Hari ini Arsana pergi mengajar, Zayver sudah tahu pekerjaan Arsana selain menjaga studio, dia juga menjadi guru relawan.Orang-orang suruhan Zayver masih terus mengikuti pergerakannya, membuat Arsana semakin terhambat dalam menjalankan misinya. Setelah selesai mengajar, Arsana berniat untuk mengunjungi Zahra kembali, tetapi sebelum pergi ke tempat Zahra. Arsana datang ke sebuah mall yang tak jauh dari rumah sakit dimana Zahra bekerja. Arsana terus berjalan-jalan, berbelanja begitu banyak barang dan dipegang oleh semua pengawalnya lalu dia pun masuk ke dalam klinik kecantikan, berpura-pura untuk menjalani perawatan seperti yang dilakukan pada saat itu. Para pengawalnya pun menunggu di luar klinik tanpa curiga. Arsana dengan lihai menyelinap keluar dari pintu belakang klinik, memastikan tidak ada yang menyadarinya. Setelah berhasil lolos dari pengawasan, Arsana bergegas menuju rumah sakit tempat Zahra, bekerja. Setibanya di rumah sakit, Zahra terlihat kaget melihat Arsana tiba-tiba
Zayver menembak kaki masing-masing pengawalnya yang ceroboh. Ruangan dipenuhi jeritan kesakitan, tetapi Zayver tidak peduli. Matanya bersinar dengan kebencian."Kalian tidak becus menjaga Arsana!" teriaknya, suaranya bergetar oleh kemarahan. "Temukan dia, atau kalian akan merasakan akibat yang lebih buruk lagi!"Para pengawal hanya bisa mengangguk dengan kesakitan, berjanji dalam hati untuk menemukan Arsana secepat mungkin. Namun, di balik janji mereka, ketakutan dan kegelisahan terus mengintai, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada Arsana.Zayver menatap para pengawalnya yang tergeletak di lantai dengan ekspresi dingin. Mengabaikan jeritan kesakitan mereka, dia merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Dia menekan beberapa tombol dan menelepon asistennya."Cari Arsana melalui setiap CCTV yang ada di jalanan. Gunakan semua sumber daya yang kita miliki. Aku ingin laporan secepatnya," kata Zayver dengan nada tegas."Siap, Tuan!" jawab asistennya singkat sebelum sambungan telepo
Arsana tahu bahwa dia harus melawan untuk bertahan dan bisa keluar dari tempat yang tidak diketahuinya saat ini. Dengan tekad yang kuat, dia mempersiapkan diri untuk menghadapi musuh selanjutnya yang berada di luar.Arsana diam-diam keluar dari ruangan tersebut, melihat ke sana kemari dengan tatapan penuh waspada sambil membawa dua senjata.Dari balik tembok, Arsana menghitung berapa jumlah orang yang berjaga di dalam bangunan tersebut.Ada beberapa orang berjaga di lorong yang harus dilaluinya. Arsana mengatur nafasnya, menyusun rencana dalam pikirannya. Dia harus bergerak cepat dan tepat. Dengan kecekatan yang dimilikinya, Arsana mengendap-endap mendekati penjaga pertama. Sebelum penjaga itu sempat menyadari kehadirannya, Arsana dengan cepat menekannya dari belakang dan membungkam mulutnya. Dengan gerakan cepat menggunakan pisau kecil yang dia ambil dari penjaga sebelumnya, Arsana berhasil mengakhiri nyawa penjaga itu tanpa suara.Arsana melanjutkan langkahnya dengan hati-hati, menj
Arsana berlari tanpa arah di dalam hutan yang lebat dengan pohon-pohon di sepanjang jalan, langkah kakinya cukup kesulitan oleh semak-semak yang tebal dan sedikit berduri. Napasnya terengah-engah, di setiap tarikan dan hembusan udara terasa berat di dadanya. Tubuh benar-benar lelah dan lemah, perutnya yang kosong terasa perih. Belum lagi, rasa sakit yang menjalar akibat tendangan kasar dari anak buah Kimchi di perutnya. Namun, rasa takut yang mencekam memaksanya untuk terus bergerak, mencari jalan keluar agar tidak kembali tertangkap.Matanya yang berkaca-kaca, liar mencari celah di antara pepohonan tinggi yang seakan menutup seluruh jalan. Langkahnya sering terhenti oleh akar-akar besar yang menjalar di tanah, membuatnya tersandung beberapa kali. Namun, Arsana tidak punya pilihan lain, dia harus terus berlari. Sesekali menoleh ke belakang, bayangan ketakutan membuatnya yakin bahwa ada seseorang yang mengejarnya. Wajahnya terlihat kacau, keringat bercucuran, rambutnya berantakan,
Setelah dokter selesai memeriksa Arsana dan memastikan bahwa kondisinya stabil, Arsana kembali berbaring di tempat tidurnya. Saat dokter keluar dari ruangan, keheningan melingkupi mereka. Tiba-tiba, Arsana merasakan sentuhan lembut di perutnya. Ia melihat Zayver yang duduk di sampingnya, tangannya meraba perutnya dengan penuh perhatian."Zayver, apa yang kamu lakukan?" tanya Arsana dengan suara bergetar. Mata mereka saling bertemu, ada kebingungan dan ketakutan di mata Arsana, sementara di mata Zayver, terlihat campuran emosi yang sulit diartikan."Kenapa kamu tidak memberitahuku tentang kehamilanmu?" tanya Zayver dengan nada tegas namun penuh kekecewaan. "Kenapa kamu menyembunyikannya dariku?"Arsana menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab. "Aku tidak ingin melahirkan anak dari pria kejam sepertimu, Zayver," jawabnya dengan suara gemetar. "Aku takut. Aku takut kamu akan marah padaku dan tak ingin menerima kehadiran bayi ini, ttu sebabnya aku berenca
Arsana berhenti sejenak, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Perasaan gelisah dan cemburu mulai merayap dalam dirinya. Arsana memperhatikan gerak-gerik wanita yang tampaknya berusaha menarik perhatian Zayver dengan cara yang tidak biasa. Meskipun hatinya diliputi kecemasan, Arsana memutuskan untuk tidak mengganggu dan membiarkan Zayver bersama wanita yang mencoba memainkan perannya. Dengan hati yang berat, Arsana berbalik untuk mencari manajernya, karena dialah orang yang menyuruhnya datang dan ingin mempertanyakan siapa wanita tersebut.Namun, Arsana tak kunjung bertemu dengan atasannya hingga membuatnya lelah dan memilih pergi ke ruang ganti, bersiap untuk pulang.Setibanya di sana, Arsana mendadak penasaran dan ingin mencari tahu siapa wanita yang telah berani menyamar sebagai dirinya.Ketika Arsana masuk ke dalam ruang khusus tempat para wanita merias diri, dia tak sengaja melihat wanita yang sebelumnya bersama Zayver telah kembali dan akan melepas topengnya.‘Kenapa cepat
Arsina melangkah ke arahnya dengan percaya diri. "Aku datang untuk mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku dan juga memberitahumu sesuatu, Arsana. Mulai saat ini, kamu harus pergi dari kehidupan Zayver. Dia adalah milikku. Kamu hanyalah istri pengganti,” ucap Arsina dengan tatapan sinisnya."Arsina, kamu tidak punya hak untuk mengusirku dari hidupnya. Zayver adalah suamiku," katanya dengan suara tegas.Arsina tertawa sinis. "Suamimu? Kamu bercanda, kan? Kamu tahu bahwa seharusnya aku yang menikah dengan Zayver."“Ya, seharusnya memang seperti itu, tetapi sayangnya ayahmu telah memilihku dan membuatku menikah dengan Zayver, jadi aku tidak perlu repot-repot memikirkan masa depanku.”“Arsana, kau benar-benar tidak tahu diri! Zayver adalah milikku, sekarang kamu pergi dari rumah ini,” usir Arsina, sambil menunjuk ke arah pintu seakan dialah pemilik rumahnya.Arsana menarik napas dalam-dalam, berusaha keras mengendalikan emosinya yang berkecamuk dalam hatinya yang selalu sensitif se
Ketika Arsana melepaskan ciumannya, dia melihat Zayver terdiam untuk beberapa saat.“Aku juga mencintaimu, Arsa. Nama yang bagus,” jawab Zayver, membuat Arsana terkejut. Arsana menundukkan kepalanya seakan merasa bersalah, jemarinya bermain-main dengan ujung selimut yang menutupi kakinya. Hatinya berkecamuk, menyadari bahwa kebohongannya sebentar lagi akan terbongkar.“Maaf,” bisiknya dengan suara lirih.Zayver mengerutkan kening, bingung dengan sikap Arsana yang tiba-tiba berubah. “Kenapa kamu minta maaf?”Arsana menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. “Aku harus jujur padamu, Zayver. Selama ini... Aku telah membohongimu.”Zayver menatap Arsana dengan tatapan serius, menunggu penjelasan lebih lanjut. “Emmmm… Kamu memang sering berbohong,” jawabnya.Arsana menggigit bibirnya, merasakan air mata menggenang di sudut matanya. “Maaf! Aku tidak bermaksud untuk berbohong dan berpura-pura menyamar menjadi Arsa, semua itu aku lakukan agar aku bisa bekerja di klub malam.
Arsana selesai mengemasi semua pakaiannya dengan hati yang berat. Setiap pakaian yang dilipatnya terasa seperti menambah beban di dadanya. Setelah semuanya dimasukkan ke dalam koper, dia menghela nafas panjang, mencoba menguatkan diri. Dia mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi nomor Zayver, namun sayangnya ponselnya tidak aktif. Kegelisahan menyelimuti hatinya. Arsana merasa bingung dengan kepergian Zayver yang tiba-tiba dan juga dengan hilangnya pengawalan anak buah Zayver yang biasa menjaganya. Seakan-akan Zayver telah menarik semua penjagaannya, meninggalkannya sendirian di rumah.Merasa hampa dan kesepian, Arsana mencoba mengirim pesan kepada kedua sahabatnya, Leana dan Zahra, bahwa dia akan meninggalkan Papua lebih dahulu. Kata-kata yang dituliskannya terkesan datar, mencerminkan kebingungannya. Dia menatap layar ponselnya sejenak, berharap ada keajaiban yang akan terjadi, namun kenyataan tetap saja menyakitkan. Setelah semua persiapannya selesai, Arsana segera menuju band
Setelah memarkir mobilnya, Arsana masuk ke dalam mall dan berputar-putar untuk mengetahui siapa yang membuntutinya. Dari kaca toko yang dilewatinya, Arsana melihat dua orang pria mengikuti dari kejauhan. Arsana segera merencanakan langkah berikutnya.Dengan cepat, Arsana memasuki sebuah toko pakaian dan menghilang di antara rak-rak baju. Dia memilih beberapa pakaian, berpura-pura mencoba beberapa di antaranya di ruang ganti. Di dalam ruang ganti, Arsana mengamati dua pria itu dari cermin kecil yang dipasangnya di sudut ruangan. Pria-pria itu tampak kebingungan mencari Arsana.Setelah beberapa saat, Arsana melihat celah untuk keluar dari toko tanpa terlihat. Dia menyelinap keluar dan dengan cepat menuju pintu belakang mall. Begitu berada di luar, Arsana dikejutkan oleh dua orang yang tiba-tiba mencegatnya."Nona Arsana, ini kami," ucap salah satu pria yang tak dikenali Arsana."Siapa kalian? Kenapa mengikutiku?" tanya Arsana dengan tegas."Aku anak buah Zayver yang diperintahkan Matteo
Saat sampai di rumah, Arsana mendapati Matteo, Kris, serta kedua temannya, Leana dan Zahra, sudah menunggunya. Leana dan Zahra langsung memeluk Arsana, mencoba menenangkannya."Arsana, kami di sini untukmu," kata Leana dengan suara lembut."Kami tahu ini berat," tambah Zahra sambil mengusap punggung Arsana.Arsana menarik napas panjang, lalu melepaskan pelukan mereka. Ia menatap Matteo dan Kris dengan mata penuh pertanyaan. "Aku harus tahu. Apakah Zayver benar-benar terlibat dalam kasus ilegal ini?"Matteo mengangguk pelan. "Ya, kita memang terlibat, tetapi bukan dalam barang ilegal seperti narkoba. Kami berempat terlibat dalam perdagangan senjata ilegal, bahkan kami baru saja membangun sebuah tempat gudang penyimpanan dan juga tempat pembuatannya disini untuk cabang baru."Arsana di buat terkejut. "Senjata ilegal? Bagaimana bisa?"Matteo melanjutkan, "Sejak dulu, Zayver adalah seorang Mafia dengan koneksi yang cukup luas, sebelum menjadi CEO di perusahaannya sekarang. Namun, dia tida
Keesokan harinya, Zayver berpamitan pada Arsana untuk pergi bekerja. Begitu juga dengan Arsana yang meminta izin pada Zayver untuk pergi ke studionya.Setelah mendapatkan izin, Arsana segera mengemudikan mobil miliknya. Namun, dalam perjalanan, Arsana mengambil arah lain, bukan ke tempat studionya. Dia menuju sebuah bangunan untuk bertemu dengan rekan tim agennya. Mereka telah mendapatkan informasi dari salah satu rekannya yang berhasil masuk ke dalam bangunan tersebut dan mengaku sebagai pekerja, bahwa bangunan itu digunakan untuk memproduksi barang ilegal dan obat-obatan terlarang. Selain itu, di dalam bangunan besar tersebut juga terdapat banyak gudang penyimpanan persenjataan ilegal yang baru saja tiba.Sebelum sampai ke tempat tujuan, Arsana menyimpan mobilnya di sekolah lamanya, di mana dia biasanya mengajar sebagai guru relawan. Namun, setelah insiden kebakaran villa yang membuatnya kehilangan anak pertamanya, Arsana berhenti mengajar.Arsana segera berjalan mendekati sebuah mo
Alex belum juga menjawab, Zayver telah memutuskan teleponnya, menyimpannya begitu saja. Zayver memandang ke arah wajah Arsana yang sedang terlelap tidur. Dia tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Alex, sehingga memilih untuk tidur kembali dan membawa Arsana kedalam pelukannya. ****Keesokan harinya, Arsana tidak dapat pergi kemanapun karena Zayver ada di rumah. Dia hanya duduk di ayunan taman belakang sambil menunggu kedatangan Zayver yang sedang mengambil minuman untuk mereka berdua.Zayver yang ingin kembali menemui Arsana di halaman belakang, tiba-tiba melihat kedatangan Alex, Matteo, dan Kris. Entah apa yang mengundang kedatangan mereka tiba-tiba, tanpa menghubungi Zayver terlebih dahulu.Zayver mengerutkan kening, merasa ada yang tidak beres. Dia berjalan mendekati mereka dengan langkah cepat. “Apa yang kalian lakukan disini?” tanyanya dengan nada tegas, seakan tidak suka dengan kehadiran mereka.Alex tersenyum tipis. "Tentu saja untuk bertemu istrimu,” jawabnya."Ck!” Zayve
Setelah pertemuan selesai, Arsana keluar dari ruangan dengan langkah tegap. Dia tahu bahwa kegagalan bukanlah salah timnya melainkan dirinya sendiri yang terlalu fokus pada kehidupan pribadinya. Namun kali ini, Arsana akan berusaha untuk mulai fokus kembali pada misinya yang belum selesai sebelum dia mengundurkan diri dari pekerjaannya.Dengan langkah cepat, Arsana memasuki sebuah taksi untuk menuju studio.Arsana berhenti tak jauh dari studio foto miliknya yang sudah lama tidak dikunjunginya. Namun, ketika dia melangkah lebih dalam, hatinya sedikit terkejut melihat apa yang ada di hadapannya. Studio itu berantakan. Semua barang yang ada di dalamnya berserakan tak karuan. Dengan langkah cepat, Arsana berjalan menuju meja kerjanya, tempat di mana komputer yang biasa digunakan untuk mencetak foto seharusnya berada. Namun, yang dia temukan hanyalah ruang kosong. Komputer dan mesin cetak lainnya hilang begitu saja.Arsana berdiri terpaku sejenak, mencoba memahami apa yang terjadi. "Ini pa
Setelah mendapatkan izin dari Arsana, Zayver segera pergi dari rumah sakit menuju tempat eksekusi.Anak buah Zayver telah kembali dengan Wijaya beserta anak istrinya. Mereka terikat dan terlihat ketakutan. Dengan kasar, anak buah Zayver mendorongnya masuk ke ruangan gelap itu dan menjatuhkannya di hadapan Zayver. Wijaya berusaha berdiri namun dengan cepat didorong kembali ke lantai.Zayver menatapnya dengan tatapan dingin. "Kenapa kau melakukan ini, Wijaya? Apa kau sudah bosan hidup?" tanyanya dengan suara yang tenang namun penuh ancaman.Wijaya tertawa kecil, meskipun ada ketakutan di matanya. Namun, dia terlalu percaya diri dan mengira bahwa Zayver tidak mungkin melakukan hal kejam padanya. "Kau tidak akan pernah mengerti, Zayver. Arsana tidak seharusnya ada di hidupmu. Dia hanya pengganti sementara. Arsina adalah yang seharusnya menjadi istrimu." Zayver menatap tajam Wijaya, seakan tidak ada ampun lagi baginya."Kau telah berani menipuku sejak awal, dan sekarang kau melakukan ke
Saat di dalam kamar, Arsana mencoba menghubungi Zayver untuk menceritakan tentang Wijaya. Perasaannya mendadak tidak karuan setelah mendapatkan telepon dari ayahnya. Namun, Zayver tidak mengangkat telepon dari Arsana karena dia sedang sibuk dengan urusan bisnis di kantornya, membahas rencana ekspansi perusahaan dengan beberapa klien penting. Dia tidak terlalu fokus pada ponselnya yang bergetar di atas meja kerjanya sementara dia berada di sofa.Arsana menghela nafas pasrah, dia akan menceritakannya saat Zayver pulang nanti, lalu meraih sebuah buku. Namun, buku di tangannya jatuh ke lantai dan tiba-tiba dia mendengar suara tembakan dan suara langkah kaki berat mendekati kamarnya.Pintu kamar Arsana didobrak dengan keras. Beberapa pria bersenjata masuk dengan penutup wajah.Orang-orang itu mencoba menarik tangan Arsana dan ingin membawanya pergi, Arsana melawan dengan sekuat tenaga, memukul salah satu pria dengan vas bunga, membuatnya terhuyung ke belakang.Namun, jumlah mereka ada li
Arsana menghentikan pergerakan Zayver yang ingin melepas semua pakaian yang menempel pada tubuhnya.“Zayver, apa yang kamu lakukan?” tanya Arsana dengan nafas terengah-engah.“Aku menginginkanmu, Arsana.”“Tapi, aku—” belum selesai Arsana berbicara, Zayver sudah menyela.“Aku sudah berkonsultasi dengan Zahra tentang ini. Dia hanya melarangku bersikap terlalu kejam. Itu tidak akan terjadi lagi, aku tidak akan menyakitimu seperti sebelumnya.” Suara Zayver terdengar pelan di akhir perkataannya, membuat Arsana tak berani melarangnya.Arsana mengangguk, membiarkan Zayver menyalurkan keinginannya. Zayver menatapnya dengan penuh kasih, matanya lembut dan mengerti. Perlahan-lahan, Zayver mulai mengecup bibir Arsana, membelainya dengan kelembutan yang membuat Arsana merasa aman dan dicintai. Tangannya yang hangat menjelajahi tubuh Arsana dengan sentuhan penuh kasih sayang, membangkitkan gairah yang sudah lama terpendam."Zayver, aku...," desah Arsana, matanya memandang Zayver dengan rasa cinta