Rencana jahat Dela, berbuah tragedi
Subscribe dan bintang 5 dong sebelum baca ya..ya.. Setengah jam perjalanan, akhirnya Heru dan Sari sampai di rumah. Heru membawa Sari ke kamar untuk istirahat. Jam menunjukkan pukul 11.30 “Ayo, Bun. Istirahat di kamar saja. Ayah siapkan makan siang dulu ya, sekalian biar nanti bisa minum obat.” Sari mengangguk lemah, ngilu dan perih di tangannya masih terasa. Sari segera membaringkan badannya di ranjang. Sari menatap luka di tangannya. Kejadian pagi tadi masih terekam kuat dalam memorinya. Hampir 4 tahun ia tinggal di rumah ini belum pernah sekalipun ia jatuh tergelincir. Tapi naasnya pagi tadi diluar nalarnya. Kenapa kejadian itu menimpanya. Padahal ia bukanlah orang yang ceroboh, setiap pekerjaan selalu dilakukan dengan tuntas. Saat membersihkan lantai dapur pun, ia selalu pel berulang kali agar minyak yang berteb
Terima kasih telah berkenan mampir, jangan lupa kasih vote dan favorite ya, biar makin semangat melanjutkan ceritanya. Dela dan bu Sri tengah asyik membungkus snack untuk dijual. Walaupun terpaksa, mereka lakukan demi perut. Kalau tidak begitu, mereka bisa puasa sehari penuh. Mana bisa mereka menahan lapar. Saat bulan ramadhan pun mereka lebih memilih tidak puasa. Sementara Heru keluarga satu-satunya yang bertanggung jawab penuh pada mereka belum juga mendapat pekerjaan. Apa yang bisa mereka lakukan, kecuali pasrah dan terpaksa menerima keadaan. Meskipun harus melakukan pekerjaan yang sangat mereka hindari. “Sebeeel...! Sebeeel...!” Teriak Dela memberengut. Hampir saja kakinya menendang kantong besar snack itu. Untung Dela masih menjaga kewarasan, jika tidak snack itu sudah hancur lebur kena tendangan mautnya. “Cape
Subscribe dan bintang 5 dong sebelum baca, biar aku makin semangat nulisnya. Usai sholat isya berjamah, Sari dan Heru tengah bersantai di ruang keluarga. Sakit pada telapak tangan Sari sudah mulai berkurang. Meskipun begitu, Sari belum bisa membungkus snack. Untungnya ada Heru yang siap membantu. Sekarang hubungannya dengan Heru semakin membaik. Walaupun Heru tidak bekerja, ia sudah mulai bertanggung jawab kembali. Paling tidak beban yang ada di pundak Sari sudah mulai berkurang. Urusan beberes pekerjaan rumah tangga pun Heru sudah mulai turun tangan. Tidak lagi membiarkan Sari mengerjakan sendiri. “Yah, bunda rasa kita sudah terlalu kejam pada mama dan Dela. Tak seharusnya ayah mengusir mereka dari rumah,” ucap Sari terbata-bata. Sari tidak bisa bayangkan, bagaimana perempuan yang lanjut usia tinggal berkeliaran di luar rumah. Tinggal di kontrakan pun rasanya tak mungkin, karena mama mertua tidak memiliki
Jangan lupa subscribe dan bintang 5 nya dong...hehe Suara semilir angin ibarat musik bersuara merdu mendayu-dayu sampai terasa ke gendang telinga Sari. Angin sepoi-sepoi membelai lembut wajah Sari yang tengah mengendarai motornya. Seminggu lebih tangannya kaku dan kebas, tidak bisa digerakkan. Hari ini Sari mulai kembali dengan rutinitasnya mengantar dagangan ke warung-warung. Senyum sumringah teroembang di bibirnya. Maya telah kembali ke Tasik 3 hari yang lalu. Nasehat singkat membuat hatinya lebih lapang dan tenang sekarang, kedatangan Maya membawa perubahan besar dalam hidupnya. Belajar ikhlas dan sabar menghadapi setiap cobaan. Belajar menerima ketidak sempurnakan adalah kunci kebahagiaan. Menghancurkan dendam kesumat yang bercokol di hati, dan menggantinya dengan keikhlasan dan kesabaran, berbuah kenikmatan tiada Tara. Sari sangat berterima kasih pada Maya adiknya, karena sudah mengi
Rumah Sakit Dokter Wisnu tengah duduk santai di ruangannya. Ia baru saja selesai melakukan tugas yang lumayan menyita perhatian. Segelas teh manis dan sepiring cake menemani saat santainya. Matanya menyapu seluruh ruangan, setiap sudut dan celah tak luput dari pandangan. Lalu senyuman terbit di bibirnya, ia merasa puas dengan pencapaian dan keberhasilannya. Menjadi dokter yang dielu-elu dan kebanggan semua orang. Namun, di saat yang sama hatinya terluka dan tercabik-cabik manakala keberhasilan yang ia raih, harus ia tukar dengan cinta. Senyumnya terhenti, kala ingat kegagalan cintanya. Cinta yang ia jaga segenap jiwa, harus ia lepas demi memenuhi keinginan dan tuntutan orang tua. Berbulan-bulan lamanya ia baru bisa bangkit dari keterpurukan, dan bertekad akan mempersembahkan kesu
10 tahun silam...“Mas Wisnu! dipanggil papa!” ucap Mita dibalik pintu kamar Wisnu. “Sekarang ya Mas,” lanjut Mita melongok kamar Wisnu, setelah sebelumnya mendorong pintu kamar untuk mengetahui kegiatan kakaknya.“Iya,” sahut Wisnu pendek. “Jangan ngintip-ngintip masuk aja,” tambah Wisnu mengingatkan.“Ogah ah! males,” ucap Mita bergurau. Lalu Mita segera balik badan, lalu ngeloyor pergi. Wisnu memandang punggung Mita yang menghilang dibalik pintu sambil tersenyum kecil.Wisnu yang sedang mengerjakan tugas, segera bangkit lalu melangkah ke luar. Wisnu turun ke lantai bawah, di tangga ia berpapasan dengan Mita yang sedang bicara lewat telpon.“Papa ada di ruang kerja, Mas!“Ok, terima k
Selamat membaca 🌷🌷🌷 “Sari...! Kenapa melamun? apa yang kamu pikirkan.” Dokter Wisnu memandang Sari gusar, setelah mendengar ceritanya Sari banyak melamun yang terlihat di matanya. Dokter Wisnu memandang Sari dengan getar cinta yang sama. Ya Tuhan andai bisa diulang kembali, ingin kurengkuh wanita ini dalam pelukan. Tapi sayang, dia sudah punya suami. Sari tergagap, “ I-Itu M-Mas ... A-Aku tak menyangka jalan cinta kita serumit ini. Dulu aku sempat mengeluarkan kata-kata kotor, sumpah serapah keluar begitu saja, karena mas Wisnu hilang tak ada kabar. Tanpa ada kepastian mengenai hubungan kita, jadi jangan salahkan aku bila aku menikah dengan pria lain. Coba dulu, seandainya Mas Wisnu jujur dan berterus terang, aku pasti mengerti. Karena pada dasarnya perempuan itu hanya butuh kepastian. Tapi apa yang mas lakukan, mas pergi begit
"Kemana aja Bun? Jam segini baru pulang! Pasti janjian ketemu sama si dokter tampan itu ya!” ucap Heru curiga sekaligus cemburu. Gimana tidak curiga, tadi siang si dokter tampan itu berani-beraninya meminta nomor handphone istrinya, lalu tiba-tiba istrinya menghilang dari rumah tanpa pamit. Mama dan Dela saja yang berada di rumah, tidak tau kemana Sari pergi. Apa tah ia yang tengah bekerja mengantar penumpang, jelas tidak mengetahui gerak gerik Sari seharian. Ya, semenjak Heru dan Sari dikasih mobil oleh Maya, adiknya Sari. Mereka mendaftarkan mobil itu untuk alat transportasi. Sejak saat itu, Heru memulai rutinitasnya di jalanan, mengantar penumpang sesuai pesanan. Bahkan sampai malam Heru jabani demi memberikan hidup layak untuk keluarganya. Sari yang baru saja sampai di rumah, terpaku mendengar ucapan suaminya yang tidak masuk akal. Sari mer
Dua jam kemudian keluarga Wisnu berpamitan pulang. Pak Santoso dan istrinya sedih karena harus berpisah lagi dengan cucu-cucu kesayangannya. Padahal belum lama mereka bercengkerama, sekarang cucunya harus pulang. Andai mereka mau tinggal di sini betapa bahagianya pasangan kakek nenek itu.“Kalian kenapa sih buru-buru amat perginya. Padahal mama masih kangen kumpul dengan kalian, apalagi sama cucu kesayangan nenek yang ganteng dan cantik ini.” Keluh sang mama sedih dan kecewa seraya merangkul dan memeluk sang cucu. Seakan enggan untuk berpisah. "Kalian nginap aja malam ini di sini, besok pagi kakek yang antar pulang ke rumah kalian," sambung sang nenek berusaha membujuk sang cucu. "Iya-kan besok pagi bisa antar mereka?Belum juga mendapat jawaban dari sang suami, pertanyaan itu terputus oleh permintaan maaf Sari. “Maaf Ma, kami meninggalkan seseorang di rumah, tadi dia tidak mau ikut. Sementara Fando gelisah terus pingin cepat pulang.”Ya, selama berada di rumah neneknya, perasaan Fand
Bismillahirrahmanirrahim.“Fando, akhirnya kamu pulang juga, Nak. Kemana aja sih! lama banget pulangnya,” ceracau Sari kesal sekaligus tampak senang.Perempuan yang masih terlihat cantik di usianya yang tidak lagi muda itu, langsung memburu anaknya dan memeluknya erat. Fando yang mendapat serangan mendadak jadi terperanjat kaget. Tidak biasanya sang mama bertindak berlebihan seperti hari ini. Bukan kali ini saja dia pulang terlambat. Dulu ia juga pernah pulang terlambat, karena keasyikan main bola, respon mamanya biasanya. Fando menepuk jidatnya saat menyadari sesuatu. Situasi dulu dan sekarang berbeda. Kalau dulu dia pulang terlambat karena sang mama tahu dia sedang berada di mana dan sedang melakukan apa. Kali ini tidak, apalagi pagi tadi mamanya sudah mengingatkan untuk pulang lebih cepat dari biasanya. Salahnya juga sih tadi! tidak memberitahukan kepergiannya. Bisa kirim pesan atau telpon.Ibu mana yang tidak senang, melihat anak yang ditunggu-tunggu, pulang dalam keadaan baik-
Bismillahirrahmanirrahim.“Saya teman dari gadis pemilik rumah ini. Terus Bapak sendiri,kenapa mau mendobrak pintu? Mau ngerampok ya,” tuding Fando datar, tiadagentar.Sebenarnya Fando cemas dan takut kedua pria itu melukainya. Apalagimelihat tubuh dua pria di depannya itu bertubuh besar dan dipenuhi tato. Tapisetelah ia melapor polisi, ia merasa lebih tenang. Berharap, di saat yang tepatpolisi datang menolongnya.Shanum yang berada dibalik pintu, kaget mendengar suara seorangpria yang mengaku sebagai temannya. Tak ayal, Shanum mengintip dari lubangkunci. Hanya itu tempat yang bisa mengetahui siapa orang yang mengaku sebagaitemannya. Tidak ada jendela di sisi pintu. Mengintip dari tempat lain pun tidakbisa karena pintu ini lebih condong menjorok ke dalam.Setelah mengintip, Shanum tidak bisa melihat jelas, pandangannyahanya mengarah ke bagian dada. Pria itu memakai seragam putih.Siapa pemuda berpakaian seragam sekolah itu, desis Shanum dalamhati.“Jangan asal bicara kamu ya, menuduh
Sementara di tempat lain. Tepatnya di ruang kerja Wisnu, Sarisedang menunggu suaminya yang sedang memeriksa pasien.Tak lama menunggu, terdengar suara pintu dibuka. Sari segera menoleh ke arah pintu. Benar saja, suaminya muncul seraya tersenyum senang.“Tumben Mama datang ke sini, pasti ada sesuatu yang mau dibicarakan.”“Iya Pa, ini masalah sangat penting.” Sahut Sari membetulkan posisi duduknya.“Masalah apa lagi, apa ada kaitan dengan Fando atau Luna?”“Bukan? Tapi masalah lain.”Wisnu mengenyit bingung, menunggu istrinya bercerita.Tanpa menunda lagi Sari mulai menceritakan info yang baru iadapatkan kemaren malam. Sebenarnya malam itu ia ingin langsung cerita pada Wisnu, tapi karena suaminya baru pulang tengah malam, urung ia cerita.Makanya pagi ini ia datang ke rumah sakit. Tidak ingin menunda lagi, secepatnya ia harus tahu kebenaran tentang gadis yang bernama Shanum itu.
Fando tidak akan bertingkah seperti cewek yang keganjenan padaumumnya, karena ia tahu bagaimana rasanya ditolak.Baginya memperhatikan Shanum diam-diam, adalah cara terbaik yang ia punya. Bak sebuah magnet, ia akan buat Shanum meliriknya. Tidak akan sulit baginya, menarik perhatian Shanum. Bukan dengan cara seperti gaya cewek menarik perhatiannya pada umumnya. Justru dengan sikap dingin Shanum itu membuatnya terpacu untuk menaklukkan hati gadis berwajah datar itu.Tak lama kemudian Fando sampai di kelasnya. Setelah meletakkan tas, Fando mendekati Kamil dan Aksan sahabat karibnya di bangku belakang. Sementara ia sendiri lebih seneng duduk dibarisan depan. Tidak ada yang menghalangi pandangan, alasan yang selalu ia berikan jika kedua temannya meminta penjelasan, kenapa ia tidak mau duduk di belakang.“Heh Fan, tumben kamu datang pagi, aneh tidak biasanya.” Tanya Kamil mulai mencium gelagat yang tidak baik.Bukan tidak ada alasan Fando data
Jam istirahat baru saja berdentang. Siswa siswi SMA Harapan Bangsa berhamburan keluar kelas. Tak terkecuali Fando. “Yuk Aksan, Fando, kita ke kantin.” Ajak Kamil antusias seraya mengelus pelan perutnya. “Kalian duluan aja, nanti aku nyusul.” Sahut Fando tetap diam bergeming dibangkunya. “Ok, tak tunggu di sana, tempat biasa.” Sahut Aksan dan Kamil berbarengan seraya meninggalkan kelas dengan riang dan gembira. Fando pun menyusul tak lama kemudian. Sebelum keluar kelas, Fando masih sempat melirik bangku Shanum. Shanum tengah mengeluarkan bekal dari tasnya. Cewek itu asyik sendiri, tidak perduli dengan orang di sekit
“Sekarang Fania pasti sudah besar ya Pa. Kapan ya kita bisa bertemu dengannya. Mama merindukan dia Pa."Papa mengerti, jangan putus berdoa, keajaiban itu pasti ada. Semoga suatu hari nanti kita menemukan Fania.”“Aamiin.”“Oh Mama dan Papa ada di kamar, dicariin dari tadi.” Tiba-tiba Fando muncul dengan tas masih berada di punggungnya.“Kamu baru pulang Nak, kok sore sekali. Ini udah menjelang magrib lho.” Tanya sang Mama khawatir.“Maaf Ma, Pa, tadi ada latihan, besokkan mau tanding sama sekolah lain. Jadi harus persiapkan dengan serius.”“Besok mau tanding? Terus sekarang latihan tanpa istirahat juga tidak bisa dibenarkan Fan, kalian bisa kecape’an. Latihan harus dilakukan jauh-jauh hari.”
Bismillahirrahmanirrahim.Satu jam kemudian, terdengar sirene mobil ambulance memasuki halaman rumah keluarga Bang Heru. Sepertinya jenazah pria korban kebakaran itu sudah sampai.Kami segera menyusul keluar. Tampak beberapa pria berpakaian putih membuka pintu mobil ambulance, lalu mengeluarkan peti jenazah. Mayat Bang Heru sudah tidak bisa dikenali lagi. Tubuhnya hangus terbakar, kata salah seorang yang mewakili pihak rumah sakit dan juga pihak kepolisian.Tidak ada yang bisa menduga, kecelakaan tragis itu menelan korban yang tidak sedikit. Termasuk Bang Heru. Semua korban hangus terbakar.Peti jenazah telah diletakkan di tengah rumah. Mama dan Dela tampak histeris dan terpukul menerima kenyataan itu. Kehilangan salah satu anggota keluarga, tentu saja membuat mereka berduka. Apa lagi Bang Heru sebagai tulang
Sari mulai menaburkan bawang merah dan bawang putih ke wajan dan mulai mengaduknya. Keringat dingin mulai bercucuran, rasa mual kembali menyerang, tapi lebih kuat dari tadi. Hoek... Hoek.. Tiba-tiba Sari berasa hendak muntah. Langsung saja Sari berlari ke kamar mandi, dan tak lama kemudian, ia memuntahkan cairan bening. Bau gosong mulai tercium oleh Wisnu, segera saja Wisnu menyusul Sari ke dapur. Tak lupa mengendong Fando di sebelah tangan kiri. Sesampainya di dapur, Wisnu tidak melihat keberadaan Sari. Ia segera mematikan kompor dan menyusul Sari yang tak berhenti muntah di kamar mandi. “Ma, kamu kenapa? Kok muntah-muntah. Mukamu pucat sekali.” Ucap Wisnu cemas. Tangan kanannya mengusap-ngusap punggung Sari dengan lembut. Hoek... Hoek... “Kayaknya masuk angin Pa, aneh sekali, tidak biasanya mama muntah karena mencium aroma bawang putih, apa lagi yang sedang di goreng.” Keluhnya lesu dengan sisa kepenatan mengeluarkan cairan b