Rapat direksi masih berlangsung dalam keheningan tegang. Nyonya Silvia, dengan pandangan penuh kuasa, berdiri dari kursinya. Ia mengenakan setelan elegan berwarna hitam, rambutnya yang disanggul rapi memberi kesan anggun namun tegas. Suaranya menggema di ruangan itu."Dengan saham 70% yang dimiliki keluarga Harison," ucapnya lantang, "saya memutuskan untuk memberhentikan Tuan Kemal dari posisinya sebagai CEO perusahaan ini. Dan, mulai saat ini, saya akan mengambil alih sebagai CEO untuk menyelamatkan perusahaan dari kehancuran."Pandangan tajam Silvia menyapu ruangan, menantang siapa saja yang berani membantah keputusannya. Mata para anggota dewan yang semula ragu kini terlihat penuh kecemasan. Keputusan Silvia terdengar final dan tidak bisa diganggu gugat.Namun, Darren, yang masih memerankan Kemal, tetap tenang. Ia merapikan jasnya, lalu berdiri dengan senyum tipis yang membuat Silvia semakin kesal.“Dengan segala hormat, Nyonya Silvia,” katanya dengan suara tenang namun tegas, “apa
Baron terdiam sejenak, lalu menjawab ucapan Silvia dengan suara berat, "Dari data yang aku dapatkan, Darren memang menjual saham dalam jumlah besar ketika perusahaan hampir bangkrut. Saham itu sempat terpuruk, Silvia. Hampir tidak ada yang mau membeli, karena risiko kerugian besar. Lalu beberapa minggu setelah itu, Kemal masuk dan membeli saham tersebut."Silvia memejamkan mata, mencoba mencerna kata-kata Baron. "Jadi, menurutmu, ini bukan rencana bersama mereka?""Rasanya tidak mungkin," jawab Baron dengan nada penuh pertimbangan. "Jika Darren dan Kemal bekerja sama, mereka tidak akan melakukan langkah yang begitu berisiko. Saat saham dilepas oleh Darren, keadaan perusahaan sedang sangat buruk. Aku yakin Darren sendiri tidak tahu siapa yang akan membeli sahamnya waktu itu. Kemal masuk sebagai penyelamat di saat yang tepat."Silvia menghela napas berat. "Tetapi bagaimana mungkin Darren tidak tahu? Dia adalah pewaris keluarga Harison. Seharusnya, dia tahu betul apa yang akan terjadi ji
Baron memandang surat gugatan di tangannya dengan tatapan penuh kemarahan. Ia menggenggam ponselnya erat-erat, lalu menekan nomor seseorang yang berada di lingkaran kekuasaan kepolisian. Setelah beberapa nada tunggu, telepon akhirnya diangkat.“Ada apa, Baron?” suara berat di ujung telepon terdengar.“Aku butuh bantuanmu,” kata Baron dengan suara rendah namun penuh tekanan. “Aku baru saja menerima gugatan perdata. Aku ingin kau memastikan gugatan ini batal sebelum sampai ke pengadilan.”Ada keheningan di ujung telepon. Orang di sana seolah mempertimbangkan sesuatu sebelum akhirnya menjawab, “Maaf, Baron. Aku tidak bisa membantumu kali ini. Semuanya berada di luar kewenanganku.”Baron membelalakkan matanya. “Apa maksudmu di luar kewenanganmu? Kau tahu aku selalu melindungimu, dan sekarang kau menolak membantuku?”“Ini bukan soal aku tidak mau, Baron,” jawab pria itu dengan nada tegas. “Sebelum kau menghubungiku, atasan sudah memanggilku dan memberikan peringatan keras untuk tidak ikut
Darren merasakan detak jantungnya semakin cepat. Ia berlari menyusuri lantai mal yang penuh dengan pengunjung, matanya liar mencari sosok Keisya di antara kerumunan. Namun, ia tidak menemukannya. Rasa cemas mulai berubah menjadi kepanikan, ia mencoba tetap tenang, meski rasa cemas dan amarah bercampur aduk.Dengan cepat, Darren merogoh saku jasnya, mengeluarkan ponsel, dan menekan kontak seorang yang sangat ia percayai.“Spy-Eye, aku butuh bantuanmu sekarang juga,” kata Darren dengan suara tegas. “Keisya hilang. Aku tidak bisa menemukannya di sini. Gunakan semua sumber daya yang kita punya untuk melacaknya.”Di ujung telepon, suara Spy-Eye terdengar penuh kesiapan. “Berikan aku waktu beberapa menit, Boss. Aku akan memulai pencarian.”Darren menunggu dengan gelisah. Ia tetap bergerak, melangkah ke sudut-sudut mal yang lebih sepi, berharap bisa menemukan jejak Keisya. Setiap detik yang berlalu terasa seperti sebuah siksaan. Bayangan wajah Keisya yang tadi penuh senyum kini terus menghan
Darren yang masih diliputi kecemasan menerima telepon dari Spy Eye. Suara di ujung telepon terdengar berat namun tegas. “Boss, kami menemukan lokasi kendaraan yang membawa Keisya. Mobil itu berhenti di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Tempat itu tampaknya menjadi markas sementara komplotan itu.”“Bagus. Siapkan tim kita. Aku ingin semua orang bersenjata lengkap dan memastikan tempat itu steril dari ancaman sebelum kita masuk,” perintah Darren dengan nada dingin namun penuh kendali. “Aku tidak ingin ada kesalahan.”“Dimengerti, Boss. Pasukan akan bersiap dan berangkat dalam lima menit,” jawab Spy Eye.Darren mengakhiri panggilan dan menatap kosong ke depan. Bayangan Keisya yang mungkin sedang dalam bahaya membuat amarahnya semakin membara. Ia tidak akan membiarkan siapa pun yang berani menyakiti wanita itu lolos dari hukuman. Mobil SUV hitam yang ditumpanginya terus melaju kencang, membelah jalan-jalan kota menuju pinggiran yang semakin sepi.Di gudang tua itu, tim yang dipimpin ol
Darren meraih telepon genggamnya dengan tangan gemetar, rasa cemas yang mendera hatinya seolah menekan paru-parunya. Ia menjawab panggilan itu dengan suara datar namun penuh ketegangan.“Apa ini benar Pak Darren?” suara seorang pria di ujung telepon terdengar tenang, namun jelas berwibawa.“Iya, ini saya. Siapa ini?” jawab Darren dengan singkat.“Saya Dokter Richard dari Rumah Sakit Harapan Bangsa. Kami memerlukan Anda segera ke sini. Tuan Harison, ayah Anda, dalam kondisi kritis. Kami membutuhkan persetujuan Anda untuk tindakan medis khusus yang harus dilakukan segera,” jelas dokter tersebut.Darren terdiam sejenak, matanya menatap ke arah dinding ruangan gelap di sekitarnya. Ia tak langsung menjawab, pikirannya berkecamuk. Selama ini ia berusaha menjauh dari keluarganya, menyembunyikan identitasnya sebagai pewaris keluarga Harison. Namun, kondisi ayahnya membuatnya tidak punya pilihan lain.“Baik, saya akan segera ke sana,” sahut Darren akhirnya.Setelah menutup telepon, ia menarik
Darren menatap ibunya sejenak sebelum mengalihkan pandangannya. “Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Aku hanya memastikan semuanya berjalan dengan baik untuk ayah,” jawabnya singkat.Namun, Silvia tidak puas dengan jawaban itu. “Darren, aku ibumu. Aku tahu ada sesuatu yang tidak kau katakan. Kau tidak pernah datang ke sini hanya untuk formalitas. Apa yang kau ketahui?”Darren tetap diam, berusaha menahan dirinya untuk tidak mengatakan apa pun. Ia tahu bahwa siapapun bisa menjadi pelaku, termasuk ibunya sendiri. Namun, tatapan Silvia yang penuh selidik membuat Darren semakin sulit menyembunyikan kegelisahannya.“Darren, jika ada sesuatu yang mengancam ayahmu atau keluarga ini, aku harus tahu,” tekan Silvia lagi.Sebelum Darren sempat menjawab, telepon di saku jasnya bergetar. Ia mengangkat telepon itu dengan gerakan cepat.“Boss, kami sudah tiba di rumah sakit. Tim sedang memulai penyelidikan. Ada beberapa staf yang gerak-geriknya mencurigakan, terutama di sekitar ruang ICU. Kami aka
Setelah pertemuan itu, Darren kembali ke ruang tunggu, memastikan ibunya tidak mencurigai apa pun. Saat ia tiba, Silvia tampak sedang berbicara dengan salah satu dokter, tetapi ekspresinya tetap tenang ketika melihat Darren mendekat.“Ada kabar baru?” tanya Silvia.“Tidak ada yang penting, Bu. Hanya beberapa hal administratif,” jawab Darren sambil duduk di sebelahnya.Namun, pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana. Di tempat lain di rumah sakit, tim Spy Eye sudah mulai bergerak. Seorang ahli kedokteran yang mereka kirim, Dr. Elaine, seorang dokter forensik dengan pengalaman luas, memasuki rumah sakit dengan identitas yang dirahasiakan.Dr Elaine mulai memeriksa Tuan Harrison. Dari pemeriksaan Darah, air liur, hingga yang lainnya yang diperlukan sudah diperiksa. Beberapa saat kemudian ia pun selesai melakukan pemeriksaan. Ia meminta Spy Eye mengajak Darren bertemu di luar.Sesaat kemudian, Spy Eye langsung menghubungi Darren. Ia menyampaikan keinginan dokter Elaine untuk bertemu. "Ba
Pagi Sekali Daren berangkat menuju Singapura. Ia melangkahkan kakinya dengan percaya diri menuju boarding gate di bandara internasional. Tanpa membawa pengawal ia pun melakukan aktivitas dengan sangat hati-hati dan waspada.. Perasaan tidak nyaman sudah menghantui sejak ia melewati pos pemeriksaan keamanan. Sesuatu terasa salah. Naluri tajamnya membisikkan bahwa ia sedang diawasi.Di dalam pesawat, Darren mengambil tempat duduk di kelas bisnis. Ia memilih kursi dekat jendela, memanfaatkan waktu untuk memikirkan semua rencana yang akan ia lakukan selama di Singapura.. Tak ada yang mencolok di antara penumpang lain, Tapi kewaspadaannya tidak sedikitpun diturunkan. Ketika pesawat mulai lepas landas, ia mengatur napas, mencoba untuk rileks. Tapi, bayangan ancaman tetap menghantuinya. Meski begitu dari sadar bahwa inilah resiko yang harus ia jalani karena sudah berani berkonfrontasi melawan Baron.Sekitar satu jam setelah pesawat mengudara, Darren merasakan gerakan aneh dari kursi belakan
Darren menatap ponselnya yang berdering. Itu ponsel khusus yang ia gunakan sebagai Kemal. Nama Jeny, asisten pribadinya, muncul di layar. Tanpa ragu, ia menjawab panggilan itu.“Jeny, ada perkembangan?” tanya Darren dengan nada rendah namun tegas.“Pak Kemal, data kerugian yang diakibatkan oleh Baron dan anaknya sudah lengkap. Kami juga telah menyelesaikan proses penyitaan dan pengambilalihan perusahaan mereka di Singapura,” lapor Jeny dengan nada formal. “Namun, ada beberapa dokumen penting yang memerlukan tanda tangan Anda langsung. Hal ini mendesak, Tuan. Jika tidak dilakukan segera, ada kemungkinan Baron akan memindahkan sisa kekayaannya ke tempat lain.”Darren mengernyit. “Tidak bisakah hal ini diwakilkan? Saya sedang tidak bisa meninggalkan kota.”“Sayangnya tidak bisa, Tuan. Peraturan di Singapura cukup ketat. Anda harus datang langsung sebagai pemilik sah untuk menyelesaikan ini,” jawab Jeny dengan nada mendesak.Darren menghela nafas panjang. “Baiklah. Siapkan semuanya. Saya
Pagi itu, Keisha merasa tubuhnya sedikit lebih baik meski kepala masih berdenyut. Ia duduk di tempat tidur rumah sakit, berusaha memulihkan kekuatannya. Perempuan tegap yang menemani Keisha sebelumnya memasuki kamar dengan senyuman tipis di wajahnya."Selamat pagi, Keisha. Apa Anda merasa cukup kuat untuk berbicara hari ini?" tanya perempuan itu dengan nada lembut namun tegas.Keisha mengangguk pelan. "Saya akan mencoba. Apa yang ingin Anda tanyakan?"Perempuan itu menarik kursi dan duduk di sebelah tempat tidur. "Kami ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Anda. Dari awal hingga Anda ditemukan di lokasi kejadian. Ini akan sangat membantu kami."Keisha menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya. "Saya ingat, waktu itu saya bersama Kemal. Kami sedang berjalan di pusat kota, lalu tiba-tiba ada kerumunan besar. Saya kehilangan jejak Kemal dalam kerumunan itu. Saya panik dan mencoba mencarinya."Perempuan itu mencatat sesuatu di buku kecilnya. "Lalu, apa yang terjadi sete
Silvia menatap layar CCTV yang menunjukkan pertemuan orang yang memiliki wajah sama dengannya sedang berbicara dengan staf hotel yang menjadi tersangka. Ia terlihat tidak banyak bereaksi. Semua bukti itu tampaknya tidak cukup membuatnya terguncang. Akhirnya, ia mengangguk pelan dan mengucapkan kalimat yang sangat mengejutkan."Itu bukan saya," katanya sekali lagi, dengan nada lebih tegas. "Jika Anda melihat dengan benar, Anda akan tahu bahwa di CCTV itu, saya tidak terlihat jelas. Saya bisa membuktikan bahwa saat itu saya berada di kamar bersama Tuan Harrison, bukan di luar, anda bisa melihat cctv di jam yang sama di kamar suami saya. Dan mengenai percakapan itu, nomor handphone yang Anda tunjukkan bukan milik saya. Saya bahkan tidak tahu siapa yang bisa melakukan itu."Penyidik tampak semakin bingung. Mereka mengamati Silvia dengan cermat, mencoba mencari celah dalam ceritanya. Namun, tampaknya ia memang tahu bagaimana menjaga wajahnya tetap tenang, dan apa yang ia katakan terdengar
Di ruang interogasi yang terang, Nyonya Silvia duduk di kursi dengan sikap tenang, meski hatinya bergejolak. Polisi mengelilinginya dengan pertanyaan-pertanyaan tajam, mencoba mengungkap lebih banyak kebenaran. Meskipun ia tampak tenang, ada sesuatu dalam sorot matanya yang tidak bisa disembunyikan."Apakah hubungan Anda dengan Tuan Harrison baik-baik saja?" tanya seorang penyidik dengan suara datar. "Apakah Anda merasa tidak ada masalah di antara kalian berdua, mengingat kondisinya yang lumpuh bertahun-tahun?"Silvia menghela napas panjang, menatap penyidik dengan pandangan tegas. "Tentu saja. Kami selalu berusaha untuk tetap bersama. Saya sangat mencintai suami saya," jawabnya dengan suara yang penuh keyakinan. "Saya bersumpah akan merawatnya sampai akhir hayat saya, tidak peduli apapun yang terjadi."Penyidik mencatat jawaban itu, namun raut wajahnya tidak berubah. Dia mengamati setiap gerakan Silvia, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan."Apakah Anda merasa tidak ada keinginan u
Namun, sebelum Darren bisa melangkah lebih jauh, sebuah suara lembut menyapa dari belakangnya. "Darren?"Darren berbalik dan menemukan Silvia berdiri beberapa meter darinya. Wajah ibunya tampak tenang, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang lain."Ibu? Kenapa kau di sini?" Darren bertanya, mencoba menutupi rasa curiganya.Silvia mendekat dengan langkah perlahan. "Aku merasa tidak nyaman sendirian di kamar. Kau pergi begitu mendadak, jadi aku memutuskan untuk mencarimu."Darren mengerutkan kening. "Aku hanya memastikan keamanan. Kau seharusnya tetap di kamar bersama Ayah."Silvia tersenyum samar. "Tenang saja, Nak. Ayahmu aman. Tapi kau terlihat tegang. Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?"Darren memutuskan untuk tidak menunjukkan terlalu banyak. "Tidak ada, Bu. Hanya memastikan semuanya berjalan lancar."Silvia menatap putranya dengan tatapan yang sulit dibaca. "Kalau begitu, mari kita kembali ke kamar. Ayah membutuhkan kita berdua."Darren mengangguk, mengikuti Silvia kemba
Darren mengikuti langkah polisi menuju ruang interogasi. Sesekali, ia melirik Silvia yang berjalan di sampingnya, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tampak tulus. Namun, di dalam hatinya, Darren merasa ada sesuatu yang salah. Jika Silvia benar-benar terkejut dengan tuduhan ini, maka siapa yang sebenarnya berada di balik rencana pembunuhan terhadap ayahnya? Apakah Sofia benar-benar satu-satunya pelaku, ataukah ini lebih rumit dari dugaan awalnya?Sesampainya di ruang interogasi, polisi meminta Darren dan Silvia untuk duduk. Ruangan itu dingin dan steril, hanya dihiasi meja dan dua kursi di tiap sisi. Salah satu polisi membuka catatan di tangannya dan memulai pertanyaan.“Tuan Darren, dapatkah Anda menjelaskan jadwal Anda selama beberapa hari terakhir?” tanyanya dengan nada resmi.Darren menjawab dengan tenang, memberikan alibi yang sudah disiapkan. “Saya berada di Luar Negeri. Baru kali ini pulang, karena mendapat kabar keadaan ayah. Malamnya, saya langsung menuju rumah sakit untuk
Malam semakin larut, tetapi ketegangan di markas kecil tim Spy Eye tidak menunjukkan tanda-tanda mereda. Darren duduk dengan ekspresi serius di meja kerja, dikelilingi layar yang menampilkan data-data terbaru dari penyelidikan. Di seberangnya, Spy Eye berdiri dengan sikap ragu, seperti seseorang yang harus menyampaikan kabar buruk.“Maaf bos, ketegangan ini membuatku lupa menyampaikan informasi penting lainnya!” ucap Spy Eye“Apa maksudmu ada informasi penting yang belum kau sampaikan?” Darren menatap lurus ke arah mata Spy Eye, nada suaranya tegas.Spy Eye menarik napas panjang sebelum berbicara. “Maaf, Boss. Kami baru saja memeriksa ulang data latar belakang Ibu Anda. Silvia Harrison, atau Silvia Bara, adalah putri sekaligus pewaris keluarga Bara. Semasa mudanya, beliau pernah menjadi CEO dari perusahaan ayahnya. Perusahaan itu kemudian di-merger dengan perusahaan keluarga Harrison, hingga terbentuklah grup Anugerah Langit Corporation.”Darren mendengus pelan. “Itu bukan hal baru ba
Setelah pertemuan itu, Darren kembali ke ruang tunggu, memastikan ibunya tidak mencurigai apa pun. Saat ia tiba, Silvia tampak sedang berbicara dengan salah satu dokter, tetapi ekspresinya tetap tenang ketika melihat Darren mendekat.“Ada kabar baru?” tanya Silvia.“Tidak ada yang penting, Bu. Hanya beberapa hal administratif,” jawab Darren sambil duduk di sebelahnya.Namun, pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana. Di tempat lain di rumah sakit, tim Spy Eye sudah mulai bergerak. Seorang ahli kedokteran yang mereka kirim, Dr. Elaine, seorang dokter forensik dengan pengalaman luas, memasuki rumah sakit dengan identitas yang dirahasiakan.Dr Elaine mulai memeriksa Tuan Harrison. Dari pemeriksaan Darah, air liur, hingga yang lainnya yang diperlukan sudah diperiksa. Beberapa saat kemudian ia pun selesai melakukan pemeriksaan. Ia meminta Spy Eye mengajak Darren bertemu di luar.Sesaat kemudian, Spy Eye langsung menghubungi Darren. Ia menyampaikan keinginan dokter Elaine untuk bertemu. "Ba