Bagas langsung melajukan mobilnya dengan kencang menuju ke Pesantren Al-Ikhlas. Jarak pesantren tersebut lumayan jauh, sekitar tiga jam perjalanan dari Kafe Kenanga. Pikiran Bagas mendadak kacau. Dia teringat dengan polisi yang dipukulinya tadi. Dia tidak menyangka, jika wanita yang ia kagumi suaranya itu sudah menikah. Entah kenapa, hatinya berusaha untuk menyangkal hal tersebut.
"Bagaimana kabar Tania sekarang?" Bagas langsung bertanya ketika tiba di panti.Karin yang duduk di teras sambil mengetik ponsel, mendongak kala mendengar suara sang kakak."Dia baik. Lagi istirahat. Mukanya pucat banget. Sudah beberapa kali saya bilang untuk pergi ke rumah sakit, tapi dia selalu menolak dengan mengatakan baik-baik saja," jelas Karin sembari mengetik ponsel. Saling bertukar pesan dengan pacarnya."Harusnya kamu bujuk. Kalau dia sampai kenapa-napa, gimana?" Bagas mengembuskan napas gusar. Lantas, mengayunkan kaki masuk ke dalam gedung panti.Sepasang mata elang itu tampak berkaca-kaca sambil memegang pintu gerbang berbentuk kerangkek yang dicat hijau. Pandangannya memandang jauh ke samping depan sana, menyaksikan sang wanita yang berjilbab kuning saling melempar bola bersama anak-anak. Senyuman yang terpatri di bibir pink alami si wanita, ibarat angin sejuk yang menyapa hatinya, membuat perasaannya menyejuk. Namun, di sisi itu juga ada rasa sesak yang menghimpitnya kala berpikir, masih maukah wanita tersebut memaafkan dirinya. "Bagaimana, mau bertemu dengan dia sekarang?" Bagas yang sedari tadi berdiri sambil bersandar di badan mobilnya, bersuara. Membuat Joshi seketika terhenyak dan sontak menyeka bulir air mata yang sebentar lagi akan meluncur. Joshi tampak diam beberapa saat, hatinya berkecamuk. Ingin menemui Tania sekarang, tetapi dia takut Tania akan menolaknya. "Apa dia akan menerimaku?" Joshi dilanda kebimbangan. Bagas terkekeh singkat melihat ekspresi Joshi yang sedikit me
Melihat ekspresi Tania yang memucat, membuat Joshi kembali dirundung rasa bersalah. Dia kebingungan, hendak menghampiri Tania atau pergi dari hadapannya saja. Orang-orang yang berada di pesantren sontak menjadikan Tania pusat perhatian. Ada yang mengasihani, tetapi ada juga yang menganggapnya aneh karena ketakutan sendiri. "Sudah aku bilang, 'kan, ide yang buruk buat munculin cowok ini di hadapan Tania!" Karin muncul membelah kerumunan. Dia langsung memeluk Tania yang gemetar ketakutan sambil menatap Joshi, sedangkan pria itu hanya memandang Tania sayu. Penuh rasa bersalah. Dadanya terasa dihimpit dua batu besar, hingga membuat dia kesulitan walau hanya menghela napas. "Tania, saya ...." Belum sempat Joshi menyelesaikan kalimatnya, Tania sudah tumbang tidak sadarkan diri. Melihat hal itu, Bagas yang berada di tempat kejadian juga hendak langsung menolong dan menggendong Tania. Namun, dengan sigap dan tegas Joshi melarang hal itu. "Di
Seorang bidan berumur lima puluh tahunan, baru saja keluar dari kamar Tania. Dia baru selesai mengecek kondisi kehamilan Tania. Joshi yang melihat Tania pingsan dengan wajah pucat pasi tadi langsung memanggil bidan terdekat. Rasa khawatir benar-benar mengungkung polisi berparas kaukasoid itu. "Dia sepertinya terlalu emosi seharian ini, sampai-sampai dia tidak bisa mengontrol diri sendiri. Stres juga sangat memperngaruhi kehamilannya. Jangan sampai dia stres lagi, ini bisa berakibat fatal pada kandungnya," terang bidan itu. Joshi hanya menyimak dengan perasaan nelangsa. Itu semua gara-gara dirinya. "Segera tebus obat-obatan dan vitamin ini. Pastikan istri Anda rutin meminum obatnya agar janinnya kuat." Sang bidan memberikan sehelai kertas pada Joshi. Setelah itu, langsung saja Joshi mengantar pulang bidan itu sekalian membeli obat dan vitamin untuk Tania. Joshi berjanji akan menjaga Tania sebaik mungkin. Memastikan Tania dan calon ana
Dari baju kaus tipis yang Joshi kenakan, terlihat dada pria itu naik-turun. Lantas, dia berbalik menghadap pada daun pintu. Linggis yang dia bawa tadi, langsung digunakannya untuk mencongkel engsel pintu tersebut. Melihat hal itu, Tania hanya membeliakan matanya dengan kesal. Namun, tidak ada yang mampu dia lontarkan sebagai bentuk protes atas pelepasan daun pintu itu pada kamarnya. "Maaf, saya hanya tidak mau mengambil resiko. Jangan sampai kamu kenapa-napa di dalam ruangan yang pintunya terkunci."Usai mengatakan itu, Joshi langsung pergi meninggalkan kamar Tania sambil membawa daun pintu yang telah berhasil ia copot. Meninggalkan Tania di dalam kamar dengan perasaan kesal, sebab kamarnya sekarang tanpa pintu. Sekarang, bagaimana caranya dia bersembunyi dari pria yang berstatus sebagai polisi sekaligus suaminya itu. Joshi sendiri setelah melepaskan daun pintu tadi, langsung keluar rumah. Menuju ke tempat kerja. Sebenarnya dia mengambil cuti u
Setelah memastikan ibunya baik-baik saja, Tania memutuskan untuk pulang ke rumah. Awalnya dia hendak menginap di rumah sakit, karena malas harus serumah dengan Joshi, tetapi dia bingung harus tidur di mana. Sekarang, dia bukan hanya melindungi hidupnya saja, melainkan hidup calon bayinya juga. Di ruang inap ibunya hanya ada satu ranjang dan dua sofa kecil. Tidak mungkin Tania untuk tidur di ranjang ibunya yang sempit atau di sofa kecil itu. Tubuhnya pasti akan terpengaruh dan hal tersebut akan berimbas pada bayinya. Apalagi jika Tania mencoba tidur di lantai. Itu bukanlah ide yang baik. "Selama Mbak Tania nggak ada di sini, pria tadi yang selalu datang menjenguk ibunya, Mbak. Dia setiap hari kemari, membersihkan badan ibunya Mbak, sesekali juga dia mengajak ngobrol si pasien. Bahkan, pernah hari itu saya memergoki dia sedang menangis di samping ranjang ibunya Mbak. Entah apa penyebabnya."Perkataan perawat yang biasanya memantau keadaan ibunya Tania tern
Di luar dugaan Tania, wajah garang Joshi seketika lenyap saat melihat dirinya hendak muntah lagi. Joshi segera bangkit dengan berjinjit, menghampiri Tania. "Kamu kenapa? Apanya yang sakit?" Joshi seketika panik. Namun, Tania malah menepis tangan Joshi yang hendak menyentuhnya. Sambil membekap mulut sendiri menahan mual, Tania berlari ke kamar mandi. Kembali dia memuntahkan isi perutnya. Joshi segera mengikuti langkah Tania sambil berjinjit, tidak ingin mengotori lantai di sepanjang langkahnya dengan muntahan itu. "Tania kamu kenapa?" Joshi hendak memijit punggung Tania. "Menjauh dariku!" Lagi-lagi Tania menepis kasar tangan Joshi yang hendak membantunya. "Ok, ok, saya menjauh." Joshi tetap panik, sebab Tania masih terus muntah-muntah. "Ini pasti gara-gara kamu yang terlambat makan. Sudah pernah saya bilang, kalau marah sama saya, lampiaskan saja padaku, jangan melampiaskannya pada makanan. Kalau sudah begini, sekarang giman
Alis Joshi bertaut, bingung apa hubungannya jajan di luar dengan baju muslimin. Dia tidak tahu makna kata yang Tania lontarkan. Tania sendiri mendapat kalimat tersebut dari temannya Reva waktu itu yang mengatakan jika suaminya selingkuh dan suka jajan di luar. "Ternyata kamu seburuk itu. Suka jajan di luar. Aku nggak nyangka kau semenjijikkan itu." Sedikit tercekat kala Tania mengucapkan hal itu. Walaupun bingung, Joshi berusaha menjawab perkataan ambigu istrinya itu. "Ya ... karena saya tidak punya istri. Makanya suka jajan di luar." Joshi berpikir Tania menyindir kehidupannya sebelum menikah, dia memang suka jajan di luar. Setiap makan pagi, siang, dan malam selalu membeli makanan dari di luar. Sebab tidak ada yang membuatkan makanan di rumah. Namun, mendengar jawaban Joshi sontak membuat mata Tania melotot, marah. "Pria kurang ajar!" Pisau di tangan Tania langsung melayang begitu saja ke arah Joshi. Sontak polisi itu sigap menundu
Kesalahan Joshi ialah, dia terlalu cepat berpikir bahwa dia telah bisa mendapatkan hati dan tubuh Tania kembali. Mungkin hati Tania masih untuk Joshi, tetapi traumanya juga masih pada pria itu. Joshi terlalu cepat melangkah, berpikir Tania telah menerima dirinya dan semua perilaku kurang ajarnya kemarin. Sekarang apa, wanita itu kini kembali menatapnya penuh ketakutan dengan derai air mata. Dia kembali memukul-mukul kepalanya sendiri sambil meminta memori kotor itu keluar dari pikirannya. "Pergi, jangan ganggu aku! Ampun, sakit! Kumohon hentikan, sakit!" Pukulan cepat Tania layangkan pada kepalanya. "Tania, jangan seperti ini ....""Menjauh dariku, Monster! Jangan mendekat!" Tania beringsut ke pojokan. Dia sama sekali tidak melihat Joshi yang sedang mencemaskannya, sedang menatap dia dengan sayu. Tania hanya melihat monster lapar di hadapannya sambil menyeringai buas, menerjang dia sambil mendesah menjijikan di telinga Tania.
Joshi melajukan mobilnya dengan kencang. Di kirinya, terdapat Pak Arto yang sedang mendiamkan Alisa. Sementara di belakang, terdapat Tania yang terbaring dengan mata terbuka, tetapi tidak terlihat adanya sorot kehidupan di mata indah itu. Tania seperti mayat hidup. Sesekali Joshi menoleh ke belakang, memeriksa keadaan istrinya. Memanggil-manggil 'Tania', agar istrinya itu sadar. Namun, Tania masih terdiam membisu. "Gelang yang dikenakan oleh Tania harus dihancurkan. Gelang itu diisi kekuatan hitam oleh Sarti agar mengikat Tania.""Saya akan minta tolong pada Mbah Aji." Jawaban Joshi membuat Pak Arto mengangguk. Tak butuh waktu lama, mobil jeep Joshi sudah sampai di depan rumah Mbah Aji. Sementara Bu Rania yang mendengar mobil menantunya, langsung membuat dia beranjak dari tempat tidurnya. Dia memang tidak bisa tidur sejak tadi. "Apa yang terjadi pada Tania?" Bu Rania panik melihat Joshi yang menggendong Tania masuk ke rumah Mbah Aji.
Terdengar suara seseorang memasuki pekarangan rumah. Joshi dan Pak Arto yang sedang berada di samping rumah menjadi terpatung mendengar suara Bu Sarti yang terbatuk-batuk di depan sana. Joshi segera berlari ke arah belakang rumah, sedangkan Pak Arto mengejar. Namun, kedua orang itu tidak mengeluarkan suara apa pun. Entahlah, mungkin takut didengar oleh wanita iblis itu. Sesampainya di depan pondok yang menguarkan bau kemenyan yang begitu tajam, Pak Arto menahan lengan Joshi. "Pak Joshi, tolong selamatkan cucu saya juga. Istri saya itu sudah dibutakan oleh dendam, dia sudah tidak punya belas kasih walau pada cucunya sendiri." Sorot penuh harap terpancar di mata tua Pak Arto. Joshi hanya mengangguk samar, dia juga tidak yakin kemampuannya sejauh apa. Dia hanya akan berusaha melakukan yang terbaik demi Tania dan calon bayi mereka. Kemungkinan juga sekarang, dia harus berusaha menyelamatkan balita yang begitu dicintai Tania itu. Ya, Joshi juga harus berusah
Joshi melajukan mobilnya, meninggalkan suara Dinda yang menjerit lemah di belakang sana. Entah apa yang telah diperbuat oleh Bu Sarti pada wanita masa lalunya itu, Joshi berusaha agar tidak peduli, walaupun hatinya merasa sesak akan hal itu. Bukan karena masih mencintainya, tetapi karena kemanusiaan. Namun, biar bagaimanapun juga, Joshi harus berusaha menyelamatkan Tania. Dengan kecepatan kilat, mobil jeep Joshi sampai di depan rumah. Dia langsung turun dan berhadapan dengan Mbah Aji. Terlihat pria tua itu sedang berbincang-bincang dengan mertuanya. Joshi turun dari mobil, hanya ingin memastikan Tania sudah datang atau belum. "Kamu dari mana saja? Tania sudah ketemu?" Wajah Bu Rania makin terlihat cemas. Joshi menggeleng, lalu menceritakan tentang apa yang ditemuinya barusan. Bahwa Bu Sarti masih hidup dan kemungkinan besar wanita itulah yang menjadi penyebab hilangnya Tania. Jelas hal itu membuat Bu Rania syok, tidak percaya dengan yang didengarnya.
Dalam kondisi pandangan yang sedikit memburam, Joshi terperangah menangkap sesosok wajah yang dia pikir telah meninggal dunia. Bu Sarti. Walau wajah wanita itu ada bekas luka yang lumayan besar, tetapi Joshi tahu betul, dia adalah Bu Sarti. Rasa takut langsung menjalar ke tubuh petugas kepolisian itu. Bukan takut dengan dirinya, tetapi takut dengan keselamatan nyawa istri dan calon bayinya. Joshi hendak bangkit bangun dari sofa yang terasa menyesakkan itu, tetapi tubuhnya seolah-olah terkunci oleh sesuatu. Di saat pria itu tadi menatap ke dalam mata sang mantan, Dinda sengaja memerangkap Joshi dengan sebuah mantra yang diajarkan Bu Sarti untuk menjerat pria tersebut. Alhasil, Joshi mau mengikuti langkah Dinda walau terpaksa, dan melupakan misinya yang sedang mencari Tania. Sekarang, petugas kepolisian itu terjebak. "Jangan apa-apakan dia! Aku sudah nggak menginginkan dia lagi." Sambil memegang tubuhnya yang kesakitan akibat berbenturan dengan dinding, Dinda berse
Lelah mencari Tania dengan berlari ke sana kemari, Joshi berinisiatif mencari Tania menggunakan mobil jeep-nya. "Tania belum ditemukan, Nak Joshi?" Ketika mendengar suara mobil jeep menantunya berderu, Bu Rania keluar rumah. Raut khawatir terlihat jelas di wajah tua itu. "Iya, Mah. Saya cari dulu." Joshi menancap gas. "Pergi ke mana anak itu? Cepat sekali hilangnya." Bu Rania meremas punggung tangan sendiri, cemas. Ketika hendak masuk kembali ke rumah, dari kejauhan, Mbah Aji baru saja datang dengan diantar oleh seseorang. Sepertinya pria tua itu baru saja selesai menolong orang. Segera Bu Rania menghampiri pria tua tersebut. "Ada apa, Nak?" tanya Mbah Aji yang melihat jelas raut kecemasan pada Bu Rania. "Tania, Mbah. Dia tiba-tiba saja hilang. Perasaan dia baru saja keluar rumah, tapi tiba-tiba dia menghilang entah kemana." Pandangan wanita itu celingukan ke sama kemari. Menatap tajam pada kegelapan, berharap ada putrinya
Segera petugas kepolisian itu bangkit berdiri dari lantai. Pintu kamar mereka yang terbuka setengah, membuat Joshi yakin bahwa istrinya pergi keluar. Indra penglihatan Joshi tidak menangkap siapa pun di luar kamar, baik istri ataupun ibu mertuanya. Mendadak rumah sederhana itu sunyi, bahkan sangat sunyi sampai Joshi bisa mendengar detak jantungnya sendiri. "Tania!" Joshi mencoba memanggil nama istrinya, tetapi hanya disahuti oleh gema ruangan. Joshi mencoba mengetuk pintu kamar ibu mertuanya. "Mah, apa Tania ada di dalam?" Ucapan Joshi tidak juga mendapat sahutan dari dalam kamar tersebut. Dia memberanikan diri untuk membuka pintu, dan ternyata kosong. Ibu mertuanya juga tidak ada di dalam rumah. Joshi makin panik, dia mengayunkan langkah menuju keluar rumah. Sementara langit malam yang penuh gerimis langsung menyambut Joshi di luar rumah. Hati pria itu kalut, memikirkan di mana sang istrinya berada. Ditambah dengan mertuanya yang juga ikut menghilang.
Joshi segera menahan tangan tua Mbah Aji, muncul rasa takut yang menggelayuti hatinya. Jangan sampai calon anak mereka dibunuh oleh sosok yang sedang mengendalikan raga istrinya. Namun, Mbah Aji malah melepaskan cekalan tangan Joshi pada tangannya. "Jangan takut dengan mereka. Harusnya mereka yang takut dengan kita. Manusia lebih tinggi kedudukannya daripada setan." Ucapan lembut Mbah Aji sedikit mengurangi kecemasan Joshi. Dia melepaskan tangannya dari tangan tua Mbah Aji. Mundur menjauh sedikit darinya, lalu kembali melantunkan ayat suci Al-Quran sambil menatap dengan hati nelangsa pada Tania. Istrinya terlihat begitu kepanasan dan kesakitan saat ini. "Sakiiiiitt! Hentikan, Pria Tua!" Suara Tania berat, seperti suara pria. "Allah Akbar!"Tubuh Tania perlahan melemas seiring dengan tepisan tangan Mbah Aji ke arahnya. Melihat Tania yang sudah pingsan, gegas Joshi memangku istrinya itu. Sementara Mbah Aji meminta Bu Rania untuk mengamb
Terpaksa Joshi melayangkan tamparan pada Tania. Namun, sebelum tubuh istrinya itu jatuh membentur lantai, segera Joshi tahan. Memeluknya dengan perasaan bersalah. Pisau masih Tania genggam dengan erat walau sudah kehilangan kesadaran. Joshi membuka kepalan tangan istrinya dengan paksa, lalu mengeluarkan pisau tersebut. Melemparkannya menjauh. "Tania, bangun, Tania!" Pipi tembem istrinya, Joshi tepuk-tepuk pelan. Namun, tidak ada respon. Tania telah kehilangan kesadaran. "Ayo, Nak Joshi, angkat bawa ke kamar." Bu Rania berucap setelah degup ketakutan berhasil dia netralkan. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut menyerang wanita tua itu, ketika melihat putri dan menantunya saling adu tarik benda tajam. Segera Joshi mengangkat tubuh istrinya tersebut dengan perasaan cemas. Apa-apaan ini, sebelumnya dia menggendong ibu mertuanya yang pingsan, lalu sekarang istrinya juga. Apa yang sebenarnya terjadi di keluarganya, pikiran itu terngiang-ngiang di kepala Joshi. P
Joshi langsung menggendong Bu Rania, membawanya ke kamar. Membaringkan tubuh yang tampak pucat itu di ranjang. Sementara Tania panik sambil mencari-cari minyak kayu putih. Segera dia mengoleskan minyak tersebut ke telapak kaki, tangan, juga ceruk leher ibunya. "Mamah kenapa, sih?" ucap Tania resah sambil mendekatkan botol minyak kayu putih itu ke hidung Bu Rania. Sementara Joshi sendiri, memeriksa seluruh rumah. Mencari-cari apakah ada barang yang hilang atau tidak. Dia menduga kemungkinan mertuanya itu pingsan sebab adanya maling, mengingat pintu rumah tadi yang tidak terkunci. Joshi yang sudah memeriksa seluruh rumah dan tidak menemukan apa pun, beralih ke ruang tamu, tempat di mana mertuanya tadi tergeletak. Namun, dia malah melihat sang mantan di teras. Dinda masih belum pergi dari sekitaran rumah mereka. Mendengar Tania yang berteriak tadi, membuat Dinda penasaran apa yang terjadi. Dia menguping di luar rumah, sampai ketahuan oleh Joshi.