“Abaaang!” Nuria memekik. Dia berusaha bangkit, tapi tubuhnya tiba-tiba terasa melayang. “Nur!” Bi Lela dan Ibu bersama-sama memburu tubuh Nuria yang tiba-tiba limbung dan terjatuh. Tekanan yang mendadak dan cukup berat membuat Nuria tak kuat dan kehilangan kesadaran. “Istriku!” Juragan Arga menoleh ketika mendengar suara memekik bersamaan. Dia gegas berlari dan memburu tubuh Nuria yang terkulai.“Kalian puas?! Puas sudah membuatnya seperti ini?” Juragan Arga membagi pandang dengan tajam pada Fatma dan Bi Lela. Sementara itu, tangannya dengan sigap membopong tubuh mungil sang istri dan membaringkannya di ruang tengah.“Ambilkan kayu putih atau minyak telon!” titah Juragan Arga. Bi Lela gegas bangkit tanpa dua kali diminta. Sementara itu, Fatma dengan gemetar mengusap-usap kepala Nuria dan menatapnya dengan penuh cemas. “Buatkan dia teh manis hangat!” titah Juragan Arga lagi ketika Bi Lela sudah datang membawa minyak kayu putih yang isinya tinggal seperempat. “B--baik, Juragan!” B
Hari itu, seperti biasa Suryadi sudah menjemput Mita pagi-pagi. Namun, dia pun menyempatkan bertemu dulu dengan Juragan Arga untuk mengucapkan selamat. Saat dia datang ditemani Mita, Juragan Arga dan Nuria tengah menikmati sarapan di meja makan. Hanya berdua, Celia tengah bersiap-siap untuk berangkat sekolah dan sarapannya biasanya memang di antar ke kamar. “Selamat pagi, Juragan! Senang sekali mendengar kabar kehamilan Nyonya! Semoga semuanya dilancarkan!” Juragan Arga hanya mengangguk, tapi tak dapat dielakkan rona bahagia tampak kentara dari wajahnya. Nuria yang mengambil alih jawaban. “Terima kasih. Mari sarapan dulu, Pak Suryadi.” Nuria tersenyum dan mengangguk sopan pada dua orang yang berdiri tak jauh dari meja makan itu. “Gak usah, Nyonya! Hanya ingin mengucapkan selamat saja! Hmmm … semoga saya dan Mita juga bisa segera menyusul ke pelaminan.” Suryadi berucap malu-malu. Sesekali melirik kepada Mita yang tampak mengulas senyum yang hambar. Wajah Mita sedikit memucat mende
Dia pun parkir di tempat yang agak jauh dan bisa mengawasi pintu masuk restoran tersebut. Anggita dan Celia sudah masuk. Abimanyu baru saja mengirimkan kabar pada Juragan Arga kalau Celia sedang makan siang dulu di luar dengan Tantenya ketika dia melihat sosok yang dikenalnya keluar dari salah satu mobil. Itu adalah Marvel---lelaki baj*ngan yang tempo hari hendak melecehkan Celia. Marvel pun masuk ke dalam restoran tersebut tanpa sadar ada sepasang mata yang mengawasinya dengan tangan mengepal. Restoran yang luas, membuat Abimanyu celingukan. Dia jarang sekali berada di tempat keramaian. Beruntung punggung Marvel masih terlihat, dia tengah menaiki anak tangga saat ini. Abimanyu pun menjaga jarak, lalu mengikuti langkah lelaki itu. Hanya saja dia berhenti ketika dilihatnya Marvel masuk ke sebuah ruangan. Abimanyu menggaruk kepala. Kenapa juga mereka makan siangnya harus di ruangan tertutup. Abimanyu kebingungan, lalu memilih duduk pada meja yang kosong dan menatap ke dalam pintu ruan
Celia sudah masuk ke dalam mobil, dibantingnya pintu mobil itu keras-keras. Beberapa langkah terhalang tampak Abimanyu yang tergopoh. Dia pun gegas masuk ke dalam mobil dan duduk di balik kemudi. “Jalan! Jangan lelet!” hardik Celia. Ditatapnya dengan sebal lelaki yang tengah meringis merasakan nyut-nyutan pada wajahnya itu. Masih saja ketus, padahal Abimanyu bonyok gara-gara nolongin siapa? “Baik, Non!” Abimanyu tak banyak membantah. Dia pun gegas melajukan innova berwarna hitam metalik itu meninggalkan tempat itu segera. Hening, tak ada percakapan apapun selama dalam perjalanan. Gawai Celia berdering, tampak nomor Juragan Arga yang memanggil. Namun dia memilih mematikannya dan menyimpan gawai ke dalam tas. Tak lama terdengar dering panggilan pada ponsel Abimanyu.“Assalamu’alaikum, Juragan!” “Iya, Juragan. Ada … ini baru mau pulang.” “Ok baik, Juragan.” Abimanyu pun menutup panggilan lalu kembali fokus pada jalanan. Celia memilih diam, pandangannya terlempar lewat jendela. Tiba
Mita memburu Juragan Arga yang baru saja tiba di tempat kejadian. Wajah Juragan Arga tampak diliputi kecemasan luar biasa. Beberapa masyarakat masih berkerubung. “Selamat siang, Pak! Apakah penghuni mobil selamat?” Juragan Arga mengabaikan Mita yang terus menjejerinya sambil menangis. “Siang, Juragan! Oh jadi ini mobilnya Juragan, ya?” Lelaki paruh baya itu balik bertanya. “Iya, Pak. Supir dan istri saya baru saja mengantar ibunya menempati rumah baru di kampung sebelah. Apakah mereka selamat?” Juragan Arga berucap penuh harap melihat kondisi mobil hanya terjungkal dan tidak terbakar. “Oh dua orang ya? Tapi tadi ketika kami datang untuk evakuasi hanya ada satu orang, Juragan. Eh Emod, tadi cuma satu orang ‘kan yang ada di mobil?” Lelaki yang berdiri tak jauh dari mereka itu menoleh lalu mendekat. “Iya, Karmin. Cuma satu orang anak lelaki. Di sini kan emang jauh dari pemukiman Juragan. Jadi kebetulan tadi saya lewat lihat orang dikeroyok, Juragan. Kami kan jadinya pada lari mau m
“Cupu! Kenapa sih lo malah merepotkan!” tukasnya seraya gegas ke kamar Juragan Arga dan mencari kunci sepeda motor milik ayahnya. Celia akan berangkat ke rumah sakit dengan sepeda motor milik Juragan Arga, entah perasaan apa yang membuatnya tak hanya bisa menunggu kabar Abimanyu. Lelaki cupu yang selalu dibentaknya.Sepeda motor yang ditumpangi Celia sudah hendak keluar gerbang mau tak mau berhenti ketika tiba-tiba petugas keamanan yang berjaga di depan menahannya. “Lo lupa gue ini siapa?” hardik Celia seraya menatap kesal pada security yang berjaga. “Tidak, Non. Namun Juragan tadi berpesan, jika tak ada orang yang boleh meninggalkan rumah pada saat ini. Tidak hanya Non Celia, tapi semua penghuni rumah ini Juragan larang.”“Eh, lo mau gue pecat?!” Celia turun dari sepeda motor ketika security malah berjaga di depan gerbang.“Silakan Nona, tapi kami gak akan pergi hanya dengan dipecat Non Celia. Kami baru akan pergi kalau Juragan sendiri yang memecat kami.” Ck!Celia tahu dia tak ak
Keempat orang suruhan Toni yang sudah berhasil menyekap Nuria itu tengah duduk melingkar. Mereka kini berada di bangunan bekas gudang tua di pinggiran kota. Salah satu dari mereka, tampak tengah sibuk mengocok kartu. Semua tengah bersantai, karena biasanya oknum aparat yang memang dekat dengan Anggita, tak akan mengejarnya. Biasanya satu hari lagi juga akan ada laporan kasus selesai dengan penjahat yang tertangkap dan mereka akan bebas-bebas saja. Sudah terbukti, ketika mereka melakukan pengrusakan rem untuk mobil Saraswati dan juga penculikan Ardhan serta pemerkosaan pada Nilam. Sampai saat ini, bahkan tak pernah sedikit pun mencium bau penjara.Sementara itu, Nuria masih terisak dengan tangan dan kaki terikat. Sebagian pakaiannya terkoyak. Kerudungnya sudah terlempar entah ke mana. Orang-orang itu sengaja disuruh Anggita untuk menekan mental Nuria. Anggita ingin membuat Nuria depresi dan ingin melihatnya menjadi Gila. “Bah, gue masih penasaran, nih! Bisa-bisa gue mati berdiri kalau
Mobil yang dikendarai Juragan Arga baru saja menepi di halaman rumah. Meskipun awalnya dia enggan pulang, tetapi Nuria membutuhkan pakaian ganti. Bahkan pakaiannya sekarang sudah tak layak pakai. Wajah kuyu dan lesu itu disambut oleh sosok Mita yang membukakan pintu untuknya. “Juragan sudah pulang?” Gadis yang masih memakai daster rumahan itu mengulas senyum menyambut kedatangan Juragan Arga. “Hmmm.” Malas dan enggan menjawab. Juragan Arga langsung masuk dan lurus saja menaiki anak tangga menuju ke lantai atas. Lelaki itu langsung masuk ke kamarnya dan terduduk lesu di sofa mini yang ada di sana. Berulang dia memijat pelipis yang dirasa berdenyut. Setelah merasa lelahnya sedikit hilang, dirinya gegas menuju kamar mandi dan membersihkan diri. Dalam hangatnya guyuran shower, tubuhnya sedikit terasa lebih segar. Pintu kamar mandi terbuka ketika Juragan Arga sedikit terperanjat, Mita sudah ada di dalam kamarnya dengan pakaian daster mini dengan kerut pada bagian dada sehingga menonjo
Gus Rasyid berjalan dengan wajah datar tanpa ekspresi, dia tak menjawab dengan tepat pertanyaan dari Juragan Arga, tetapi langsung menghampiri Abimanyu. Lelaki yang tingginya hampir sama dengannya itu pun berdiri. Sepasang mata mereka bersirobok. “Sebesar apa kamu yakin bisa membahagiakan Celia lebih dari aku?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Gus Rasyid yang menatap intens pada Abimanyu yang memandangnya dengan wajah tenang. “Insya Allah sangat yakin. Aku sudah lama mengenalnya dan sangat tahu wataknya. Dia keras, tetapi lembut. Dia galak, tetapi baik. Dia itu pemarah, tetapi penyayang. Aku tahu banyak tentang dia … lebih dari yang kamu perkirakan!” Ucapan Abimanyu yang tampak tenang dan datar membuat Gus Rasyid tersenyum kecut. Dia pun menoleh pada Juragan Arga dan menatapnya lekat. “Papa … andai benar Celia memiliki perasaan padanya, sepertinya saya tak pantas lagi mempertahankan dia lebih keras. Karena menghapus jejak itu akan jauh lebih sulit dari pada membuat
“Dia Ibu saya, Non!” Sapaan khas itu sontak membuat Celia menoleh dan mencari sumber suara. Seketika kedua matanya membeliak melihat sosok yang tengah tersenyum dan berdiri tak jauh dari mereka. “A—Abimanyu?” lirihnya dalam gumaman. Tiba-tiba ada yang berdesir hangat dalam dada ketika manik mereka saling terpaku beberapa saat. “Masya Allah cantik sekali pakai kerudung seperti ini, Non.” Abimanyu tersenyum lalu menunduk lagi, seperti biasa dia tak berani memandang wajah manis itu lama-lama. Gegas dia melangkah dan memilih duduk pada tempat kosong di samping ibunya. Celia menunduk, dia menggigit bibir bawahnya dan sekuat tenaga menahan air mata yang menyeruak terjatuh. Hatinya yang tadi terasa hangat mendadak sakit. Perih ini bukan tanpa alasan, tetapi kenapa Abimanyu datang begitu terlambat. Kini bahkan hari pernikahannya hanya tinggal menghitung hari, lalu buat apa kedatangan lelaki itu ke sini. “Kakak … ayo duduk!” Nuria menarik lengan Celia agar duduk. “Enggak usah, Ma! Aku su
“Hmmm?” Nuria menatap lekat dan menunggu jawaban.Celia menarik napas panjang, lalu dia pejamkan mata seolah tengah menimbang. Namun tak lama, terdengar ucapan lirih dari bibirnya.“Abi … manyu.” Kedua sudut bibir Nuria tersenyum. Dia lalu bangkit dan berjalan meninggalkan kamar Celia yang sepertinya penasaran atas pertanyaannya yang tiba-tiba. Namun, Celia memilih diam. Sudah sebulan lalu dia kehilangan semangat hidupnya. Hanya menghitung hari, menunggu masa hari pernikahan yang sedikit bergeser itu akan tiba. “Mama harus berbuat sesuatu untuk kamu, Kak! Semoga tak terlambat!” batin Nuria seraya lekas berjalan menuju kamarnya. *** Dua minggu lagi hari pernikahan yang dijanjikan pun terasa sangat lama. Meskipun, Celia tak terlalu peduli ketika tampak ada beberapa perubahan rencana, termasuk surat undangan yang tak jadi disebar. Rasa heran dan penasaran pun tak dia lontarkan, Celia lebih memilih diam. Dirinya yang sudah patah arang hanya pasrah, Celia sudah tak lagi peduli pada apa
Semenjak hari pernikahannya dengan Gus Rasyid diputuskan. Celia menjadi lebih pemurung dari biasanya. Sehari-hari, selama sebulan ini hanya dia habiskan dengan mengurung diri di dalam kamar.Karena hal itu juga, Nuria menjadi lebih sering datang ke kamar putri sambungnya itu. Kadang mengajak Surya dan bermain di sana, kadang hanya duduk dan bercerita. Padahal Nuria berharap ada hal yang bisa dia dapatkan, sekecil informasi apapun akan sangat berguna untuk menjadi pertimbangan. Nuria paham, dijodohkan itu bukan hal indah yang diinginkan. Hanya saja, Celia sama sekali tak bercerita apakah ada lelaki lain yang dia inginkan.“Kak, Mama pinjam ponselnya bentar, ya! Mau telepon Papa! Quota Mama habis soalnya!” Nuria mengetuk pintu kamar Celia, lalu mendorongnya perlahan.“Hmm, ambil!” Celia menjawab dengan malas. Bahkan tak melirik ke arah Nuria yang berjalan mendekat ke arahnya. Dia sibuk dengan tablet baru yang isinya hanya games online dan tak ada akses ke sosial media mana pun. Dia mala
“Loss contact dengan?” Mutia melambatkan langkah lalu menatap wajah serius Abimanyu. “Dengan tujuan masa depanku, Mut yaitu Celia.” Abimanyu mengucap nama itu dengan senyuman yang mengembang. Raut wajah Mutia yang berbinar seketika mendadak murung. Ada sesuatu yang kasat mata terasa begitu sakit menusuk hatinya. Lelaki yang ada di depannya bahkan dengan begitu ringan menyebut nama perempuan lain di hadapannya. “Abi, aku mau ngomong sesuatu.” Mutia menghentikan langkahnya seraya menunduk. Dia mengumpulkan segenap keberanian. “Eh, tumbenan kayak serius banget?” Abimanyu menoleh pada Mutia yang tertinggal beberapa langkah di belakangnya karena menghentikan langkah mendadak. “Iya, Abi. Ini hal paling serius yang ingin aku bicarakan sama kamu. Bisa ke kantin?” Mutia menatap wajah lelaki yang lama-lama bisa menarik perhatiannya. Dulunya dia memilih Abimanyu karena dia melihat sosoknya yang lurus dan gak neko-neko. Selain itu, penampilannya yang teramat sangat ketinggalan zaman membuat
Abimanyu sedikit kaget ketika dia mendapati kabar kepulangan Celia dari Bu Ratna. Namun mendengar kabar katanya Celia sakit, akhirnya Abimanyu mengerti. Anak seperti Celia, mungkin tak bisa fighting sendiri sehingga ketika sakit harus kembali dekat dengan keluarga. Abimanyu berulang menghubungi Celia, tetapi nomornya selalu di luar jangkauan. Dirinya tak sadar, jika jemari yang dibubuhi segenap rasa cemburu itu sudah memblokir kontaknya. Akhirnya Abimanyu menghubungi Juragan Arga dan sedikit lega ketika mendengar kabar jika Celia baik-baik saja. Namun, sidang skripsi yang sudah ada di depan mata membuatnya harus fokus menyelesaikan semua hal yang harus diselesaikan. Masih ada satu kali lagi revisi yang harus dia kejar demi bisa ikut wisuda tahun ini. Abimanyu begitu bersemangat mengingat apa yang diucapkan Celia pagi itu. Kalimat tersirat yang seolah meminta dirinya peka dan memperjuangkannya. “Lili, doakan … semua sidang skripsinya lancar … setelah itu, aku baru akan fokus berjua
“Lili! Kenapa berbuat seperti ini? Apa kamu sengaja membuat Papa kehilangan muka di depan keluarga Kyia Usman, hah? Kamu kenapa melakukan hal seperti ini! Bukannya mamamu tadi ada tanya, jika memang ada lelaki yang sudah berniat baik meminangmu, tolong katakan! Jangan buat seperti ini, Papa malu, Lili!”Suara Juragan Arga bergetar antara marah, kesal, malu dan kecewa berbaur menjadi satu di dalam dadanya. Celia menatap wajah Juragan Arga lalu menjawab dengan santai. “Aku hanya ingin, suamiku dan keluarganya menerima aku apa adanya, Pa! Andai aku harus menjadi orang lain, maka yang mereka sukai, bukanlah aku, tapi orang lain itu. Lalu, apa Papa pikir enak kalau aku kelak nikah dan harus menjadi bayang-bayang orang yang sangat senggak aku banget, Pa? Buat apa? Apa Papa pikir aku bisa bahagia kalau seperti itu?”Juragan Arga bergeming dan tampak mengatur napasnya yang memburu. Kedua tangannya mengepal akibat kemarahan yang tengah berusaha dia kendalikan. “Bukan gini caranya, Lili! Perc
Perasaan Celia merasa lega ketika pada akhirnya dokter memperbolehkan Juragan Arga pulang setelah satu minggu lamanya dirawat di rumah sakit. Meskipun, hati kecilnya merasa heran, bukannya katanya ada virus berbahaya yang bersarang di dalam tubuh Papanya. Namun, kenapa bisa pulih secepat itu. Bahkan sampai kepulangan Juragan Arga, Celia tak mengetahui jenis penyakit apa yang diderita Juragan Arga sebetulnya. Perasaan senang dan lega itu berkecamuk menjadi buruk ketika Nuria mengabarkan, sore nanti akan ada kunjungan dari keluarga Gus Rasyid ke rumahnya untuk membahas hari pernikahan mereka. “Kakak, sore nanti pakai baju ini, ya!” Nuria membawa satu set gamis dengan kerudung lebar dan meletakkannya di lemari Celia. Pakaian yang berantakan sudah dia rapikan juga. Begitulah Nuria yang menjadi lebih dekat dan semakin dekat saja dengan putri sambungnya itu. Banyak hal dari mereka yang bertentangan, jika Nuria lemah lembut, Celia keras dan meluap-luap. Jika Nuria rapi dan teliti, maka Ce
"Hah? Nikah sekarang?!” Celia sontak memutar tubuh dan melotot menatap lelaki yang terbaring lemah itu. Juragan Arga tersenyum samar. “Kalau kamu bersedia, lebih cepat, lebih baik! Papa mohon … Papa takut usia Papa tak lama lagi, Lili. Kamu dengar sendiri dari Mama kamu kalau dari pihak rumah sakit sendiri belum bisa mendeteksi virus asing yang bersarang di tubuh Papa … kalau Papa pergi, kamu sama siapa nanti? Papa tak ingin kamu salah jalan dan salah pergaulan, Lili ….” Lelaki itu menatap dengan air mata yang pertama kalinya dia tunjukkan di depan putrinya itu. Dirinya berharap, dengan seperti itu, Celia akan luluh dan bersedia menikah secepatnya dengan lelaki yang dia yakini adalah yang terbaik untuk Celia. Celia bergeming. Tiba-tiba terbayang lelaki yang ada di depannya itu terbujur kaku. Perasaan bersalah dan sesal itu menyelinap ke dalam dadanya. Dia mendongakkan wajah agar air mata yang memburu menyeruak itu tertahan. Begitulah hatinya Celia yang begitu sensitif, meskipun kera