Bahu Ravin terkulai lemah. Ia tidak lupa kalau selama ini kesuksesan yang ia raih semua berkat bantuan keluarga. Tentu saja dari nama, kepercayaan dan segala-galanya ia dapatkan berawal dari keluarga.
“Tapi ... apa ayah setega itu pada darah dagingmu sendiri? Aku sudah menuruti keinginanmu untuk menikah dengan Belva, lalu menceraikannya, dan sekarang Ayah belum puas juga lalu menghancurkan karirku?” Ravin bergetar menahan kecewa.
Givari menyeringai sinis dan menatap putranya itu.
“Lebih tega mana kau dan aku? Membohongi kami semua hanya demi bersama dengan wanita murahan?! Salah sendiri. Itu konsekuensi yang harus kamu terima. Ketika kamu tidak bisa nurut dengan orang tua, tidak mau mendengar nasihat dan arahan orang tua, maka berdirilah di kaki sendiri, hidupi keluargamu dengan keringat sendiri tanpa ada bantuan sepeser pun dari kami yang dengan mudah kamu permainkan kepercayaannya!!” tegas Givari dengan lantang.
Ravin semakin tak
Rizwan tersenyum dan mengangguk. “Iya, ini karya-karya aku.”Belva menatap kagum dan tertegun. Pasalnya dalam rak display novel tersebut tidak hanya satu judul novel dengan nama Rizwan, melainkan ada sekitar 10 novel yang tulis oleh pria tampan itu.“Serius ini semua tulisan kamu, Riz?” tanya Belva dengan ekspresi haru.“Iya, kebetulan hari ini baru launching judul kesepuluh dari novelku. Mau coba baca?” tawar Rizwan sembari memberikan sebuah novel berjudul ‘Hijab untuk Sang Bidadari’.Belva tersenyum dan mengangguk menerima novel tersebut. “Wah, dari covernya aja udah menarik banget buat di baca. Kayaknya seru nih!”Belva membaca sinopsis singkat dari novel tersebut yang menceritakan tentang hijrahnya seorang wanita malam setelah mendapatkan hidayah melalui seorang pria mualaf. Mendadak hatinya berdesir, sulit untuk diungkapkan mengapa ia merasakan sebuah ketenangan ketika berada di dekat
“Tapi ... dia tanggung jawab kami, Bu.” Ravin masih mengelak.“Dengar ya, Ravin. Saya sudah mengetahui kesulitan apa yang sedang kamu hadapi. Jika Syahla kalian bawa, mau di beri makan apa? Kebutuhan bayi itu banyak. Jadi, kalian urus saja hidup kalian, biar bayi ini kami yang urus!” Pungkas Maria.Bahu Ravin terkulai. Benaknya sangat penuh saat ini. Masalah seakan tiada hentinya. Maria sudah berpamitan bersama dengan Aisyah, sementara Belva sedari tadi hanya bisa bungkam melihat keadaan Ravin dan Alana yang tampak hancur.“Aku turut prihatin dengan keadaan kalian, Rav. Kalau kalian benar-benar sedang membutuhkan, kamu bisa ambil kembali mobil dan rumah yang sudah kamu berikan sama aku.” Belva menatap iba.“Tidak, Belva. Itu adalah milikmu, pemberian dariku sebagai suamimu!” kata Ravin. Tak bisa di pungkiri hatinya merasa sangat sedih saat berhadapan dengan Belva.Ribuan penyesalan mulai bersarang dal
“Berdasarkan bukti-bukti dari penggugat, dengan ini saya putuskan untuk mengabulkan permohonan dari saudari Belva Primrose kepada saudara Ravindra Mahesa. Bahwa hari ini, tanggal 9 September 2022 telah resmi bercerai.”Ketukan palu sebanyak tiga kali membuat Belva tersenyum lega dan terpejam penuh haru. Tidak menyangka pada akhirnya ia benar-benar terlepas dari belenggu pernikahan yang tidak ia inginkan selama ini.Di sebelahnya, Ravin terlihat menunduk dalam, dan merasakan sesak pedihnya dari sebuah perpisahan itu. Keluarganya hadir dalam persidangan ini, tetapi semuanya mendukung Belva.“Selamat ya, Nak. Semoga kamu mendapatkan jodoh yang jauh lebih baik setelah ini.” Susan mendekap Belva.“Terimakasih, Ibu.” Belva tersenyum hangat.“Oh ya, kita akan berangkat sama-sama ke Jogja. Ayah ingin silaturahmi dengan nenekmu.” Givari pun merasa lega saat melihat Belva dapat bahagia kembali.Belva men
Beberapa waktu kemudian, Givari dan rombongannya sudah tiba di bandara. Langkahnya melambat saat ponsel dalam genggamannya bergetar. Ada sebuah panggilan masuk dari salah satu rekannya dari kepolisian wilayah Bali.Sejenak Givari mengernyit keheranan. Tumben sekali rekannya itu menelepon. Tanpa berpikir lagi, Givari langsung menerima panggilan itu.“Hallo, selamat siang Kombes Reyhan.” Givari menjawab ramah.“Selamat siang, Pak Givari. Saya ingin memberitahukan, putra Anda Ravindra Mahesa mengalami kecelakaan tunggal di jalan Tol Bali Mandara. Beliau Bersama dengan seorang wanita yang kini telah tewas dalam kecelakaan tersebut.” Kombes Reyhan menjelaskan dengan lugas.Givari mendadak mematung dengan ekspresi datar. Beberapa detik ia mencerna informasi tersebut.“Apa saya tidak salah dengar?” Givari mendadak pucat.“Tidak, Pak. Sekarang putra Anda sudah di bawa ke rumah sakit internasional. Keadaannya cukup kritis. Untuk keterangan lebih lanjutnya, kami tunggu kedatangan Anda di rumah
“Gimana? Cocok kan lelaki itu sama Belva?” Cindy menaikkan sebelah alisnya, menatap Tigor yang malah terlihat masam.Tak ada sahutan dari pria itu. Cindy hanya tersenyum tipis. Sudah mengerti bagaimana perasaan Tigor saat ini.“Masih gantengan juga aku!” komentar Tigor sembari menyerahkan ponsel Cindy. “Jaman sekarang lelaki ganteng dan pintar itu banyak. Tapi yang setia itu jarang. Belum tentu lelaki itu bisa lebih baik daripada aku dalam mencintai!”Cindy tergelak dan kembali menimpal. “Rasa percaya diri kamu itu benar-benar tinggi. Aku salut! Tapi, aku rasa lelaki bernama Rizwan itu sepertinya juga memang menaruh perasaan sama Belva.”“Andaikan benar begitu, mereka gak pantas bersama. Lelaki itu kan sepupunya Ravin. Bisa saja Rizwan memiliki perangai yang sama dengan Ravin!” cibir Tigor sembari menyeringai.Cindy melengos dan mencebikkan bibir.“Kamu tuh negatif terus menilai orang! Walaupun mereka saudara, tapi belum tentu punya sifat yang sama. Yang sekandung aja kadang punya pan
Ia mendadak gelisah karena teringat pria itu. Namun, lagi-lagi Belva selalu menepis perasaan itu. Ada rasa ragu karena takut kembali berlabuh di hati yang salah. Itu sama saja akan membuka luka lama yang sangat menyakitkan.Keesokan paginya, Belva sudah tampak rapih dan segar. Ia menemui neneknya yang sudah menunggu di meja makan.“Bagaimana tidurnya? Enak dan nyaman, kan?” sapa hangat Oma Tarra.“Alhamdulillah nyenyak dan nyaman sekali. Ingat jaman kecil.” Belva terkekeh. Tentu saja ia bisa tidur dengan enak. Karena bebannya setiap malam kini sudah tidak ada.“Hari ini kegiatanmu apa saja, Nak?” tanya Oma Tarra di sela-sela sarapan.Mata Belva menerawang dan kemudian menjawab, “Niatnya hari ini aku mau ke pondok. Ketemu sama Hj. Idda. Aku udah buat janji sama beliau mau minta bantuan mengurus perizinan cabang butik baru.”Oma Tarra mengangguk. “Bagus itu. Oh ya, kenapa kamu tidak ajak sekretaris pribadimu itu? Bukankah ke manapun kamu pergi, dia harusnya ada bersamamu?”“Cindy aku tu
Belva tersenyum tipis. Ia tetap terlihat tenang dan santai. “Iya, Ravin mengalami kecelakaan. Dan, sebetulnya aku dan dia sudah bercerai.”Laila sontak melebarkan mata. Ia cukup terkejut mendengar pernyataan dari Belva.“Bercerai, Mbak? Aku gak salah dengar, kan?” Laila masih berekspresi serius.Belva mengangguk dan kemudian menghela napas perlahan. “Tepat dihari yang sama saat kecelakaan itu, kami resmi bercerai.”“Secepat itu kah kalian berpisah? Bukankah ... kalian itu menikah karena cinta dan aku pernah mendengar sekilas, kalau kalian itu memang sudah dekat sejak kecil?” Laila semakin dibuat penasaran.“Kami memang dekat sejak kecil. Tapi, pernikahan yang kami lalui kemarin, bukan atas dasar cinta.” Belva tersenyum manis menatap gadis disebelahnya yang tampak serius menyimak. “Kami melakukan kesalahan besar kemarin, yaitu bersandiwara dalam pernikahan itu.”Laila sempat bingung dengan kalimat terakhir. Tetapi ia sudah cukup dewasa untuk bisa mengerti maksud dari penjelasan Belva.
Givari dan Susan langsung bergegas menemui Ravin yang katanya sudah mulai siuman. Pria itu sudah mulai mengerjap. Bola matanya bergerak ke kiri dan kanan, bibirnya pun mulai bergerak memberikan respon.“Alhamdulillah, Ravin.” Susan menggenggam jemari putranya. Pria itu menoleh pada ibunya dengan sudut bibir yang terangkat perlahan. Ia menyunggingkan senyuman. Itu membuat Susan merasa sangat lega.“Ibu ....” Ravin berucap lirih, ada setitik buliran bening di sudut matanya. Susan menyeka air mata itu dan tersenyum dalam bibir yang bergetar menahan tangis.Givari pun merasa tenang melihatnya. Tak lama dokter memasuki ruangan itu dan memeriksa kembali keadaan pasiennya. Berdasarkan pemeriksaan, Ravin mulai berangsur membaik. Dokter pun akan melakukan pemeriksaan lebih mendetail pada bagian kepala. Khawatir ada bagian tertentu yang mengalami kerusakan pasca benturan hebat akibat kecelakaan itu.Beberapa saat kemudian, dokter sudah selesai melakukan berbagai rangkaian pemeriksaan. Givari da
Tigor terdiam beberapa detik. Cindy bisa melihat ada air mata yang membasahi pipi pria itu. Tigor bangkit dari tempat tidur dan berjalan sempoyongan ke arah pintu.“Mama ....” Tigor bergumam lirih, tak lama ia terkulai di atas lantai dan kehilangan kesadaran.Cindy bergegas menghubungi pihak keamanan untuk membatunya membawa Tigor ke layanan kesehatan.“Dia mabuk berat. Tapi tidak perlu khawatir, kami sudah memberikan terapi yang tepat untuk pasien. Hanya saja dalam waktu beberapa jam, dia masih harus tertidur.” Dokter menjelaskan keadaan Tigor.Cindy bersandar lelah di kursi tunggu. Dia memberi kabar pada Aisyah mengenai keadaan Tigor. Tetapi berharap agar Aisyah tidak memberitahu hal ini pada Maria. Khawatir akan memperburuk keadaan.Wanita cantik itu bahkan tak mengerti, mengapa dia bisa dihadapkan dengan situasi yang sangat rumit ini. Dia berada ditengah-tengah kisah cinta yang beragam. Belva dan Rizwan yang kini tengah
Di sela-sela perjalanan, untuk pertama kalinya Tigor merasakan patah hati yang lebih dalam. Ini lebih menyakitkan daripada melihat Belva menikah dengan pria lain. Pikirnya, Belva hanya menikah sebagai status, dan kesuciannya tak akan pernah dia berikan.Namun, kenyataan tak semanis itu. Kali ini Belva menikah sungguhan karena landasan cinta. Bukan hanya cinta saja, melainkan karena satu keimanan. Tigor tak pernah berpikir, Belva akhirnya mengandung benih pria lain. Ini amat sangat menyakitkan.Tigor menatap pantulan dirinya di dalam kamar apartement. Bahkan di pipinya pun masih tergambar jelas telapak tangan Cindy yang menamparnya semalam. Wanita yang dulu mendukung hubungannya dengan Belva, kini malah menorehkan rasa sakit di pipinya.“Arrgggghhh!!” Tigor berteriak kencang di dalam kamar. Hatinya remuk dan hancur. Setelah ini, dia tidak tahu dengan cara apa menyatukan kembali serpihan hatinya yang berserakan itu.***Kabar kehamilan Be
“Tigor?” Belva termangu. Sementara pria itu malah duduk santai sembari melipat kaki dan tersenyum erotis menatapnya.“Hai, sayang. Long time no see!” Tigor beranjak dari sofa dan berjalan ke arah Belva.Belva menelan ludah dan masih tak menyangka, pria itu kembali juga hari ini.“Ke mana aja kamu? Ninggalin kerjaan gitu aja. Gak bertanggung jawab!” ketus Belva sembari berjalan ke arah meja kerja untuk merapikan tas dan barang bawaannya.“Sengaja. Biar dapat hukuman dari kamu!” Tigor meraih tangan Belva tanpa ragu dan dengan gerakan cepat Belva menghentakkan genggaman itu.“Jangan kurang ajar!! Kamu gak pantas melakukan itu ini! Keterlaluan!” Belva menatap tajam.“Kenapa, Bel? Kamu mau mengelak apa lagi? Jelas, yang kamu lakukan hari ini adalah bukti bahwa kamu masih mencintai aku, kan?” Pria tampan itu menatap serius.Sementara Belva mendelik jengkel. &ld
Sampai waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Belva pun berpamitan. Dia menyetir mobil sendiri menuju hotel.Di sela-sela perjalanan, ponselnya berdering. Belva melirik sekilas, kemudian matanya melebar saat melihat orang yang dicari-cari tengah menghubungi.Tigor is calling...Cepat-cepat Belva menepikan mobilnya di bahu jalan, dan gegas menjawab panggilan itu.“Kamu ke mana aja, Tigor?” Belva langsung berujar tegas.Tak ada jawaban.“Hallo? Tigor?”“Hai, Belva.” Suara pria itu terdengar santai sekali.“Kamu nggak usah sok misterius mendadak ilang-ilangan kayak gini, Tigor. Kamu kekanak-kanakan tau nggak! Ninggalin kerjaan dan nyusahin kita semua!” Belva mengomel kesal.“Kamu yang udah buat aku kayak gini, Belva. Apa salah kalau aku pergi!” Pria di seberang panggilan itu tertawa kecil. “Ah, tapi aku berhasil. Ternyata ... kamu gak benar-benar ning
Sejenak Rizwan berpikir. Sebenarnya ini adalah ide yang bagus juga. Hitung-hitung sebagai bulan madu mereka yang sempat tertunda.“Aku mau temanin kamu. Tapi aku harus izin dulu sama kiyai Rahman. Karena pasti kita di sana dalam waktu yang tidak sebentar kan?” ujar Rizwan.Belva tersenyum manis dan melingkarkan tangan di leher suaminya. Kini semakin lama sepasang suami istri itu kian lekat dan romantis. Sudah tidak canggung lagi dalam menunjukkan cinta dan sayangnya.“Beliau pasti mengizinkan kamu, Mas. Lagian ... ini kan sudah masuk minggu ke tiga pernikahan kita, tapi kita belum pernah pergi berdua. Maksudnya seperti berbulan madu.” Belva merona sendiri mengatakannya.Rizwan pun menciup pipi sang istri dan berkata, “Baiklah, permaisuriku. Kita akan sekalian honeymoon. Meskipun setiap malam setelah pernikahan kita ini, rasanya seperti bulan madu terus bagi aku.”Keduanya merona dalam pelukan mesra. Setiap malam
Tempat itu menjadi saksi dari bersatunya sebuah cinta yang halal. Seorang istri telah menjadi hak penuh untuk suaminya. Akhirnya apa yang dulu sangat dijaga, kini waktunya untuk dijelajahi. Apa yang dulu sempat haram di pandang, kini menjadi nilai ibadah untuk dilakukan.Beberapa waktu kemudian, mereka terbaring lelah bersebelahan. Merasakan pelepasan yang sangat sulit dilukiskan bagaimana rasanya. Hanya bisa saling pandang dalam senyuman yang penuh cinta. Mereka sudah cukup dewasa untuk mengartikan kenikmatan itu. Yang jelas, setelah ini hanya ada harapan-harapan baik juga benih-benih cinta yang akan selalu mereka tanam.“Mau mandi bareng?” Rizwan mengulurkan tangan. Mengajak sang istri untuk sama-sama membersihkan tubuh.Belva mangangguk malu-malu. Semua yang mereka lakukan malam ini, adalah pengalaman pertama yang sangat menyenangkan. Rizwan pun memberitahu bagaimana cara mandi dan bersuci dengan benar. Bagi Belva, ini pengetahuan yang baru dan se
Ada gelenyar aneh dalam debaran hati mereka masing-masing. Belva tak pernah merasakan desiran yang sangat memanjakan dalam hatinya ketika bibir manis pria itu menyentuh jemarinya untuk pertama kali.Sejenak, hanya keheningan di antara keduanya. Saling menatap penuh makna.“Jangan menatap aku begitu, Rizwan. Aku ... malu.” Belva menunduk. Menyembunyikan rona kemerahan di wajah cantiknya.Rizwan tersenyum manis. Jemarinya menyentuh dagu sang istri agar wajah itu kembali terangkat dan menatapnya.“Aku kan sudah bilang, jangan panggil nama.” Suara bariton pria itu semakin sensual di telinga.Belva tersenyum gugup. Padahal belum ada satu menit suaminya memberikan permintaan, tetapi rasa canggung mengalahkan ingatannya.“Oh ... i-iya. Maaf, aku lupa, Riz. Eh, M-Mas....” Sebisa mungkin Belva membunuh rasa gugupnya. Mencoba tetap tenang di hadapan sang suami.Belva memang tidak memiliki pengalaman terlalu j
Sementara itu, Laila tampak termenung di tengah-tengah kebahagiaan itu. Meskipun dia merasa bahagia juga, tetapi di sisi lain hatinya, terbesit sebuah rasa gelisah yang tak menentu. Benaknya teringat dengan seorang pria yang jauh di sana. Bertanya dalam hati, apakah pria itu baik-baik saja? Apalagi setelah mengetahui kenyataan ini.“Abi, Umi, aku mau langsung pamitan aja ya.” Laila menghampiri orang tuanya dan berniat untuk berpamitan.Kiyai Rahman dan istrinya tampak bingung. “Loh, cepat sekali, Nak? Katanya kamu libur?”“Iya, tapi kerjaanku ternyata masih banyak, Abi. Ada kendala tekhnis yang gak bisa aku biarkan.” Laila beralasan. Namun, sebetulnya alasannya cukup masuk akal. Beberapa menit tadi, salah satu pegawai memang menghubungi Laila dan memberi informasi tentang sebuah kendala kecil di kantornya.“Ya sudah, kalau urusan kerjaan, kita tidak bisa menghalangi. Nanti Abi antar kamu ke Bandara ya,” ujar
“Wah, nantangin nih ceritanya?” Ravin menatap kembali. Ekspresi wajahnya masih terkesan mengejek.Laila tersenyum tipis dan menimpali. “Siapa yang nantangin? Aku cuma mau membuktikan omongan aku aja!”“Baiklah, sekarang coba katakan, sejauh apa pengetahuan dan proyek yang sudah kamu jalani?” tanya Ravin masih tak ingin kalah.Laila melirik ke arah Givari yang sedari tadi hanya memperhatikan keduanya. Kemudian gadis itu membuang napas pelan.Sebenarnya Ravin pun tak bermaksud meragukan kinerja dan masa depan Laila. Tentu saja aslinya dia paham betul gadis seperti apa Laila itu. Hanya saja, Ravin sejak dulu senang menggoda dan meledek.“Dua bulan lalu, aku baru aja menyelesaikan dua projek yang sangat menyenangkan!” kata Laila sembari tersenyum bangga.Ravin menaikkan sebelah alis dan berkata, “Oh ya? Projek apa tuh?”“Butiknya Mbak Belva dan toko buku punya Mas Rizwan!&r