Rizwan bertemu dengan Givari. Mereka pun berbincang santai mengenai banyak hal. Terutama tentang rencana Rizwan yang akan membangun toko buku sekaligus membantu kiyai Rahman mengurus pondok pesantren.
Givari terkagum sekali dengan keponakannya itu. Kadang terbesit dalam hatinya, ingin sekali memiliki putra yang seperti itu. Andaikan Ravin seperti Rizwan yang benar-benar sholeh dan terarah masa depannya.
Akan tetapi dalam hidup ini, kadangkala kenyataan tak sejalan dengan harapan. Mungkin karena terlalu berharap banyak, akhirnya harus menelan kekecewaan.
“Usia kamu sudah 28 tahun. Karir pun sudah bagus dan kamu sudah mapan. Sudah sepantasanya kamu menikah, Nak Rizwan. Apa sudah ada calon istrinya?” tanya Givari.
Tentu saja, di negeri kita ini kalau ada seseorang yang sudah dewasa dan mapan, pasti akan berujung ditanya soal kapan menikah.
Rizwan tersenyum lebar dan menjawab. “Aku juga sudah ada niatan untuk menikah. Tetapi, belum ad
Keesokan paginya, Belva pun tampak sangat resah karena semenjak kedatangan Tigor ke kota itu tentu membuatnya banyak cemas. Khawatir Tigor akan nekat datang menemuinya di rumah dan membuat Oma Tarra pun jadi risih.Akhirnya Belva pun menceritakan semuanya pada Oma Tarra. Tentang perasaannya yang dulu pada Tigor hingga saat ini pria itu masih terus menginginkannya. Bahkan nekat menyusulnya ke daerah ini dan enggan menyerah meski Belva sudah berkali-kali menjelaskan.Sejenak, wanita tua itu termangu mendengarkan cerita dari sang cucu.“Soal cinta, memang tidak ada satu orang pun yang bisa mengendalikannya. Mau berbeda keyakinan atau apa pun itu, cinta tidak memandang tempat untuk berlabuh. Oma tidak menyalahkan perasaan kalian. Pun Tigor pun tidak bersalah karena telah mencintaimu. Hanya saja ... di sini kamu yang harus selalu bersikap tegas. Menolak dengan baik, dan tetap teguh pada keimanan.” Oma Tarra rupanya bisa dengan bijak menyikapi masalah Belv
Tigor masih menatapnya dengan serius. Ia memang sangat mencintai Belva, tetapi sejak awal ia mengungkapkan perasaannya, ada satu hal yang selalu ia lupakan, yaitu bertanya tentang perasaan wanita itu untuknya. Selama ini, Tigor hanya percaya Belva merasa nyaman berada di dekatnya. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Belva kala itu.Akan tetapi, bagaimana perasaan Belva yang sesungguhnya, Tigor tak pernah tahu dengan pasti. Itu salah satu kebodohannya. Terlalu larut dalam mencintai hingga membutakan hatinya.“Siapa pria itu?” tanya Tigor dengan tegas.Belva masih terdiam dan menunduk. Kemudian ia mengangkat wajah dan terlihat matanya bergerak mencari-cari sosok Rizwan di depan sana. Namun, pria itu tak kunjung terlihat lagi.“Tidak penting siapa pria itu untuk kamu ketahui. Yang jelas, hatiku sudah berlabuh padanya.” Belva tersenyum tipis. Ada sedikit kelegaan yang ia rasakan.“Kamu yakin? Atau hanya sedang asal bicara
Belva tersenyum simpul kemudian menggeleng pelan. “Nggak, kok. Kita gak pacaran. Cuma sebatas rekan kerja aja.”Dalam diamnya, Rizwan pun menghela napas lega. Senyuman tipis terukir di bibir manisnya. Meskipun hatinya merasa gelisah dan berpikir Belva dengan managernya itu pasti bukan sekedar rekan kerja biasa.“Tapi kalian sangat dekat, ya,” ucap Rizwan.“Dekat karena udah kenal lama. Tapi aku gak nyangka banget, kalau ternyata dia ada hubungan sama istrinya Ravin waktu itu. Yahh, kamu pasti sudah tau kan gimana problematika kami kemarin-kemarin?” Belva terkekeh.Rizwan pun tertawa kecil dan tentu saja ia sudah mengetahui banyak soal hal itu. Hanya saja kedekatan Belva dan Tigor menurutnya sangat berbeda.“Dia suka sama kamu, kan?” Rizwan buka suara lagi. Membuat Belva sontak melebarkan mata.Seperkian detik hanya ada senyuman di antara keduanya. Belva pun bingung harus menjelaskan darimana. N
Cindy tak bisa berkomentar selain tertawa saja. Sebelumnya Maria memang pernah menyinggung hal demikian, tetapi Cindy tak pernah menganggap itu hal yang serius.Ia kembali menatap bayi cantik dalam dekapannya. “Kamu gimana, Nak? Mau punya mama kayak aku?”Maria dan Aisyah terkekeh mendengarnya. Sang bayi tentu saja tidak memberikan respon apa-apa selain hanya menggeliyat. Namun, menurut Aisyah, Syahla sepertinya sangat nyaman di gendong oleh Cindy.“Biasanya dia kalau sama orang baru, rewel banget loh, Tante.” Aisyah menatap Maria yang tersenyum.“Syahla punya insting yang kuat. Mungkin dia juga pengen Cindy jadi mamanya.” Maria menggoda, membuat Cindy mendadak bersemu.Setelah cukup bertamu dan melepas rindu dengan sang cucu, Maria dan Cindy pun berpamitan. Cindy menyetir sendirian karena Maria sudah di jemput oleh sopir pribadinya.Selama dalam perjalanan, Cindy jadi terbayang-bayang ucapan Maria dan Ais
Suasana mendadak Hening. Belva dan Rizwan hanya saling pandang dalam diam. Sementara Tigor memperhatikan Belva dan menatap penuh tanya.“Kamu gak perlu melakukan itu hanya untuk membuatku menyerah, Bel. Karena aku paling tau bagaimana perasaanmu!” Alih-alih terkejut, Tigor justru bersikap sebaliknya. Masih mengelak kenyataan.Belva menarik napas panjang dan menatap Tigor lamat-lamat. “Apa yang aku katakan ini bukan sebuah lelucon! Aku memang sudah dilamar. Sebentar lagi aku akan menikah dengan pria itu.”Tigor berdesis lirih dan melengos tak percaya. “Dengan siapa kamu akan menikah, hem? Apa kamu bisa buktikan siapa pria itu?”Belva menoleh ke arah Rizwan dan menyunggingkan senyuman. “Dia calon suamiku. Rizwan namanya. Harusnya kamu sudah tau siapa dia. Dan, aku harap ini sudah cukup membuktikan.”Tigor menautkan kedua alis lalu menoleh pada pria yang berdiri di sebelah Belva. Ia menatap dari ujung ka
“Iya. Sekarang rumah itu kosong. Sayang sekali jika dibiarkan begitu saja!” Givari tersenyum.“Sebenarnya rumah itu sudah dijual oleh Ravin, tapi dia tidak tau saja, kalau dia menjual pada rekan Om sendiri. Jadi, Om ambil alih kembali rumah itu. Dan, sekarang rumah itu pun sudah melalui beberapa tahap renovasi. Yah ... untuk menghilangkan sedikit kisah kelam saja di dalamnya,” lanjut Givari.Laila tertegun mendengarnya. Matanya melebar dan lidahnya mendadak kelu untuk berkomentar.“Boleh aku lihat rumahnya, Om?” Laila mendadak penasaran.Givari mengangguk setuju. “Oh, tentu saja boleh. Kita berangkat sekarang.”Jadilah, mereka berdua beranjak meninggalkan kantor dan bergegas menuju rumah Ravin yang berada di sebuah komplek elite dekat pesisir pantai. Mobil sudah memasuki gerbang utama rumah bernuansa modern yang tidak terlalu besar tetapi masih terbilang cukup mewah.Terlihat seorang pria paruh
“Wah, nantangin nih ceritanya?” Ravin menatap kembali. Ekspresi wajahnya masih terkesan mengejek.Laila tersenyum tipis dan menimpali. “Siapa yang nantangin? Aku cuma mau membuktikan omongan aku aja!”“Baiklah, sekarang coba katakan, sejauh apa pengetahuan dan proyek yang sudah kamu jalani?” tanya Ravin masih tak ingin kalah.Laila melirik ke arah Givari yang sedari tadi hanya memperhatikan keduanya. Kemudian gadis itu membuang napas pelan.Sebenarnya Ravin pun tak bermaksud meragukan kinerja dan masa depan Laila. Tentu saja aslinya dia paham betul gadis seperti apa Laila itu. Hanya saja, Ravin sejak dulu senang menggoda dan meledek.“Dua bulan lalu, aku baru aja menyelesaikan dua projek yang sangat menyenangkan!” kata Laila sembari tersenyum bangga.Ravin menaikkan sebelah alis dan berkata, “Oh ya? Projek apa tuh?”“Butiknya Mbak Belva dan toko buku punya Mas Rizwan!&r
Sementara itu, Laila tampak termenung di tengah-tengah kebahagiaan itu. Meskipun dia merasa bahagia juga, tetapi di sisi lain hatinya, terbesit sebuah rasa gelisah yang tak menentu. Benaknya teringat dengan seorang pria yang jauh di sana. Bertanya dalam hati, apakah pria itu baik-baik saja? Apalagi setelah mengetahui kenyataan ini.“Abi, Umi, aku mau langsung pamitan aja ya.” Laila menghampiri orang tuanya dan berniat untuk berpamitan.Kiyai Rahman dan istrinya tampak bingung. “Loh, cepat sekali, Nak? Katanya kamu libur?”“Iya, tapi kerjaanku ternyata masih banyak, Abi. Ada kendala tekhnis yang gak bisa aku biarkan.” Laila beralasan. Namun, sebetulnya alasannya cukup masuk akal. Beberapa menit tadi, salah satu pegawai memang menghubungi Laila dan memberi informasi tentang sebuah kendala kecil di kantornya.“Ya sudah, kalau urusan kerjaan, kita tidak bisa menghalangi. Nanti Abi antar kamu ke Bandara ya,” ujar
Tigor terdiam beberapa detik. Cindy bisa melihat ada air mata yang membasahi pipi pria itu. Tigor bangkit dari tempat tidur dan berjalan sempoyongan ke arah pintu.“Mama ....” Tigor bergumam lirih, tak lama ia terkulai di atas lantai dan kehilangan kesadaran.Cindy bergegas menghubungi pihak keamanan untuk membatunya membawa Tigor ke layanan kesehatan.“Dia mabuk berat. Tapi tidak perlu khawatir, kami sudah memberikan terapi yang tepat untuk pasien. Hanya saja dalam waktu beberapa jam, dia masih harus tertidur.” Dokter menjelaskan keadaan Tigor.Cindy bersandar lelah di kursi tunggu. Dia memberi kabar pada Aisyah mengenai keadaan Tigor. Tetapi berharap agar Aisyah tidak memberitahu hal ini pada Maria. Khawatir akan memperburuk keadaan.Wanita cantik itu bahkan tak mengerti, mengapa dia bisa dihadapkan dengan situasi yang sangat rumit ini. Dia berada ditengah-tengah kisah cinta yang beragam. Belva dan Rizwan yang kini tengah
Di sela-sela perjalanan, untuk pertama kalinya Tigor merasakan patah hati yang lebih dalam. Ini lebih menyakitkan daripada melihat Belva menikah dengan pria lain. Pikirnya, Belva hanya menikah sebagai status, dan kesuciannya tak akan pernah dia berikan.Namun, kenyataan tak semanis itu. Kali ini Belva menikah sungguhan karena landasan cinta. Bukan hanya cinta saja, melainkan karena satu keimanan. Tigor tak pernah berpikir, Belva akhirnya mengandung benih pria lain. Ini amat sangat menyakitkan.Tigor menatap pantulan dirinya di dalam kamar apartement. Bahkan di pipinya pun masih tergambar jelas telapak tangan Cindy yang menamparnya semalam. Wanita yang dulu mendukung hubungannya dengan Belva, kini malah menorehkan rasa sakit di pipinya.“Arrgggghhh!!” Tigor berteriak kencang di dalam kamar. Hatinya remuk dan hancur. Setelah ini, dia tidak tahu dengan cara apa menyatukan kembali serpihan hatinya yang berserakan itu.***Kabar kehamilan Be
“Tigor?” Belva termangu. Sementara pria itu malah duduk santai sembari melipat kaki dan tersenyum erotis menatapnya.“Hai, sayang. Long time no see!” Tigor beranjak dari sofa dan berjalan ke arah Belva.Belva menelan ludah dan masih tak menyangka, pria itu kembali juga hari ini.“Ke mana aja kamu? Ninggalin kerjaan gitu aja. Gak bertanggung jawab!” ketus Belva sembari berjalan ke arah meja kerja untuk merapikan tas dan barang bawaannya.“Sengaja. Biar dapat hukuman dari kamu!” Tigor meraih tangan Belva tanpa ragu dan dengan gerakan cepat Belva menghentakkan genggaman itu.“Jangan kurang ajar!! Kamu gak pantas melakukan itu ini! Keterlaluan!” Belva menatap tajam.“Kenapa, Bel? Kamu mau mengelak apa lagi? Jelas, yang kamu lakukan hari ini adalah bukti bahwa kamu masih mencintai aku, kan?” Pria tampan itu menatap serius.Sementara Belva mendelik jengkel. &ld
Sampai waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Belva pun berpamitan. Dia menyetir mobil sendiri menuju hotel.Di sela-sela perjalanan, ponselnya berdering. Belva melirik sekilas, kemudian matanya melebar saat melihat orang yang dicari-cari tengah menghubungi.Tigor is calling...Cepat-cepat Belva menepikan mobilnya di bahu jalan, dan gegas menjawab panggilan itu.“Kamu ke mana aja, Tigor?” Belva langsung berujar tegas.Tak ada jawaban.“Hallo? Tigor?”“Hai, Belva.” Suara pria itu terdengar santai sekali.“Kamu nggak usah sok misterius mendadak ilang-ilangan kayak gini, Tigor. Kamu kekanak-kanakan tau nggak! Ninggalin kerjaan dan nyusahin kita semua!” Belva mengomel kesal.“Kamu yang udah buat aku kayak gini, Belva. Apa salah kalau aku pergi!” Pria di seberang panggilan itu tertawa kecil. “Ah, tapi aku berhasil. Ternyata ... kamu gak benar-benar ning
Sejenak Rizwan berpikir. Sebenarnya ini adalah ide yang bagus juga. Hitung-hitung sebagai bulan madu mereka yang sempat tertunda.“Aku mau temanin kamu. Tapi aku harus izin dulu sama kiyai Rahman. Karena pasti kita di sana dalam waktu yang tidak sebentar kan?” ujar Rizwan.Belva tersenyum manis dan melingkarkan tangan di leher suaminya. Kini semakin lama sepasang suami istri itu kian lekat dan romantis. Sudah tidak canggung lagi dalam menunjukkan cinta dan sayangnya.“Beliau pasti mengizinkan kamu, Mas. Lagian ... ini kan sudah masuk minggu ke tiga pernikahan kita, tapi kita belum pernah pergi berdua. Maksudnya seperti berbulan madu.” Belva merona sendiri mengatakannya.Rizwan pun menciup pipi sang istri dan berkata, “Baiklah, permaisuriku. Kita akan sekalian honeymoon. Meskipun setiap malam setelah pernikahan kita ini, rasanya seperti bulan madu terus bagi aku.”Keduanya merona dalam pelukan mesra. Setiap malam
Tempat itu menjadi saksi dari bersatunya sebuah cinta yang halal. Seorang istri telah menjadi hak penuh untuk suaminya. Akhirnya apa yang dulu sangat dijaga, kini waktunya untuk dijelajahi. Apa yang dulu sempat haram di pandang, kini menjadi nilai ibadah untuk dilakukan.Beberapa waktu kemudian, mereka terbaring lelah bersebelahan. Merasakan pelepasan yang sangat sulit dilukiskan bagaimana rasanya. Hanya bisa saling pandang dalam senyuman yang penuh cinta. Mereka sudah cukup dewasa untuk mengartikan kenikmatan itu. Yang jelas, setelah ini hanya ada harapan-harapan baik juga benih-benih cinta yang akan selalu mereka tanam.“Mau mandi bareng?” Rizwan mengulurkan tangan. Mengajak sang istri untuk sama-sama membersihkan tubuh.Belva mangangguk malu-malu. Semua yang mereka lakukan malam ini, adalah pengalaman pertama yang sangat menyenangkan. Rizwan pun memberitahu bagaimana cara mandi dan bersuci dengan benar. Bagi Belva, ini pengetahuan yang baru dan se
Ada gelenyar aneh dalam debaran hati mereka masing-masing. Belva tak pernah merasakan desiran yang sangat memanjakan dalam hatinya ketika bibir manis pria itu menyentuh jemarinya untuk pertama kali.Sejenak, hanya keheningan di antara keduanya. Saling menatap penuh makna.“Jangan menatap aku begitu, Rizwan. Aku ... malu.” Belva menunduk. Menyembunyikan rona kemerahan di wajah cantiknya.Rizwan tersenyum manis. Jemarinya menyentuh dagu sang istri agar wajah itu kembali terangkat dan menatapnya.“Aku kan sudah bilang, jangan panggil nama.” Suara bariton pria itu semakin sensual di telinga.Belva tersenyum gugup. Padahal belum ada satu menit suaminya memberikan permintaan, tetapi rasa canggung mengalahkan ingatannya.“Oh ... i-iya. Maaf, aku lupa, Riz. Eh, M-Mas....” Sebisa mungkin Belva membunuh rasa gugupnya. Mencoba tetap tenang di hadapan sang suami.Belva memang tidak memiliki pengalaman terlalu j
Sementara itu, Laila tampak termenung di tengah-tengah kebahagiaan itu. Meskipun dia merasa bahagia juga, tetapi di sisi lain hatinya, terbesit sebuah rasa gelisah yang tak menentu. Benaknya teringat dengan seorang pria yang jauh di sana. Bertanya dalam hati, apakah pria itu baik-baik saja? Apalagi setelah mengetahui kenyataan ini.“Abi, Umi, aku mau langsung pamitan aja ya.” Laila menghampiri orang tuanya dan berniat untuk berpamitan.Kiyai Rahman dan istrinya tampak bingung. “Loh, cepat sekali, Nak? Katanya kamu libur?”“Iya, tapi kerjaanku ternyata masih banyak, Abi. Ada kendala tekhnis yang gak bisa aku biarkan.” Laila beralasan. Namun, sebetulnya alasannya cukup masuk akal. Beberapa menit tadi, salah satu pegawai memang menghubungi Laila dan memberi informasi tentang sebuah kendala kecil di kantornya.“Ya sudah, kalau urusan kerjaan, kita tidak bisa menghalangi. Nanti Abi antar kamu ke Bandara ya,” ujar
“Wah, nantangin nih ceritanya?” Ravin menatap kembali. Ekspresi wajahnya masih terkesan mengejek.Laila tersenyum tipis dan menimpali. “Siapa yang nantangin? Aku cuma mau membuktikan omongan aku aja!”“Baiklah, sekarang coba katakan, sejauh apa pengetahuan dan proyek yang sudah kamu jalani?” tanya Ravin masih tak ingin kalah.Laila melirik ke arah Givari yang sedari tadi hanya memperhatikan keduanya. Kemudian gadis itu membuang napas pelan.Sebenarnya Ravin pun tak bermaksud meragukan kinerja dan masa depan Laila. Tentu saja aslinya dia paham betul gadis seperti apa Laila itu. Hanya saja, Ravin sejak dulu senang menggoda dan meledek.“Dua bulan lalu, aku baru aja menyelesaikan dua projek yang sangat menyenangkan!” kata Laila sembari tersenyum bangga.Ravin menaikkan sebelah alis dan berkata, “Oh ya? Projek apa tuh?”“Butiknya Mbak Belva dan toko buku punya Mas Rizwan!&r