Baron mendekatkan ponselnya ke telinga, mendengar suara informannya dengan saksama."Tuan, informasi yang kami dapatkan menunjukkan bahwa Kemal Halim adalah lulusan S2 dari salah satu universitas ternama di Amerika. Ia berasal dari keluarga yang tidak mampu, dan yang lebih menarik, seluruh biaya kuliahnya ditanggung oleh Darren Harison."Baron mengerutkan kening, mengabaikan rasa terkejutnya sesaat. "Hanya itu?" tanyanya dengan nada tidak puas."Ya, Tuan. Tidak ada catatan istimewa lainnya selain fakta bahwa ia sangat dekat dengan Darren. Kami juga menemukan bahwa hubungan mereka seperti saudara, meski tidak ada hubungan darah."Baron terdiam sejenak, berusaha mencerna informasi itu. "Jadi, Kemal hanya seseorang yang dinaikkan derajatnya oleh Darren? Tapi kenapa dia mampu menjatuhkan Delon dan Albert dalam sekejap?"Informannya ragu-ragu sebelum menjawab. "Kami belum bisa memastikan, Tuan. Mungkin Darren yang membantu di balik layar."Baron menutup panggilan tanpa berkata apa-apa lagi
“Aaaa…”Nadine berteriak histeris, suaranya menggema hingga ke seluruh sudut rumah. Tangannya gemetar hebat, matanya terpaku pada kotak besar yang terbuka di atas kasur. Di dalam kotak itu, tergeletak sebuah kepala manusia, berlumuran darah, dengan ekspresi kaku yang penuh teror."Ayaahhh! Tolong!" jerit Nadine, jatuh terduduk sambil menangis.Baron yang sedang berada di ruang kerjanya segera berlari menuju kamar anaknya, diikuti beberapa penjaga rumah. Pintu kamar Nadine terbuka lebar, memperlihatkan putrinya yang pucat pasi dan menangis tanpa suara, menunjuk ke arah kasurnya."Ada apa?!" seru Baron panik. Namun, saat matanya menangkap isi kotak itu, tubuhnya membeku.Di atas kasur, kepala seorang pria berambut pendek tergeletak tak bernyawa. Wajah itu penuh darah yang sudah mengering, namun Baron langsung mengenalinya. Itu adalah kepala dari pemimpin kelompok Black Killer, tim pembunuh bayaran yang baru saja ia sewa untuk menyingkirkan Kemal."Black Killer..." bisik Baron dengan sua
Hari Senin pagi, satu minggu setelah Darren menunjuk Boby sebagai wakil CEO, Darren dan Jenny tiba di Surabaya. Keduanya memutuskan untuk menginap di sebuah hotel sederhana di tengah kota, dengan alasan untuk tetap menjaga penyamaran Darren sebagai "Kemal”. Mereka memesan dua kamar terpisah, dan Darren meminta sebuah ruang khusus di hotel itu untuk digunakan sebagai ruang kerja sementara.Sambil menyeruput kopi pagi di lobi hotel, Darren menatap Jenny yang sedang membolak-balik dokumen. Ia kemudian bertanya, “Jenny, jelaskan padaku perusahaan apa saja yang kita miliki di Surabaya.”Jenny mengangguk, lalu merapikan kacamatanya. "Ada lima anak perusahaan utama Anugerah Langit Corporation di sini. Yang pertama adalah jaringan hotel Anugerah yang sudah cukup terkenal. Lalu ada restoran keluarga di beberapa lokasi strategis, perusahaan pengembang perumahan, swalayan besar, dan terakhir aplikasi ojek online yang berkembang pesat di Jawa Timur."Darren mengangguk mendengarkan penjelasan itu.
Darren masih berdiri di depan pintu hotel ketika seorang wanita berpakaian rapi dengan blazer hitam keluar bersama seorang satpam lain yang wajahnya tampak cemas. Wanita itu memancarkan aura tegas, langkahnya cepat, dan matanya tajam mengamati sekeliling. Sesampainya di dekat Darren, wanita itu berhenti dan langsung menatap satpam yang tadi mencegat Darren."Selamat pagi, Bu Andini!" sapaan itu keluar dengan nada hormat dari Jaya, satpam yang tadi bersikap kasar pada Darren. Namun, nada suaranya terdengar gugup, seolah sudah merasakan ada sesuatu yang salah.Andini, wanita yang dipanggil itu, tidak membalas sapaan tersebut. Dengan wajah marah, ia langsung bertanya, “Mengapa kau memperlambat pekerjaanku dengan menghalangi mas ojol ini mengantar berkas penting untuk meeting hari ini? Apakah aku pernah membuat larangan untuk ojol masuk ke sini?”Jaya terlihat semakin pucat. Andini adalah manajer hotel di tempat ia bekerja itu. Ia tidak menyangka berkas yang dibawa ojol yang dia cegat tad
Malam itu, di ruang kerja hotel, Darren dan Jenny duduk di sofa panjang. Meja kecil di antara mereka dipenuhi berkas dan laptop yang masih menyala. Ekspresi Jenny menunjukkan kelelahan bercampur frustasi, sementara Darren tampak tenang, seperti memikirkan sesuatu yang besar."Masalahnya, Tuan Darren," Jenny memulai, menghela napas panjang, "aku tidak bisa langsung memecat Hardi atau staf lain yang terlibat. Aku butuh bukti konkret. Kalau aku asal bertindak, justru aku yang akan terlihat buruk di mata direksi."Darren menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap Jenny dengan senyum kecil. "Itulah kenapa kita harus memainkan permainan ini dengan cerdik. Kita biarkan mereka merasa aman. Saat mereka lengah, kita tangkap mereka dengan tangan di kue."Jenny mengernyit. "Maksudmu?""Aku yakin," Darren melanjutkan, "mereka akan mencoba melanjutkan kebiasaan buruk mereka malam ini. Terutama Hardi. Orang seperti dia tidak akan berhenti hanya karena diberi peringatan. Aku akan mengawasi mereka. Kalau
Malam itu, Darren melangkah masuk ke restoran megah bertuliskan “Anugerah International Resto” yang menjadi salah satu kebanggaan dari jaringan usaha Anugerah Langit Corporation. Ia mengenakan pakaian sederhana, mencoba melebur sebagai pelanggan biasa. Restoran ini terkenal di kota sebagai tempat makan eksklusif, tetapi belakangan Darren mendengar keluhan tentang praktik curang yang mencoreng nama baik perusahaan.Darren menatap interior restoran yang megah lampu gantung kristal, meja dengan taplak putih bersih, dan musik piano lembut yang memenuhi ruangan. Namun, kesan pertama ini tidak cukup menutupi rasa curiganya.Seorang pelayan dengan senyum sopan menghampiri. “Selamat malam, Pak. Boleh saya antarkan ke meja?”Darren mengangguk. “Tentu, tolong tempatkan saya di area yang agak ramai.”Pelayan mengarahkannya ke meja di tengah ruangan, tak jauh dari meja yang ditempati oleh sekelompok pelanggan yang tampak sedang berselisih.Tak lama setelah Darren memesan makanan, suara pertengkar
Esok paginya, Darren dan Jenny tiba di Anugerah Langit Cabang Surabaya, salah satu kantor yang dahulu dikenal sebagai aset paling gemilang dalam jaringan perusahaan mereka. Gedung itu masih tampak megah dari luar, tetapi ada aura kehampaan yang Darren rasakan begitu memasuki lobi. Staf resepsionis yang awalnya tampak santai mendadak menjadi tegang ketika melihat Darren dan Jenny memasuki ruangan.“Selamat pagi, Pak Kemal,” ucap Direktur cabang, Lukas, yang tampaknya telah diberitahu sebelumnya tentang kedatangan mereka. Wajahnya terlihat gugup, meski ia berusaha menyembunyikannya. “Kami sudah menyiapkan ruang rapat untuk Anda.”Darren mengangguk tanpa banyak bicara, hanya memberikan tatapan tegas yang membuat Lukas makin canggung. “Saya ingin semua pejabat kantor dari supervisor hingga manajer berkumpul dalam rapat pagi ini. Laporan absensi semua karyawan bawa dalam rapat untuk kita evaluasi!.”Lukas mengangguk bergegas, lalu memerintahkan stafnya untuk menyampaikan panggilan rapat. D
Tiga hari kemudian, Darren dan Jenny kembali ke kantor cabang Anugerah Langit Surabaya. Gedung itu tampak sama seperti sebelumnya, tetapi suasana di dalamnya tidak menunjukkan perubahan signifikan. Karyawan terlihat sibuk, namun tatapan mereka menyiratkan kekhawatiran. Setibanya di lantai manajerial, Darren segera memanggil Lukas ke ruang rapat.Begitu Lukas memasuki ruangan, wajahnya menegang. Darren menatapnya tajam dari kursi ujung meja. “Lukas, sudah tiga hari sejak peringatan terakhir saya. Namun, hari ini saya masih mendapati Nadine tidak berada di tempatnya. Apa kau tidak bisa mengurusnya?”Lukas tampak gelisah, mengusap peluh di dahinya. “Tuan Kemal, saya... saya sudah mencoba menghubunginya, tetapi…”“Cukup!” potong Darren dengan suara tegas. “Aku sudah memberimu kesempatan, sekarang aku tidak akan menerima apapun alasanmu!”Lukas tergagap, mencari kata-kata. “Pak... saya... saya tidak berani. Nyonya Silvia dan Baron sudah memperingatkan saya. Jika saya mencoba bertindak mela
Darren kembali ke rumah sakit di Jakarta dengan identitasnya yang sebenarnya. Penampilannya tetap rapi, mengenakan setelan jas hitam dengan dasi biru gelap, ciri khas seorang pria elegan pengusaha muda. Wajahnya masih ditutupi masker hitam hingga yang terlihat hanya bagian mata keatas.Ia melangkah masuk ke lobi rumah sakit dengan wajah dingin namun tegas, pengawal pribadinya mengikuti dari belakang. Para staf rumah sakit yang mengenalnya hanya mengangguk sopan, tidak berani menatap terlalu lama.“Bagaimana keadaan di sini sepeninggalku?” tanya Darren kepada salah satu pengawalnya. Suaranya pelan namun penuh tekanan, membuat siapa pun yang mendengarnya langsung merasakan pentingnya laporan yang akan diberikan.“Keadaan terkendali, Tuan Darren,” jawab pengawal itu dengan suara tenang. “Tidak ada insiden berarti selama Anda pergi. Namun, ada satu hal yang perlu Anda ketahui. Ibu Anda sering kali meminta kami untuk meninggalkan penjagaan. Namun, seperti perintah Anda, kami tidak pernah m
Darren duduk di ruang konferensi hotelnya yang mewah, memandang ke arah layar besar di depannya. Ruangan itu dihiasi dengan lampu gantung kristal dan dinding yang dihiasi dengan lukisan abstrak bernilai jutaan dolar. Spy Eye dan timnya telah mengumpulkan data dari insiden-insiden yang baru saja terjadi. Peta digital yang menampilkan Singapura dengan beberapa titik merah kini terlihat di layar."Apa yang kita punya sejauh ini?" Darren bertanya dengan nada tegas, tetapi tenang. Matanya yang tajam menyiratkan betapa seriusnya situasi ini.Spy Eye melangkah maju, membawa map berisi laporan. "Tuan Darren, setelah kami menganalisis kejadian di pesawat dan bandara, serta interogasi awal terhadap pria di taman, ada pola yang jelas. Semua serangan ini berasal dari sumber yang sama. Sepertinya ini bukan perbuatan Baron, tapi kekuatan yang lebih besar. Dan yang diincar adalah Kemal, tokoh di balik pergerakan ekonomi dan politik dunia, bukan Kemal, CEO Anugerah Langit Corporation."Darren mengang
Pagi Sekali Daren berangkat menuju Singapura. Ia melangkahkan kakinya dengan percaya diri menuju boarding gate di bandara internasional. Tanpa membawa pengawal ia pun melakukan aktivitas dengan sangat hati-hati dan waspada.. Perasaan tidak nyaman sudah menghantui sejak ia melewati pos pemeriksaan keamanan. Sesuatu terasa salah. Naluri tajamnya membisikkan bahwa ia sedang diawasi.Di dalam pesawat, Darren mengambil tempat duduk di kelas bisnis. Ia memilih kursi dekat jendela, memanfaatkan waktu untuk memikirkan semua rencana yang akan ia lakukan selama di Singapura.. Tak ada yang mencolok di antara penumpang lain, Tapi kewaspadaannya tidak sedikitpun diturunkan. Ketika pesawat mulai lepas landas, ia mengatur napas, mencoba untuk rileks. Tapi, bayangan ancaman tetap menghantuinya. Meski begitu dari sadar bahwa inilah resiko yang harus ia jalani karena sudah berani berkonfrontasi melawan Baron.Sekitar satu jam setelah pesawat mengudara, Darren merasakan gerakan aneh dari kursi belakan
Darren menatap ponselnya yang berdering. Itu ponsel khusus yang ia gunakan sebagai Kemal. Nama Jeny, asisten pribadinya, muncul di layar. Tanpa ragu, ia menjawab panggilan itu.“Jeny, ada perkembangan?” tanya Darren dengan nada rendah namun tegas.“Pak Kemal, data kerugian yang diakibatkan oleh Baron dan anaknya sudah lengkap. Kami juga telah menyelesaikan proses penyitaan dan pengambilalihan perusahaan mereka di Singapura,” lapor Jeny dengan nada formal. “Namun, ada beberapa dokumen penting yang memerlukan tanda tangan Anda langsung. Hal ini mendesak, Tuan. Jika tidak dilakukan segera, ada kemungkinan Baron akan memindahkan sisa kekayaannya ke tempat lain.”Darren mengernyit. “Tidak bisakah hal ini diwakilkan? Saya sedang tidak bisa meninggalkan kota.”“Sayangnya tidak bisa, Tuan. Peraturan di Singapura cukup ketat. Anda harus datang langsung sebagai pemilik sah untuk menyelesaikan ini,” jawab Jeny dengan nada mendesak.Darren menghela nafas panjang. “Baiklah. Siapkan semuanya. Saya
Pagi itu, Keisha merasa tubuhnya sedikit lebih baik meski kepala masih berdenyut. Ia duduk di tempat tidur rumah sakit, berusaha memulihkan kekuatannya. Perempuan tegap yang menemani Keisha sebelumnya memasuki kamar dengan senyuman tipis di wajahnya."Selamat pagi, Keisha. Apa Anda merasa cukup kuat untuk berbicara hari ini?" tanya perempuan itu dengan nada lembut namun tegas.Keisha mengangguk pelan. "Saya akan mencoba. Apa yang ingin Anda tanyakan?"Perempuan itu menarik kursi dan duduk di sebelah tempat tidur. "Kami ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Anda. Dari awal hingga Anda ditemukan di lokasi kejadian. Ini akan sangat membantu kami."Keisha menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya. "Saya ingat, waktu itu saya bersama Kemal. Kami sedang berjalan di pusat kota, lalu tiba-tiba ada kerumunan besar. Saya kehilangan jejak Kemal dalam kerumunan itu. Saya panik dan mencoba mencarinya."Perempuan itu mencatat sesuatu di buku kecilnya. "Lalu, apa yang terjadi sete
Silvia menatap layar CCTV yang menunjukkan pertemuan orang yang memiliki wajah sama dengannya sedang berbicara dengan staf hotel yang menjadi tersangka. Ia terlihat tidak banyak bereaksi. Semua bukti itu tampaknya tidak cukup membuatnya terguncang. Akhirnya, ia mengangguk pelan dan mengucapkan kalimat yang sangat mengejutkan."Itu bukan saya," katanya sekali lagi, dengan nada lebih tegas. "Jika Anda melihat dengan benar, Anda akan tahu bahwa di CCTV itu, saya tidak terlihat jelas. Saya bisa membuktikan bahwa saat itu saya berada di kamar bersama Tuan Harrison, bukan di luar, anda bisa melihat cctv di jam yang sama di kamar suami saya. Dan mengenai percakapan itu, nomor handphone yang Anda tunjukkan bukan milik saya. Saya bahkan tidak tahu siapa yang bisa melakukan itu."Penyidik tampak semakin bingung. Mereka mengamati Silvia dengan cermat, mencoba mencari celah dalam ceritanya. Namun, tampaknya ia memang tahu bagaimana menjaga wajahnya tetap tenang, dan apa yang ia katakan terdengar
Di ruang interogasi yang terang, Nyonya Silvia duduk di kursi dengan sikap tenang, meski hatinya bergejolak. Polisi mengelilinginya dengan pertanyaan-pertanyaan tajam, mencoba mengungkap lebih banyak kebenaran. Meskipun ia tampak tenang, ada sesuatu dalam sorot matanya yang tidak bisa disembunyikan."Apakah hubungan Anda dengan Tuan Harrison baik-baik saja?" tanya seorang penyidik dengan suara datar. "Apakah Anda merasa tidak ada masalah di antara kalian berdua, mengingat kondisinya yang lumpuh bertahun-tahun?"Silvia menghela napas panjang, menatap penyidik dengan pandangan tegas. "Tentu saja. Kami selalu berusaha untuk tetap bersama. Saya sangat mencintai suami saya," jawabnya dengan suara yang penuh keyakinan. "Saya bersumpah akan merawatnya sampai akhir hayat saya, tidak peduli apapun yang terjadi."Penyidik mencatat jawaban itu, namun raut wajahnya tidak berubah. Dia mengamati setiap gerakan Silvia, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan."Apakah Anda merasa tidak ada keinginan u
Namun, sebelum Darren bisa melangkah lebih jauh, sebuah suara lembut menyapa dari belakangnya. "Darren?"Darren berbalik dan menemukan Silvia berdiri beberapa meter darinya. Wajah ibunya tampak tenang, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang lain."Ibu? Kenapa kau di sini?" Darren bertanya, mencoba menutupi rasa curiganya.Silvia mendekat dengan langkah perlahan. "Aku merasa tidak nyaman sendirian di kamar. Kau pergi begitu mendadak, jadi aku memutuskan untuk mencarimu."Darren mengerutkan kening. "Aku hanya memastikan keamanan. Kau seharusnya tetap di kamar bersama Ayah."Silvia tersenyum samar. "Tenang saja, Nak. Ayahmu aman. Tapi kau terlihat tegang. Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?"Darren memutuskan untuk tidak menunjukkan terlalu banyak. "Tidak ada, Bu. Hanya memastikan semuanya berjalan lancar."Silvia menatap putranya dengan tatapan yang sulit dibaca. "Kalau begitu, mari kita kembali ke kamar. Ayah membutuhkan kita berdua."Darren mengangguk, mengikuti Silvia kemba
Darren mengikuti langkah polisi menuju ruang interogasi. Sesekali, ia melirik Silvia yang berjalan di sampingnya, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tampak tulus. Namun, di dalam hatinya, Darren merasa ada sesuatu yang salah. Jika Silvia benar-benar terkejut dengan tuduhan ini, maka siapa yang sebenarnya berada di balik rencana pembunuhan terhadap ayahnya? Apakah Sofia benar-benar satu-satunya pelaku, ataukah ini lebih rumit dari dugaan awalnya?Sesampainya di ruang interogasi, polisi meminta Darren dan Silvia untuk duduk. Ruangan itu dingin dan steril, hanya dihiasi meja dan dua kursi di tiap sisi. Salah satu polisi membuka catatan di tangannya dan memulai pertanyaan.“Tuan Darren, dapatkah Anda menjelaskan jadwal Anda selama beberapa hari terakhir?” tanyanya dengan nada resmi.Darren menjawab dengan tenang, memberikan alibi yang sudah disiapkan. “Saya berada di Luar Negeri. Baru kali ini pulang, karena mendapat kabar keadaan ayah. Malamnya, saya langsung menuju rumah sakit untuk