Nuria tak ambil pusing dengan apa yang sepupunya pakai. Lagipula kalung, gelang dan cincin itu tak mampu memberinya kebahagiaan. Andai boleh, ingin saja Nuria memilih untuk tak menikahi Juragan Arga dan menentukan sendiri masa depannya. Usianya kini baru delapan belas tahun, masih banyak hal yang ingin dia ketemukan. Bukan sesingkat ini terikat dalam pernikahan. Bi Lela tersenyum seraya menyembunyikan juga tangannya ke belakang. Semua orang bersikap aneh hari ini. Nuria gegas ke dapur untuk membersihkan wajah sebelum nanti mau memasak untuk makan malam.“Nur, masaknya gak usah banyak-banyak. Bibi sama Rina mau kondangan habis maghrib nanti. Jadi masak buat kamu saja, ya! Paman juga ikut nganterin!” tukasnya. Wajah Bi Lela kali ini tampak benar-benar cerah. “Oh, gak pada makan, Bi?” Nuria yang tengah mengupas bawang menghentikan gerakan tangannya. Dia menoleh pada Bi Lelau yang berdiri di ambang pintu. “Enggak!” Bi Lela tersenyum manis, lalu meninggalkannya. Lagi-lagi aneh, tanganny
“Gelang ini mirip banget punya kamu, ya! Padahal ini tuh Bibi beli yang imitasi tempo hari. Nah sore tadi baru jadi. Pas Bibi amati, kok mirip banget punya kamu, Nur! Tuh ‘kan mirip! Tapi ini bukan punya kamu, kok!” tukasnya seraya memutar-mutar tangan di depan wajahnya. Namun wajahnya tampak tak tenang apalagi tatapan Nuria yang mengantakan seolah tak percaya.“Oh gitu, Bi?” Nuria tersenyum simpul. Dia masa bodo sebetulnya jika betul pun gelang itu miliknya. Rasanya semangat hidupnya sudah tergadai dengan semua keadaan ini. “Iya, Nur! Bibi berangkat dulu, ya! Bibi mau pergi kondangan!” Bi Lela tersenyum seraya menepuk pundak Nuria. Satu paper bag yang dia incar sudah beralih ke dalam tentengannya. Alat make up lengkap yang akan digunakan olehnya.Nuria hanya mengangguk. Lalu menutup pintu kamar setelah Bi Lela meninggalkannya. Lagi-lagi dia hanya menghabiskan waktu dengan duduk bengong dan memeluk lutut di dalam kamarnya. Semua barang mewah yang Juragan Arga kirimkan tak bisa membel
Nuria menggeleng kepala, feelingnya sudah semakin tak karuan. Dia gegas berbalik hendak melarikan diri melalui pintu dapur. Namun sayang, gerakannya kalah cepat. Kedua tangan Radit berhasil merengkuhnya dari belakang.“Dit! Kamu mau ngapain? Lepasin aku!” Nuria memekik. Namun satu tangan Radit membekap mulutnya. Nuria pun menggeliat sehingga gelas yang dibawanya jatuh memecah keheningan.“Aku cuma mau nolongin kamu, Nur! Setelah kita melakukannya, pasti tua bangka itu akan menggagalkan lamarannya dan kita akan menikah.” Radit mulai melepas celana panjangnya dan membiarkannya terjatuh ke lantai. Nuria menggeleng, dia memberontak. Lalu sekuat tenaga menggigit tangan Radit yang membekapnya.“Awww!” bekapan itu terlepas, rengkuhannya sedikit mengendur dan Nuria berteriak,”Tolooong! Tolooong!” Nuria berlari, tetapi lagi-lagi kalah cepat, tangan Radit menarik kemeja yang digunakannya hingga bagian kancingnya terlepas beberapa. Kemeja lusuh itu pun terkoyak. “Tolooong!” Satu teriakan lagi
“Nur, aku yakin Juragan Arga itu orang jahat! Buktinya Radit meninggal!” tukas Nirina membuat kedua alis Nuria saling bertaut. Matanya memicing menatap sepupunya yang seolah mengetahui sesuatu. “Kenapa kamu bilang gitu? Apa hubungannya meninggalnya Radit dengan Juragan Arga?” Nuria menatap lekat pada wajah Nirina yang tampak sedikit pucat. “Ahm, gak ada … gak ada, kok.” Dia pun gegas bangkit dan meninggalkan Nuria sendirian. Nuria memejamkan mata, sebetulnya hatinya dilliputi rasa takut dan suasana terasa mencekam. Bahkan bayangan Radit dan setiap perlakuannya masih membekaskan rasa trauma dalam dada. Kini ditambah kabar meninggalnya Radit yang begitu mendadak. Kepalanya berdenyut nyeri, Nuria pun memilih merebahkan tubuhnya lalu melepas semua kepenatan itu perlahan. Berharap semua ini hanya mimpi buruk, berharap semua tanda merah yang menjejak ditubuhnya besok sudah hilang lenyap. *** Keesokan harinya, Nirina mengetuk pintu kamar itu pagi sekali. Nuria baru saja selesai melakuk
Nuria dengan terbata akhirnya bisa menyelesaikan semua pertanyaan yang diberikan oleh pihak polisi. Dirinya hanya menjelaskan apa yang diminta saja dan menjawab pertanyaan dengan ya atau tidak. Semoga tuduhan tak mengerucut padanya. Namun tetap saja kesimpulannya adalah, Radit pernah datang dan melecehkannya. Nuria pun tak bisa mengelak dan bercerita jika ditolong oleh dua orang lelaki berpakaian hitam. Baginya jujur itu lebih baik, meskipun ke depannya akan seperti apa nasibnya. Hanya berharap tak terlibat dalam kasus yang menggemparkan warga kampung itu.Mereka pun pergi meninggalkan kediaman Nuria. Menyisakkan rasa takut. Nuria mengelap keringat dingin. Sesekali melirik ke arah belakang, tetapi dua orang yang mengikutinya itu entah punya ilmu apa. Nuria tak bisa melihatnya berkeliaran.Beberapa hari berlalu, desas-desus kabar terdengar, katanya kabar kematian Radit ada hubungannya dengan Juragan Arga. Dengar-dengar mereka sudah menyambangi kediaman lelaki paruh baya itu juga. “Nur
Perlahan dia mengangkat dagu Nuria sehingga kedua netra Indah yang tengah berkaca-kaca itu kini bersirobok dengannya. “Aku suamimu, jangan takut … aku akan menjagamu, hm?” Suara baritonnya yang datar dan tatapan dalam itu tak serta merta bisa mengusir rasa takut pada hati Nuria yang berkelindan. Nuria hanya bisa mengangguk untuk menjawab kalimat yang diucapkan juragan Arga---lelaki berusia empat puluh lima tahun yang kini sudah sah menjadi suaminya. Acara tak dilanjutkan di rumah megah itu. Bahkan Nuria tak diperkenalkan dengan siapapun di sana. Juragan Arga hanya diiringi oleh ajudan dan beberapa orang anak buahnya. Tak ada satupun keluarga yang dia kenalkan pada Nuria maupun pada Paman Nursam dan Bi Lela, sungguh aneh. Sebuah mobil berhias bunga-bunga sudah berada di depan gerbang. Mobil yang berbeda dengan yang digunakan untuk menjemput Nuria pagi tadi. Tangan kekar itu mengulur pada Nuria.“Berpeganganlah … aku lihat kamu gemetar. Sudah makan?” Suara juragan Arga mengalihkan p
Kaki Nuria yang terasa lelah, akhirnya untuk pertama kalinya menginjak ruang tengah rumah megah itu. Untuk sementara, dia tertegun melihat foto-foto keluarga yang terpampang di sana. Namun pikirannya teralihkan pada tangisan bayi yang menggema mengisi seluruh ruangan. Dia mengedar pandang, penasaran ingin mengetahui bayi siapa yang tengah menangis itu? “Istirahat dulu, kamu pasti lelah, yuk!” Suara juragan Arga membuatnya menoleh. Lelaki yang masih dengan tuxedo itu mengulurkan tangan ke arahnya. Meskipun rasa penasaran menggelayuti hati, tetapi jangankan bertanya hal itu. Nuria tak memiliki keberanian sama sekali. Hingga perlahan tangisan bayi itu sudah tak terdengar lagi. Rumah besar itu entah kenapa begitu sepi. Nuria celingukan ke kanan kiri, tetapi seolah tak ada orang lain lagi selain mereka berdua di sana. Dirinya masih pasrah mengikuti langkah demi langkah juragan Arga yang mengajaknya meniti tangga. Meskipun hatinya kebat-kebit, bercampur baur seluruh rasa yang ada dalam da
Juragan Arga menyibak selimut, bersamaan dengan itu terdengar lantunan kumandang adzan maghrib. Dia menolah pada Nuria sebelum beranjak. “Aku ada perlu sebentar, kamu salat duluan saja, ya! Gak apa ‘kan?” Sorot mata itu menatap dalam. Nuria mengangguk, lalu menunduk agar manik hitam itu tak begitu terasa mengintimidasinya.Helaan napas panjang, Nuria hembuskan ketika daun pintu itu tertutup rapat. Ingin rasanya dia kunci dari dalam agar lelaki itu tak kembali menghampirinya. Namun mau dikata apa? Dia tak kuasa. Sebetulnya rasa penasaran masih memenuhi pikirannya. Suara teriakan itu masih terdengar, meski semakin perlahan dan berselang isakan. Rasa ingin tahu membuatnya perlahan mengusir rasa takut dan perasaan mencekam yang tiba-tiba hadir. Dirinya memberanikan diri membuka gagang pintu, tetapi dirinya menggeleng pelan ketika rupanya juragan Arga mengunci pintu kamarnya dari luar. “Ada apa sebenarnya ini? Ibu, Ayah … aku takut.” Nuria menyandarkan tubuh pada tembok. Matanya menyapu
Gus Rasyid berjalan dengan wajah datar tanpa ekspresi, dia tak menjawab dengan tepat pertanyaan dari Juragan Arga, tetapi langsung menghampiri Abimanyu. Lelaki yang tingginya hampir sama dengannya itu pun berdiri. Sepasang mata mereka bersirobok. “Sebesar apa kamu yakin bisa membahagiakan Celia lebih dari aku?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Gus Rasyid yang menatap intens pada Abimanyu yang memandangnya dengan wajah tenang. “Insya Allah sangat yakin. Aku sudah lama mengenalnya dan sangat tahu wataknya. Dia keras, tetapi lembut. Dia galak, tetapi baik. Dia itu pemarah, tetapi penyayang. Aku tahu banyak tentang dia … lebih dari yang kamu perkirakan!” Ucapan Abimanyu yang tampak tenang dan datar membuat Gus Rasyid tersenyum kecut. Dia pun menoleh pada Juragan Arga dan menatapnya lekat. “Papa … andai benar Celia memiliki perasaan padanya, sepertinya saya tak pantas lagi mempertahankan dia lebih keras. Karena menghapus jejak itu akan jauh lebih sulit dari pada membuat
“Dia Ibu saya, Non!” Sapaan khas itu sontak membuat Celia menoleh dan mencari sumber suara. Seketika kedua matanya membeliak melihat sosok yang tengah tersenyum dan berdiri tak jauh dari mereka. “A—Abimanyu?” lirihnya dalam gumaman. Tiba-tiba ada yang berdesir hangat dalam dada ketika manik mereka saling terpaku beberapa saat. “Masya Allah cantik sekali pakai kerudung seperti ini, Non.” Abimanyu tersenyum lalu menunduk lagi, seperti biasa dia tak berani memandang wajah manis itu lama-lama. Gegas dia melangkah dan memilih duduk pada tempat kosong di samping ibunya. Celia menunduk, dia menggigit bibir bawahnya dan sekuat tenaga menahan air mata yang menyeruak terjatuh. Hatinya yang tadi terasa hangat mendadak sakit. Perih ini bukan tanpa alasan, tetapi kenapa Abimanyu datang begitu terlambat. Kini bahkan hari pernikahannya hanya tinggal menghitung hari, lalu buat apa kedatangan lelaki itu ke sini. “Kakak … ayo duduk!” Nuria menarik lengan Celia agar duduk. “Enggak usah, Ma! Aku su
“Hmmm?” Nuria menatap lekat dan menunggu jawaban.Celia menarik napas panjang, lalu dia pejamkan mata seolah tengah menimbang. Namun tak lama, terdengar ucapan lirih dari bibirnya.“Abi … manyu.” Kedua sudut bibir Nuria tersenyum. Dia lalu bangkit dan berjalan meninggalkan kamar Celia yang sepertinya penasaran atas pertanyaannya yang tiba-tiba. Namun, Celia memilih diam. Sudah sebulan lalu dia kehilangan semangat hidupnya. Hanya menghitung hari, menunggu masa hari pernikahan yang sedikit bergeser itu akan tiba. “Mama harus berbuat sesuatu untuk kamu, Kak! Semoga tak terlambat!” batin Nuria seraya lekas berjalan menuju kamarnya. *** Dua minggu lagi hari pernikahan yang dijanjikan pun terasa sangat lama. Meskipun, Celia tak terlalu peduli ketika tampak ada beberapa perubahan rencana, termasuk surat undangan yang tak jadi disebar. Rasa heran dan penasaran pun tak dia lontarkan, Celia lebih memilih diam. Dirinya yang sudah patah arang hanya pasrah, Celia sudah tak lagi peduli pada apa
Semenjak hari pernikahannya dengan Gus Rasyid diputuskan. Celia menjadi lebih pemurung dari biasanya. Sehari-hari, selama sebulan ini hanya dia habiskan dengan mengurung diri di dalam kamar.Karena hal itu juga, Nuria menjadi lebih sering datang ke kamar putri sambungnya itu. Kadang mengajak Surya dan bermain di sana, kadang hanya duduk dan bercerita. Padahal Nuria berharap ada hal yang bisa dia dapatkan, sekecil informasi apapun akan sangat berguna untuk menjadi pertimbangan. Nuria paham, dijodohkan itu bukan hal indah yang diinginkan. Hanya saja, Celia sama sekali tak bercerita apakah ada lelaki lain yang dia inginkan.“Kak, Mama pinjam ponselnya bentar, ya! Mau telepon Papa! Quota Mama habis soalnya!” Nuria mengetuk pintu kamar Celia, lalu mendorongnya perlahan.“Hmm, ambil!” Celia menjawab dengan malas. Bahkan tak melirik ke arah Nuria yang berjalan mendekat ke arahnya. Dia sibuk dengan tablet baru yang isinya hanya games online dan tak ada akses ke sosial media mana pun. Dia mala
“Loss contact dengan?” Mutia melambatkan langkah lalu menatap wajah serius Abimanyu. “Dengan tujuan masa depanku, Mut yaitu Celia.” Abimanyu mengucap nama itu dengan senyuman yang mengembang. Raut wajah Mutia yang berbinar seketika mendadak murung. Ada sesuatu yang kasat mata terasa begitu sakit menusuk hatinya. Lelaki yang ada di depannya bahkan dengan begitu ringan menyebut nama perempuan lain di hadapannya. “Abi, aku mau ngomong sesuatu.” Mutia menghentikan langkahnya seraya menunduk. Dia mengumpulkan segenap keberanian. “Eh, tumbenan kayak serius banget?” Abimanyu menoleh pada Mutia yang tertinggal beberapa langkah di belakangnya karena menghentikan langkah mendadak. “Iya, Abi. Ini hal paling serius yang ingin aku bicarakan sama kamu. Bisa ke kantin?” Mutia menatap wajah lelaki yang lama-lama bisa menarik perhatiannya. Dulunya dia memilih Abimanyu karena dia melihat sosoknya yang lurus dan gak neko-neko. Selain itu, penampilannya yang teramat sangat ketinggalan zaman membuat
Abimanyu sedikit kaget ketika dia mendapati kabar kepulangan Celia dari Bu Ratna. Namun mendengar kabar katanya Celia sakit, akhirnya Abimanyu mengerti. Anak seperti Celia, mungkin tak bisa fighting sendiri sehingga ketika sakit harus kembali dekat dengan keluarga. Abimanyu berulang menghubungi Celia, tetapi nomornya selalu di luar jangkauan. Dirinya tak sadar, jika jemari yang dibubuhi segenap rasa cemburu itu sudah memblokir kontaknya. Akhirnya Abimanyu menghubungi Juragan Arga dan sedikit lega ketika mendengar kabar jika Celia baik-baik saja. Namun, sidang skripsi yang sudah ada di depan mata membuatnya harus fokus menyelesaikan semua hal yang harus diselesaikan. Masih ada satu kali lagi revisi yang harus dia kejar demi bisa ikut wisuda tahun ini. Abimanyu begitu bersemangat mengingat apa yang diucapkan Celia pagi itu. Kalimat tersirat yang seolah meminta dirinya peka dan memperjuangkannya. “Lili, doakan … semua sidang skripsinya lancar … setelah itu, aku baru akan fokus berjua
“Lili! Kenapa berbuat seperti ini? Apa kamu sengaja membuat Papa kehilangan muka di depan keluarga Kyia Usman, hah? Kamu kenapa melakukan hal seperti ini! Bukannya mamamu tadi ada tanya, jika memang ada lelaki yang sudah berniat baik meminangmu, tolong katakan! Jangan buat seperti ini, Papa malu, Lili!”Suara Juragan Arga bergetar antara marah, kesal, malu dan kecewa berbaur menjadi satu di dalam dadanya. Celia menatap wajah Juragan Arga lalu menjawab dengan santai. “Aku hanya ingin, suamiku dan keluarganya menerima aku apa adanya, Pa! Andai aku harus menjadi orang lain, maka yang mereka sukai, bukanlah aku, tapi orang lain itu. Lalu, apa Papa pikir enak kalau aku kelak nikah dan harus menjadi bayang-bayang orang yang sangat senggak aku banget, Pa? Buat apa? Apa Papa pikir aku bisa bahagia kalau seperti itu?”Juragan Arga bergeming dan tampak mengatur napasnya yang memburu. Kedua tangannya mengepal akibat kemarahan yang tengah berusaha dia kendalikan. “Bukan gini caranya, Lili! Perc
Perasaan Celia merasa lega ketika pada akhirnya dokter memperbolehkan Juragan Arga pulang setelah satu minggu lamanya dirawat di rumah sakit. Meskipun, hati kecilnya merasa heran, bukannya katanya ada virus berbahaya yang bersarang di dalam tubuh Papanya. Namun, kenapa bisa pulih secepat itu. Bahkan sampai kepulangan Juragan Arga, Celia tak mengetahui jenis penyakit apa yang diderita Juragan Arga sebetulnya. Perasaan senang dan lega itu berkecamuk menjadi buruk ketika Nuria mengabarkan, sore nanti akan ada kunjungan dari keluarga Gus Rasyid ke rumahnya untuk membahas hari pernikahan mereka. “Kakak, sore nanti pakai baju ini, ya!” Nuria membawa satu set gamis dengan kerudung lebar dan meletakkannya di lemari Celia. Pakaian yang berantakan sudah dia rapikan juga. Begitulah Nuria yang menjadi lebih dekat dan semakin dekat saja dengan putri sambungnya itu. Banyak hal dari mereka yang bertentangan, jika Nuria lemah lembut, Celia keras dan meluap-luap. Jika Nuria rapi dan teliti, maka Ce
"Hah? Nikah sekarang?!” Celia sontak memutar tubuh dan melotot menatap lelaki yang terbaring lemah itu. Juragan Arga tersenyum samar. “Kalau kamu bersedia, lebih cepat, lebih baik! Papa mohon … Papa takut usia Papa tak lama lagi, Lili. Kamu dengar sendiri dari Mama kamu kalau dari pihak rumah sakit sendiri belum bisa mendeteksi virus asing yang bersarang di tubuh Papa … kalau Papa pergi, kamu sama siapa nanti? Papa tak ingin kamu salah jalan dan salah pergaulan, Lili ….” Lelaki itu menatap dengan air mata yang pertama kalinya dia tunjukkan di depan putrinya itu. Dirinya berharap, dengan seperti itu, Celia akan luluh dan bersedia menikah secepatnya dengan lelaki yang dia yakini adalah yang terbaik untuk Celia. Celia bergeming. Tiba-tiba terbayang lelaki yang ada di depannya itu terbujur kaku. Perasaan bersalah dan sesal itu menyelinap ke dalam dadanya. Dia mendongakkan wajah agar air mata yang memburu menyeruak itu tertahan. Begitulah hatinya Celia yang begitu sensitif, meskipun kera