TULPA
1. Lilin
Aku tersenyum tipis, terharu akan kejutan dari sang mama yang kini berdiri di depanku seraya membawa sebuah roti ulang tahun. Ya, hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-lima belas tahun.
"Ayo tiup lilinnya, sebelum itu mintalah permohonan," ujar mamaku.
Kupejamkan kedua mataku. Menyatukan kedua tangan, terkepal kuat di depan dada. Hanya satu yang kuinginkan. Aku hanya ingin sosok pangeran untuk hadir di kehidupanku. Setelahnya, membuka mata dan meniup lilin berbentuk angka itu. Aku tersenyum, melihat mama yang bertepuk tangan senang. Bukan seperti ulang tahun pada anak-anak lainnya yang ramai akan kehadiran sosok teman, kado, lalu perhiasan di mana-mana. Ulang tahunku sederhana, hanya satu buah roti ulang tahun dan lilin. Selebihnya tidak ada. Teman? Ya, aku memang tidak memiliki seorang teman. Ditambah lagi dengan sifatku yang tidak peduli sekaligus pendiam, membuatku susah mendapatkan seorang teman. Dan malam ini, aku meminta seseorang datang dalam kehidupanku. Seperti pada ulang tahun yang sebelum-sebelumnya.
***
"Kejora, sepertinya nanti malam mama akan pulang terlambat. Kamu di rumah, jaga diri baik-baik."
Aku menghela napas. Lagi-lagi, mamaku harus bekerja lembur untuk menafkahi hidup kami. Setelah lima tahun ditinggal pergi almarhum ayah, mama begitu sibuk mengurusi perusahaan mendiang sang ayah. Pagi hari sudah berangkat, pulang malam hari. Jujur saja, aku mencemaskan kesehatan mama.
"Jangan lupa istirahat, Ma," ucapku. Mama hanya tersenyum. Lalu, kembali sibuk mengolesi roti lapis dengan selai kacang untukku.
Setelahnya keheningan melanda. Kami sama-sama sibuk menikmati menu sarapan kami. Beberapa menit kemudian, mama bangkit dari tempat duduknya disusul olehku.
"Ayo, mama antar ke sekolah." Aku hanya mengangguk dan mulai memakai tas sekolahku.
Sembari menunggu mama yang tengah memanggil Bi Sum–pembantu rumah kami, aku memilih masuk terlebih dahulu ke dalam mobil seraya mendengarkan musik menggunakan earphones. Suara pintu mobil yang ditutup, menyadarkanku dari larutan melodi indah yang tengah kudengarkan. Menoleh, mendapati mama yang mulai menyalakan mesin mobil. Tidak ada obrolan yang kami lakukan. Aku sendiiri, tidak tahu harus memulai obrolan dari mana. Sehingga akhirnya, aku memilih menatap keluar jendela, masih dengan mendengarkan musik dari earphones. Mobil kami mulai memelan, hingga akhirnya berhenti tepat di depan gerbang sekolahku. Menghela napas pelan, sebelum akhirnya melepaskan tali pengaman. Mencium punggung tangan mama.
"Hati-hati di jalan, Ma."
Setelahnya, mobil mama melenggang pergi. Menyisakan diriku yang masih berdiri di depan gerbang sekolah dengan wajah kusut. Bukan tanpa alasan, jika diberi pilihan antara sekolah dan rumah, lebih baik aku berada di rumah. Membaca novel atau bahkan menonton film. Daripada harus meladeni beribu tatapan yang selalu dia dapatkan. Dan yah, semua itu kini mulai terjadi. Saat langkahku baru saja menginjak di halaman sekolah, semua mata menatapku takut, mengejek, kasihan, dan masih banyak lagi. Menghela napas kasar. Ini belum apa-apa, karena ....
"Hei lihat! Gadis gila itu masih saja berani menginjakkan kaki di sini. Kenapa pihak sekolah tidak membawanya ke rumah sakit jiwa saja sih?"
Hah, baru saja akan dibicarakan, gunjingan itu meluncur bebas dari mulut Diana yang notabenenya adalah teman sekelasku. Aku hanya memasang wajah datar, mencengkeram erat tali tasku, mencoba untuk bersabar.
Duk!
Memejamkan kedua mata, lalu menghela napas lagi. Dahiku berdenyut hebat. Bahkan, bisa kupastikan benjolan besar akan bertengger di sana. Suara tawa seketika menggema ketika melihat tubuhku terjerembab mencium lantai koridor kelas. Rendy–kekasih Diana baru saja menjulurkan kakinya saat diriku akan melewatinya. Oh bagus, sepasang kekasih itu sepertinya senang membullyku.
"Sorry sengaja," ucapnya tanpa merasa bersalah.
Aku bangkit dalam diam. Melirik ke arah Diana yang kini mulai bergelayut manja di lengan kekar Rendy. Mendesis pelan. Ingin sekali aku membalas perbuatan kalian, tetapi mengingat bahwa catatanku di dalam buku BK sudah banyak, aku memilih melenggang pergi tanpa memperdulikan ejekan mereka. Jangan sampai, mama yang merasakan dampaknya lagi hanya gara-gara perbuatanku.
Sesampainya di dalam kelas pun, sama. Kelas yang semula ramai, kini hening saat aku berdiri di ambang pintu. Mereka menatapku sinis. Memutar bola mata jengah, melangkah menuju ke bangku. Terdiam sejenak, mencoba menelisik bangkuku. Aku tidak mau kejadian beberapa hari yang lalu, di mana aku terjatuh dengan mengenaskah karena ulah teman-teman sekelasku yang dengan biadabnya membuat bangkuku rusak. Setelah dirasa aman, aku mulai mendudukinya dengan tenang. Berpuluh mata tajam di kelasku, masih bisa kurasakan menghunus ke arahku.
"Mata kalian mau gue colok?" tanyaku dengan nada pelan tetapi tegas. Membuat mereka mendengus lalu kembali ke aktivitas mereka masing-masing. Aku tidak peduli, kupilih mengambil buku bersampul hitam lalu mulai menuangkan tinta hitam berupa kalimat ke dalamnya.
Imajinasiku mulai berkeliaran liar. Dengan semangat aku menuliskan sebuah kisah berisikan bajak laut dengan monster gurita. Terdengar mengerikan, tetapi itu memang cukup seru bagiku. Ketenanganku hilang, saat salah satu teman sekelasku menyerobot paksa bukuku. Dia memicingkan matanya, sebelum akhirnya berteriak.
"Hei kawan! Lihat, gadis gila ini mulai berhalusinasi lagi!" Sambil mengangkat tinggi-tinggi bukuku. Selanjutnya, dia berlari menuju ke gerombolan anak-anak. Disusul dengan tawa mengejek.
"Memangnya ada monster laut heh?"
"Apa-apaan ini, masa bajak laut memiliki kekuatan? Pengendali air lagi? Hahaha!"
"Wah makin hari, makin menjadi aja tuh!"
Dan ejekan lainnya. Hei! Itu kan imajinasiku, kenapa mereka harus repot-repot menilainya? Dengan kesal, aku merebut kembali bukuku lalu duduk dengan kasar. Tidak memperdulikan tawa dan ejekan teman-temanku. Aku memilih memasang earphones kembali dan menyetel musik sekeras yang kubisa agar suara ejekan dan tawa menyebalkan itu tidak lagi terdengar di gendang telingaku.
Hei, aku tidak salah bukan? Aku bebas berimajinasi yang kumau. Memangnya salah? Awas saja jika suatu hari nanti aku menjadi penulis terkenal, kubungkam bibir kalian. Tunggu saja nanti!
Bersambung ....
"Aku tidak peduli dengan omongan mereka. Ini tentang aku, bukan mereka. Ini tentang takdir yang ingin kupijak."
_Kejora Amara_
TULPA2. Siapa Dia?Malam ini, lebih dingin dari biasanya. Walau begitu, tidak membuatku bergerak sedikit pun. Kutatap halaman rumahku yang tidak terlalu luas, ah tidak. Lebih tepatnya aku tidak sepenuhnya menatap hamparan yang penuh bunga-bunga itu. Pikiranku melayang jauh, sejauh harapanku. Jika dipikir-pikir, kehidupanku sungguh memuakkan. Mengingat semua kejadian yang terjadi di sekolah, membuatku mendengus kasar.Hei, memangnya salah seorang gadis berusia lima belas tahun ini berharap suatu hari ada seorang pangeran yang menolongnya dari cengkraman para monster berkedok teman sekelas? Saat pemikiran itu berlalang buana, angin kencang berhembus, menabrak wajahku. Sontak saja mataku terpejam sesaat, merasakan hawa dingin. Merasa ada seseorang yang berdiri di belakang, membuatku dengan segera berbalik. Benar saja, jika diperhatikan baik-baik, ada seseorang berdiri di dalam kamarnya yang gelap gulita. Mengandalkan sinar r
TULPA3. KelabuMalam selanjutnya, saat aku tengah berkutat dengan alat tulisku. Sosok Kelabu datang dengan tiba-tiba. Bahkan, dia kini sudah berguling-guling di atas kasurku dengan santainya. Aku hanya menghiraukannya, toh dia tidak mengangguku. Saat asik menorehkan isi hati melalui kalimat-kalimat yang mendayu, Kelabu muncul di belakangku seraya berkata."Kau pandai menulis qoutes rupanya." Sontak saja aku menutup buku. Memejamkan mata, menahan malu. Dapat kurasakan, rasa panas menjalar hingga ke telinga. Antara malu dan senang akan pujian yang dilontarkan Kelabu."Kenapa kau datang lagi sih? Bukankah semalam kau menyetujui perkataanku bahwa pertemuan kita semalam hanyalah mimpi semata?" ketusku.Kelabu yang semula menatap ke sekeliling kamarku, mengalihkan pandangannya kepadaku."Itu, karena kau yang selalu memintaku untuk datang menemuimu," ujar
TULPA4. Obat Penenang"Kejora, ayo sarapan!"Teriakan mama membuatku mempercepat gerakan menyisir rambutku. Dengan sedikit terburu-buru, kugapai tas sekolahku dan segera menuruni anak tangga menuju ruang makan. Sesampainya di sana, kulihat mama tengah mengolesi satu helai ratu lapis dengan selai kacang kesukaanku. Mama tersenyum, menyambut kedatanganku."Pagi," sapaku."Pagi juga," balas mama.Kududuk di bangku, mengambil satu lapis roti yang sudah disiapkan oleh mamaku. Mama juga sama, dia tengah menikmati sarapannya. Suara dering telepon milik mama, mengalihkan atensi kami. Mama dengan segera bangkit untuk mengangkat telepon. Aku hanya memandangnya seraya mengigit roti milikku. Aku mengernyit, ketika mendapati mama yang tampak terburu-buru setelah mengangkat telepon."Maaf, Kejora hari ini mama tidak bisa mengantarmu ke
TULPA5. BersamanyaPagi ini cukup menggemparkan untukku. Bagaimana tidak? Sosok Kelabu sudah dengan rapi mengenakan seragam SMA yang sama denganku. Bahkan, dia dengan semangatnya berujar 'hai' saat pertama kali kumembuka mata. Tentu saja hal itu membuatku terkejut luar biasa, mengingat wajah Kelabu yang cukup dekat dengan wajahku saat itu.Kini aku sudah siap dengan seragamku. Pertama kali keluar dari kamar mandi, dapat kulihat Kelabu yang tengah duduk di kursi belajarku seraya membaca buku pelajaranku. Tidak tahu pasti apakah dia benar-benar membacanya atau hanya membolak-balikkannya saja. Aku mendekat, mengajaknya untuk turun ke bawah. Beberapa kali memanggil nama mama, tetapi tidak ada sahutan. Kutatap Kelabu, dia masih setia berdiri di belakangku, mengerjap polos, membuatku gemas akan tingkahnya."Kau lapar?" tanyaku. Dia mengangguk lucu. Dengan segera aku menyiapkan roti selai untuknya dan
TULPA6. Pengganggu"Ini hasilnya menjadi tiga bukan dua, Kelabu."Aku menghela napas panjang, ketika menatap Kelabu yang malah mengembungkan kedua pipinya seraya menggeleng tegas. Dia masih bersikukuh dengan jawabannya yaitu dua. Di saat, ditanya mengapa dia pilih dua, karena dia maunya kaya gitu. Mengingat hal itu, membuatku harus sabar mengajari cowok itu. Memilih mengangguk kecil, mengiyakan jawaban Kelabu. Lelah rasanya bila terus berdebat dengannya.Lihatlah, hanya dengan melihat senyum manisnya yang sekarang mengembang, rasa kekesalanku kepadanya seketika menghilang. Kini, dia mulai berkutat ke nomer lainnya. Ya, malam ini aku memutuskan untuk mengajarinya menghitung dan membaca. Untungnya, Kelabu adalah anak dengan tingkat kepahaman yang tinggi, jadi tidak membutuhkan waktu lama Kelabu dapat menguasainya. Jujur saja, aku cukup terkejut ketika dia menanyakan deretan angka-angka yang berada di buku pak
TULPA7. Rai dan Hilangnya Kelabu"Incess Rai datang! Karpet merahnya mana?!"Aku menatap malas pintu depan rumahku yang sudah berkali-kali diketuk oleh sepupuku, Rai. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa pintu tersebut tidaklah dikunci. Dengan malas, kumelangkah membuka pintu rumahku dengan terpaksa, mempersilahkan gadis dengan rambut panjang, bergelombangnya dengan bando merah bertengger cantik di atas kepalanya itu. Tangan kanannya sibuk, mengoleskan bedak yang dipegangnya seraya mengaca."Itu bedak belum luntur juga." Rai menatapku sinis."Iri bilang sepupu!" balasnya lalu melangkah berlenggak-lenggok memasuki rumahku.Aku menghela napas panjang, sudah dipastikan kehidupanku untuk dua minggu ke depan tidak akan tenang. Mengingat sifat dan sikap sepupuku ini. Lihatlah, bahkan sekarang Rai dengan santai duduk di sofa ruang tamu seraya melemparkan kopernya
TULPA8. KeanehanAku termangu, duduk di bawah pohon mangga yang baru berbunga. Angin silir menerpa, membuat beberapa anak rambutku turut berkibar. Mengembuskan napas sekali lagi, sudah satu minggu sosok Kelabu menghilang. Entah ke mana dirinya pergi, membuat isi hatiku turut bersedih. Aku merasa kesepian tanpanya. Sunyi, senyap. Kehidupanku terasa seperti semula. Di mana dia? Apakah dia mulai bosan berteman denganku? Atau ada sesuatu yang terjadi dengannya? Rasa cemas dan takut akhir-akhir ini berhasil membuat jam tidurku terganggu. Terkadang, pukul dua pagi aku terbangun, terkadang aku baru bisa terlelap pada pukul dua belas malam. Rai juga beberapa kali berhasil memergokiku yang tengah melamun dan berakhir dengan godaannya. "Sedang putus cinta ya?" Godanya waktu itu. Dan hanya kubalas dengan gumaman saja. Putus cinta? Aku pun tidak tahu apa yang sedang aku rasakan. Yang aku tahu, aku takut kehilangan Kelabu. "Jauhin dia."Aku sontak menoleh, menatap sengit sosok Kelam yang kini
TULPA9. ImajiBruk! Aku mengembuskan napas berat. Suara tawa menggelegar. Aku hanya bergumam pelan, meratapi nasibku yang masih saja menjadi korban bullyan mereka. Mencoba mempertahankan wajah biasa-biasa saja, aku segera bangkit seraya menepuk-nepuk pelan rok sekolahku yang sedikit berdebu karena terjatuh. Kali ini aku memang berangkat sendirian. Rai dengan kurang ajarnya meninggalkanku tanpa membangunkan aku. Ya, aku bangun kesiangan karena jam alarmku rusak semalam. "Woi!"Teriakkan Rai berhasil membuat mereka yang semula tertawa senang karena aku terjatuh dengan tidak elitenya segera bungkam. Mereka langsung membubarkan diri, tidak mau berhadapan dengan sepupuku yang entah mengapa akhir-akhir menjadi superhero untuk kehidupanku yang kelam. Ngomong-ngomong soal Kelam, cowok itu semakin bertingkah aneh. Setiap kali kudapati dia diam-diam memperhatikanku dari jarak jauh. "Ra, gapapa 'Kan?" Aku mengerjap. Tersadar akan lamunan. Dengan segera aku mengangguk untuk membalas pertanyaa
94. Ending "Maaf, ini calon tunangan ceweknya mana ya?" Tante Oliv yang tengah disibukkan dengan sambungan teleponnya seraya mengatur para maid di mansionnya dibantu oleh Kejora yang sudah datang pagi-pagi buta pun terdiam. Begitu pula dengan Kejora yang berdiri tidak jauh dari wanita paruh baya itu. Terkejut dengan pertanyaan tim perias, pasalnya jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Dua jam lagi acara pertunangan putrinya dengan sang kekasihnya-Iqbal akan segera digelar. "Lho emang dia belum nemuin mbaknya?" Tante Oliv melempar pertanyaan yang langsung mendapat gelengan polos dari tim perias. Wanita paruh baya itu tampak menggerutu, samar-samar nama Rai disebut-sebutkan. Wanita itu kesal sekaligus gemas dengan putrinya. Apakah Rai belum kunjung bangun? Padahal beberapa menit yang lalu dia baru saja membangunkan putrinya dan Rai menjawab akan segera turun. Karena itulah dia pikir putrinya itu sudah bangun sejak tadi. "Ra, tante minta tolong bangunkan Rai ya?" Kejora lan
93. Menuju EndingSuara tawa dan drum yang ditabuh begitu kencang meramaikan sebuah lapangan sekolah yang begitu luas di SMA Bakti Sakti. Semua murid bersorak, menyambut kelulusan mereka. Banyak murid berlalu-lalang saling mencoret seragam putih biru mereka. Satu-dua menyalakan bom asap yang penuh warna. Ada juga yang mengabadikan acara tersebut dengan berfoto bersama, seperti yang tengah dilakukan Kelam dan sahabatnya, plus Iqbal yang sudah mereka anggap sebagai anggota ke-enam mereka."Harus kaya gini gayanya?" tanya Kelam menatap sinis Risky, Gelang dan Dion yang menjadi akal untuk berfoto bersama.Sebenarnya tidak masalah untuk fotonya tetapi pose yang dirancang tiga cecunguk itu membuat Kelam jengah. Pasalnya mereka berenam akan melakukan pose membentuk sebuah bintang segi enam dengan tangan mereka yang saling menyentuh sama lain. Menurut Kelam pose mereka terlalu berlebihan, tetapi tiga cecunguk sahabatnya itu menyanggah dengan jawaban yang membuat Kelam semakin muak."Gue mau k
92. Bahagia yang SederhanaDua minggu telah berlalu. Dua minggu yang berhasil membuat semua murid SMA Bakti Sakti menjerit karena ujian serta ulangan yang mereka hadapi. Karenanya minggu ini langsung disambut pekikan senang dan hembusan lega dari mereka semua termasuk segerombolan anak yang kini duduk meligkar di atas rooftop sekolah. Sembilan remaja itu terlihat saling melempar sendau gurau satu sama lain. Di tengah lingkaran yang mereka buat sudah tertata banyak beberapa jenis makanan ringan."Ga kerasa ya cuma tinggal hitungan jari kita bakal lulus," celetuk Risky membuat tawa yang semula menemani mereka seketika lenyap tergantikan dengan keheningan. Mereka semua mulai terhanyut dalam pikiran mereka masing-masing, memikirkan jalan mana nantinya yang akan mereka tempuh setelah resmi keluar dari status anak SMA."Kalian mau lanjut ke mana?" Riyan yang bertanya.Ternyata cowok itu tidak sekaku dan segalak yang terlihat dari tampangnya. Cowok itu cukup ramah dengan caranya sendiri wala
91. Kilas Kisah GelangKelam mengerutkan dahi menatap frustasi soal-soal yang tertera di depannya. Begitu panjang dan rumit. Bahkan Kelam bisa membayangkan adanya wajah meledek pada kertas berisikan soal yang kini dia genggam dengan erat. Berdecak pelan, sekilas melirik ke arah teman-temannya berada yang tampaknya juga mengalami gejala stress akut. Terlihat sekali dengan adanya asap yang mengepul keluar dari kepala mereka. Oke, kalimat terakhir tadi hanyalah bayangan imaji yang Kelam ciptakan."Psstt lihatin jawaban Vino di kelas sebelah dong, Tan.""Kelam Putra Arjuna!"Teriakkan menggema itu membuat Kelam seketika mendatarkan kembali wajahnya. Mengangkat wajah menatap lempeng guru pengawas yang rupanya berhasil menangkap basah dirinya tengah berceloteh. Mempertahankan wajah sok coolnya, walau tengah menjadi pusat perhatian murid lainnya, Kelam mencoba tenang."Berbicara dengan siapa kamu?" tanya sang guru pengawas tajam."Tidak ada."Di dalam hati remaja cowok itu merutuki sang guru
90. Belajar Bersama"Ini soalnya pendek tapi kenapa caranya panjang bener dah."Basecamp kali ini telah diramaikan dengan gerutuan dan protessan dari bibir Dion, Risky, Gelang, dan Rai. Sedangkan Vino, Iqbal dan Kejora sudah beralih profesi menjadi mentor belajar mereka. Sebab nilai dan peringkat mereka jauh lebih unggul daripada yang lainnya. Sedangkan Kelam? Cowok itu tampak diam seraya menatap buku LKS yang jarang dia buka. Oh ayolah bahkan dia sentuh saja jarang. Sebenarnya dia ingin mengeluarkan sumpah serapah dengan materi mapel matematika yang tengah dia pelototi itu. Tetapi hanya untuk menjaga image di depan Kejora, cowok itu memilih diam dan seakan-akan mampu menguasai materi tersebut.Walau begitu ada sepasang mata yang tidak bisa dia bohongi. Vino menggeleng pelan melihat tingkah ketuanya itu. Dapat dia tangkap jelas dahi cowok itu yang tampak menegang sesekali mengerut karena menahan kekesalan. Walau begitu dia tidak mau membuat sang sahabatnya itu merasa malu karena kepur
89. BerdamaiDi sinilah Kelam sekarang. Berada di lapangan sekolahnya yang amat luas. Berlari mengelilingi lapangan tersebut ditemani dengan seorang guru laki-laki dengan peluit di bibirnya yang terus bersuara, menyuruh Kelam untuk terus berlari. Kelam berdecak, dia mengusap dahinya dengan kasar. Mentari yang entah bagaimana bisa tiba-tiba bersinar dengan teriknya, padahal tadi pagi jelas-jelas langit kelabu menghiasi. "Sialan, kenapa tiba-tiba jadi panas gini sih," gerutunya seraya mengusap peluhnya yang telah membasahi kaos hitam yang melekat sempurna di tubuhnya. Dia memang sengaja menanggalkan baju seragamnya agar tidak ikut bau keringat nantinya. "Ayo dua putaran lagi!" Kelam semakin kesal ketika seruan dan suara peluit yang terus mengganggu indera pendengarannya. Karena tertangkap basah melamun di jam pelajaran Bu Tuti, dia berakhir dihukum seperti ini. Dan sialnya, ada Pak Joko yang terus mengawasinya sehingga membuatnya tidak bisa kabur dari hukuman. "Bagus. Besok lagi diu
88. Dimabuk Cinta"Ra."Kejora menoleh, menunggu ucapan Kelam yang ingin cowok itu ucapkan. Cowok itu mendekat, tanpa aba-aba mendekap tubuh mungil gadis itu. Berhasil membuat sang gadis mati kutu karena gugup. Ditambah lagi debaran keduanya yang semakin keras membuat keduanya sama-sama terhanyut dalam kehangatan. Rona merah menjalar pada kedua pipi Kejora, membuat gadis itu semakin manis di bawah sinar rembulan. "Makasih untuk malam ini," bisik Kelam. Kejora hanya mengangguk kecil, terlalu takut jika dia membuka suara, suaranya tergagap karena gugup. "Besok pagi aku jemput kaya biasa." Lagi-lagi Kejora hanya bisa mengangguk menurut. Kedua mata gadis itu terpejam ketika Kelam memberikan kecupan hangat di dahinya. Sekali lagi getaran itu membuat keduanya semakin terhanyut. Sebelum suara deheman dari seseorang membuat adegan romantis itu seketika hancur. "Bagus ya main nyosor-nyosor anak mama. Sudah siap kamu nikahin putri mama, Kelam?" Kelam menyengir lebar. Kepergok calon mertua
87. DinnerMelihat keadaan kamarnya yang tampak lenggang membuat Kejora termangu di depan pintu kamar. Ingatannya menerawang, kembali mengingat kenangannya dengan Kelabu selama ini. Sosok khayalan yang selama ini menemaninya di saat sepi menyapa. Sosok yang berhasil membuatnya terhanyut ke dalam pesonanya. Sosok yang selama ini nyata dengan kesempurnaan yang dia miliki, bahkan sosok yang selama ini berhasil masuk ke dalam relung hatinya sebelum kedatangan Kelam.Menghela napas panjang. Lekas dihapusnya ingatan itu. Bukan karena dia marah atau bahkan menyesal mengenal sosok Kelabu. Tetapi karena dia teringat akan janjinya kepada sang mama untuk melupakan semuanya. Melupakan semua tindakan bodohnya yang bermain-main dengan imaji. Menggelengkan kepalanya, gegas Kejora menutup pintu kamarnya dan segera turun ke lantai dasar. Dicengkeramnya erat tas selempang yang dia kenakan. Bagaimana pun sekarang dia harus mulai bisa melupakan semua kenangan tersebut. Dia harus ingat akan dunianya sendi
86. Balikan? Kejora dibuat terkejut ketika langkahnya baru saja menginjak keluar kelas tetapi harus mendapati sosok Kelam yang menyandar pada dinding kelasnya. Ditambah lagi dengan tatapan yang mengarah kepadanya membuat Kejora ingin sekali pergi jauh dari sana. Sedangkan sang pelaku malah tersenyum kecil, dengan santainya digenggamnya tangan kiri Kejora dan membawanya menuju ke kantin. Meninggalkan Rai yang melongo, hanya bisa menatap kepergian mereka. Padahal, niat hati dia ingin pergi ke kantin bersama sepupunya tersebut. Jika tahu begini, dia juga meminta dijemput sang kekasih. "Ah resek emang," dengusnya membuat tawa Diana yang memang masih di dalam kelas terdengar. Menertawakan nasib gadis itu. "Diem lo cabe," ketus Rai. Dengan menghentakkan kakinya menahan kesal, dia berlalu menuju ke kantin seorang diri. Kembali kepada Kejora dan Kelam. Kedatangan mereka di kantin langsung menjadi pusat perhatian. Ditambah lagi dengan genggaman tangan Kelam pada tangan Kejora, berhasil men