POV Abi"Bella." Aku memanggil namun, tak ada jawaban, Bella tetap berlalu meninggalkanku. Apa dia marah padaku? Aku akan mengurusnya nanti karena ponsel yang ada di dalam saku dari tadi terus bergetar. Nampaknya Mama sudah tidak sabar menunggu. Seperti janjiku semalam, aku akan bertemu dengan Mama pagi ini. Aku bergegas setelah taksi yang Bella tumpangi tidak lagi terlihat. Menuju hotel yang kemarin aku datangi. Melangkahkan kaki ke kamar hotel dengan sedikit berlari karena panggilan dari Mama terus saja masuk tanpa henti.Kuketuk pintu kamar dengan nomor 201 dan Mama pun membukanya."Assalamualaikum," sapaku lalu kukecup punggung tangan Mama."Waalaikumsalam," jawab Mama datar.Kuikuti langkah Mama masuk ke dalam kamar. Tak nampak Adip ada di sana. Hanya ada Mama seorang."Bukankah seharusnya ada Papa? Di mana Papa?" tanyaku begitu kami duduk di sofa."Papa masih keluar bersama Adip," jawab Mama dingin, perlakuan yang tidak pernah berubah itu masih saja aku rasakan hingga deti
Kuhela napas, keputusan yang aku ambil ini memang tidak lah mudah. Setelahnya, aku bergegas menuju kantor majalah. Sekarang giliran aku menyelesaikan masalah dengan Bella yang sedang merajuk karena berkali-kali aku menghubungi, berkali-kali juga ia menolaknya.Waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang, kulajukan kuda besiku dengan kecepatan tinggi. Berharap bisa melewati makan siang bersama Bella di kantor. Tak lupa pula kubawa makan siang yang sudah aku beli dari restoran depan hotel. Rawon adalah menu yang aku pilih, menu favorit Bella dan dia pasti menyukainya.Setibanya aku di kantor, aku bergegas menuju ruangan. Namun, langkahku terhenti saat kulewati ruang editor dan meja Bella nampak kosong. Aku pun mampir ke ruangan tersebut."Selamat siang," sapaku begitu masuk ruang editor. Terlihat beberapa orang di sana termasuk Raka dan mereka pun segera berdiri begitu melihatku."Siang, Pak," jawabnya bersamaan seraya membungkukkan badan memberi hormat."Ada yang bisa kami bantu, Pak?" sa
"Bella benar-benar keterlaluan!" gerutuku saat kulihat jam tangan sudah menunjukkan pukul 6 dan Bella belum juga menemuiku.Aku sengaja untuk tidak pulang saat jam pulang sudah tiba. Aku harus bertemu Bella secepatnya. Seperti apa yang sudah aku dengar dari teman Bella bahwa akan ada pertandingan basket antar divisi yang akan diikuti pula oleh Bella. Aku pun bergegas menuju tempat di mana pertandingan akan di adakan."Pak," sapa Raka yang kebetulan berpapasan denganku."Raka, di mana pertandingannya?" tanyaku pada Raka, sejujurnya aku sangat malas bertemu dengan Raka apa lagi harus bicara dengannya."Di gedung serba guna, Pak." "Ya sudah." Aku pun pergi ke mushola kantor untuk melakukan sholat Maghrib terlebih dahulu karena adzan sudah berkumandang.Kutengok kanan dan kiri, Bella juga tidak tampak ada di Mushola tersebut. "Nggak sholat apa kamu, Bell?" gumamku marah, mau bagaimanapun juga sholat adalah hal yang tidak boleh ditinggalkan oleh seorang istri Abimana. "Awas kamu, Bell!" a
Aku harus segera mengakhiri pertandingan ini dan bicara dengan Bella. Tak mau membuang waktu, aku pun mengeluarkan seluruh kemampuanku bermain basket. Hingga kami berhasil menang di babak pertama.Istirahat sejenak untuk sekedar minum dan mengeringkan keringat. Namun, lagi-lagi aku harus menahan amarah saat Bella berbincang serius dengan Daffa dan Raka. Sepertinya mereka sedang membicarakan tentang strategi. "Habis kalian setelah ini," ancamku meremas botol air mineral yang ada di tanganku.Tiga putaran aku menghabisi mereka dengan brutal dan tim kami dinyatakan menang. Bella tampak kesal lalu meninggalkan gedung setelah pertandingan kami selesai.Setelahnya, aku mengikuti Bella keluar. "Pak, masih ada final. Kita kan menang?" cegah salah satu dari tim finance."Saya ada urusan, kalian cari pengganti saya saja." Aku beranjak meninggalkan gedung dan membawa serta jas yang aku tinggalkan di kursi penonton.Dengan cepat kulangkahkan kaki mencari keberadaan Bella. Tepat di depan ruang g
POV BellaMalam ini aku menghabiskan waktu untuk bekerja lebih keras dengan Abi yang setia menemani."Jangan ditaruh situ, akan lebih bagus kalau diletakkan di sisi bawah sebelah kanan," ucap Abi yang berdiri di sampingku saat aku meletakkan design gambar di sebelah kiri."Ini juga mau diletakkan di situ kok," jawabku."Warnamu kurang hangat, jangan terlalu terang," ocehnya lagi."Iya, ini juga mau dipergelap,""Itu ....""Ish ... Abi. Gimana aku bisa kerja kalau kamu terus bicara? Bisa diem nggak? Ini pekerjaanku. Di kantor kamu boleh memerintah, tapi di rumah jangan.""Hem, ya sudah lah, terserah."Hingga waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam, Abi masih setia menjadi papan untukku, tak berpindah sedikitpun dari tempatnya semula. Melihatnya yang begitu menggemaskan dan begitu penurut seperti itu aku pun merasa kasihan.Kututup laptop, setelah kurasa semua sudah cukup dan pekerjaan sudah selesai."Capek?" tanyaku datar seraya melepas kertas yang ada di badan Abi satu per satu."Bias
Brak!Brak!Brak!"Keluar! Bella, Abi!" teriak seseorang menggedor pintu dengan sangat kasar membuat aku dan Abi terbangun di waktu yang masih sangat pagi, bahkan adzan subuh pun belum berkumandang. "Kamu belum mengunci pintu, Bi?" tanyaku begitu aku membuka mata."Sudah, cepat kenakan pakaianmu. Sepertinya mereka datang dengan niat yang kurang baik."Aku dan Abi pun segera memakai pakaian dengan cepat karena suara pintu terdengar didobrak.Brak! Brak! Brak!"Kalian ada di dalam, ' kan? Buka pintunya!" teriak wanita mengetuk pintu kamar kasar. "Sebentar," jawab Abi lalu membuka pintu.Begitu pintu di buka, aku pun terkejut karena di sana sudah ada Bu Gunawan, Dilla, dan juga warga membawa berbagai macam perabot menatap kami penuh kebencian."Lah, benar, kan? Mereka ini pasangan kumpul k*bo. Bukan kakak beradik. Kita sudah di tipu!" seru Bu Gunawan seolah memprovokasi."Bi, bagaimana ini, Bi?" bisikku, bersembunyi di belakang Abi yang bisa aku lakukan saat ini."Tenang, Bell, kita ng
POV AbiKedatangan para warga yang menuduh aku dan Bella melakukan perzinahan sungguh sangat kejam dan membuatku geram. Terlebih, kata-kata kasar yang keluar dari para pemuda yang ikut serta. Lucu, baru kali ini aku menemui suami istri digerebek warga. Ingin tertawa, tapi nanti aku dibilang g*la. Ya, kita lihat saja apa yang akan mereka perbuat. Setelahnya, barulah aku bertindak.Bersikap santai saja karena kepanikan hanya akan membuat mereka senang. Kalaupun dinikahkan ya, silahkan. Siapa yang mau menolak. Surat nikah kami ada di Jakarta perlu waktu untuk membawanya di hadapan mereka. Kuputuskan untuk mengulur waktu hingga surat nikah kami berada di tanganku.Namun, rasa tenang dan santai berubah menjadi amarah yang memuncak saat kulihat wajah Tari di hadapanku. Nyatanya, dia adalah dalang dari semua ini. Tari, dia sedang bermain-main denganku rupanya. "Tertawalah sebisa kamu dan menangis lah setelah ini." Janjiku dalam hati pada diriku sendiri.Terlihat Tari melenggang ke arahku me
"Assalamualaikum, Mas," jawab Asri dengan suara serak dan malas. Sepertinya dia masih tidur."Waalaikumsalam, Sri. Bangun, Sri. Buka mata kamu!" tegasku."Iyo ... Iyo, Mas. Asri bangun ini.""Sri, kamu ambil surat nikah yang saya simpan di laci meja kerja saya. Sekarang! Dan berangkat ke Bandung, sekarang juga!" perintahku pada Asri, hanya Asri yang aku harapkan sekarang.Mendengar pembicaraanku dengan Asri, wajah Tari tampak pucat pasi."Hah? Bandung? Mau ngajak saya liburan, Mas?""Iya liburan di Bandung, alamatnya saya kirim." Berbicara terlalu panjang dengan Asri hanya akan membuang waktu."Lah, Asri sama siapa to, Mas, ke sananya?" Astaga, aku lupa bahwa Asri tidak pernah pergi kemana-mana selain ke Pasar dan mini market dekat perumahan. Bagaimana bisa menyuruhnya ke Bandung. "Gini ya, Sri. Pokoknya kamu siap-siap. Nanti saya suruh sopir kantor. Pak Rudi. Kamu tau kan Pak Rudi?""Iya, Mas, Asri ingat. Yang suka ngambil dokumen di rumah kalau Mas Abi lupa bawa itu kan, Mas?""Y
POV BellaDi sini aku sendiri, menahan sakit dan bertaruh nyawa melahirkan buah cintaku dengan Abi. Di sana entah apa yang terjadi, apakah Abi sudah mengucap ijab kabul kembali dengan Tari atau sedang bertaruh nyawa berjuang untuk melepaskan diri. Sakitnya melahirkan bercampur dengan sakit hati yang semakin dalam saat kuingat kata talak dari Abimana, kata itu terus terngiang di telinga ini. Tak percaya, bahwa sekarang aku bukan lagi istri dari Abimana, pria hebat dengan sejuta pesona. Dia akan kembali pada wanita itu. Wanita yang begitu terobsesi dan tak mau melepaskan apa yang sudah menjadi milik orang.Lukaku bertambah saat kulihat Papa Hayuda yang juga mengalami luka, Asri yang terus menemani dengan setia. Juga ikut merasakan pedihnya hatiku, menangis di luar sana. Pak Nardi yang terluka cukup parah karena sempat menghadapi mereka sendirian juga sedang dirawat di sini atas permintaan Papa dan permohonan Papa pada kedua laki-laki itu."Dokter, apa perlu operasi? Kenapa anak saya be
POV AdipPapa menghubungi melalui pesan dari nomor yang tidak aku ketahui saat aku sedang mempersiapkan berkas rapat nanti siang bersama Meta. Papa mengatakan, bahwa Abi dan keluarganya sedang dalam bahaya. Bahkan sekarang Bella sedang bertaruh nyawa sendirian, melahirkan tanpa Abi, karena Abi sedang ditawan oleh Tari. Begitu panjang pesan yang yang Papa kirimkan, termasuk kondisi yang ada di dalam rumah Abi ia gambarkan. Aku tau, Papa sedang menyuruhku untuk bertindak tanpa ada kesalahan. Seketika aku pun bangkit dari tempat duduk.[Papa ingin kedua putra Papa kembali dengan selamat.] Pesan Papa yang terakhir membuatku semakin terenyuh. "Ada apa, Pak?" tanya Meta yang duduk menata berkas untuk rapat."Aku harus pergi, Met. Kamu ke rumah sakit. Bella mau lahiran dan Abi sedang ditawan Tari di rumahnya." "Apa?" Meta pun beranjak dan terlihat begitu terkejut.Kuberikan ponsel agar Meta membacanya sendiri. Ia pun meraihnya lalu membaca pesan Papa."Aku akan mencari bantuan.""Saya akan
POV ABIAku sungguh merasa kecolongan, tak pernah ada di benakku akan seperti ini. Kukira semua akan baik-baik saja. Kacau, pikiranku sungguh kacau seolah tak bisa berputar saat kulihat Bella menahan sakit yang teramat. Melihat air mata yang juga tumpah di mana-mana, Asri, Pak Nardi, Papa, dan juga Bella yang menangis melihat keadaan Bella. Membuatku semakin kacau. Di saat aku melihat anak dan istriku dalam bahaya, Tari justru terus mendesak. Hal yang konyol dia minta. Talakku pada Bella yang tengah mengandung buah hati kami.Perlahan aku melangkah, gontai, air mataku pun tumpah. Kuraih jemari Bella yang juga terisak. Mengatakan talak bukanlah sebuah permainan terlebih pada wanita yang teramat aku sayang.Namun, memikirkan keselamatan dua orang yang begitu aku kasihi adalah yang utama. Sebagai seorang kepala keluarga aku harus bisa berkorban demi keselamatan mereka.Berat namun akhirnya kata itu terucap juga. Kutitipkan Bella dan anakku pada Papa, saat ini hanya Papa yang bisa aku a
"Jangan mimpi kamu, Tari. Selamanya Bella akan tetap menjadi istriku," tolak Abi mentah-mentah.Tari terbahak, sepertinya dia sudah tidak waras. Dendamnya begitu besar pada kami sehingga perbuatannya sudah tidak bisa di jangkau oleh logika."Apa kamu pikir setelah apa yang kalian lakukan padaku aku akan diam begitu saja, Mas?! Kamu sudah merenggut semuanya, bahkan perusahaan Papa bangkrut karenamu!""Perusahaan kalian bangkrut karena memang sudah seharusnya! Karena barang curian tidak akan pernah bertahan lama jika pemiliknya sudah mengetahui. Aku harap kamu ingat dengan ide yang kau curi di Batam, atau kamu sudah hilang ingatan?! Satu lagi, jangan panggil Mas padaku, jijik aku mendengarnya!" kata Abi lantang. "Apa karena istri kamu itu tidak bisa memanggil kamu dengan sebutan itu?" "Diam kamu, Tari!" Mereka terus berdebat mengeluarkan semua kata-kata kasar. Hingga aku merasa ada yang keluar dan basah."Abi!" teriakku saat kulihat cairan keluar. Asri dan Papa yang masih melihat ket
"Tari?!" lirihku. "Pak Nardi?!" Aku tersentak saat kulihat Pak Nardi sudah terikat dan terluka, mulutnya pun sudah ditutup oleh lakban. Tampak Pak Nardi memberi isyarat pada kami untuk berlari. Karena sepertinya Tari datang dengan niat tidak baik.Cepat aku dan Asri menutup pintu namun ditahan oleh laki-laki yang menemani Tari. Laki-laki bertubuh besar dan jumlahnya pun banyak.Mereka mendorong kami, beruntung aku hanya terhuyung tak sampai terjatuh karena Asri dengan cepat meraih tanganku."Apa maumu?" tanyaku. Mereka mendesak masuk ke dalam."Siapa, Bell?" Papa pun datang menghampiri setelah mendengar keributan."Tari?" Tak kalah sepertiku, Papa pun terlihat begitu kaget. Dua orang menyergap Papa yang berlari ke arah kami, bersamaan dengan itu dua orang mencekal kedua tanganku dan tangan Asri. "Apa-apaan ini, Tari?" berontak Papa memaksa untuk lepas dari kedua pria bertubuh kekar itu. Namun mereka mencengkeram tangan Papa lebih kuat. "Tenang, calon Papa mertua."Deg! Calon m
Di luar rencana sebelumnya yang hanya beberapa hari di Batam ternyata sampai sekarang Abi belum juga pulang. Ya, sudah hampir dua minggu Abi di Batam, rencananya besok baru akan pulang. Meski Abi selalu menghubungi lewat pesan atau video call, tetap saja hatiku hampa tanpa kehadirannya. Setiap malam biasanya dia memijat kaki yang semakin hari semakin terasa mudah sekali lelah. Sekarang Asri yang melakukannya, namun tak bisa setiap hari karena aku kasihan jika Asri harus melakukannya setiap hari.Tak jarang pula Abi berbicara pada anaknya walau hanya melalui ponsel, untuk sekedar menasehatinya untuk tidak nakal dan menjaga Mamanya."Sudah, Sri. Kamu istirahat sudah malam," kataku pada Asri yang tengah memijat kakiku saat kulihat benda pipih persegi panjang yang aku letakkan di atas nakas sebelahku itu berpendar. "Jangan lupa diminum susunya, Mbak. Nanti kalau Mas Abi telepon Asri biar bisa bilang sudah, Mas," kata Asri. Aku terkekeh, pasti mereka sering berhubungan melalui ponsel dan
"Bisa aja kamu, Bell," jawab Abi menggaruk tengkuknya, malu.Keluar dari kamar kulihat Papa duduk di sofa membaca majalah, majalah kami yang semakin berkembang pesat meski konsultasi Pak Christian dan Kak Raka secara virtual dengan Abi karena jarak yang jauh. "Papa mau nasi goreng? Sekalian Bella buatin, mau buatin Abi soalnya." tawarku."Memangnya kamu sudah boleh masak sama suamimu yang lebai itu?" tanya Papa, sejauh ini hubungan mereka masih sama, tak ada perubahan. Entah mau sampai kapan, kukira dengan kehamilanku akan membuat keduanya semakin dekat, namun kenyataannya tidak. Pernah aku meminta mereka untuk pergi bersama mencari rujak cingur di Surabaya dengan alasan permintaan bayi. Abi menolak dengan alasan akan basi, aku menjawab dan mengajari untuk beli saat waktu penerbangan sudah dekat, bumbu di pisah. Niat hati ingin mendekatkan mereka dengan menyuruh mencari makanan lebih jauh agar bisa menginap bersama. Aku malah ditertawakan. Abi membaca rencana dan tujuanku. Gagal la
Hari terasa begitu cepat, perut ini pun sudah semakin membesar seiring berjalannya acara tujuh bulanan beberapa waktu lalu. Menurut dokter, usia kandungan sudah menginjak 38 minggu. Tapi di usia kandungan yang semakin membesar, aku harus melepas Abi untuk pergi ke Batam karena suatu hal yang terjadi di proyek Batam dan memerlukan penanganan dari Abi secara langsung.Hayuda pun sudah mulai berangsur stabil. Sedangkan Mama belum juga diketahui ada di mana. "Hai anak papa, jangan nakal ya, besok Papa mau ke Batam dulu. Jagain Mama biar nggak ganjen sama si Dedi itu, ya," sindir Abi yang meletakkan kepalanya di pangkuanku, mengusap dan mengecup perut yang semakin membesar ini tiada henti. Itulah aktifitas Abi selama beberapa bulan ini setiap malam menjelang tidur. Sedang aku mengusap kepalanya."Ih, Abi, siapa yang ganjen, jangan fitnah di depan anak," keluhku, saat ini kami ada di atas ranjang big size kamarku, Abi meninggalkan kamarnya dan tidur di kamarku sejak kami pulang ke Jakart
Beranjak aku berdiri menyamainya. "Sayang, kalau aku lihat kamu terus jadi nggak tega untuk pergi, pengennya deket kamu terus, sayang-sayangan sama kamu," rayuku membelai wajah yang semakin hari semakin memancarkan aura kecantikan dan keibuan itu. Terdengar klise memang, tapi sangat dibutuhkan kalau hanya sekedar untuk merayu ibu hamil, meski aku sendiri kadang suka eneg setiap mendengar rayuanku."Benarkah?" tanyanya memelukku sejenak, Namun tiba-tiba melangkah menuju ke depan meja rias."Sini deh, lihat, perutku sudah mulai membuncit. Pantas saja kamu tidak tertarik lagi," ucapnya di depan kaca. Mengamati bentuk tubuhnya dari berbagai arah, tampaknya dia terganggu saat memelukku dan perut buncit itu bersentuhan dengan perutku terlebih dahulu.Aku pun mendekati dan memeluknya dari belakang, mengusap perut yang sudah mulai terlihat berisi. Terlihat dari pantulan cermin besar yang ada di depan sana wajah masam dari istri kesayangan. "S*eksi, aku suka. Ini yang membuat aku semakin cinta