Plak! Tubuh Karin terhuyung saat tamparan keras itu mendarat di pipinya. “Dasar anak nggak berguna! Jadi, ini alasanmu ingin sekolah jauh-jauh ke luar kota, hah? Agar bisa bergaul seenaknya dan menggoda para lelaki agar menidurimu. Apa gunanya tudung di kepala itu, hah? Kau bahkan lebih hina dibandingkan pelacur!” “Udah, Mas. Tolong ...!” Risma berlutut di kaki Hamdan, menahan lelaki itu agar tak kembali melayangkan tamparan di wajah Karin. Sudut bibir perempuan itu bahkan sudah mengeluarkan darah, tapi dia hanya bergeming. Tak ada tangis atau ratapan minta ampun. Dia seolah sudah kehilangan emosi untuk merasakan sesuatu. “Buka mulutmu, Karina! Siapa ayah dari janin yang kau kandung. Aku akan membunuhnya!” Lolongan amarah itu membuncah kala bibir Karin hanya terbungkam menanggapinya. “JAWAB!” Tangan Hamdan sudah kembali melayang di udara. Risma semakin histeris di kakinya. Sementara Karin hanya bergeming di tempatnya. “Mas Adam, Ayah!” Belum sempat melayangkan tamparan
Hari ini telah ditetapkan sebagai pernikahan Karin dan Adam, begitu juga dengan Baim dan Nana.Seminggu setelah caci-maki yang dilontarkan, Hamdan tak ingin menunda- nunda lagi.Sejak hari itu, sosok Karin yang dulu seolah tak pernah lagi ada. Digantikan perempuan yang nyaris tanpa ekspresi, sedikit bicara, dan tak mau lagi mendengar apa kata orang.“Gimana penampilan Nana, Mbak?” Perempuan itu berdiri di hadapan Karin, sesekali memutar tubuh semampainya yang terbalut kebaya berwarna putih gading dengan aksen payet sederhana, tapi terlihat elegan. Rambutnya disanggul modern, menyisakan anak-anak rambut yang terjuntai di kedua sisi wajah oval yang beberapa waktu belakangan sedikit berisi.Karin menatap pantulan dirinya dalam cermin di kamar luas bernuansa gold ini, lalu menyunggingkan senyum kecil.“Cantik, cantik banget, Na!”Jelas, rona bahagia itu begitu kentara terpancar dari mata perempuan yang baru menginjak tujuh belas tahun tersebut, berbanding terbalik dengan perasaannya. Ane
“Nggak mau buka mulut, hah?” Adam berteriak tepat di depan wajah Karin.“Reputasimu sudah buruk, Mas. Bergonta-ganti wanita, lalu mabuk- mabukan. Belum lagi skandal dengan salah satu selebriti tanah air. Bukankah dengan menikahiku, akhirnya kamu bisa menampik semua itu?”Deg!Ingin sekali rasanya Adam meneriaki di depan wajahnya bahwa semua itu tak benar. Semua yang Karin lihat dan dengar, tak seperti kenyataannya. Dia memang mudah bergaul, tapi tak mudah menjatuhkan hati seperti orang bodoh.Baru pertama kali dia rasakan perasaan pada seorang perempuan, yaitu Karin ... yang ada di hadapannya.Menatap mata perempuan ini lama-lama hanya meninggalkan debaran tak karuan dalam dada, akhirnya Adam pun berpaling. Mengempaskan tangannya dari wajah Karin hingga tubuh perempuan itu terhuyung dibuatnya, kemudian berlalu begitu saja.Dia sudah memutuskan. Sebelum Karin buka mulut tentang apa yang terjadi, pernikahan ini hanya akan berjalan sesuai dengan caranya.Sembari menatap punggung lebar A
“Udah dulu pacarannya, kita sholat Isya berjamaah sebelum barbeque-an di balkon.” Bu Nisa tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka, mengalihkan perhatian kedua insan yang sama terhanyut dengan kedalaman mata masing-masing. “Ya, Adam ambil wudhu dulu.” Adam yang lebih dulu bangkit. Lelaki itu tampak menatap lurus melewati mamanya begitu saja. “Idih ... dasar ngambekkan! Kebiasaan, deh, si Sadam dari zaman diplorotin celananya sampe bisa melorotin celana orang, tetep aja baperan!” gerutu Nisa sembari berpangku tangan menatap kepergian putranya. “Sama kamu nggak gitu, pan, Rin? Dia itu kalau udah ngambekkan gitu. Baeknya didiemin, ntar juga adem sendiri,” cetus Nisa beralih pada Karin. Perempuan itu hanya bisa menyunggingkan senyum tipis. Benar apa yang dikatakan mertuanya, bila emosi Adam tengah naik, lebih baik didiamkan. Lama kelamaan, dia juga akan kembali melunak. Tanpa Karin sadari, sedikit demi sedikit dia mulai memahami suaminya. “Oh, iya. Ara Mama titip ke Tuti, baby si
“Adam walaupun kelihatannya begajulan gitu, dulu dia juara MTQ sekecamatan waktu SMP, loh, Rin,” ujar Hawa saat mereka tengah membantu para pelayan mempersiapkan barbeque di atas atap yang memang di desain untuk acara- acara perkumpulan keluarga seperti ini. “Hah?” Seolah tak percaya hanya kata itu yang terlontar dari mulut Rina. “Iya, bener,” seru wanita berkerudung itu. “Sebenarnya, Adam itu udah merhatiin kamu dari dulu, loh, Rin. Dia cerita banyak tentang kamu sama Mbak. Sejak pertemuan investor empat tahun lalu. Dia kaget, ternyata kamu cewek yang dia temuin nggak sengaja di Surabaya!” “Hah, gimana maksudnya, Mbak?” Dahi Karin berkerut. Apakah kali ini potongan puzzel yang berantakan itu mulai tersusun? Fakta kenapa Adam cukup banyak tahu tentang masa lalunya tersebut, mulai terungkap? Lalu, kenapa tiba-tiba dadanya bergemuruh? “Dulu kamu kuliah di Surabaya, ‘kan? Universitas Waterlangga. Nah, kalian sekampus tuh!” Seketika mata Karin terbelalak kaget. “Sekampus? Gimana
Besoknya, Adam pamit pulang lebih dulu, meninggalkan Karin dan Tiara di rumah orang tuanya. Sementara, laki-laki itu melakukan aktivitas syuting seperti biasa. “Jadi, kapan calon artis besar yang bakal lo orbitkan di rumah produksi itu dateng? Hari ini dia syuting iklan, ‘kan?” tanya Danu saat Adam tengah mengecek kamera di ruangan yang masih terlihat sepi. Lelaki itu menoleh, lalu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Sebentar lagi. Dia udah WA bakal dateng, kok. Kalau nggak juga, nggak apa-apa, sih. Tinggal cari yang lain,” timpal Adam datar. “Lah, kok gitu? Bukannya waktu itu lo cerita, udah ngincer dia dari lama buat project sinetron stripping yang bakal tayang pertengahan bulan ini, ya?” “Ya, emang.” “Ya, terus? Lo kebentur apa, sih, ni hari?” Danu tampak mulai kesal. “Tampilan luarnya, sih, emang sempurna. Dia bisa jadi artis besar dengan bakat akting dan visual kayak gitu, tapi sayang ... dalemnya busuk.” Senyum miring tersungging di bibirnya saat mengin
Adam memang bukan lelaki sempurna, tapi entah kenapa selalu berharap bisa diandalkan oleh pasangannya. Sebrengsek-brengseknya ia hubungan sebelum pernikahan adalah hal yang paling ia hindari saat itu. “Uhuk!” Danu tersedak ludah sendiri. “Oh, God ... gue butuh napas bua—” “Selamat pagi.” Danu melebarkan mata, saat melihat seorang wanita tiba-tiba muncul di hadapannya. Adam menoleh, tertegun sejenak saat melihat seorang wanita berpakaian ketat di balik tubuh Danu, lalu dia menyunggingkan senyum tipis yang terlihat begitu samar. “Eh, udah dateng, Na.” “Dia ... jadi, cewek itu maksudnya Nana?”“Bisa tinggalin kita berdua, Dan,” ujar Adam datar. “Oke.” Sadar posisi, Danu pergi setelah menutup pintu. “Mas kira setelah apa yang terjadi, kamu nggak bakal dateng.” Adam kembali membuka percakapan dengan Nana.Perempuan itu tampak terdiam sejenak.“Dateng, dong. Urusan pekerjaan harus profesional, ‘kan?” Nana tersenyum lebar. “Iya, sih. Ngomong-ngomong, sidang perceraian kamu gimana?”
Adam mengerjapkan matanya. Detik berikutnya lelaki itu menghela napas panjang dan mencengkeram pergelangan tangan Nana. “Ya udah, ayo!”“Ke mana?” lirih dia berujar. “KUA?” Secercah harapan tampak kentara dari binar mata Nana. Apa kali ini Adam akan berpihak padanya? Sudi mendekapnya di saat semua orang justru mendorongnya menjauh? “Bukan, tapi rumah sakit jiwa!” ucap Adam datar. Seketika Nana menepis tangan lelaki itu, dia berjalan mundur hingga hampir menabrak dudukkan kamera dan lampu sorot di belakang. Adam tertegun saat melihat Nana berakhir dengan duduk di sudut ruangan, menenggelamkan wajahnya dan memeluk lutut. Detik berikutnya, suara isakan tangis terdengar. “Hey, Nana ... jangan nangis di sini. Kamu tahu ini tempat umum, hah?” Adam berjalan menghampirinya. Untuk sesaat tatapannya menyisir ke sekitar, kemudian berjongkok, menyejajarkan tubuh dengan Nana.Pelan dia berbisik. Beruntung ruangan studio masih tampak sepi, para crew baru datang setengah jam lagi. Dia meman
Empat tahun kemudian ....Pria itu tampak berjongkok untuk menyejajarkan tubuh dengan bocah lelaki yang berdiri di hadapannya, kemudian merapikan rambut bocah dengan mata bulat dan pipi gembil tersebut."Ayah ... kenapa cuma cowok yang harus disunat? Kak Ara sama Ais enggak?" Pertanyaan yang terlontar dari bibir putranya membuat senyum pria itu mengembang. Ia mengusap kepala bocah bernama lengkap Muhammad Rasyid Prasetyo yang lebih sering dipanggil Rasyid itu setelah."Kak Ara sama Ais, kan perempuan, Sayang. Sedang anak ayah yang ganteng ini, jagoan sholeh. Rasyid selalu bilang sama ayah kalau mau jadi kayak Ayah, 'kan?"Bocah menggemaskan itu tampak mengangguk antusias."Iya, Ayah. Rasyid mau jadi kayak Ayah. Ayah yang ganteng, sayang sama Bunda juga Rasyid.""Nah, itu kamu tahu. Dalam Islam, hukum khitan bagi anak laki-laki itu wajib. Tujuannya bukan cuma sekadar mematuhi perintah agama, tapi juga untuk menjaga agar terhindar dari najis yang kadang nggak keliatan. Kalau udah gede R
Dua bulan kemudian ....Lantunan ayat suci Al-Quran, terdengar samar-samar, ketika kesadaran Karin kembali dari alam mimpi. Menoleh ke bawah, Karin melihat Adam tengah bersila dengan kitab itu di pangkuan.Sadar tengah diperhatikan, Adam menoleh dan tersenyum."Kebangun, ya?"Membalas senyumnya, Karin mengangguk kecil. "Ada yang kamu mau? Biar aku ambilin?" tanya Adam kemudian. Karin menggeleng dan hanya termangu memperhatikan suaminya. Sadar dirinya diperhatikan dengan lekat, Adam langsung menarik pergelangan tangan Karin pelan hingga keduanya duduk berhadapan di atas sajadah yang digelar. "Masa nifas kamu udah selesai, kan?" Karin yang langsung paham dengan maksud Adam pun tersenyum dan mengangguk pelan. "Udah dari dua minggu lalu, Mas!" ucapnya."Umm ... bolehkah?" Adam terlihat ragu melanjutkan. Lelaki itu mengusap tengkuk salah tingkah. Karin yang melihatnya pun lantas terkekeh. "Itu sudah kewajibanku, Mas. Memangnya boleh menolak apa yang sudah menjadi hakmu?!"Kini Adam
Monika berdiri di depan pintu apartemen Pondok Indah Residenses bernomor 210 yang terletak tak jauh dari kompleks perumahan Adam di Menteng. Meskipun sempat ragu, akhirnya dia mengulurkan tangan dan menekan bel. Tak lama sosok Adam muncul dari baliknya. Lelaki itu sempat kaget saat melihat siapa yang tengah berdiri di hadapannya saat ini. "Monika! Ngapain lu di sini?" cetusnya. "Pevita udah pulang?" Pertanyaan Adam itu kembali dijawab oleh pertanyaan lagi."Bentar lagi kayaknya. Ada apa, Mon?""Kenapa hape lo nggak aktif, Dam? Udah berapa hari nggak pulang. Istri lo mau ngelahirin, Dodol!"Sontak mata Adam melebar. Lelaki berdarah Timur Tengah itu langsung menyisir kasar rambutnya ke belakang dan merutuk sendiri. "Astagfirullah. Gue lupa charger hape, Mon. Gue panik banget waktu Monika bilang mantan suaminya dateng buat bawa Gerald. Udah dua hari ini Pevita ngurusin kasus ini. Dia minta tolong gue karena Gerald nggak mau dititip sama yang lain. Baby sitter yang biasa rawat dia lag
"Gimana?" Panggilan ibunya lantas menarik Karin dari lamunan. Masih berdiri di tempat yang sama ia memikirkan segala kemungkinan yang ada kenapa sang suami masih belum juga tiba. Malam semakin larut, dan perasaannya juga kian terasa kalut. Semenjak usia kandungannya menginjak sembilan bulan, ia merasa instingnya lebih kuat dan peka. Perasaannya juga menjadi lebih sensitif daripada sebelumnya, padahal Karin tahu betul suaminya itu setia. Namun, entah kenapa hari ini ada yang berbeda. "Katanya syuting udah selesai dari dua hari lalu, Bu. Jadi, Mas Danu juga nggak tahu Mas Adam ada di mana sekarang." Suara Karin terdengar bergetar. Perempuan berusia dua puluh enam tahun itu tak lagi terlihat tenang. Beberapa kali dia mengelus perut buncitnya yang kembali terasa mulas. "Mungkin Adam pulang ke rumah orangtuanya kali, Rin. Coba ibu telepon Bu Nisa."Karin langsung menggeleng. "Nggak, Bu. Kalau Mas Adam pulang ke rumah mama sama papa dia pasti hubungin Karin, atau--arrghhh." Tubuh Kar
Empat bulan kemudian .... "Kamu beneran nggak apa-apa nih aku tinggal?" Untuk ketiga kalinya Adam bertanya pada Karin yang tengah sibuk mengunyah satu buah apel di depan pelataran rumah mereka. "Iya nggak apa-apa, Mas. Lagian ada Ibu, Bi Narti sama Mbok Nah. Lagian Mas ke Bandung mau kerja, kan bukan main-main." Melihat itu Adam lantas menghela napas panjang sebelum mengecup kening Karin dan benar-benar pamit. Di hadapan mereka tampak sudah terparkir sebuah mobil Fortuner hitam yang Mang Midun siapkan sejak tadi. "Baiklah kalau gitu. Pokoknya jangan sungkan telepon kalau ada apa-apa. "Iya, Mas." Karin mengangguk patuh, lalu meraih tangan Adam dan mencium punggung tangannya takzim. "Hati-hati. Jangan ngebut!""Siap." Adam melambaikan tangan sebelum masuk ke dalam mobil dan duduk di balik kemudi. Sementara itu Mang Midun terlihat sudah bersiap membuka pagar di depan. "Makasih, Mang!" ucapnya pada Mang Midun sebelum mobil beranjak meninggal pelataran dan kompleks perumahan elite
"Innalilahi wa innalilahi rojiun."Tanpa sadar ponsel Karin terlepas dari genggaman tangannya. Bagai palu godam yang baru saja menghantam, untuk seperkian detik napasnya terasa sesak, dengan dentaman jantung yang bertalu-talu ngilu. Satu jam mereka saling memaafkan. Baru satu jam setelah perempuan itu memeluknya erat bahkan hendak bersujud di kaki untuk meminta pengampunan. Belum ada dua puluh empat jam sejak ia meminta Tiara memanggil mama. Maut, memang demikian itulah adanya. Ia kerap datang di waktu-waktu tak terduga tanpa manusia sangka-sangka. Secara seketika menampar bahwa hidup memanglah sementara. Nana masih muda, usianya belum sampai dua puluh tiga. Psikolog belum memastikan kesembuhannya, tapi yang Karin lihat satu jam lalu dia sudah cukup normal meskipun keadaannya mengkhawatirkan. Perempuan itu bahkan kehilangan delapan kilogram bobot tubuhnya di tengah kandungan yang sudah mencapai tujuh bulan. Mata yang biasa menyorot bening dengan riasan sederhana, kini tampak cekun
Pesta ulang tahun Nana menjadi penyambung silaturrahmi antar keluar yang hampir puluhan tahun tak bersua. Kakek dan Nenek Tiara dari dua belah keluarga Karin, Nana, Adam, serta Baim turut serta tiba memeriahkan acara. Dituntun Baim turun dari mobilnya, Nana terlihat begitu bahagia menginjakkan kaki di rumah Karin dan Adam. Mereka menyalami satu per satu anggota keluarga sebelum duduk di bangku paling depan menyaksikan bagaimana bocah lucu itu tertawa riang menyaksikan teman-teman serta semua keluarga berkumpul di satu tempat yang sama. "Aku nggak pernah liat suasana sehangat dan seramai ini bahkan saat lebaran tiba," ujar Nana masih dengan pandangan yang mengitari sekeliling ruang. "Udah puluhan tahun, Mas. Puluhan tahun sejak Tukar Ranjang pertama kali dilakukan orang tuaku dan Mbak Nana. Ini pertama kalinya kita berkumpul sebagai satu keluarga utuh tanpa ada konflik yang mengiringinya."Baim hanya bisa tersenyum sembari meremas-remas jemari istrinya. Entah kapan sejak terakhir ka
Berbagai kecamuk pikiran menggelayut di benak Karin. Potongan-potongan ingatan masa lampau datang menyerbu secara bersamaan, ketika dia kembali dihadapkan dengan seseorang yang menjadi bayang hitam masa lalunya yang kelam.Hampir semua yang pernah dia punya direbut paksa, hingga meninggalkan luka menganga yang sulit sembuhnya.Ketakutan itu masih terus ada, meski berkian kali Karin coba menyingkirkannya. Bahkan saat pertama kali menginjakkan kaki di bangsal rumah sakit jiwa ini.Namun, saat melihat sosok yang begitu mengenaskan dengan perut buncit itu berlari dalam peluknya, semua ketakutannya perlahan sirna."Ada apa, Na?" Pada akhirnya Karin hanya bisa mengelus punggung kurus Nana yang bergetar hebat dengan sangat lembut. "Maaf, Mbak. Maaf, maaf." Kalimat itu Nana ucapkan berkali kali dengan isak tangis pilu. "Hei, udah lama Mbak maafin kamu tanpa diminta, Na!" Karin mengurai pelukan, dia dapati perempuan itu hendak berlutut, tapi segera Karin raih kedua sisi pundak ringkihnya dan
"Hei, hei! Tenang, Sayang. Walaupun mereka orangtua kandungnya tapi kita yang merawatnya sejak bayi merah. Lagi pula Baim tak mempunyai nasab dengan Tiara karena hubungan terlarang itu. Aku janji sama kamu, saat Tiara dewasa nanti kita yang akan menjadi saksi sekaligus wali dalam pernikahannya. Dia anak kita, tak ada yang bisa menyangkal itu." Adam tarik pelan Karin dalam pelukan, lalu mendekap erat tubuhnya yang lebih berisi semenjak hamil. "Maaf, ya, Mas. Entah kenapa semenjak hamil perasaanku jadi sensitif banget. Nonton film yang nggak ada sedihnya juga malah pengen nangis. Aneh banget."Adam tersenyum kecil, lalu mengusap kepala Karin yang terlindung khimar. "Nggak apa-apa. Asal jangan pas aku lagi pengen nengokin anak kita aja kamu tiba-tiba nangis. Itu baru aneh.""Mas!" Mata Karin langsung membulat, dia beranjak dari dekapan Adam dengan bibir mengerucut. "Haha ...."***Di sebuah kamar dalam rumah sakit rehabilitasi itu Baim tampak tengah menyisir rambut Nana yang kini tak