Sore ...." Suara seorang lelaki yang memasuki rumah. "Wah, lagi pada ngumpul ni. Padahal, aku bawa Pizza buat Mbak Mel sama Alea," sahut Dilan, adik dari Alan, sambil menunjukkan dua dus pizza berukuranLarge."Sini bagi Kakak, Lan! Kakak gak kebagian makan, tau!" Lian berdecak sembari berdiri dan melirik dengan tajam ke arah Melly."Ini yang satu buat Kakak sama Mami, satu dus lagi buat kakak iparku yang cantiiik.""Melly gak usah, Lan. Dia udah makan banyak tadi. Ya, kan, Mel?" Rosa, mertuanya, menunggu jawaban "ya" dari Melly.Melly hanya mengangguk segan. Pasalnya, selama berumah tangga dengan Alan, belum pernah sekali pun diajaknya makan di luar atau sesekali membelikan makanan enak. Baru saja ada yang membawakan makanan enak, ia malah harus mengalah dan menahannya. Melly pun haya bisa meneguk air liurnya dalam-dalam.
Mel, didik anak kamu yang benar supaya gak nyelakain orang!" hardiknya.Melly menatap wanita itu geram, menahan kekesalannya yang selama ini ditahan. Ia merapatkan mata sesaat, membayangkan sedang mengacak-ngacak rambut wanita itu, lalu menjungkirbalikkan tubuhnya dan melempar ke tempat pembuangan akhir. Setelah puas, ia kembali membuka matanya."Ngapain kamu merem-merem?! Mau nangis lagi, hah! Dasar Cengeng!"Melly lantas menjejakkan kakinya di lantai dan menggeram bak kucing yang siap berkelahi dengan lawannya, lalu meninggalkan Lian dan masuk ke kamarnya.Sebenarnya, ia tidak tahan ingin melakukan apa yang baru saja dibayangkan. Jika saja itu bukan kakak iparnya, dia pasti sudah menelannya mentah-mentah walaupun rasanya pasti getir.Melly terus berjalan bolak-balik di kamarnya. Ia merapatkan mata sembari mendinginkan kepala. 
Duuh yang abis senang-senang. Jalan-jalan sama siapa, tuuh …?!" sindir wanita yang tidak menyukai Melly setelah Melly memasuki teras depan rumah.Melly melihat suaminya sudah pulang dan sedang duduk sambil melihat acara televisi.“Kasian tu laki, pulang kerja gak ada yang masakin!"Melly tak menggubris sindiran wanita itu."Lan, ceraikan aja dia! Udah main seenaknya, gak tahu waktu, ngabisin duit suami, gak becus ngurus suami pula." Lian terus mengoceh tanpa lelah.Melly acuh tak acuh. Ia menarik salah satu kursi makan dan meminta suaminya duduk, lalu ia mengeluarkan sekotakbeefstrudledan satucup ice cappucino. Lian tercengang melihat apa yang dikeluarkan Melly daripaperbag."Kamu punya uang buat beli ini?" tanya suaminya."Ini dibeliin Lisa, Yang.
Dilan mengangguk. "Mau ke mana, Mbak Mel?""Mau ke toilet sebentar."Wanita berusia 25 tahun itu bergerak cepat menuju toilet karena merasa ada sesuatu yang akan keluar dari pencernaannya. Ia pun menepuk-nepuk dadanya agar mualnya bisa sedikit tertahan, menutup rapat-rapat mulut dengan telapak tangannya.Karena merasa mualnya sudah naik sampai kerongkongan, ia bergegas memasuki toilet wanita. Dengan sedikit tersungkur di depan watercloset, semua penganan yang ia santap sebelumnya, habis cepat terkuras.Tubuhnya gemetar dan kehabisan tenaga. Ia sejenak menyandarkan diri di dinding kamar mandi mall, mengatur napas perlahan-lahan demi mengumpulkan kembali energinya.Melly kembali melangkah dengan elok menuju tempat para waitress dan kasir berkumpul untuk menghampiri waitress yang tadi datang ke mejanya. Ia meminta total harga yang belum dibayar dan segera melunasi dengan kartu ATM-nya.Setelah kembali ke mejanya, tak lama waitress membawa
"Aaaaahhhhhh ....""Duuh, maaf-maaf, Mbak.""Rachel, hati-hati, ya, Sayaang. Minumannya jadi tumpah ke Mami, deh," kata Melly dengan nada sedikit menyindir. Ia tidak kuat menahan tawa. Dengan segera ia menyimpan nampan di coffeetable dan mengambil beberapa lembar tisu seraya membersihkan bajunya.Lian menangkis tangan Melly karena segan dibantu. Ia pun bangkit dari tempat duduknya. "Diam kamu! Gak usah sok sok perhatian! Kamu pasti sengaja, kan, numpahin minumannya!""Astagfirullah. Demi Allah enggak, Mbak. Kan, Mbak liat sendiri tadi Rachel yang nabrak aku.""Alasan aja kamu! Kamu pasti senang liat aku kaya kuyup gini!""Hmm ... Mbak mau jawaban jujur apa bohong?" tanya Melly dengan raut wajah sedikit memelas."Gak usah jawab, aku tau kamu mau jawab apa!" Lian berjalan ke kamarnya meninggalkan Melly sambil menghentakkan kakinya.Melly memindahkan gelas dan mencucinya. Lantas, masuk ke kamar dan menutup pintunya. Ia bersa
Melly menoleh ke belakang dan—“Hai, Mbak Mel.""Kamu, Lan. Ngagetin aja. Dari kapan di situ? Kok, gak kedengeran masuknya?" "Iya, Mbak. Aku mau ngagetin Mbak Mel.""Kamu udah makan belum? Kebetulan Mbak baru selesai masak. Tolong sekalian panggil anak-anak, ya."Sementara Melly menghidangkan masakannya di meja makan, Dilan, Alea, dan Rachel menarik kursinya masing-masing dari bawah meja makan."Tumben kamu ke sini siang-siang, Lan. Kerjaan kamu gimana?" tanya Melly khawatir Dilan meninggalkan pekerjaannya."Aku tadi abis tugas lapangan dekat sini, Mbak. Jadi mampir karena kangen Alea.""Ooh, gitu. Ya, udah makan dulu," Melly mengambilkan nasi dan lauk untuk Alea dan Rachel di piring yang berbeda."Siap, Mbak. Mbak, kok, bisa masakannya enak-enak. Belajar dari mana, Mbak?" tanya Dilan penasaran."Ini semua resep dari ibunya Mbak, Lan. Karena Mbak Mel anak perempuan paling besar, jadi mau gak m
Alan menunjukkan foto dari ponselnya tepat setelah Melly menunjukkan hasil USG kehamilannya. Foto yang tampak tak asing dan dejavu menurutnya.“Itu, kan, foto Dilan, adik kamu, Yang?""Tepat!" tegasnya seraya melempar ponsel ke tempat tidur.Ia berdiri sembari berkacak pinggang, "Kamu selingkuh sama Dilan, kan!""Astagfirullah, Mas, gak mungkin! Aku gak pernah bersentuhan sama siapa pun selain kamu, apa lagi sampai sejauh itu!""Siapa yang tahu kalau aku gak ada di rumah. Dilan sering main ke sini, kan?!""Iya, tapi enggak lama. Itu juga ada Alea sama Rachel, Yaang.""Mereka masih anak-anak dan gak ngerti apa-apa! Sekarang juga kamu gugurin anak itu!"Melly terhenyak dan tak percaya dengan apa yang dilontarkan suaminya. Bagaimana mungkin ia menggugurkan kandungannya, sudah jelas-jelas kalau itu anaknya. Kenapa dia harus percaya dengan orang lain dengan adanya foto itu."Astagfirullah, Mas, istigfar! Kamu uda
"Aku gak salah pilih kalian sebagai partner," tutur Melly.Senyum semringah tertarik dari kedua bibir partner yang duduk di hadapannya."Aku bisa menjalankan semua ide kalian, tapi aku akan pilih mana yang lebih dulu kita buat secara urut!"Lisa bengong berpangku pada satu tangannya, menatap sahabatnya."Lis?" Lisa tak bergeming ketika Melly memanggil.Melly pun menempelkan satu cup minuman dingin di pipinya."Hhhhh, dingin, Mel."“Kamu bengong mikir apa?"Lisa tiba-tiba bertepuk tangan pelan, "Ckckck ... aku kagum sama kamu yang sekarang, Mel," ujarnya."Iya, gak, Mala? Aku gak nyangka kakakmu bisa sehebat. Ini udah pantes banget jadi CEO, tapi tetep gak sombong," lanjutnya sambil menyenggol tangan Mala di sampingnya.Seseorang tiba-tiba menghantam meja dengan telapak tangannya tepat di hadapan Melly."Assik, ya. Ketawa-ketawa, haha-hihi! Pan—tas aja kamu minta ART. Ternyata biar bisa sering-se
Sementara itu, ponsel di dalam kantong gamisnya bergetar. Melly mengambilnya dan memeriksa sebuah pesan singkat yang masuk.[Selamat kembali miskin, Melly. Hahaha]Melly tercengang dengan isi pesan tersebut. Apalagi setelah melihat nama si pengirim yang terpampang dengan jelas tertulis nama “Mbak Lian”. Pandangannya beredar mencari sosok Lian. Apa dia yang menyebabkan kebakaran rumahnya tersebut? “Kurang ajar! Masih berani unjuk gigi dia!” Melly tersulut emosi.Beruntung kebakaran tak mengenai rumah tetangga di sekitarnya karena jarak bangunan rumah Melly tak terlalu dekat ke dinding pembatas. Tepatnya, rumah Melly berada di tengah-tengah ruang lingkup lahan di antara taman-taman kecil.“Dia harus bertanggung jawab atas semuanya!” Melly meremas ponselnya sambil mencari-cari batang hidung kakak iparnya.“Kamu kenapa?” tanya Alan yang bingung melihat tingkah laku Melly.“Kamu pasti gak percaya ini, Yank.”“Soal a
Pukul empat dini hari, ponsel Alan terus bergetar. Alan dan Melly terlalu lelah hingga tak merasakan getaran di kasur yang berasal dari ponselnya. Enam panggilan tak terjawab muncul di layar ponsel.“Bunda ....” Alga terbangun, memanggil dengan suara mungilnya. Ia merangkul perut Melly, menginginkan asupan ASI karena merasa lapar. “Bunda ....?” panggilnya lagi.Melly terbangun setelah Alga merengek-rengek manja. “Iya, Sayang.”Alga kembali memejamkan mata setelah Melly menyusuinya. Sepuluh detik kemudian, ia baru merasakan ponsel Alan yang bergetar tanpa nada. Di sampingnya, Alan tampak sangat pulas.Tak tega membangunkan Alan, Melly meraih ponsel yang sudah membuatnya terganggu malam-malam. Namun, ia penasaran karena nama Mala yang muncul di layar panggilan.“Halo. Kena—“Kakaaaak! Kak, Mel, halo!” Suara Mala sedikit berteriak, nadanya terdengar cemas. Suasana di telepon juga sangat riuh dan sayup-sayup terdengar orang-orang yan
"Saya gak sangka polisi sampai mencari ke sana, Pak?" tanya Alan."Bukan kami, Pak. Ada orang yang membawanya kemari tadi pagi."Mata mereka saling beradu tatap keheranan. Semuanya bertanya-tanya akan siapa menggelandang Siska ke kantor polisi."Siapa membawa dia ke sini, Pak?" tanya Lisa ingin tahu.Mata polisi itu seperti mencari seseorang di ruangan yang luas itu. Kemudian, seorang pria dan seorang wanita memasuki ruangan."Itu dia orangnya!" sahut Polisi Deri, menunjuk orang yang baru saja masuk dengan menggunakan kacamata hitam bersama seorang lelaki di belakangnya.Lisa, Mala, dan Alan serempak menoleh ke arah yang ditunjuk Pak Deri. Semuanya makin tersentak ketika melihat kedua orang yang berjalan mendekati mereka itu.Sementara itu, Siska malah mengerlingkan mata dengan sudut mulut mencibir. Tanpa menoleh pun ia sudah tahu siapa yang datang. "Melly?" ujar Lisa."Kak Bima?" sahut Mala.Melly
"Permisi ...," ujar dua perawat datang menggantikan pakaian Alea dengan kain polos berwarna putih.Suasana haru memenuhi ruangan. Alan sudah menghubungi kedua orang tua dan mertuanya untuk mempersiapkan segala sesuatunya di rumah duka.Semua sudah bersiap pergi. Namun, Melly belum boleh pulang karena keadaannya yang belum pulih total dengan lengan dan kepala yang masih dibebat perban. Mala ingin menemaninya di rumah sakit. Akan tetapi, Melly tidak memperbolehkannya.Saat itu ia hanya ingin menyendiri, mengingat masa-masa terakhir bersama putrinya. Pada hari kecelakaan adalah hari di mana ia benar-benar merasa paling bahagia sebelum akhirnya berujung duka.***Ambulance sudah sampai di rumah Alan. Terlihat orang-orang yang mengurus jenazah sudah siap di sana bersama para tamu yang akan memberikan ucapan duka.Pukul 14.30 jenazah Alea sudah siap dimakamkan setelah selesai disalati. Seluruh keluarga beriringan mengantar jenazah ke t
“Shoot!"Dokter Dimas menggunakan alat pacu jantung lagi! Lalu, seorang perawat meletakkan defibrilator ke tempatnya semula.Dokter Dimas melakukan CPR lagi dengan satu telapak tangannya. Satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali—Tiba-tiba … terdengar suara ventilator berbunyi normal lagi."Alhamdulillah," sahut Dokter Dimas diikuti semua orang yang ada di ruangan."Tekanannya sudah normal semua, Dok," jelas salah satu perawat seraya melepas tabung ventilasi manual dan menggantinya dengan dengan mesin.Alan menyungkurkan dirinya di lantai, saling berpelukan dan menangis bersama istrinya."Dokter ... terima kasih banyak, Dok. Terima kasih ....""Sudah jadi tugas saya, Pak. Nanti perawat akan mengontrol kondisinya selama enam jam ke depan. Tolong diawasi terus, ya, Pak. Saya permisi dulu."Dokter Dimas keluar ruangan bersama dua perawatnya yang membawa mesin defibrilator.Sementara, Melly berjalan d
“Enggak ... itu kesalahan aku, Yaaang! Pak Cahyadi … Alea … jadi begini karena aku ...." Ia menangis sesenggukan sampai terdengar ke luar ruangan. "Tenang dulu ya, Bunda. Pak Cahyadi udah diurus sama Mala. Dia juga udah mewakilkan belasungkawa untuk keluarganya."Melly terdiam. Tangisnya berangsur mereda. Ia lebih tenang dalam pelukan suaminya. Segera ia menghampiri putrinya yang masih terpejam tak sadarkan diri dengan meraba-raba sekitar kamar sampai akhirnya bisa menyentuh Alea.Melly mencari posisi wajah putrinya, memindahkan sentuhannya ke bagian atas kepalanya yang dibalut perban. Ia merendahkan dirinya mendekati wajah Alea ingin mencium, tetapi terhalang selang ventilator. Ia hanya bisa memandang dalam angan-angan melalui sentuhannya.Ia mencoba naik ke ranjang putrinya untuk tidur berdampingan seperti yang biasa mereka lakukan di rumah. Salah satu tangannya berpindah ke atas tubuh Alea. Ia ingin merasakan memeluk dan menggendongnya lagi se
"Maaf tidak bisa, Bu. Karena ruangan dewasa dan anak dipisah sesuai prosedur rumah sakit," papar perawat ramah itu."Saya akan bayar berapa pun. Tolong lakukan untuk saya, Sus!" Melly meminta dengan tegas."Maaf, Bu, saya tidak berani tanpa seizin dokternya," jawab Suster."Kalau gitu, tolong sambungkan saya dengan dokter yang merawat anak saya sekarang juga!""Ta-tapi—"Suster tega dengan keadaan saya begini?!" Melly menunjuk matanya, "lalu, saya tidak bisa melihat anak saya?" ujar Melly merajuk. Ia menitikkan air mata."Gimana kalau sampe terjadi sesuatu sama anak saya, sedangkan kondisi saya begini dan tidak bisa menjaganya, Suster mau saya salahkan!" tanya Melly sedikit mengancam.Perawat itu bimbang. Di satu sisi ia juga seorang ibu yang bisa merasakan apa yang dialami Melly. Di sisi lain itu bukan wewenangnya untuk memindahkan pasien dengan peralatan lengkap yang tersambung ke tubuhnya."Saya akan coba hub
"Yang, Alea mana, Yang? Dia baik-baik aja, kan?"Alan merasa berat hati untuk menjelaskan semuanya. "Alea baik-baik aja kok, Bun. Tenang dulu, ya. Kamu harus banyak istirahat.""Di mana Alea? Aku mau ketemu Alea, Yang. Dia pasti di sini, kan? Dia masih sama aku tadi." Melly mencoba beranjak dari tempat tidurnya dengan gelisah.Melihat hal itu, Alan lekas menarik tubuh istrinya yang sempoyongan dan menenggelamkan ke pelukannya. "Alea lagi tidur di kamarnya, Bun. Kalau kondisi kamu lebih baik, kamu bisa ketemu sama Alea secepatnya."Melly merasa tenang setelah mendengar itu. Ia menghela napas dalam-dalam. Pikirannya yang cemas sudah mulai mereda. Alan kemudian membaringkan tubuh istrinya kembali ke ranjang.Beberapa waktu berlalu, Melly tak bisa memejamkan mata walau sudah lama berbaring. Kepalanya terus dihantui ketakutan tentang bagaimana jika dia tak bisa melihat lagi. Bagaimana dengan kehidupannya yang akan datang? Anak-anaknya? Orang t
Setelah menjemput Alea, Melly mengajaknya jalan-jalan ke mal karena ia belum pernah membawanya berekreasi atau sekedar jalan-jalan mengitari sudut kota. Hari itu ia akan full menemani putri kecilnya seharian. Alea bisa membeli apa pun yang belum pernah ia miliki sebelumnya.Alea berlarian ke sana kemari di dalam mall mengambil satu ruas tali yang mengikat kencang balon yang diberikan oleh seorang pramuniaga dari stand yang mengadakan berpromosi. Lalu, ia masuk ke salah satu toko mainan terbesar di mall itu."Alea mau itu, Bun?" Ia menunjuk mainan istana lengkap persis yang dimiliki Rachel."Kamu gak mau mainan lain? Di sana banyak yang lebih bagus, loh, Al," bujuk Melly.Alea menggeleng. Anak-anak memang cenderung ingin memiliki mainan yang sama dengan teman sepermainannya."Oke. Kamu mau yang lebih besar?" Melly menunjuk mainan istana yang sama, tetapi dengan ukuran lebih besar dan properti lebih lengkap."Iiiih … aku mau, aku m