"Karina! Kamu dengerin saya, nggak, sih?" panggilan itu menarik Karin dari lamunan. Mobil bahkan sudah melaju meninggalkan pelataran kediaman Adiguna menuju jalan pulang.
Menatap Adam yang duduk di balik kemudi, Karin menundukan kepala tanda menyesal."Maaf, Mas.""Maaf aja teros. Saya bosan dengarnya. Kalau kamu udah nggak mau dengar, potong aja kuping sekalian."Karin hanya bisa terdiam menanggapinya. Lagi pula kata-kata tajam yang terlontar dari mulut Adam sudah biasa dia dengar."Ayah, Ayah! Ara mau boneka Teddy itu. Boleh, ya!" Di tengah perjalanan Tiara tiba-tiba rewel meminta boneka. Bocah itu tampak loncat-loncat di kursi sembari menunjuk-nunjuk ke luar jendela."Nggak. Boneka kamu udah banyak, main aja sama boneka santet di rumah eyang sana!""Mas.""Kenapa? Bocah itu jangan terlalu dimanja. Nanti ngelunjak kayak kamu."Karina tampak menghela napas panjang."Turunin kita di sini kalau gitu," pinta Karin akhirnya."Nggak.""Ya udah kita loncat.""Eee ... jangan! Arrghh ... ya udah tunggu. Biar saya yang beli." Adam tampak mengacak rambut sejenak, lalu menepikan mobilnya. "Yeaayyy ...." Tiara bersorak kegirangan. Dari kaca spion Karin bisa melihat Adam tampak melirik bocah itu sekilas, sebelum turun.Tanpa sadar kedua sudut bibir perempuan itu tertarik ke atas.Sepuluh menit berselang Adam kembali, membawa boneka Teddy berukuran sedang, lalu bergegas memberikannya pada Ara."Makasih, Mas."Tak ada tanggapan. Mobil kembali melaju menuju kompleks perumahan elite di daerah Menteng.***"Sudah tahu diperlakukan nggak baik, kenapa kamu masih mau menemui mereka?" Gerakan tangan Karin yang tengah menyisir rambut terhenti begitu saja, saat Adam yang sejak tadi hanya diam memperhatikan di atas ranjang, tiba-tiba bertanya.Di luar langit tampak sudah gelap, selepas isya tak seperti biasanya dia hanya berdiam diri di rumah. Apa lagi ini weekend."Kapan aku pernah diperlakukan dengan tidak baik? Lagi pula mereka orangtuaku, Mas.""Cih. Orang tua apanya."Karin hanya menatap Adam dalam pantulan cermin, lelaki itu tampak memperhatikannya. Sepersekian detik pandangan mereka kembali bersirobok. Terlihat dalam pantulan cermin Adam tiba-tiba beranjak dan berjalan mendekat. Secepat kejapan mata dia sudah berdiri tepat di belakang Karin."Jangan lupa kontrasepsi-nya, saya nggak mau pake pengaman dan ada anak lain selain bocah itu di rumah ini," imbuhnya.Karin mengangguk sekali. Kalimat yang sudah dia ingat di luar kepala. Perempuan itu tersenyum lirih, Sebenarnya pernikahan macam apa yang tengah mereka jalani ini?***Azan subuh baru saja berkumandang. Karin bangkit dari ranjang setelah meraih khimar yang tersampir di sisi tempat tidur, lalu menjejakkan kaki mencari sandal rumah.Sejak menikah dia memutuskan untuk berpakaian sesuai syariat. Pakaian-pakaian ketat dan jilbab pendek sedada sudah dia tinggalkan diganti khimar dan gamis panjang.Sejenak dia melirik lelaki yang terlelap di sana. Dalam khayalan terliar dia sempat berharap mereka mampu menjadi suami-istri selayaknya. Sama-sama melupakan masa lalu yang kelam. Membangun keluarga kecil yang bahagia bersama Tiara.Hah ... konyol! Harapan seorang wanita munafik pada lelaki penzinah dan pemabuk. Akankah Tuhan mengabulkannya?Seketika dia kembali mengingat permintaan Nana. Tukar ranjang? Baim?"Astaghfirullah ... manusia macam apa kami ini?" Karin tampak mengusap wajah, lalu berjalan menuju mushala yang terletak di lantai dasar, dekat kolam ikan. Membasuh wajah berusaha mengenyahkan bayang-bayang kejadian masa lalu yang sekelebat mengusik pikiran.Menyembah pada-Nya agar mendapat sedikit keringanan dari segala takdir yang dilimpahkan padanya, agar mampu memikul sedikit beban yang selama ini dia tanggung sendiri.Ah, bersikap baik-baik saja tak selamanya membuat diri terlihat kuat. Dia hanya tak lagi tahu bagaimana cara menangis dan merutuki takdir.Selepas subuh Karin sempatkan singgah ke kamar Tiara. Di sebelahnya ada kamar Rida-- gadis berusia delapan belas tahun yang biasa mengasuh bocah itu"Ah, Tiara ... semoga kamu nggak menerima nasib yang lebih buruk dari bunda!"Setelah mengecup keningnya, Rina kembali ke kamar di lantai tiga. Berjalan pelan-pelan agar tak menimbulkan suara yang mengundang amukan Adam. Kemudian meraih ponsel yang tergeletak di meja rias.Satu pesan masuk dalam aplikasi berwarna hijau. Dari Kinan.[ Mbak, lusa Nana mau ajukan gugatan cerai ke pengadilan agama. Mas Baim nggak respons apa-apa saat kita diskusi. Tapi keputusan Nana udah bulat. Kita akan mensahkan pertukaran ini! ] Mata Rina membulat seketika. Mencengkeram benda persegi di genggaman tangan, perempuan itu matikan ponsel, lalu meletakkannya kembali."Nana udah gila," gumamnya....Bersambung.Nadila Arsinta atau biasa dipanggil Nana perempuan yang terlahir dengan memeluk bulan. Artinya dia tumbuh dengan selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Mudah jatuh cinta juga mudah bosan.Hampir tiga perempat umur Karin habiskan dalam bayang-bayangnya. Selama itu dia selalu ada di sampingnya, jadi pendengar tapi tak pernah didengar. Permintaannya terakhir kali telah mengubah hidupnya. Apakah kali ini juga sama?Tukar suami? Meskipun disahkan secara hukum dan agama, tapi apakah itu masuk akal?Karin menekan pelipisnya yang tiba-tiba terasa pening. Tidak. Kali ini dia bukan anak kecil lagi. Karin tak perlu mengikuti permintaan konyol Nana untuk yang ke sekian kali.Ya, sudah saatnya dia bebas dari kendalinya. Menciptakan kebahagiaan yang selama ini dia dambakan."Karina, oi! Ngapain kamu bengong di sana? Ngintipin cicak kawin?"Setengah terlonjak dia beralih pada Adam yang sudah duduk bersandar di kepala ranjang.Sejak kapan dia bangun?"Mas, tumben udah bangun? Biasanya kalau libur
Tiara Ananda Prasetyo, bocah dengan mata bulat yang lahir dan tumbuh setelah berhasil melawan maut sejak dalam kandungan. Anak yang tak tahu apa-apa, tapi selalu jadi tameng akan kesalahan orang tuanya. Meskipun kenyataan Tiara tak terlahir dari rahimnya, Karin tetap memutuskan untuk mencintai bocah itu. Dan mengubur fakta serta masa lalu menyedihkan tentangnya. Sebagaimana janji yang sudah dia ikat dengan orang tuanya.Selama itu Karin hanya simpan faktanya seorang diri. Pura-pura tak tahu bahwa bocah itu adalah benih dari lelaki yang berjanji akan menempatkannya di posisi tertinggi hatinya, tapi kenyataan dia kalah berperang dengan hawa nafsunya.Namun, pada akhirnya hari ini sebuah rahasia yang telah dia simpan rapat selama empat tahun lamanya diketahui Adam ... lelaki yang dia pikir tak pernah peduli. Selalu bersikap masa bodo dan tak ingin tahu tentang apa pun kehidupannya dulu."Kok, kaget? Kayak yang habis kedapatan selingkuh aja kamu," cibirnya saat melihat mata Karin melebar
Lima tahun lalu .... Hari ini cuaca tampak cerah di Kota Surabaya. Terlihat orang-orang lebih sibuk melakukan aktivitasnya, hingga jalanan dari dua arah pun padat merayap. Terletak di Bulak, daerah Utara Kota Pahlawan, sebuah ikatan suci baru saja terjalin di kantor KUA setempat. Kota ini akhirnya menjadi saksi pertemuan kedua insan yang akhirnya dipersatukan dalam sebuah ikatan halal. “Sah.”Kalimat sakral itu terdengar. Tampak sang mempelai wanita dengan pakaian kemeja putih dan rok hitam, menangkupkan wajah mengusap syukur, karena telah sah dipersunting lelaki pujaannya secara agama dengan bukti selembar kertas dengan materai bertanda tangan saksi. Dengan sudut matanya dia menatap Baim, suaminya, lalu menunduk malu. Tak menyangka, ternyata lelaki ini tak main-main dengan janjinya. Saksi dan wali duduk di kanan kiri kedua mempelai, dua di antaranya adalah keluarga sang mempelai wanita. Sebulan setelah mendengar kabar bahwa putrinya akan menikah-- Risma-- ibu kandung Karin mema
"Mas Adam nggak mau cerai sama Mbak Karin, padahal udah jelas-jelas mereka nggak saling cinta, ngapain juga dipertahankan sampai empat tahun lamanya?" Nana tampak mendumel di sepanjang jalan menuju pulang, sementara itu Baim yang duduk di balik kemudi hanya bisa mencengkeram setir dengan pikiran melayang. Menyusuri masa lampau. Sesal hanya tinggal sesal, seandainya saja waktu itu dia tak terpengaruh hanya karena hasrat sesaat ... mungkin pernikahannya dan Karin masih bertahan sampai kini."Kita juga nggak saling cinta, tapi bertahan sampai empat tahun. Sungguh aku sangat bersyukur saat kau meminta cerai, Nana!"Seketika Nana menoleh, terbelalak matanya saat mendengar setiap kata yang terlontar dari mulut lelaki pertama yang merenggut kehormatannya ini. "Aku mencintaimu, Mas. Itulah alasan kenapa aku bisa bertahan selama empat tahun ini dengan lelaki sedingin dan sekasar dirimu!" bentak Karin. Seketika rahang Baim mengetat. Ia membanting setir, lalu menepikan mobil. Ditatapnya pere
Tak ada yang Adam ucapkan lagi setelah mereka sampai di rumah sepulang dari kafe. Tentang Nana, Baim, juga rencana gila perempuan itu. Mulutnya rapat terkunci, meninggalkan tanda tanya besar menggelayut dalam benak Rina.Bahkan sudah seminggu tak ada kabar dari Nana yang mempertanyakan tentang keputusan Karin. Dia tiba-tiba menghilang begitu saja.Tak mengiriminya pesan atau panggilan telepon. Sebenarnya apa yang Adam bicarakandengan Nana hari itu sebenarnya? Pertanyaan itu masih saja menggelayut di benak Karin. "Buna!" panggilan Ara menarik Karin dari lamunan. Bocah itu tampak mengerjap-erjapkan mata bulatnya menatap perempuan itu kebingungan.Karin sunggingkan kedua sudut bibir. Kemudian mengusap pipi bocah itu lembut."Ya, Sayang?""Kapan Ayah ajak kita piknik?" Bibir bocah itu tampak memberengut dengan kedua tangan mungil yang memintal-mintal ujung kaus bergambar Hello Kitty-nya."Ah, sepertinya pemintaanmu terlalu berat, Sayang. Dia bersikap cukup baik saja, Bunda sudah sanga
“Hari ini kita pindah ke Jakarta. Kemarin, Mas diberi kabar ada panggilan dari perusahaan besar di sana.”Sudah dua bulan sejak perubahan sikap Baim, hari ini tiba-tiba dia meminta Karin untuk mengemasi barang.“Perusahaan apa? Kenapa secepat ini, Mas?” tanya Karin heran, sembari menghentikan pergerakan tangan Baim yang tengah mengemasi pakaian di kamar mereka.“Udahlah, Rin. Nggak usah banyak tanya. Yang penting kita bisa segera mengesahkan pernikahan di mata publik, kebutuhan terpenuhi dan kamu nggak kelaparan!”Karin tertegun lama.Jujur, sebenarnya dia sangat ingin bertanya apa yang telah terjadi. Kenapa sikap Baim berubah? Kenapa dia tiba-tiba diterima kerja? Dan, kenapa mereka harus pindah?Semua pertanyaan yang menggelayut dalam benak, akhirnya hanya bisa dia telan sendiri. Pelan tapi pasti, mungkin Baim akan menjelaskannya.“Kuliahku?” tanyanya lirih.“Kamu bisa tunda kuliahmu untuk sementara, ya.” Baim menghampiri Rina, lalu meletakkan kedua tangan di bahunya.Karin menghela
Plak!Tamparan keras mendarat di pipi Baim hingga meninggalkan bekas kemerahan di kulit putihnya. Lelaki itu hanya bisa bungkam sembari berlutut di hadapan istrinya.Tak perlu bertanya, dia sudah tahu seperti apa akhirnya. Gadis yang dia pikir hanya ingin main-main, rupanya telah menancapkan duri dalam rumah tangganya.“Katakan sekarang, Mas! Aku ingin dengar dari mulutmu, apa benar kamu menghamilinya? Apa benar benih yang tertanam di rahimnya adalah darah dagingmu?” Suara Karin menggelegar di ruang apartemen. Hanya berselang beberapa menit setelah Baim pulang kantor, dia menarik tangan lelaki itu kemudian menuntut jawaban.Baim terpaku. Dia akui kesalahannya yang khilaf saat bergumul dengan Nana. Walau bagaimanapun, dia hanya lelaki biasa. Imannya tak cukup kuat melawan hasrat lelakinya.Namun, dia tak menyangka semua akan berakhir sefatal ini. Kenikmatan sesaat yang dia rasakan justru menghancurkan segalanya. Menghancurkan rencana masa depannya.“I-iya.” Tak ada alasan untuk men
"Omaa ...." Tiara langsung berlari ke arah Risma, lalu memeluknya.Perempuan setengah baya yang masih modis di usianya itu berjalan menghampiri Karin, lalu menatap putrinya dengan sorot mata yang aneh, hingga akhirnya Risma dan Tiara berlalu ke belakang.Sedangkan Karin dan Adam langsung duduk di sofa kosong yang terletak di samping kanan mereka, saat Hamdan memberi isyarat dengan dagunya."Jadi, Adam ikut juga?" Hamdan mulai membuka percakapan dengan mempertanyakan kehadiran Adam di sini. "Baguslah, begitu lebih baik. Kita bisa menyelesaikannya lebih cepat di sini," lanjutnya bahkan sebelum sempat Adam buka mulut untuk menjawab.Suasana tiba-tiba terasa tegang. Khususnya untuk Karin, sejak dulu dia memang tak pernah bisa menatap langsung ke dalam mata Hamdan. Dia dikenal dengan pribadi yang tegas. Lelaki setengah baya itu bahkan mendidik anak-anaknya dengan cukup keras, terlebih pada Karin.Sebisa mungkin Rina selalu menghindari Hamdan bila ada kesempatan. Terlebih setelah tragedi ti
Empat tahun kemudian ....Pria itu tampak berjongkok untuk menyejajarkan tubuh dengan bocah lelaki yang berdiri di hadapannya, kemudian merapikan rambut bocah dengan mata bulat dan pipi gembil tersebut."Ayah ... kenapa cuma cowok yang harus disunat? Kak Ara sama Ais enggak?" Pertanyaan yang terlontar dari bibir putranya membuat senyum pria itu mengembang. Ia mengusap kepala bocah bernama lengkap Muhammad Rasyid Prasetyo yang lebih sering dipanggil Rasyid itu setelah."Kak Ara sama Ais, kan perempuan, Sayang. Sedang anak ayah yang ganteng ini, jagoan sholeh. Rasyid selalu bilang sama ayah kalau mau jadi kayak Ayah, 'kan?"Bocah menggemaskan itu tampak mengangguk antusias."Iya, Ayah. Rasyid mau jadi kayak Ayah. Ayah yang ganteng, sayang sama Bunda juga Rasyid.""Nah, itu kamu tahu. Dalam Islam, hukum khitan bagi anak laki-laki itu wajib. Tujuannya bukan cuma sekadar mematuhi perintah agama, tapi juga untuk menjaga agar terhindar dari najis yang kadang nggak keliatan. Kalau udah gede R
Dua bulan kemudian ....Lantunan ayat suci Al-Quran, terdengar samar-samar, ketika kesadaran Karin kembali dari alam mimpi. Menoleh ke bawah, Karin melihat Adam tengah bersila dengan kitab itu di pangkuan.Sadar tengah diperhatikan, Adam menoleh dan tersenyum."Kebangun, ya?"Membalas senyumnya, Karin mengangguk kecil. "Ada yang kamu mau? Biar aku ambilin?" tanya Adam kemudian. Karin menggeleng dan hanya termangu memperhatikan suaminya. Sadar dirinya diperhatikan dengan lekat, Adam langsung menarik pergelangan tangan Karin pelan hingga keduanya duduk berhadapan di atas sajadah yang digelar. "Masa nifas kamu udah selesai, kan?" Karin yang langsung paham dengan maksud Adam pun tersenyum dan mengangguk pelan. "Udah dari dua minggu lalu, Mas!" ucapnya."Umm ... bolehkah?" Adam terlihat ragu melanjutkan. Lelaki itu mengusap tengkuk salah tingkah. Karin yang melihatnya pun lantas terkekeh. "Itu sudah kewajibanku, Mas. Memangnya boleh menolak apa yang sudah menjadi hakmu?!"Kini Adam
Monika berdiri di depan pintu apartemen Pondok Indah Residenses bernomor 210 yang terletak tak jauh dari kompleks perumahan Adam di Menteng. Meskipun sempat ragu, akhirnya dia mengulurkan tangan dan menekan bel. Tak lama sosok Adam muncul dari baliknya. Lelaki itu sempat kaget saat melihat siapa yang tengah berdiri di hadapannya saat ini. "Monika! Ngapain lu di sini?" cetusnya. "Pevita udah pulang?" Pertanyaan Adam itu kembali dijawab oleh pertanyaan lagi."Bentar lagi kayaknya. Ada apa, Mon?""Kenapa hape lo nggak aktif, Dam? Udah berapa hari nggak pulang. Istri lo mau ngelahirin, Dodol!"Sontak mata Adam melebar. Lelaki berdarah Timur Tengah itu langsung menyisir kasar rambutnya ke belakang dan merutuk sendiri. "Astagfirullah. Gue lupa charger hape, Mon. Gue panik banget waktu Monika bilang mantan suaminya dateng buat bawa Gerald. Udah dua hari ini Pevita ngurusin kasus ini. Dia minta tolong gue karena Gerald nggak mau dititip sama yang lain. Baby sitter yang biasa rawat dia lag
"Gimana?" Panggilan ibunya lantas menarik Karin dari lamunan. Masih berdiri di tempat yang sama ia memikirkan segala kemungkinan yang ada kenapa sang suami masih belum juga tiba. Malam semakin larut, dan perasaannya juga kian terasa kalut. Semenjak usia kandungannya menginjak sembilan bulan, ia merasa instingnya lebih kuat dan peka. Perasaannya juga menjadi lebih sensitif daripada sebelumnya, padahal Karin tahu betul suaminya itu setia. Namun, entah kenapa hari ini ada yang berbeda. "Katanya syuting udah selesai dari dua hari lalu, Bu. Jadi, Mas Danu juga nggak tahu Mas Adam ada di mana sekarang." Suara Karin terdengar bergetar. Perempuan berusia dua puluh enam tahun itu tak lagi terlihat tenang. Beberapa kali dia mengelus perut buncitnya yang kembali terasa mulas. "Mungkin Adam pulang ke rumah orangtuanya kali, Rin. Coba ibu telepon Bu Nisa."Karin langsung menggeleng. "Nggak, Bu. Kalau Mas Adam pulang ke rumah mama sama papa dia pasti hubungin Karin, atau--arrghhh." Tubuh Kar
Empat bulan kemudian .... "Kamu beneran nggak apa-apa nih aku tinggal?" Untuk ketiga kalinya Adam bertanya pada Karin yang tengah sibuk mengunyah satu buah apel di depan pelataran rumah mereka. "Iya nggak apa-apa, Mas. Lagian ada Ibu, Bi Narti sama Mbok Nah. Lagian Mas ke Bandung mau kerja, kan bukan main-main." Melihat itu Adam lantas menghela napas panjang sebelum mengecup kening Karin dan benar-benar pamit. Di hadapan mereka tampak sudah terparkir sebuah mobil Fortuner hitam yang Mang Midun siapkan sejak tadi. "Baiklah kalau gitu. Pokoknya jangan sungkan telepon kalau ada apa-apa. "Iya, Mas." Karin mengangguk patuh, lalu meraih tangan Adam dan mencium punggung tangannya takzim. "Hati-hati. Jangan ngebut!""Siap." Adam melambaikan tangan sebelum masuk ke dalam mobil dan duduk di balik kemudi. Sementara itu Mang Midun terlihat sudah bersiap membuka pagar di depan. "Makasih, Mang!" ucapnya pada Mang Midun sebelum mobil beranjak meninggal pelataran dan kompleks perumahan elite
"Innalilahi wa innalilahi rojiun."Tanpa sadar ponsel Karin terlepas dari genggaman tangannya. Bagai palu godam yang baru saja menghantam, untuk seperkian detik napasnya terasa sesak, dengan dentaman jantung yang bertalu-talu ngilu. Satu jam mereka saling memaafkan. Baru satu jam setelah perempuan itu memeluknya erat bahkan hendak bersujud di kaki untuk meminta pengampunan. Belum ada dua puluh empat jam sejak ia meminta Tiara memanggil mama. Maut, memang demikian itulah adanya. Ia kerap datang di waktu-waktu tak terduga tanpa manusia sangka-sangka. Secara seketika menampar bahwa hidup memanglah sementara. Nana masih muda, usianya belum sampai dua puluh tiga. Psikolog belum memastikan kesembuhannya, tapi yang Karin lihat satu jam lalu dia sudah cukup normal meskipun keadaannya mengkhawatirkan. Perempuan itu bahkan kehilangan delapan kilogram bobot tubuhnya di tengah kandungan yang sudah mencapai tujuh bulan. Mata yang biasa menyorot bening dengan riasan sederhana, kini tampak cekun
Pesta ulang tahun Nana menjadi penyambung silaturrahmi antar keluar yang hampir puluhan tahun tak bersua. Kakek dan Nenek Tiara dari dua belah keluarga Karin, Nana, Adam, serta Baim turut serta tiba memeriahkan acara. Dituntun Baim turun dari mobilnya, Nana terlihat begitu bahagia menginjakkan kaki di rumah Karin dan Adam. Mereka menyalami satu per satu anggota keluarga sebelum duduk di bangku paling depan menyaksikan bagaimana bocah lucu itu tertawa riang menyaksikan teman-teman serta semua keluarga berkumpul di satu tempat yang sama. "Aku nggak pernah liat suasana sehangat dan seramai ini bahkan saat lebaran tiba," ujar Nana masih dengan pandangan yang mengitari sekeliling ruang. "Udah puluhan tahun, Mas. Puluhan tahun sejak Tukar Ranjang pertama kali dilakukan orang tuaku dan Mbak Nana. Ini pertama kalinya kita berkumpul sebagai satu keluarga utuh tanpa ada konflik yang mengiringinya."Baim hanya bisa tersenyum sembari meremas-remas jemari istrinya. Entah kapan sejak terakhir ka
Berbagai kecamuk pikiran menggelayut di benak Karin. Potongan-potongan ingatan masa lampau datang menyerbu secara bersamaan, ketika dia kembali dihadapkan dengan seseorang yang menjadi bayang hitam masa lalunya yang kelam.Hampir semua yang pernah dia punya direbut paksa, hingga meninggalkan luka menganga yang sulit sembuhnya.Ketakutan itu masih terus ada, meski berkian kali Karin coba menyingkirkannya. Bahkan saat pertama kali menginjakkan kaki di bangsal rumah sakit jiwa ini.Namun, saat melihat sosok yang begitu mengenaskan dengan perut buncit itu berlari dalam peluknya, semua ketakutannya perlahan sirna."Ada apa, Na?" Pada akhirnya Karin hanya bisa mengelus punggung kurus Nana yang bergetar hebat dengan sangat lembut. "Maaf, Mbak. Maaf, maaf." Kalimat itu Nana ucapkan berkali kali dengan isak tangis pilu. "Hei, udah lama Mbak maafin kamu tanpa diminta, Na!" Karin mengurai pelukan, dia dapati perempuan itu hendak berlutut, tapi segera Karin raih kedua sisi pundak ringkihnya dan
"Hei, hei! Tenang, Sayang. Walaupun mereka orangtua kandungnya tapi kita yang merawatnya sejak bayi merah. Lagi pula Baim tak mempunyai nasab dengan Tiara karena hubungan terlarang itu. Aku janji sama kamu, saat Tiara dewasa nanti kita yang akan menjadi saksi sekaligus wali dalam pernikahannya. Dia anak kita, tak ada yang bisa menyangkal itu." Adam tarik pelan Karin dalam pelukan, lalu mendekap erat tubuhnya yang lebih berisi semenjak hamil. "Maaf, ya, Mas. Entah kenapa semenjak hamil perasaanku jadi sensitif banget. Nonton film yang nggak ada sedihnya juga malah pengen nangis. Aneh banget."Adam tersenyum kecil, lalu mengusap kepala Karin yang terlindung khimar. "Nggak apa-apa. Asal jangan pas aku lagi pengen nengokin anak kita aja kamu tiba-tiba nangis. Itu baru aneh.""Mas!" Mata Karin langsung membulat, dia beranjak dari dekapan Adam dengan bibir mengerucut. "Haha ...."***Di sebuah kamar dalam rumah sakit rehabilitasi itu Baim tampak tengah menyisir rambut Nana yang kini tak