Follow dan subscribe dulu ya ceritanya...
Btw Mak... Yang masih berkenan lanjut session tiga ya yuck lanjut! Yang udah gak berkenan baca boleh skip aja 🥰🥰🥰Happy reading! Ini hari pertamaku tinggal di rumah Kang Wawan. Ternyata rumahnya tidak seburuk penampilannya. Sepertinya istrinya Kang Wawan memiliki gaji cukup besar sehingga bisa membuat rumah yang lumayan. Rumah ini cukup besar untuk seukuran rumah di perkampungan. Aku bebas sekarang, setidaknya sampai istrinya Kang Wawan pulang dan aku mendapatkan suami kaya yang baru. Daripada aku harus tinggal di rumah bersama Sabar dan Istrinya yang menyebalkan. Di sini sepertinya lebih baik buatku. Reni pun bisa leluasa bermain. “Teh, ayo!” Kang Wawan membukakan pintu untuk kami. Aku menggendong Reni masuk. Sementara Kang Wawan membawakan pakaian kami.“Yang depan ini kamar saya sama Esih! Teteh tidur di kamar yang tengah saja ya!&rdPov 3"Heyyy!"Bu Haminah menghentikan langkahnya dan menoleh ke asal suara. Terlihat wanita yang tadi memakinya tengah berkacak pinggang. Satu tangannya memegang ponsel yang masih menyala.Dia mengarahkan kamera ponselnya ke arah wajah Bu Minah. Wanita itu berteriak dengan cukup keras."Esih! Lihat itu! Kamu selalu bilang Kang Wawan lelaki baik dan gak mungkin khianati kamu! Itu buktinya apa?! Lihat wanita itu istrinya Kang Wawan yang baru!"Wajah Bu Minah memucat. Dia memalingkan muka dan berjalan menjauh dari tetangganya yang masih mengoceh. Rupanya wanita itu sedang melakukan panggilan video dengan istri pertamanya Pak Wawan.Bu Minah segera masuk ke dalam rumah. Hatinya masih deg-degan. Bagaimanapun kejadian serupa pernah di alaminya. Kejadian yang membuat dia keh
Seorang wanita yang disebut Bi Isah itu sudah berdiri di depannya. Pakaiannya serba ketat sudah seperti mau senam aerobic. Dia hanya memakai celana lejing dengan kaos ngepas di badan. Wajahnya berwarna, bukan cantik kesannya tetapi lebih pada berlebihan. Bibir merah menyala, di atas kelopak mata memakai eyeshadow hijau terang.Resti tertegun melihat perawakan orang yang akan menjadi ART-nya. Namun suara Mpok Inem membuyarkan pikirannya.“Neng, ini Bi Isah … umurnya sih baru 30 tahun, dia udah punya anak tiga! Yang pertama anaknya usia 12 tahun, yang kedua delapan tahun dan yang paling bontot baru enam tahun,” ucap Mpok Inem lagi.“Saya Resti, mari masuk Bi!” Resti mempersilakan pembantu rumah tangganya yang baru. Bi Isah langsung di ajak Mpok Inem ke dalam.
Bu Minah melengos pergi meninggalkan lelaki paruh baya yang sedang memijat kepala. Sebetulnya istrinya---Esih memintanya untuk keluar dari rumah itu jika masih mempertahankan Bu Minah sebagai istrinya. Namun dia kembali tidak tega ketika mendengar jawaban Bu Minah yang bersikukuh untuk mempertahankan pernikahannya. Dia menatap punggung Bu Minah menjauh.“Enak saja nyuruh cerai, saya gak akan mau cerai sebelum bisa menikmati uang yang kamu kirimkan Esih!” batin Bu Minah sambil tetap melanjutkan langkah menuju rumah Winda.Setibanya di sana dia kembali berbaur dengan ibu-ibu di dapur. Sementara mulutnya mengoceh berbicara, tangannya sesekali mengamankan makanan dan memisahkannya.Menjelang sore acara di mulai. Dia dan beberapa tetangga masih di sana. Membungkuskan bingkisan untuk semua peserta pengajian. Dalam tiap plastik itu ada satu box nasi lengkap dengan lauk pauknya ditambah air mineral serta
“Sudah, gak usah banyak tanya … sekarang kemasi barang-barang kalian dulu! Kalian harus pergi secepatnya dari rumah ini! Saya gak mau menyambut Esih dengan keadaan seperti ini! Hatinya pasti terluka!”“Terus kami tinggal di mana Kang?”Wajah Bu Minah memelas sambil mengiba pada Pak Wawan. Namun lelaki itu malah meninggalkannya ke dalam dan mengeluarkan koper milik Bu Minah.“Kalau Teteh gak mau beresin, biar saya aja yang beresin!”“Eh, bentar atuh, Kang! Saya bisa beresin sendiri!”Bu Minah mengejar suaminya yang sudah mengeluarkan koper dan menuju kamarnya. Dia mengambil koper itu dari tangan suaminya.“Sekarang saya beresin semua barang ini, tapi saya gak mau bercerai sama Akang! Bantu saya atuh, Kang! Nanti mantan suami saya ngambil Reni lagi dari saya!” Wajah Bu Minah memelas. Pak Wawan
Dua belas tahun kemudian.“Dinda, kita nebeng ya!” ucap Reni sambil menyenggol lengan Dinda.“Emang mau pulang ke mana? Ke rumah ayah kamu lagi?” tanya Dinda---gadis cantik yang tinggi semampai dengan rambut tergerai indah.“Iya, tapi Tiara lagi gak bawa mobil. Dia naik angkutan umum! Aku males lah!” Gadis berseragam putih abu itu melirik ke arah Tiara---saudara tirinya yang tengah mengikat rambutnya.“Ren, Ren! Kamu tuh ya! Kan kata ayah kita harus terbiasa hidup dalam semua kondisi! Jangan hanya ingin hidup enak, hidup senang, kita juga harus belajar hidup susah!” ucap Tiara sambil menghampiri kedua orang itu. Rambutnya sudah rapi terikat ekor kuda.“Kamu tuh bilang gitu, enak! Selama ini hidup dengan fasilitas lengkap ayah! Kamu yang belum merasakan hidup susah! Aku sampai saat ini hanya tinggal di kontrakan petakan
Satu komplek kontrakan itu dihebohkan dengan kejadian malam itu. Beberapa warga yang mengenal Pak Dermawan langsung menghubunginya. Reni terisak karena takut dan gemetar atas teriakan dan makian beberapa warga. Mereka di giring ke rumah pemilik kontrakan. Ibu pemilik kontrakan langsung menghubungi Bu Minah yang baru saja tiba di kota kenangan. Wanita itu akhirnya langsung kembali malam itu juga. Warga masih berkerumun menonton dua manusia yang masih berpakaian alakadarnya. Tidak lama Pak Dermawan datang. Lelaki berwajah teduh itu berkali-kali menarik napas panjang. Rasa pedih, kesal dan kecewa bercampur menjadi satu. “Ren! Setega ini kamu mempermalukan ayah?” lirih Pak Dermawan. Dia mendudukan tubuhnya di kursi rotan milik ibu kontrakan. “Maafin Reni, Yah!” Ditengah isaknya, gadis itu masih sempat meminta maaf. “Ayah kecewa sama kamu, Ren! Sia-si
"Reni, Kamu ngabisin gula Mbak lagi ya?” teriakku dari dapur.“Ya elah, Mbak! Gula doang pelit amet!” Kudengar adik iparku menyahut dari dalam kamarnya.Aku hanya menghela nafas. Kebiasaan buruknya sepertinya sudah melekat. Setiap kali kuhabis belanja bulanan maka sebagian bahan makanan akan berpindah pada toples yang dia simpan di kamarnya. Gula, kopi, teh, susu dalam sekejap semua akan tinggal setengah. Padahal aku tidak pernah membatasinya yang penting bekasnya dirapikan kembali dan tetap disimpan di dapur yang bisa di akses bareng-bareng. Jika barang-barang itu sudah masuk ke dalam kamarnya maka pantang untuk keluar lagi.Semenjak Ali menikah dengannya dan mengajaknya tinggal di rumah ini semua menjadi serba sulit. Dia bukan hanya tidak pandai menitipkan diri, tetapi aji mumpung. Semenjak mereka di sini kebutuhan harian meningkat dua kali lipat.Selain itu, hal yang pali
"Ren, kamu yang sopan, ya! Jangan menguji batas kesabaran Mbak! Kalau sudah gak nyaman dan gak bisa ikut aturan, silakan pergi dari rumah ini!” Teriakku di depan kamarnya.Tidak ada sahutan yang terdengar. Rupanya dia masih takut juga jika kuusir. Aku segera berlalu menuju teras. Tehku sudah menghangat rupanya. Baru satu biskuit yang kuhabiskan tiba-tiba Bu Marni pedagang pakaian keliling datang.“Assalamu’alaikum, Mbak Rumi!” ucapnya dengan senyuman merekah.“Wa’alaikumsalam! Jualan, Bu Mar?” sapaku ramah sambil menarik satu kursi untuknya.“Iya ... saya di sini aja duduknya, Mbak Rum,” ucapnya sambil memilih duduk di lantai dan menggelarkan dagangannya.“Ayo, dipilih pakaiannya ada model terbaru nih, yang ini daster yang lagi musim lho, terus kalau yang ini pakaian tidur kekinian, biar suami betah, Mbak!&rdqu
“Reni!” teriakku.Langkahnya terhenti. Dia menoleh kearahku. Tanpa basa-basi dan berkata apa-apa lagi. Aku melemparkan keresek hitam berisi buah-buahan busuk itu. Hampir saja mengenai wajahnya.“Apaan sih, Mbak?” pekiknya sambil menghindar.“Sepertinya makanan itu cocok buat kamu! Soalnya sama ….” Ucapku sambil melengos pergi meninggalkannya yang sedang menghentak-hentakan kaki kesal.“Sama-sama busuk seperti hati pemiliknya,” sambungku dalam batin.***Semenjak kejadian itu. Aku semakin dia sisihkan. Satu minggu lagi katanya hari pernikahannya. Kulihat setiap hari dia begitu sibuk wara-wiri dengan mobil mewah calon suaminya. Dengar-dengar, Tante Haminah ingin merayakan
Reni dan Tante Haminah sudah menempati rumah itu sejak dua minggu yang lalu. Tepatnya keesokan harinya setelah acara selamatan malam itu.Sejak saat itu pula, Hilma menjadi lebih sering bermain ke rumahku. Terlebih dia mulai merasa tidak nyaman atas sindiran-sindiran sarkas dari mantan madunya itu. Namun sialnya, Reni sepertinya menyangka jika aku memihak pada adik ipar baruku ini. Dia selalu terlihat sinis bahkan sama sekali tidka pernah menyapaku lagi.Dengan uang yang dimilikinya, Reni sudah mulai mengambil hati orang-orang disekitarnya. Salah satunya Bu Onah---pemilik warung langgananku. Dan beberapa tetangga komplek yang sering mendapatkan asupan gizi gratis dari kantongnya.Memang bagi orang-orang yang suka mengambil kesempatan, maka Reni adalah sebaik-baik orang yang bisa dimanfaatkan. Cukup disanjung sedikit, melambung dan menghamburkan begitu saja hitungan rupiah yang tidak susah payah dia dapa
Penemuan mobil mewah di depan rumah baru itu akhirnya menjadi topik utama pembicaraanku dengan Ambar siang ini. Namun kami hanya seperti membicarakan pepesan kosong. Tidak ada makna dan tidak ada hasil apapun dari hasil pembicaraan kali ini.Baiklah, hanya tinggal menunggu waktu sekitar dua bulan lagi. Pasti akan muncul sendirinya siapa sang empunya rumah yang kini tengah dibangun itu.***Ali kulihat sedang duduk murung. Sejak pagi dia sudah nongkrong di teras rumahku. Istrinya katanya sedang ada keperluan jadi tadi gak masak dulu juga sebelum berangkat. Namun bukan itu yang menjadi sorotanku saat ini. Ali terlihat murung tidak seperti biasanya.Aku yang baru saja mencantolkan gagang kain pel berlalu ke dalam untuk mengambil bayam yang akan kusayur. Aku duduk serta bersama mereka sambil menyiangi bayam untukku sayur bening.“Mbak, kalau aku bercerai d
"Dicari! Buronan polisi … bandar narkoba! Berdasarkan data intel, orang tersebut melarikan diri ke daerah sekitar pinggiran Jakarta!”Ah memang zaman sekarang pekerjaan orang sudah bermacam ragam. Terlebih mereka yang memiliki gaya hidup tinggi tapi penghasilan pas-pasan. Bahkan mungkin dibawah standardDengan tipisnya iman ya akhirnya salah satu jalan pintas yang menggiurkanlah yang mereka ambil. Menjadi bandar narkoba salah satunya.Aku menghabiskan waktu sampai setengah sampai keripik kentangku habis. Diluar sudah sepi sepertinya. Reni mungkin sudah pulang.Aku mengambil kerudung simple, rencana hari ini mau berbelanja alat kebersihan ke toko klontong. Sapu ijukku rambutnya sudah rontok, kain pel juga warna putihnya sudah berubah menjadi cokelat.Baru aku sampai ke luar gerbang. Kulihat Hilma sedang tertegun sambil memegang dua kantong plastik. Dia tersenyum melihat
Hanya satu harapanku saat ini. Rumah ini tidak sesuai kriteria dan memiliki mitos-mitos yang mereka percaya, sehingga aku tidak akan bertetangga sedekat ini dengan mereka.“Bu Tejo kenapa rumahnya dijual?” tanyaku sambil melirik pada tetangga yang hampir tidak pernah bertegur sapa itu. Kehidupan Bu Tejo dan keluarganya selama ini sangat tertutup.“Suami saya sakit, sudah tidak kuat bertahan … Dia minta dibawa pulang ke rumah keluarga di kampung,” jawabnya. Wajahnya terlihat tidak nyaman, mungkin dia tipe orang yang tidak suka bercerita. Baiklah aku kini kembali focus pada Hilma.Kulihat Hilma, Ibu dan pamannya baru saja keluar dari dalam rumah. Wajah mereka tampak puas. Sepertinya harapanku akan sia-sia.Benar saja, Hilma berhambur ke arahku dengan
Aku terdiam sejenak. Kalau aku jawab itu tespeck Hilma kira-kira apa dia akan berteriak histeris? Atau jawab saja tespeck punyaku dan masalah akan selesai? Eh, nanti kalau dia woro-woro ke seisi komplek malah jadi runyam, ya?Namun belum sempat aku menjawab, tiba-tiba Hilma muncul lagi sambil berlari. Dia menerobos kami begitu saja.“Wah, untung ketinggalannya di sini! Kirain jatuh!” gumamnya. Dia melirik ke arahku dan tersenyum. Namun dia sama sekali tidak menyapa Tante Haminah.“Misi, Mbak!” ucapnya lagi sambil tergopoh-gopoh pergi.Kulihat perubahan raut muka Tante Haminah. Dia menatap punggung Hilma dengan tatapan penuh kebencian.“Permisi!”Tante Haminah melengos pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Kuhanya menatap punggungnya yang kemudian menghilang terhalang rumah-rumah samping
Terhalang satu rumah dari rumahku, mobil itu ternyata berhenti. Benar saja kecurigaanku terbukti. Reni celingukan kemudian tergesa menaiki mobil itu.“Mas!”Aku meneriaki Mas Harso yang masih asyik dengan dunianya sendiri. Namun tidak ada sahutan. Mobil yang kuperhatikan malah semakin menjauh.“Maaas!” Kali ini kumenariakinya lebih keras.“Apa, Rum?” Mas Harso menoleh ke arahku.“Sini! Cepetan!” panggilku lagi dengan intonasi yang semakin tinggi. Aku sudah kesal mau bercerita, Mas Harso malah bersantai Ria.“Apa sih, Rum?” tanyanya lagi sambil berdiri. Dia menggeliatkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Mobil yang kupandangi sudah raib kini. Mobil mewah itu sudah berbelok ke tikungan.Mas Harso berlenggang santai ke arahku.“Ada apa, Rum?” tanyanya Ket
Setelah drama perebutan suami yang terjadi di rumahku kemarin, baik Reni maupun Ali tidak pernah menampakkan batang hidungnya lagi.Aku bisa saja mengunjungi mereka, tapi buat apa? Meskipun jarak aku dekat dengan kontrakan mereka, tapi gelayut rasa malas benar-benar membuatku tidak ingin kemana-mana. Sudah hampir satu bulan aku tidak bertemu mereka.Namun ada hal yang menggelitik pikiranku. Sudah dua kali aku melihat sosok wanita yang mirip Reni naik ke sebuah mobil mewah. Pertama kali, Ketika aku dan Ambar sedang berbelanja di pasar. Kemudian yang kedua kali Ketika aku menemani Rihana di acara sekolahnya. Acara liburan ke dunia fantasi pekan lalu. Aku pun melihat orang yang mirip dengannya.Aku mengatakan mirip, karena belum memastikan jika itu benar-benar Reni. Bahkan waktu di dunia fantasi aku melihatnya berjalan mesra dengan seorang laki-laki.Akhirnya weekend ini Ketika Mas Harso k
"Wanita jalang!” teriak Reni sambil memburu Hilma yang sedang meringis kesakitan.Reni hilang kendali dan menindih tubuh wanita yang lebih semok itu darinya. Dia menjambak rambut Hilma sambil memaki tanpa henti.“Hilma!” pekik Ali.Dia berlari memburu kedua wanita yang sedang berguling-guling di halaman rumahku. Aku memijat pelipis. Kubiarkan dulu mereka beberapa menit.Percuma juga kupisahkan orang yang sedang bergulung dengan emosi itu. Lagian itu juga buah dari perbuatan mereka berdua yang hendak menyakitiku. Aku kejam? Terserah juga jika mereka berpikiran seperti itu.Kulihat Ali memburu dan memeluk Hilma. Ternyata adik lelaki Mas Harso itu cukup menyebalkan juga. Dia lebih melindungi istri barunya dari