Di dalam aula megah yang dipenuhi cahaya lampu kristal, Darren berjalan tenang di koridor menuju ruangan khusus. Keisha mendekatinya, masih dengan rasa penasaran yang mengganjal di hatinya."Pak Kemal," panggil Keisha pelan. "Boleh saya bertanya sesuatu?"Darren berhenti sejenak dan menatapnya. "Tentu, ada apa?"Keisha tampak ragu, tetapi akhirnya mengutarakan pertanyaannya. "Kenapa Anda menggunakan nama Kemal Harison? Bukankah Anda Kemal Halim? Saya jadi bingung, apa semua ini bagian dari strategi?"Darren tersenyum tipis, mengangguk. "Itu perintah langsung dari Tuan Darren Harison, pemilik Anugerah Langit Corporation. Dia berkata bahwa agar bisa masuk ke tempat ini harus menggunakan nama Harison."Keisha mengangguk perlahan, tampak puas dengan jawabannya. "Oh, begitu. Tuan Darren memang orang yang hebat. Kalau begitu, kami akan mendukung apapun rencana Anda."Dalam acara formal perusahaan, Keisha berusaha untuk tidak menunjukkan kedekatannya dengan Darren. Ia selalu berbicara dengan
Setelah sorak-sorai dan tepuk tangan menyambut Tuan Robinson, aula megah itu kembali sunyi. Sosok pria paruh baya berjas hitam dengan dasi perak berdiri di panggung utama. Wibawa dan kharismanya begitu kuat, membuat semua tamu menatapnya penuh hormat."Selamat malam, para tamu kehormatan," suara Robinson menggema, tenang namun penuh energi. "Saya merasa terhormat dapat menyambut Anda semua di acara yang istimewa ini. Hari ini adalah momen untuk saling berbagi, menjalin koneksi, dan menemukan peluang baru untuk kemajuan bersama."Para hadirin mendengarkan dengan seksama, sementara Robinson melanjutkan sambutannya dengan menyoroti pentingnya kolaborasi di dunia bisnis global."Acara malam ini juga menjadi kesempatan bagi kita untuk menunjukkan kepada dunia bahwa integritas, inovasi, dan kerja sama adalah kunci utama kesuksesan. Jadi, saya mengundang Anda semua untuk menikmati malam ini dengan penuh antusiasme, nikmati hidangan, dan manfaatkan waktu ini untuk bertemu dengan sesama profes
Pagi yang cerah di gedung pusat Anugerah Langit Corporation dipenuhi dengan suasana gembira. Para karyawan tampak lebih antusias dari biasanya, menyambut kedatangan Darren, yang masih dikenal sebagai Kemal. Ucapan selamat dan pujian mengalir deras dari berbagai divisi."Pak Kemal, selamat ya! Proyek besar itu pasti membawa keuntungan luar biasa bagi perusahaan," ujar seorang manajer pemasaran, sambil menjabat tangannya erat."Terima kasih. Keberhasilan ini adalah hasil kerja kita semua. Kerja keras semua unit," jawab Darren dengan senyuman ramah.Seorang karyawan dari divisi operasional menambahkan, "Jarang sekali kita punya atasan yang benar-benar mengapresiasi kerja tim. Terima kasih, Pak Kemal."Darren hanya mengangguk, menepuk bahu pria itu pelan. "Saya akan memastikan semua mendapatkan bonus jika proyek ini selesai dengan sukses. Ini kemenangan bersama, bukan hanya milik saya."Sorak-sorai kecil terdengar dari para karyawan yang berkumpul. Beberapa orang yang sebelumnya memandan
Pagi itu, suasana di gedung pusat Anugerah Langit Corporation berubah tegang begitu sosok Baron memasuki lobi utama. Pria berkemeja mahal dan jas yang rapi itu melangkah dengan penuh percaya diri, sementara pandangan tajamnya membuat para karyawan menunduk.Bisik-bisik mulai terdengar.“Kenapa Baron ada di sini?” bisik salah satu karyawan.“Apa dia datang untuk membuat masalah lagi?” sahut yang lain dengan nada khawatir.Seorang staf administrasi memberanikan diri bertanya pada rekannya, “Pak Kemal tahu dia datang?”“Saya rasa sudah ada yang memberitahunya,” jawab rekannya pelan.Sementara itu, Darren, yang sedang berada di ruangannya bersama Jeni dan Keisha, menerima kabar dari salah satu petugas keamanan bahwa Baron telah tiba. Darren tetap tenang, tetapi aura dingin mulai terpancar dari sorot matanya.“Dia benar-benar tak kenal lelah,” gumam Darren sambil berdiri dari kursinya.Keisha, yang duduk tak jauh dari Darren, tampak khawatir. “Apa kita perlu memanggil petugas keamanan tamb
Pagi itu, Baron menerima panggilan telepon dari Delon, yang suaranya terdengar penuh semangat di seberang sana."Baron, dengar kabar baik ini. Aku dan Tuan Albert akan terbang ke Jakarta minggu depan. Ada pertemuan penting dengan beberapa pejabat pemerintah terkait investasi besar. Ini kesempatanmu untuk bergerak." ucap Delon dalam panggilan telepon.Baron, tersenyum lebar. Ia kemudian menanggapi, "Kesempatan emas! Aku sudah menyiapkan rencana untuk memastikan proyek Naga Utama jatuh ke tanganku.""Bagus!” seru Delon. “Tapi ingat, jangan bertindak gegabah. Pastikan Tuan Albert tidak merasa dipaksa. Kau harus membuatnya berpikir bahwa proyek itu lebih baik berada di bawah kendalimu," ucapnya lagi."Tenang saja, Delon. Aku tahu cara bermain." sahut Baron dengan senyuman liciknya seraya menutup panggilan telepon.Seminggu kemudian...Di Jakarta, Tuan Albert dan Delon menginap di sebuah hotel mewah kelas atas. Setelah menyelesaikan pertemuan dengan sejumlah pejabat penting, keduanya kemba
Pagi itu, Baron duduk di ruang kerjanya yang luas dan mewah. Secangkir kopi yang masih mengepul diletakkan di atas meja kaca, tetapi ia sama sekali tidak memperhatikannya. Matanya terpaku pada layar laptopnya yang menampilkan sebuah artikel dari situs Bisnis Global News. Judul artikel itu membuat darahnya mendidih."Proyek Naga Utama Kembali ke Anugerah Langit Corporation."Tangan Baron mengepal keras, dan dalam kemarahannya, ia membanting meja dengan keras hingga kopinya tumpah."Ini tidak mungkin!" bentaknya, membuat sekretarisnya yang berada di luar ruangan terkejut mendengar suara keras itu.Baron segera meraih ponselnya dan menelepon Delon dengan penuh emosi. Setelah beberapa dering, Delon menjawab dengan suara lelah."Ada apa, Baron?" tanya Delon tanpa basa-basi."Ada apa? Kau serius bertanya itu?!" bentak Baron. "Kenapa proyek Naga Utama kembali ke Anugerah Langit Corporation? Bukankah kau bilang semuanya sudah final?!"Delon tertawa pahit di ujung telepon, nadanya penuh amarah
Baron mendekatkan ponselnya ke telinga, mendengar suara informannya dengan saksama."Tuan, informasi yang kami dapatkan menunjukkan bahwa Kemal Halim adalah lulusan S2 dari salah satu universitas ternama di Amerika. Ia berasal dari keluarga yang tidak mampu, dan yang lebih menarik, seluruh biaya kuliahnya ditanggung oleh Darren Harison."Baron mengerutkan kening, mengabaikan rasa terkejutnya sesaat. "Hanya itu?" tanyanya dengan nada tidak puas."Ya, Tuan. Tidak ada catatan istimewa lainnya selain fakta bahwa ia sangat dekat dengan Darren. Kami juga menemukan bahwa hubungan mereka seperti saudara, meski tidak ada hubungan darah."Baron terdiam sejenak, berusaha mencerna informasi itu. "Jadi, Kemal hanya seseorang yang dinaikkan derajatnya oleh Darren? Tapi kenapa dia mampu menjatuhkan Delon dan Albert dalam sekejap?"Informannya ragu-ragu sebelum menjawab. "Kami belum bisa memastikan, Tuan. Mungkin Darren yang membantu di balik layar."Baron menutup panggilan tanpa berkata apa-apa lagi
“Aaaa…”Nadine berteriak histeris, suaranya menggema hingga ke seluruh sudut rumah. Tangannya gemetar hebat, matanya terpaku pada kotak besar yang terbuka di atas kasur. Di dalam kotak itu, tergeletak sebuah kepala manusia, berlumuran darah, dengan ekspresi kaku yang penuh teror."Ayaahhh! Tolong!" jerit Nadine, jatuh terduduk sambil menangis.Baron yang sedang berada di ruang kerjanya segera berlari menuju kamar anaknya, diikuti beberapa penjaga rumah. Pintu kamar Nadine terbuka lebar, memperlihatkan putrinya yang pucat pasi dan menangis tanpa suara, menunjuk ke arah kasurnya."Ada apa?!" seru Baron panik. Namun, saat matanya menangkap isi kotak itu, tubuhnya membeku.Di atas kasur, kepala seorang pria berambut pendek tergeletak tak bernyawa. Wajah itu penuh darah yang sudah mengering, namun Baron langsung mengenalinya. Itu adalah kepala dari pemimpin kelompok Black Killer, tim pembunuh bayaran yang baru saja ia sewa untuk menyingkirkan Kemal."Black Killer..." bisik Baron dengan sua
Darren kembali ke rumah sakit di Jakarta dengan identitasnya yang sebenarnya. Penampilannya tetap rapi, mengenakan setelan jas hitam dengan dasi biru gelap, ciri khas seorang pria elegan pengusaha muda. Wajahnya masih ditutupi masker hitam hingga yang terlihat hanya bagian mata keatas.Ia melangkah masuk ke lobi rumah sakit dengan wajah dingin namun tegas, pengawal pribadinya mengikuti dari belakang. Para staf rumah sakit yang mengenalnya hanya mengangguk sopan, tidak berani menatap terlalu lama.“Bagaimana keadaan di sini sepeninggalku?” tanya Darren kepada salah satu pengawalnya. Suaranya pelan namun penuh tekanan, membuat siapa pun yang mendengarnya langsung merasakan pentingnya laporan yang akan diberikan.“Keadaan terkendali, Tuan Darren,” jawab pengawal itu dengan suara tenang. “Tidak ada insiden berarti selama Anda pergi. Namun, ada satu hal yang perlu Anda ketahui. Ibu Anda sering kali meminta kami untuk meninggalkan penjagaan. Namun, seperti perintah Anda, kami tidak pernah m
Darren duduk di ruang konferensi hotelnya yang mewah, memandang ke arah layar besar di depannya. Ruangan itu dihiasi dengan lampu gantung kristal dan dinding yang dihiasi dengan lukisan abstrak bernilai jutaan dolar. Spy Eye dan timnya telah mengumpulkan data dari insiden-insiden yang baru saja terjadi. Peta digital yang menampilkan Singapura dengan beberapa titik merah kini terlihat di layar."Apa yang kita punya sejauh ini?" Darren bertanya dengan nada tegas, tetapi tenang. Matanya yang tajam menyiratkan betapa seriusnya situasi ini.Spy Eye melangkah maju, membawa map berisi laporan. "Tuan Darren, setelah kami menganalisis kejadian di pesawat dan bandara, serta interogasi awal terhadap pria di taman, ada pola yang jelas. Semua serangan ini berasal dari sumber yang sama. Sepertinya ini bukan perbuatan Baron, tapi kekuatan yang lebih besar. Dan yang diincar adalah Kemal, tokoh di balik pergerakan ekonomi dan politik dunia, bukan Kemal, CEO Anugerah Langit Corporation."Darren mengang
Pagi Sekali Daren berangkat menuju Singapura. Ia melangkahkan kakinya dengan percaya diri menuju boarding gate di bandara internasional. Tanpa membawa pengawal ia pun melakukan aktivitas dengan sangat hati-hati dan waspada.. Perasaan tidak nyaman sudah menghantui sejak ia melewati pos pemeriksaan keamanan. Sesuatu terasa salah. Naluri tajamnya membisikkan bahwa ia sedang diawasi.Di dalam pesawat, Darren mengambil tempat duduk di kelas bisnis. Ia memilih kursi dekat jendela, memanfaatkan waktu untuk memikirkan semua rencana yang akan ia lakukan selama di Singapura.. Tak ada yang mencolok di antara penumpang lain, Tapi kewaspadaannya tidak sedikitpun diturunkan. Ketika pesawat mulai lepas landas, ia mengatur napas, mencoba untuk rileks. Tapi, bayangan ancaman tetap menghantuinya. Meski begitu dari sadar bahwa inilah resiko yang harus ia jalani karena sudah berani berkonfrontasi melawan Baron.Sekitar satu jam setelah pesawat mengudara, Darren merasakan gerakan aneh dari kursi belakan
Darren menatap ponselnya yang berdering. Itu ponsel khusus yang ia gunakan sebagai Kemal. Nama Jeny, asisten pribadinya, muncul di layar. Tanpa ragu, ia menjawab panggilan itu.“Jeny, ada perkembangan?” tanya Darren dengan nada rendah namun tegas.“Pak Kemal, data kerugian yang diakibatkan oleh Baron dan anaknya sudah lengkap. Kami juga telah menyelesaikan proses penyitaan dan pengambilalihan perusahaan mereka di Singapura,” lapor Jeny dengan nada formal. “Namun, ada beberapa dokumen penting yang memerlukan tanda tangan Anda langsung. Hal ini mendesak, Tuan. Jika tidak dilakukan segera, ada kemungkinan Baron akan memindahkan sisa kekayaannya ke tempat lain.”Darren mengernyit. “Tidak bisakah hal ini diwakilkan? Saya sedang tidak bisa meninggalkan kota.”“Sayangnya tidak bisa, Tuan. Peraturan di Singapura cukup ketat. Anda harus datang langsung sebagai pemilik sah untuk menyelesaikan ini,” jawab Jeny dengan nada mendesak.Darren menghela nafas panjang. “Baiklah. Siapkan semuanya. Saya
Pagi itu, Keisha merasa tubuhnya sedikit lebih baik meski kepala masih berdenyut. Ia duduk di tempat tidur rumah sakit, berusaha memulihkan kekuatannya. Perempuan tegap yang menemani Keisha sebelumnya memasuki kamar dengan senyuman tipis di wajahnya."Selamat pagi, Keisha. Apa Anda merasa cukup kuat untuk berbicara hari ini?" tanya perempuan itu dengan nada lembut namun tegas.Keisha mengangguk pelan. "Saya akan mencoba. Apa yang ingin Anda tanyakan?"Perempuan itu menarik kursi dan duduk di sebelah tempat tidur. "Kami ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Anda. Dari awal hingga Anda ditemukan di lokasi kejadian. Ini akan sangat membantu kami."Keisha menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya. "Saya ingat, waktu itu saya bersama Kemal. Kami sedang berjalan di pusat kota, lalu tiba-tiba ada kerumunan besar. Saya kehilangan jejak Kemal dalam kerumunan itu. Saya panik dan mencoba mencarinya."Perempuan itu mencatat sesuatu di buku kecilnya. "Lalu, apa yang terjadi sete
Silvia menatap layar CCTV yang menunjukkan pertemuan orang yang memiliki wajah sama dengannya sedang berbicara dengan staf hotel yang menjadi tersangka. Ia terlihat tidak banyak bereaksi. Semua bukti itu tampaknya tidak cukup membuatnya terguncang. Akhirnya, ia mengangguk pelan dan mengucapkan kalimat yang sangat mengejutkan."Itu bukan saya," katanya sekali lagi, dengan nada lebih tegas. "Jika Anda melihat dengan benar, Anda akan tahu bahwa di CCTV itu, saya tidak terlihat jelas. Saya bisa membuktikan bahwa saat itu saya berada di kamar bersama Tuan Harrison, bukan di luar, anda bisa melihat cctv di jam yang sama di kamar suami saya. Dan mengenai percakapan itu, nomor handphone yang Anda tunjukkan bukan milik saya. Saya bahkan tidak tahu siapa yang bisa melakukan itu."Penyidik tampak semakin bingung. Mereka mengamati Silvia dengan cermat, mencoba mencari celah dalam ceritanya. Namun, tampaknya ia memang tahu bagaimana menjaga wajahnya tetap tenang, dan apa yang ia katakan terdengar
Di ruang interogasi yang terang, Nyonya Silvia duduk di kursi dengan sikap tenang, meski hatinya bergejolak. Polisi mengelilinginya dengan pertanyaan-pertanyaan tajam, mencoba mengungkap lebih banyak kebenaran. Meskipun ia tampak tenang, ada sesuatu dalam sorot matanya yang tidak bisa disembunyikan."Apakah hubungan Anda dengan Tuan Harrison baik-baik saja?" tanya seorang penyidik dengan suara datar. "Apakah Anda merasa tidak ada masalah di antara kalian berdua, mengingat kondisinya yang lumpuh bertahun-tahun?"Silvia menghela napas panjang, menatap penyidik dengan pandangan tegas. "Tentu saja. Kami selalu berusaha untuk tetap bersama. Saya sangat mencintai suami saya," jawabnya dengan suara yang penuh keyakinan. "Saya bersumpah akan merawatnya sampai akhir hayat saya, tidak peduli apapun yang terjadi."Penyidik mencatat jawaban itu, namun raut wajahnya tidak berubah. Dia mengamati setiap gerakan Silvia, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan."Apakah Anda merasa tidak ada keinginan u
Namun, sebelum Darren bisa melangkah lebih jauh, sebuah suara lembut menyapa dari belakangnya. "Darren?"Darren berbalik dan menemukan Silvia berdiri beberapa meter darinya. Wajah ibunya tampak tenang, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang lain."Ibu? Kenapa kau di sini?" Darren bertanya, mencoba menutupi rasa curiganya.Silvia mendekat dengan langkah perlahan. "Aku merasa tidak nyaman sendirian di kamar. Kau pergi begitu mendadak, jadi aku memutuskan untuk mencarimu."Darren mengerutkan kening. "Aku hanya memastikan keamanan. Kau seharusnya tetap di kamar bersama Ayah."Silvia tersenyum samar. "Tenang saja, Nak. Ayahmu aman. Tapi kau terlihat tegang. Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?"Darren memutuskan untuk tidak menunjukkan terlalu banyak. "Tidak ada, Bu. Hanya memastikan semuanya berjalan lancar."Silvia menatap putranya dengan tatapan yang sulit dibaca. "Kalau begitu, mari kita kembali ke kamar. Ayah membutuhkan kita berdua."Darren mengangguk, mengikuti Silvia kemba
Darren mengikuti langkah polisi menuju ruang interogasi. Sesekali, ia melirik Silvia yang berjalan di sampingnya, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tampak tulus. Namun, di dalam hatinya, Darren merasa ada sesuatu yang salah. Jika Silvia benar-benar terkejut dengan tuduhan ini, maka siapa yang sebenarnya berada di balik rencana pembunuhan terhadap ayahnya? Apakah Sofia benar-benar satu-satunya pelaku, ataukah ini lebih rumit dari dugaan awalnya?Sesampainya di ruang interogasi, polisi meminta Darren dan Silvia untuk duduk. Ruangan itu dingin dan steril, hanya dihiasi meja dan dua kursi di tiap sisi. Salah satu polisi membuka catatan di tangannya dan memulai pertanyaan.“Tuan Darren, dapatkah Anda menjelaskan jadwal Anda selama beberapa hari terakhir?” tanyanya dengan nada resmi.Darren menjawab dengan tenang, memberikan alibi yang sudah disiapkan. “Saya berada di Luar Negeri. Baru kali ini pulang, karena mendapat kabar keadaan ayah. Malamnya, saya langsung menuju rumah sakit untuk