, Nak, makan!" Nenek Mia melambaikan tangannya memanggil Almera yang baru saja datang dari arah tangga. "Nenek hari ini masak sop buntut, perkedel sama sambal. Kata Widya, kamu suka sama sayur sop." Mendengar perkataan Nenek Mia, Almera langsung mengalihkan pandangannya ke meja makan. Benar, makanan yang disebut Nenek Mia sudah tertata rapi dan terlihat menggoda. "Widya mana, Nek?" tanya Almera setelah duduk di salah satu kursi yang ada di meja makan. "Tadi pamitnya mau ke depan sebentar. Udah biarin aja. Sekarang kamu makan ya? Yang banyak, mau dihabisin juga nggak papa," jawab Nenek Mia seraya mengambil piring Almera lalu mengisinya dengan nasi yang lumayan banyak. Almera dibuat meringis melihat piringnya yang penuh. Porsi makannya tidak sebanyak itu! "Nek, udah nanti aku ambil sendiri aja kalau kurang. Ini kebanyakan," ungkap Almera mengambil alih piring tersebut. "Sekarang kamu makan gih! Nenek mau nyiram tanaman dulu." Tanpa
Sesuai ajakan Widya kemarin, kini sepasang sahabat itu sedang berada di pantai. Sebenarnya, Almera ingin ke pantai ketika hari sudah menjelang sore. Namun apalah daya, Widya sang sahabat dengan tidak tahu dirinya justru membangunkan Almera dari pagi-pagi buta. Bahkan Nenek Mia saja lelah dengan tingkah Widya yang terus merengek untuk segera berangkat. Entah Widya yang memang tidak pernah ke pantai atau ada maksud terselubung hingga gadis itu begitu antusias. "Bagusnya kalau ke pantai itu sore-sore. Sekalian liat sunset," gerutu Almera menghentakkan kakinya kesal. Di dalam hati perempuan yang memakai kaos berwarna biru dan dipadukan dengan hotpants itu tidak berhenti untuk menyumpah serapahi sahabatnya. Bayangkan, Widya membangunkan dirinya dari mulai pukul empat pagi. Cara membangunkannya pun tidak ada sopan-sopannya. Mengguncang, menyiratkan air dan memutar musik dengan volume full tepat di telinganya. Sebenarnya Widya ini ingat tidak sih kalau Almer