Tok Tok Tok!Tiba di rumah Mba Yolan. Aku langsung mengetuk pintunya. Lalu tak lama, pintu pun dibuka dari dalam.Mba Yolan nampak masih mengenakan daster tidur. Lengkap dengan rambut yang berantakan. Matanya terlihat kuyu. Seperti kurang tidur. Mungkin dia berjaga semalaman menunggu Arsen."Eh, Mba Yolan. Masuk masuk," ajaknya. Aku pun segera masuk ke dalam rumah Mba Yolan."Mba, Arsen masih tidur?" tanyaku pelan. Sebab tak melihat Mba Yolan menggendong bayinya.Mba Yolan mengangguk. "Iya, Mba. Semalaman dia nggak nyenyak tidurnya. Paling sejam, kebangun lagi. Gitu terus. Sampai barusan jam enam baru beneran tidur.""Duh, Mba sorry ya, aku ke sini jadi ganggu," ujarku merasa tidak enak."Gak papa, Mba. Santai aja, lagian aku udah bangun kok, karena ga bisa tidur lagi."Aku lantas menyerahkan mangkuk sup di tanganku pada Mba Yolan. Setelah itu, Mba Yolan beranjak ke dapur sedangkan aku masih di ruangan depan rumahnya.Arsen masih tidur. Padahal aku ingin sekali menggendongnya. Aku sud
Mba Yolan nampak melongo. Melihat cincinnya ada di telapak tanganku sekarang. Dia lantas mengambil cincinnya itu dengan segera."Ah, makasih banyak, Mba. Aku kira cincin ini hilang," jawabnya."Hati-hati, Mba. Itu pasti cincin pernikahan ya? Kalau sampai hilang, pasti suami Mba marah nanti."Mba Yolan terlihat mengangguk sambil memperhatikan cincinnya itu. Lalu memasangkan cincin emas putih tersebut di jari tengahnya."Sekali lagi, makasih ya, Mba. Aku tinggal mandi dulu, ya!" pamitnya kembali.Aku pun mempersilahkan. Sehingga Mba Yolan bergegas ke arah dapurnya. Karena kamar mandi di rumah ini terletak di bagian belakang setelah dapur.Seperginya Mba Yolan. Aku menghempaskan bobotku di sofa ruangan televisinya. Lalu mengambil cangkir kecil berisi air teh hangat dan menyeruputnya. Ada pula cemilan kripik ubi ungu teman minumku bersama teh hangat ini.Aku menikmati hidangan yang diberikan Mba Yolan. Sambil mengamati ruangan santai yang sekaligus sebagai ruangan televisi dan ruang kelua
******Malam hari, aku duduk bersantai di ruangan televisi. Memegangi sebuah figura di tangan dan kupandangi lekat foto yang terbingkai.Fotoku dan Mas Adrian di panti asuhan tempat kami biasa berkunjung. Foto yang diambil enam bulan lalu. Dalam foto ini aku tengah menggendong seorang bayi.Bayi yang baru saja ditemukan di depan pintu gerbang panti. Tanpa identitas, hanya terbungkus selimut dalam keranjang bayi.Sungguh bayi yang malang. Entah siapa yang sudah tega menelantarkan bayi selucu ini. Aku tidak habis pikir.Enam bulan lalu, aku ingin mengadopsi bayi lucu dan mungil itu. Namun lagi-lagi, Mas Adrian menolak. Mas Adrian masih belum memberi izin untuk segera mengadopsi anak. Suamiku itu, kukuh masih ingin menjalani program kehamilan."Sayang," sapa Mas Adrian yang baru saja tiba di ruang televisi ini. Duduk di sampingku setelah menaruh gelas berisi susu cokelat pada meja di hadapan kami.Aku hanya menoleh dan tersenyum ke arahnya. Lalu menyimpan figura ke tempatnya semula."Kam
*******Hari yang kutunggu akhirnya tiba. Selesai sarapan pagi. Mas Adrian telah lebih dulu berangkat ke toko. Sementara aku, baru saja mengunci pintu rumah dari luar. Hendak pergi ke panti pagi ini.Melewati teras, kubuka gerbang pagar lebih dulu. Sebelum kemudian membuka pintu garasi untuk mengeluarkan mobil.Setelah mobil berhasil kukendarai hingga keluar pagar. Aku kembali ke dalam halaman rumah. Menutup dan mengunci kembali pintu garasi. Begitu juga dengan gerbang pagarnya. Sedikit repot memang karena tak ada pekerja di rumah ini.Aku berdiri di samping pintu mobil. Berdiri sesaat sambil melihat ke arah rumah Mba Yolan yang pagarnya masih tertutup rapat. Tidak ada aktivitas yang kulihat dari halaman rumahnya itu.Katanya, hari besok dia akan pindah. Maka hari ini, aku menyempatkan untuk mengunjungi panti. Agar besok, aku bisa ikut mengantar Mba Yolan pindahan.Kutarik napas panjang. Lalu membuka pintu mobilku. Kuhempaskan bobotku di kursi kemudi. Gegas membawa kendaraan roda empa
Fano terlihat berjalan ke arahku. Dia sepertinya baru saja dari klinik umum yang ada di sebelah butik milik Stella ini."Kamu dari mana? Butik ini?" tanyanya."Iya, Fan. Aku mau ke panti asuhan, tapi mobilku tiba-tiba ngadat. Ga mau nyala. Aku nelpon Mas Adrian tapi ga diangkat. Kamu dari mana?""Aku dari klinik. Kebetulan habis dari rumah Mba Tami. Terus temenku yang punya klinik ini minta aku mampir. Ini aku baru selesai nemuin temenku. Karena dia udah mau buka praktek, jadinya aku ya keluar," jelasnya kemudian."Temen kamu dokter perempuan apa laki-laki, Fan?" "Laki-laki, Han. Kenapa emang?"Aku menyipitkan mataku menatap Fano. "Circle pertemanan kamu kayaknya kebanyakan laki-laki deh, Fan. Makanya kamu belum nikah sampai sekarang. Jangan-jangan …." Aku menggantung ucapkanku."Jangan-jangan apa? Kamu jangan sembarang ya, Han. Kamu mau bilang aku belok, iya? Enak aja kamu, Han. Aku masih normal. Masalah aku belum menikah, itu karena aku belum ketemu jodohku aja. Kamu lama-lama miri
**********Ap-ap-apah? Apa itu? Apa yang sedang mataku ini saksikan? Aku mengucek mata. Lalu kembali melihat dengan seksama.Aku menggeleng. Kubekap mulutku tak percaya.M-mas Adrian dengan … Mba Yolan?Mba Yolan duduk di pangkuan suamiku. Kedua tangannya melingkar di leher Mas Adrian. Sedangkan tangan Mas Adrian melingkar erat di pinggang ramping Mba Yolan.Mereka bercumbu dengan setengah kancing kemeja Mas Adrian telah terbuka. Sedangkan Mba Yolan terlihat memakai bra hitam. Karena kain bajunya telah diturunkan.Mas Adrian lalu turun ke dada Mba Yolan. Dia membenamkan wajahnya di sana. Hingga Mba Yolan kembali menjerit dan mendesah. Dengan kepala yang semakin menengadah dan ditarik ke belakang. Merasakan serangan yang Mas Adrian lancarkan di bagian dadanya.Dadaku sesak. Bulir bening lolos begitu saja dari kedua mataku. Kaki ini bahkan terasa lunglai. Seluruh tulang persendianku terasa dilolosi dari tempatnya.Apa yang ada dibenak Mas Adrian? Sampai bisa berbuat seperti itu pada tet
"Tunggu, Mba!" seruan Mba Yolan menahan kakiku yang baru saja melangkah."Kalau Mba melaporkan rekaman itu. Bukan aku dan Mas Adrian yang akan disidang di balai warga. Tapi justru, Mba Jihan yang akan malu!" ucapnya yang tidak aku mengerti.Lantas aku pun berbalik kembali menghadap mereka. "Apa maksud kamu?!" bentakku dengan nada tinggi."Kenapa aku yang malu? Kalianlah yang seharusnya malu, karena sudah berzinah seperti ini!" tukasku geram."Dengar, Mba! Aku dan Mas Adrian nggak berzinah. Kami sudah halal. Mba salah jika menuduh kami sudah berzinah!"Jedddar!Bagai disambar petir. Lututku lemas mendengar ucapan perempuan berambut sebahu itu. Apa maksudnya sudah halal?"Yolan!" Terdengar Mas Adrian menghardik perempuan yang berdiri di belakangnya itu."Biar, Mas! Sudah saatnya Mba Jihan tahu semuanya. Biar aku buka saja semuanya sekarang. Buat apalagi kita tutupi, Mas?!" cecarnya mendebat Mas Adrian."Tapi, Yol—""Apa yang harus aku tahu? Apa?! Apa yang mau kamu buka, ha?!" tantangku
"Dengar, Mba. Setelah Mas Adrian menikah dengan Mba. Aku seperti tak punya tujuan hidup. Setelah kalian menikah, aku merasa benar-benar hancur. Tapi satu hari, Mas Adrian kembali padaku. Dia menginginkanku menjadi istrinya. Dia ingin aku memberinya keturunan yang tidak bisa Mba berikan. Tentu saja aku menyambut dengan senang hati. Meski aku hanya menjadi istri kedua. Meski aku tahu dia sudah beristri, tapi aku tetap menerima. Dan terbukti aku bisa memberikan Mas Adrian bayi laki-laki. Tidak seperti, Mba. Mandul!"PLAK!Refleks aku menggampar pipi mulus perempuan yang baru saja mengataiku mandul. Sehingga jejak tanganku membekas di pipinya itu."Jaga mulutmu, Mba! Aku memang belum bisa hamil, tapi bukan berarti aku mandul!" geramku pada Mba Yolan.Mba Yolan memegangi pipinya yang baru saja kutampar. "Mas, lihat! Mba Jihan menamparku, Mas. Sakit," rengeknya mengadu pada Mas Adrian.Mas Adrian lalu pasang badan. Dia melewatiku, berdiri membelakangi Mba Yolan dan menghadapku."Dek, tadiny
TETANGGA BARU_48 || TAMATPov Jihan.***************Aku menatap hampa pada bunga-bunga mawar yang bermekaran sempurna di hadapanku saat ini. Di taman rumah sakit, aku duduk di sebuah kursi roda. Seorang perawat menemaniku dan duduk di kursi beton belakang sana.Setelah tiga hari dinyatakan kritis, pagi tadi aku berhasil tersadar dan melewati masa kritis akibat kecelakaan yang kualami bersama Fano. Sahabatku itu pun sama kritisnya sepertiku, tetapi dia dapat sadar lebih dulu dan lebih dulu dariku. Sehingga Fano telah keluar dari rumah sakit dan tengah kembali ke rumahnya. Setelah kecelakaan yang menimpa kami, membuat Fano harus kehilangan mobilnya.Aku mengusap perutku yang telah rata. Bayiku tidak dapat bertahan. Perutku terkena benturan yang cukup keras. Sehingga aku dinyatakan keguguran. Juga wajahku di pipi sebelah kanan yang terkena hantaman. Menyebabkan sebelah wajahku tak lagi mulus.Namun lebih dari itu, kehilangan bayiku adalah hal paling menyakitkan. Seluruh harta dan aset y
TETANGGA BARU_47POV ADRIAN******Aku pulang hanya memikul rasa kecewa dan jengkel bukan main. Hakim pengadilan sangat-sangat tidak adil dalam memutuskan perkara ini. Dari sekian banyak harta serta aset yang dimiliki Jihan. Aku tak kebagian sepeser pun. Padahal selama enam tahun menikah, akulah yang mengurusi dua toko besar itu hingga dapat tetap bertahan dan beroperasi, di tengah persaingan banyaknha toko-toko ritel sejenis. Berkat ketekunan dan kerja kerasku, dua toko itu tidak sampai gulung tikar. Tetapi, aku tidak mendapatkan apa-apa dari kerja kerasku. Semua jatuh pada Jihan. Semuanya.Bahkan yang paling membuatku tak habis pikir, ialah saat notaris yang kudatangi dan kupercayai, hadir di persidangan dan membelot. Tiba-tiba saja dia berada di pihak Jihan. Padahal, aku sudah mempercayakan semua surat-surat padanya.Aku benar-benar kecewa.Seharusnya , aku mendapatkan bagianku dari harta dan surat-surat itu. Karena aku, memiliki andil dalam mengelolanya. Andaikan bukan aku yang me
TETANGGA BARU-46*Hampir tiga bulan lamanya. Aku masih menumpang di rumah milik Fano. Dia melarangku keluar dari rumahnya. Sebab, dia khawatir tidak ada yang menjagaku yang tengah berbadan dua saat ini. Dia juga cemas, jika aku sendirian, membuat Mas Adrian dan Yolan mendatangiku.Sehingga, aku masih tertahan di rumah Fano. Tiga bulan tinggal dengannya, diam-diam aku jadi sering memperhatikannya.Fano memang sosok laki-laki yang baik. Dia tulus dan sangatlah pengertian. Hanya saja, dia terlalu cuek dan datar pada orang baru yang belum dikenalnya. Tapi padaku, dia adalah sosok yang hangat dan terbuka. Persidangan perceraian antara aku dan Mas Adrian telah digelar sejak dua bulan ke belakang. Sidang pertama dan kedua, Mas Adrian tak kunjung menghadiri. Aku yakin, dia pasti ingin mempersulit prosesnya. Namun, aku sudah menyiapkan pengacara mahal dengan jam terbang tinggi. Sehingga meski dia tidak menghadiri sidang pertama dan kedua. Sidang tetap menemui putusan di sidang ketiga hari i
"Jangan harap. Bukannya kemarin, kamu yang menantang'supaya aku menggugat cerai? Kenapa sekarang kamu balik memohon-mohon? Sudahlah, Mas. Apapun yang kamu katakan, tidak akan pernah mengubah keputusanku. Lagi pun gugatan itu sudah aku daftarkan. Kamu tinggal menunggu surat pemanggilan untuk sidang. Aku pastikan, kamu akan kalah dan kembali miskin!"Mas Adrian meraih tanganku yang menunjuk-nunjuknya. "Dek, mas mohon. Batalkan. Kalau kamu mau, mas akan menceraikan Yolanda, Dek. Mas akan tinggalkan dia dan kita akan hidup bersama lagi. Mas Mohon, Dek."Aku menggeleng cepat, sembari menyentak tanganku darinya. "Gak Sudi! Sekarang kamu pulang. Urus saja istri muda dan anak kamu. Jangan pernah menemuiku, atau coba membujukku lagi. Waktu kamu habis. Aku mau masuk," tegasku lantas berlalu dari hadapan Mas Adrian.Namun, belum sempat aku melangkah. Mas Adrian memeluk kakiku dengan erat. "Dek, apa kamu sudah tidak mencintai mas? Apa kamu sudah terhasut oleh sahabat kamu itu, Dek? Batalkan gugat
POV Jihan.Malam hari di dalam kamar di rumah Fano. Aku duduk sendirian di atas tempat tidur dengan kaki diluruskan.Siang tadi, aku sudah selesai mendaftarkan gugatan perceraian di pengadilan negeri. Rasanya aku sudah tidak sabar, berpisah dengan laki-laki yang sudah menemaniku selama enam tahun lamanya itu.Ini tidaklah mudah.Sedikitpun, aku tidak pernah membayangkan, jika kedatangan Yolanda dan juga Arsen, akan membawaku pada tabir kenyataan yang begitu pahit.Kuusap perutku yang masih sangat rata.Meski tanpa suami. Aku berjanji, akan menjaga kehamilanku ini dengan sangat baik.Beruntung, ada Fano yang menguatkanku hingga detik ini. Memberiku tumpangan tempat tinggal dan juga dukungan yang tak henti.Segelas susu cokelat khusus ibu hamil, sudah tersedia di atas nakas. Aku meneguknya sampai setengah gelas. Lantas membaringkan badanku terlentang.Tok Tok Tok!"Han! Kamu udah tidur belum, Han?"Tok Tok Tok!"Han, Jihan!"Fano menggedor pintu kamarku cukup keras seraya berteriak-teri
Aku semakin menangis dan menjerit-jerit, meski mereka tidak akan mendengar dengan jelas karena mulutku yang tertutup lakban.Di depanku kini, Mba Sindy, Mba Aini dan juga Mba Dini tertawa melihat perbuatan Mba Clara padaku. Mereka menertawakan penderitaan yang diberikan Mba Clara ini."Jangan nangis dong, Mba. Kita cuma ingin bermain-main aja sama kamu! Kita gak akan rebut Mas Adrian dari kamu, jadi kamu jangan nangis gitulah!" Mba Dini berucap disertai tawa meledek."Hmmm …." Aku sudah tidak punya tenaga rasanya. Mba Clara sukses membuatku merasakan sakit di wajah yang selalu aku rawat ini.Aku coba menatap Mba Clara dengan tatapan mengiba. Agar dia berhenti menusukkan jari kukunya itu di pipiku. Namun, Mba Clara justru tersenyum kecut.Sampai akhirnya dia menghempas wajahku dengan kasar. Hingga wajahku berpaling sendirinya akibat hempasan tangan Mba Clara. Cengkramannya memang sudah terlepas. Namun juga sukses meninggalkan denyut kesakitan setelahnya."Mba Sin, sekarang!" cetus Mba
POV YOLANDABibirku terkatup rapat. Seiring dengan kertas yang berhasil sudah kuremas. Kulempar asal kertas di tangan. Kepalaku menggeleng tak percaya dengan apa yang sudah kubaca barusan.Duk Duk Duk!Krak Krak!Pintu rumah yang sudah aku kunci. Tiba-tiba saja hendelnya bergerak-gerak. Diikuti suara dari luarnya.Aku melangkahkan mundur untuk segera mengambil Arsen dan mengurung diri di dalam kamar.BRAKKKK!"Tunggu pelakor!"Aku yang sudah berbalik badan, tak menghiraukan teriakan seorang wanita di belakang sana. Aku memilih melangkah dan hendak berlari untuk secepatnya menuju lantai atas."Aghhhh!""Mau ke mana kau? Mau kabur? Salah jalan! Pintu keluar di sini, Nona!"Baru beberapa langkah kaki ini bergerak. Tanganku telah dicekal lalu diplintir. Hingga tubuhku terseret ke arah belakang. Dan kini sudah berada di teras luar.Rambutku ditarik hingga kepala ini mendongak. Dari suaranya, itu seperti suara Mba Clara. Teman Mba Jihan yang waktu itu ikut arisan juga.Tanganku yang ditarik
POV YOLANDA********Menjelang malam hari, akhirnya aku dipasangi infus. Aku benar-benar lemas dan hanya bisa terbaring di atas tempat tidur. Mas Adrian memanggilkan seorang dokter untuk datang ke rumah ini. Hingga aku bisa mendapatkan penanganan akibat mulas di perutku yang tak berkesudahan.Ternyata aku mengalami disentri yang akhirnya membuatku dehidrasi dan tubuhku jadi lemas. Sampai aku merasa ingin pingsan saja saking lemasnya.Setelah dipasangi infus seperti sekarang, barulah mulai ada sedikit tenaga. Meski tidak serta merta aku pulih.Mas Adrian mengambil alih menggendong dan mengayun-ayunkan Arsen. Hingga Arsen terlelap dan ditidurkan di sisi yang lain di atas kasur yang sama denganku.Tempat tidur yang dulunya hanya memberikan kehangatan untuk Mba Jihan. Tapi saat dia tidak rumah untuk menghadiri acara reuninya. Itulah saat pertama kali, kehangatan tempat tidur ini telah terbagi denganku. Mba Jihan memang terlalu polos dan bod*h."Aku mau makan dulu! Laper!" cetusnya setelah
Terpaksa aku meninggalkan Arsen yang sudah polos untuk ke kamar mandi. Ada yang mendesak ingin dikeluarkan.Cepat aku duduk di kloset dan menuntaskannya. Sampai perutku terasa lega.Setelah selesai, aku kembali untuk mengambil Arsen dan memandikannya. Tapi tiba-tiba perutku mulas kembali. Rasanya ada yang ingin keluar dan sudah diujung tanduk.Baru saja aku membungkuk untuk menggendong Arsen. Terpaksa aku menegakkan tubuhku. Setengah berlari masuk ke kamar mandi lagi dan duduk di kloset.Kuhembus napas lega setelah menuntaskan kedua kalinya. Lalu keluar dari kamar mandi dan menghampiri Arsen lagi.Saat badanku sudah membungkuk untuk meraih Arsen, perutku lagi-lagi melilit. Hingga terpaksa aku balik masuk ke kamar mandi dan bersemedi lagi.Perutku rasanya seperti dikuras. Entah kenapa juga aku merasa seperti terkena diare. Setelah ketiga kalinya bersemedi di kamar mandi. Tubuhku duduk terkulai ke lantai tepat di ujung tempat tidur.Kutepuk-tepuk kaki Arsen karena dia terlihat seperti s