Di pagi buta Ivy meninggalkan kastil tanpa sepengetahuan William. Sengaja dia berjalan tanpa menaiki kuda atau pun kereta.
"Setelah keluar dari kawasan ini, aku akan mencari kereta."
Cukup jauh dia harus berjalan di pagi yang masih gelap. Sampai menuju sebuah desa yang berada bersebelahan dengan desanya. Mentari pagi mulai menunjukkan sinarnjya yang ceria. Ivy pun bergerak sangat cepat mencari kereta untuk bisa sampai di desa rumah Beatrix semula.
"Pak adakah seseorang yang memiliki kereta? Aku ingin menyewanya."
Tanpa menjawab sama sekali. Bahkan untuk menoleh pun lelaki ini tidak. Dai hanya menunjuk ke sebuah rumah. Tanpa berkata-kata lagi. Ivy langsung berjalan menuju rumah yang dimaksud lelaki itu.
"Hmmm, sepertinya pemilik rumah ini masih juga belum bangun. Mungkin aku harus tarik lonceng rumahnya lebih kencang," bisik Ivy.
Teng teng!
Terdengar suara seorang wanita yang berteriak padanya.
"Hei! Kalau kau mencari Br
Apa yang dikatakan oleh wanita tua itu. Bagaikan petir yang menyambar di siang bolong. Ivy teringat akan apa yang dikatakan oleh Jill. Serta ancaman William sewaktu di kamar Beatrix."Apakah memang William yang melakukan semua ini?" Suara Ivy terdengar lirih. Bryan berjalan mendekatinya."Apa ada suatu masalah Nona?""Ehhh, kita harus segera pulang. Antarkan aku pulang segera! Lewat pantai saja menuju kastil Edward Lily.""Kastil Tuan William?""Iya.""A-apakah Nona--"Lelaki itu menghentikan pertanyaannya. Lalu bersikap lebih kaku dan dingin pada Ivy. Tidak seperti semula."Mendengar aku tinggal di kastil. Kenapa kamu seperti orang yang ketakutan Bryan?""Tidak, Nyonya."Ivy tersungging dingin. Lalu terkikik menahan geli."Panggil saja aku Nona, Bryan. Dan satu hal lagi, jangan bersikap formal denganku. Di sini tidak ada siapa-siapa.""Saya tidak mau berurusan dengan Tuan William."Kali
William menyeringai sinis dan licik. Seraya salah satu tangan, bergerak membuka pengait jendela."Kalian tidak akan bisa mempermainkan aku. Yang ada aku akan permainkan mereka semuanya."Embusan asap cerutu, membubung tinggi. Melayang mengikuti arah angin yang membawanya pergi. Senyum tipis yang menghiasi wajah tampan William. Membuat lelaki ini semakin terlihat kejam."Kita lihat saja!" Suara William terdengar lirih, dengan senyum sinis yang mengembang.Tiba-tiba ...."Tuan ... Tuan William!" teriak Ester dengan raut wajah yang sangat tegang.Sontak membuat William geram padanya."Kenapa kamu berteriak seperti itu?""Tuan William! Nyonya Floy ... coba Tuan lihatlah Nyonya Floy.""Memangnya kenapa dia?""Dia berdarah sangat banyak. Dan terus berteriak Tuan.""Lantas, kamu memanggil aku?"Ester bagai tercekat. Tak bisa berkata apa-apa lagi. Melihat William yang tak peduli soal Beatrix Floy.
Terdengar suara Beatrix Floy yang menggema ke seluruh lorong lantai tiga. Bahkan sampai ke lantai dasar. Bergegas Jill Anne dan yang lainnya berlarian menuju kamar Beatrix. "Ada apa ini Ester?" tanya Jill Anne terlihat panik. "Nyonya Floy mengalami pendarahan hebat, Nyonya Jill." "Apa? Pendarahan?" Tiba-tiba Sofia dan Sherley sudah berdiri di belakang Jill. Tak lama, Laurice pun datang menghampiri mereka. "Ada apa ini? Apakah tadi suara Floy?" Pandangan matanya melotot ke arah mereka. "Apa yang terjadi sama Floy?" "Dia mengalami pendarahan, Laurice," sahut Jill Anne. "Bagaimana bisa?" Jill Anne memejamkan mata. Sembari menarik napas dalam. Lalu, berjalan memasuki kamar Beatrix. Tampak Brianna, Chloe dan Ivy sudah ada di sana. Tanpa banyak bicara, Jill Anne langsung menarik lengan Brianna, keluar kamar. "Ada apa Nyonya Jill yang terhormat? Anda sudah menarik lengan saya dengan sangat kasar!" tegas Brianna menunjukk
Pintu kamar dibuka dengan lebar. Dia berjalan mendekati Jill Anne yang sudah mengenakan pakaian tidur dan berbaring di ranjang."Ada apa, Ester?""Nyonya Ivy ingin bertemu dengan Nyonya. Sepertinya sangat penting sekali."Jill Anne memicingkan mata. Menatap tajam pada Ester yang juga tengah melihat ke arahnya."Sangat penting? Ini tentang apa Ester?""Maafkan saya Nyonya Jill. Saya juga kurang tahu."Sejenak Jill Anne berpikir."Suruhlah dia masuk!"Langkahnya bergerak cepat. Dan menghampiri Ivy di luar kamar."Silakan masuk Nyonya Ivy!""Terima kasih, Ester."Melihat Ivy yang berjalan mendekati ranjangnya. Jill pun duduk bersandar pada tumpukan bantal."Tutuplah kembali pintunya, Ester!""Baik, Nyonya."Lalu pandangan Jill beralih pada Ivy yang terlihat serius."Duduklah! Ada apa Ivy?""Aku sudah mengikuti saran kamu. Dan mencari tahu siapa lelaki yang menjadi kekasih Flo
Cumbuan dan rayuan William semakin menenggelamkan Ivy dalam pesona lelaki tampan itu. Setelah saling mendapatkan klimaks yang bergelora. William duduk bersandar, sembari memmainkan jemari tangan Ivy."Sayang, apa yang kamu lakukan di luar sana kemarin?"Tiba-tiba pertanyaan William begitu menohok jantungnya."M-maksud kamu apa Sayang? Aku enggak ada ke mana-mana."Mendapat jawaban yang tidak jujur. William menahan amarahnya. Dengan tidak sabar, dia merenggut dagu Ivy. Serta menarik rambutnya yang ikal."Jangan pernah sekali pun kamu berbohong sama aku!""A-aku enggak bohong," tegas Ivy."Apa aku harus bilang Ivy? Atau aku perlu menampar kamu dulu, baru kamu mau bilang ... haaahhh?"Seketika Ivy terdiam. Dengan menahan gelora amarah yang memuncak. William terus mengintimidasi Ivy."Kamu masih ingin berbohong?""Aaaahhhh! Sakit William!""Aku akan lepaskan asal kamu bilang dulu!""Baik, aku
Perlahan dia mendorong pintu besar yang ternyata tidak dikunci. Langkahnya berjingkat mendekati ranjang. Sepintas dia memandanga wajah manis dan eksotis. Yang selalu dia puja. Entah saat ini?Tanpa banyak gerakan dan bicara. William langsung menindinh tubuh itu. Membekap mulut sang wanita dengan bibirnya. Sontak sang wanita terbangun dan terbelalak. Saat melihat wajah William sudah merapat di wajahnya. Bahkan bibir mereka saling bertaut."Erghhh ... erghhh!""Diamlah kau, Jill!"Melihat William yang sudah berada di atas tubuhnya. Sekuat tenaga Jill mendorong sang suami. Bahkan dia terus meronta dan berteriak."Pergi Kamu!""Teriaklah sekencang mungkin. Tidak ada seorang pun yang berani datang ke sini. Apalagi aku sudah mengunci pintu, Jill.""Apa kamu belum puas juga dengan para wanita kamu itu? Kenapa masih ingin meluapkan hasrat bersamaku?"William memegang erat kedua tangan Jill hingga ke atas kepal
"Coba saja Jill. Yang ada dirimu akan makin tersiksa. Aku akan semakin membuat dirimu menderita!"Terdengar tawa William yang berlalu meninggalkan kamar Jill Anne. Deru napas Jill, semakin memburu. Dia segera turun dari ranjang. Dan pergi ke kamar mandi. Membersihkan noda yang telah ditinggalkan suaminya itu."Siapa yang saat ini berada di pihakku? Apa yang dikatakan William memang benar! Mereka begitu terpikat dan mencintai William. Siapa yang bisa aku ajak kerja sama selain Sofia dan Sherley?" gumam Jill Anne.Tampak Jill sedang berpikir keras. Entah rencana apa yang akan dia susun untuk sang suami. Yang telah membuat dirinya tak berkutik._Kamar Beatrix_Wanita cantik dengan hidung agak pesek. Terdengar merintih lirih. Dia masih terlihat kesakitan di bagian perut dan kewanitaannya.Raut wajahnya pucat dengan bibir yang mengering menahan sakit."Kamu sudah oke Floy?" tanya Ivy yang duduk di sebalahnya. Betarix hanya menggeleng
Jill Anne langsung mendorong Ivy dan menerjang dengan kuat. Sampai membuat Ivy mundur beberapa langkah. Hingga tubuhnya terdorong sampai membentur dinding kamar."Aaaahhh! Sakit, Jill!" Tampak Ivy terduduk di lantai.Langkah Jill berjalan mendekatinya. Dia menarik kerah leher baju tidur Ivy. Hingga dia terangkat berdiri."Bila kau berada di kubu William, kau akan celaka dan menyesal!" sentak Jill."Sepertinya kau mengancam aku, Jill?" serang Ivy nyalang. Lalu kedua tangannya bergerak mendorong ke arah Jill.Bugghh!Membuat cengkeraman tangan Jill pada kerah baju Ivy terlepas. Dan langkahnya terhuyung ke belakang."Hentikan! Keluarlah kalian kalau ingin bertengkar. Jangan di kamarku!" Suara Beatrix yang masih lemah dan parau sangat memaksa dirinya untuk melarang mereka. Tangannya bergerak ke atas mengarah pada pintu kamar."Keluarlah kalian semua!"Jill Anne langsung berjalan keluar. Tidak dengan Ivy. Yang masih berdiri t
"Memangnya apa yang bisa aku lakukan?""Kamu ikuti prosedur mereka. Kami ingin tahu sampai sejauh mana William terjerat. Kasus ini saksinya hanya kamu, Sherley!""Tapi, aku tak melihat penembaknya. Bahkan sosok posturnya aku mulai sedikit lupa."Sampai Sherley teringat pada seseorang, si pemberi surat dari Angle White."Aku baru ingat!""Apa?" Jill meanatap tajam."Aku jadi ingat sama sosok si pengantar surat. Menurut aku perawakannya mirip penembak itu, cuman aku masih ragu.""Kamu jangan asal menebak, Sherley. Akan sangat berbahaya buat kamu. Sebaiknya kita fokus pada William."Sherley tertegun sejenak.'Kenapa Jill mengalihkan pembicaraan ini? Apa dia sudah punya rencana lain?"Buru-buru Sherley mendekati dan menarik lengannya sedikit menjauh dari Laurice dan Beatrix."Ada apa Jill?""Maksud kamu?""Apa yang kamu sembunyikan dari aku? Aku sangat tahu kamu, pasti kamu sedang mere
Tiba-tiba .... "Tidak salah sama sekali!" sahut Beatrix yang sudah berdiri di ambang pintu. Mmebuat mereka bertiga tersentak. "Kamu ... menguping?" sentak Jill geram. Dengan tenang dan santai, Beatrix menutup pintu kamar. "Tenanglah, Jill. Kalau dalam hal ini, aku sepakat denganmu. Kapan niat itu akan kamu lakukan?" Jill masih terlihat tegang dengan kedatangan Beatrix, hal yang tidak dia duga sebelumnya. "Percayalah sama aku. Tidak mungkin aku akan bocorkan perihal ini. Karena semenjak kejadian menyakitkan itu, aku membencinya." Sepertinya Jill bisa mempercayai Beatrix. "Baiklah kalau begitu. Kita akan menunggu apa yang akan dilakukan Lady Rose. Apa benar dia mampu membuat William benar-benar mengusir kita dari sini." "Dan pastinya menceraikan kamu, Jill," sahut Laurice. "Kalau itu sampai terjadi, kita akan keluar tanpa apa pun. Ingat juga, keluarga Lady rose suaranya masih didengar pihak kerajaan,
"Mungkin, ada baiknya kamu ikuti saran dari surat itu. Siapa tahu Abel benar-benar mencintai kamu?"Sherley hanya tersenyum masam."Entahlah? Aku pun tidak bernapsu untuk mendapat cinta dari siapa pun.""Termasuk William? Tampaknya kamu telah tergoda padanya.""Dia terlalu banyak memiliki wanita. Sulit untuk bisa setia. Aku tak mau dan tak ingin hidup seperti kamu, Jill. Menderita!"Jill Anne hanya menyeringai dengan mengangkat sudut bibirnya."Itu William sudah menemui mereka. Aku hanya ingin kamu segera bebas dari permasalahan ini."Dari arah atas, terdengar suara Laurice memanggil mereka."Jill!"Kedua wanita menghentikan langkah, dan melihat pada Laurice yang berlari kecil mendekat."Ada apa ini?""William ada tamu dari para penyidik mengenai kasus penembakan Darriel.""Apa?! Ta-tapi tidak mungkin 'kan William melakukannya?""Semoga speerti itu, Lau. Kenapa? Kamu speertinya sangat ke
"Masih menduga?""Iya, karena belum terbukti apa pun. Mereka sama sekali tidak memiliki bukti tentang keterlibatan kamu.""Aku memang tidak melakukannya, Sherley!" tegas William.Jill Anne yang mendengar percakapan mereka menghampiri."Kalau aku boleh saran padamu. Sebaiknya kamu kasih ijin pada mereka, karena memang kamu bukan pelakunya. Jika kamu mempersulit, pasti mereka merasa benar atas dugaan selama ini."Sejenak William memikirkan perkataan Jill, tanpa berpikir panjang lagi. Sherley melirik padanya. Seolah mempertanyakan, saran Jill Anne yang bisa semakin menjebak William."Baiklah kalau begitu saran kamu, Jill. Aku yakin kamu masih peduli padaku.""William, tunggu!" Lady Rose mendekat. "Saran Jill itu gila! Buat apa kamu mengikuti mereka. Kamu 'kan punya kuasa.""Ahhh ... para bangsawan itu, mana ada yang peduli denganku, Rose. Mereka hanya memandang Jill Anne, yang pintar dan berduit, dari pada diriku!"
Sepertinya William sudah tidak sabar menghadapi Sherley, yang menurutnya terus mengelak. Tangan kanan bergerak mencengkram lengan kiri Sherley kuat-kuat. Sampai membuatnya tersentak, karena sakit. "William!" sentak Jill Anne. "Tidak perlu kamu kasar begitu padanya!" "Wowww, kalian juga saling membela seperti ini? Ini hal yang sangat menarik, Jill," celetuk Lady Rose dengan senyum yang masam. Dalam waktu bersamaan, Jill Anne mendekati wanita itu. Dia mendorong kuat tubuhnya sampai hampir terjungkal. "Sekali lagi kamu ikut campur urusan kami, aku bungkam sendiri mulut kamu!" bentak Jill. Namun, ancaman itu semakin membuat Lady Rose tertawa. "Silakan kalau berani kau Jill Anne!" Sudut bibirnya menyungging, seakan mengajak Jill Anne untuk terus melanjutkan pertengkaran di antara mereka. Kesal dengan sikap Lady Rose, yang semakin mengejek. Tak segan Jill Anne menerjang tubuhnya, hingga kedua wanita bangsawan itu terhempas ke lantai.
Tiba-tiba,"Jill ... Jill!"Sontak Ester dan Jill berbalik dan memperhatikan sosok Sherley yang tersengal-sengal."Apa ... ada kejadian baru?""A-ada Nyonya. Sekarang juga Tuan William sedang menunggu Nyonya Sherley." Tampak Ester benar-benar khawatir."Kenapa dia mencari aku?" Sherley terlihat tegang."Hemmm ... kamu harus berhati-hati, Sherley. Aku takut kalau William mencurigai kamu soal ini.""Baik, Jill. Ester, di mana William menunggu aku?""Di lantai bawah, Nyonya.""Baik aku akan ke sana juga."Bergegas Sherley menuruni beberapa anak tangga. Dia tak ingin sampai William tahu ini adalah perbuatan dirinya. Melihat keaaan yang smekain runyam, Jill pun mengekori Sherley."Sherley, tunggu!"Wanita itu hanya menoleh dan meneruskan langkahnya."Ada apa, Jill?""Berhati-hatilah, William saat ini sedang didukung oleh Lady Rose. Dia sangat berbahaya, dan mampu membalikkan keadaan de
"Maksudnya?""Dia ingin memeriksa seluruh isi kamar. Dalam isi surat ini juga dijelaskan kalau aku menyimpan bukti untuk kasus pembunuhan.""Pembunuhan?" Kedua matanya melotot, seolah tidak percaya dengan apa yang terjadi. "Kamu ... bicara serius?""Iya, Rose. Dalam surat ini sangat jelas mengetakannya.""Ta-tapi, William?" Rose manatap tajam pada lelaki tampan itu. "Bagaimana bisa mereka ingin mencari barang bukti di dalam kamar kamu? Pasti ada seseorang yang memang sengaja menjebak kamu, William.""Kita akan lihat nanti, Rose."William terlihat tenang."Ester!" teriak William kencang.Wanita berkulit hitam, berlari mendekat."Iya, Tuan. Ada apa?""Di mana Sherley?""Nyonya Sherley, sepertinya masih tidur di kamar.""Panggil dan suruh kemari, cepat!""Ba-baik, Tuan."Bergegas Ester keluar kamar, dan menuju lantai dua. Dia berjalan cepat menapaki beberapa anak tangga. Sampai
"Baiklah, apa kamu akan langsung pulang?""Iya, setelah ini Abel. Bolehkah?" Lelaki itu hanya manggut-manggut.Selesai menemani Abel makan, Sherley pun berpamitan hendak pulang."Terima kasih atas semua bantuan kamu. Kuharap kamu bisa membantu aku terbebas dari ini semua.""Iya, Cantik. Aku akan upayakan semuanya.""OKe, aku pulang ke kastil. Aku tidak mau ada dugaan dari William, kalau aku yang melakukan pelaporan semua ini." Abel hanya manggut-manggut.Sheerley pun segera naik kereta yang telah menjemput dirinya. Tangannya melambai pada Abel dengan senyum lebar mengarah padanya."Tolong kamu percepat keretanya!""Baik, Nyonya."Tapak kuda mulai berlari kencang. Sherley berharap bahwa kedatangannya tidak membuat curiga William dan juga yang lain._Kastil Lily Edward_Salah seorang pelayan menyampaikan pada Ester jika ada seorang tamu."Tamu dari mana?""Ini suratnya, Ester."
"Berarti semua aman 'kan?""I-iya, aman semuanya."Abel menghempaskan tubuhnya di sebelah Sherley."Mereka baru saja berangkat ke kastil. Kita lihat nanti hasilnya bagaimana.""Apa ... menurut kamu semua ini akan lancar? Jujur, aku takut Abel."Lelaki kharismatik itu, menyudutkan pandangannya hingga membuat matanya menyipit."Kamu takut apa?""Pastinya kamu tahu, siapa seorang William ini?""Hemmmm, karena itu saja?""Iya, karena hal ini saja sudah membuat kepalaku pusing. Aku tinggal satu atap dengannya, dia yang memberikan penghidupan buat aku. Andai dirimu menjadi aku bagaimana?""Aku mengerti yang kamu rasakan ini, Sherley. Kalau memang kamu bukan seperti yang dituduhkan, kurasa kamu tenang saja. Tidak perlu mengkhawatirkan tentang William.""Apa, menurut kamu tahu bahwa aku yang memberikan bukti-bukti itu?"Abel Griffin menghela napas panjang."Iya! Kurasa cepat atau lambat pasti akan men