Viana mengikuti arah pandangan Amelia. Inno baru saja keluar dari dalam lift. Kening Inno berkerut, melihat perdebatan antara Amelia dan Viana. Laki-laki itu mempercepat langkah dan melewati Viana begitu saja, lalu menghampiri sang istri."Ada apa ini, Sayang? Kenapa kamu ada di sini, hm?" tanya Inno sembari meraih tangan sang istri.Amelia mendongak sekilas. Wanita itu menghempaskan tangan sang suami. Dia menatap sinis pada Viana sembari mengacungkan handphone ke arah suaminya."Aku yang memintanya ke sini. Nih, dia juga diam-diam mengirim pesan ke Mas Inno. Ngapain Mas ikut ke sini? Janjian sama dia, ya?" tuduhnya tanpa basa-basi.Inno berdecak. Dia melirik ke arah Windi. Gadis itu nyengir kecil. Amelia ikut menatap Windi yang langsung mengangkat kedua jarinya membentuk huruf V."Aku yang nyuruh Mas Inno ke sini, Mel. Biar Mas Inno lihat sendiri, seperti apa perempuan yang sudah membuatmu terluka itu. Seorang wanita terhormat itu, nggak akan mau ya gais, diajak ketemuan sama suami o
"Em, maaf ya, Mel. Karena aku harus ke kantor, jadi, aku nggak bisa ikut antar kamu pulang. Kan sudah ada Pak Su yang sayangnya ke kamu seribu derajat. Sudah, Mel, marahnya. Tahu nggak, Mas Inno rela tidur di mobil meskipun hujan deras dan petir. Pas aku samperin yang ditanyain pertama kali itu keadaan kamu..." Windi terus mengoceh. Inno yang tengah memasukkan berkas dari rumah sakit ke dalam ransel menggeleng samar. "Buka saja semuanya, Win. Nggak bisa main rahasia nih, gadis," sindirnya.Bukannya tersinggung, Windi malah tertawa lepas. Windi mencondongkan tubuh ke arah Amelia yang bersikap tak acuh. Ingin rasanya, Amelia menenggelamkan sahabat "pengkhianatnya" itu."Tahu nggak, pas kamu tidur, Mas Inno minta izin ke aku lihat kamu sebentar. Dia cuma pengin bilang cinta ke kamu walaupun kamu tidur. Sweet banget, deh!""Ehem! Sudah, pulang saja, Win. Nanti gajimu dipotong kalau kebanyakan melipir!" canda Inno.Windi mengangguk dan memeluk Amelia dengan erat. "Ya sudah, sehat-sehat ya
"Kamu harus banyak sabar, Nak. Orang hamil itu sensitif. Sepertinya anakmu laki-laki, jadi ingat waktu Ibu hamil kamu, No. Sering bikin kesel Papa kamu." Bu Rini terkekeh ketika ingat peristiwa 25 tahun lalu itu.Laki-laki? Inno sendiri tidak mempermasalahkan jenis kelamin anaknya nanti. Yang jadi masalah, mengapa sikap ibu dan istrinya hampir sama ketika hamil?"Berarti secara nggak langsung, Ibu bilang aku nyebelin gitu? Dan sekarang nular ke anakku?" protes Inno tak terima."Tepat!'' Amelia menyahut dari ambang pintu.Alis Inno naik sebelah mendengar ledekan sang istri. Lalu pandangan laki-laki itu tertuju pada gelas es bubble."Kamu beli cuma satu? Suaminya nggak dibelikan?" todong Inno.Amelia sedikit mengangkat benda tersebut. "Ya, kan, aku nggak tahu kalau Mas Inno mau juga," jawabnya santai.Bu Rini langsung tertawa. Sedangkan Inno berwajah masam. Laki-laki itu mengikuti Amelia yang duduk di depannya dengan pandangannya."Mas mau?" tawar Amelia lagi. "Kok nggak dimakan sotonya
Dengan malas dan tentu sambil menggerutu, Inno mengambil celananya yang tergeletak di bawah tempat tidur. Laki-laki itu mengacak rambutnya kasar dan membuka pintu kamar.Di depan pintu, Matteo memindai sepupunya yang shirtless itu dengan jahil. Inno langsung menutup pintu kamar, tak ingin pandangan jahil Matteo mengintip ke dalam sana."Katakan, ada apa? Ganggu saja!" sungut Inno dengan wajah masam.Matteo menarik lengan adik sepupunya untuk sedikit menjauh. Dia menyodorkan handphone yang layarnya masih menyala. Inno meraih benda itu dengan malas."Ya, biarin saja dia kembali ke Venezia. Kan rumahnya di Venezia," jawab Inno santai setelah menatap sekilas foto seorang gadis di sosial media milik Matteo. "Nggak penting, Matt. Kamu memanggilku hanya ingin memberikan kabar receh ini? Awas, kalau kamu komunikasi sama dia membahas tentang aku!" ancamnya kemudian.Matteo nyengir kecil. Masih dengan sikap jahil, dia mengusap dada dan perut telanjang adik sepupunya. Inno mendelik sembari menep
Gabriele mengerjap malas. Kedua bibir mungilnya terkatup rapat. Menandakan bahwa bayi itu tidak nyaman dengan keramaian. Seandainya bukan undangan dari sekretarisnya, Inno tidak akan pernah mau datang ke pesta seperti itu. Dia bukan type laki-laki yang menyukai acara hingar bingar pesta. Meskipun darah Eropa mengalir kental dalam tubuhnya, namun Inno sangat menyukai kehidupan ala timur. Inno lebih menyukai menghabiskan waktu di depan meja kerja atau bersama keluarganya.Inno tidak malu datang ke pesta di hotel mewah itu membawa seorang bayi. Bahkan dengan bangga Inno mengenalkan istri dan anaknya pada mantan teman-teman kuliahnya. "Auguri, Val.""Grazie, Signore, Singnora!" balas Valeria sambil mencium kedua belah pipi Amelia. Wanita itu mencubit pelan pipi chubby Gabriele. Tidak seperti biasanya, Gabriele langsung menyembunyikan wajah di dada Inno. Sejak tadi, Gabriele cemberut di gendongan sang papa. Inno tersenyum sambil mengusap sayang kepala puteranya itu."What? Moglie e il t
"Kenapa seleramu berubah? Bukankah kamu menyukai wanita seksi, Inno? Kurasa istrimu tidak memiliki itu, benarkan?" tanya Daniele bernada mengejek.Inno mengangguk, lalu bangkit dari tempat duduknya. "Iya, seleraku berubah. Aku sudah bosan dengan perempuan yang mengumbar keseksiannya. Dan kamu tahu? Istriku sangat seksi dari wanita lain yang pernah aku temui. Teramat sangat seksi dan hanya aku yang menikmatinya." Inno memasukkan handphone ke saku celana, kemudian meminum sedikit kopi yang tadi dia pesan."Kamu masih bekerja di Morelli's Group?" tanya Daniela ikut bangkit. Daniela tak ingin memancing kemarahan Inno. Gadis itu hafal sifat Inno yang keras. Apalagi jika sudah tersinggung maka Inno akan mengeluarkan kata-kata lebih pedas.Gadis itu menatap manik coklat Inno yang tidak mau membalas tatapan matanya. Inno mengangguk sekilas kemudian beranjak. Daniela menyambar tangan Inno dan berdiri di depan lelaki itu."Perche? Voglio andare a casa," (Kenapa? Aku mau pulang) ucap Inno semba
"Aku takut, Mas. Bagaimana kalau kalian sering bertemu?"Inno mengusap air mata sang istri dan mencium bibir wanita itu sekilas. "Apa yang kamu takutkan, hm? Kamu nggak percaya sama aku? Aku sudah memiliki kamu dan Gabriele, itu lebih dari segalanya, Sayang," ucap laki-laki itu lirih."Awas kalau macam-macam. Aku mutilasi beneran itunya jadi dua puluh bagian!" ancam Amelia kemudian mendorong pelan dada sang suami.Amelia segera meninggalkan Inno menuju walk in closet. Laki-laki itu mengekori istrinya. Inno terkekeh pelan melihat wajah cemberut Amelia. Wanita itu sibuk memasukkan pakaian yang telah dilaundry ke dalam lemari.Amelia menghentikan kegiatan ketika Inno meraih tangannya dan memintanya duduk. Amelia menatap protes pada Inno, tetapi laki-laki itu tidak peduli dan justru mengambil alih pekerjaan istrinya."Kita kan sudah sepakat berbagi tugas. Kamu sudah terlalu capek mengurus aku dan anakku. Belum lagi memasak dan membersihkan rumah.""Tapi kalau Mas Inno yang memasukkan baju
Inno ikut melirik ke arah tangan Daniela yang terulur. Mau tak mau, Amelia membalas jabatan tangan gadis tersebut. Meskipun hatinya dongkol melihat perlakuan Daniela pada Inno."Amelia. Si, sono la moglie di Marvinno." (Ya, saya istrinya Marvinno) Amelia menjawab datar. Tangan kirinya menggamit pinggang Inno. Wanita itu ingin menegaskan lewat bahasa tubuh jika Inno miliknya. Dia tak ingin kecolongan lagi seperti ketika Viana datang waktu itu. Daniela mengangguk samar sambil melirik ke arah tangan Amelia. "Amelia Morelli." Inno menambahkan sambil mengusap punggung istrinya."Nice to meet you," ucap Daniela lagi.Amelia hanya mengangguk. Inno yang mengerti ketidaknyamanan Amelia di situ, membawa wanita itu duduk di dekat Luca Geraldi. Namun, tatapan matanya tak lepas dari Matteo."Brengsek," desis Inno tanpa sadar. Dia menoleh ketika Amelia mencubit pelan punggung tangannya. "Sorry, Sayang," bisik laki-laki itu."Apa di sini nggak ada pria lajang?" tanya Amelia lirih.Alis Inno terang
3 bulan kemudian...Venezia, ItaliaMusim panas digunakan sebagian masyarakat Italia untuk menikmati hangatnya sinar matahari. Seperti biasa, pantai di timur kota Venezia itu sangat ramai. Di bawah payung-payung berjejer kursi untuk berjemur.Beberapa ratus meter dari mereka, seorang anak berusia dua tahun sibuk bermain pasir. Dia bertepuk tangan riang ketika istana pasir buatannya telah berdiri sempurna."Yeee, Papa, Mama, look at this!" serunya.Amelia yang duduk tidak jauh dari anak dan suaminya, tersenyum lebar. Dia sesekali mengabadikan momen itu dengan kamera handphone. Inno menatap istrinya beberapa detik kemudian mendekat."Masih pusing, Sayang?" tanyanya khawatir.Amelia menggeleng pelan. Dia mengusap pasir yang menempel di lengan suaminya. Inno menunduk dan mengusap perut sang istri."Baik-baik ya, Dek," ucap Inno lalu menatap istrinya. "Kalau kamu pusing, bilang ya, kita pulang," lanjutnya, lalu mencium kepala Amelia.Wanita berhijab itu mengangguk, lalu menunjuk ke arah Ga
"Masih berlaku tuh, syarat?" tanya Inno."Ya, berlaku. Juga beberapa hal yang aku ingin tahu," jawab Amelia.Inno menaikkan sebelah alis. Laki-laki itu terpaksa mengangguk. "Tapi aku nggak mau kalau syaratnya bakalan merusak mood kita hari ini!" tegasnya. "Aku ingin menikmati hari bahagia ini bersama kalian semua," imbuh Inno.Sebelum Amelia menyahut, tiba-tiba Irfan menyeruak di tengah-tengah Inno dan Amelia. Pemuda yang baru saja menjadi wali nikah kakaknya itu tersenyum jahil."Baru kali ini aku lihat Mbak Amelia benar-benar jungkir balik karena cintanya Mas Inno. Huhu!" ledek Irfan kemudian berlalu sambil menggendong Gabriele.Amelia tertunduk malu, apalagi Inno menatapnya begitu lekat. Ternyata Inno tidak hanya membuat acara di masjid. Laki-laki itu juga mengadakan resepsi di ballroom hotel berbintang. Acara di hotel dihadiri ratusan undangan. Amelia menoleh pada Inno, ketika Elena menghampirinya sambil memberikan serangkai bunga mawar. "Tante, apa Tante Ambar juga sayang sama
Masjid Al Arif, dipilih Danu sebagai tempat akad nikah. Para santri dan pengurus pondok telah menunggu peristiwa sakral itu. Tenda juga telah dipasang dengan hiasan bunga-bunga.Amelia didampingi Umi dan Haznia berjalan sambil menunduk. Amelia benar-benar memasrahkan semua perjalanan hidupnya pada Allah. Meskipun ada keraguan, dia pantang mempermalukan orang lain. Danu adalah laki-laki yang sangat baik. Amelia berjanji dalam hati, akan menjadi istri yang baik untuk Danu dan ibu untuk Elena.Wanita itu tidak melihat keberadaan Gabriele. Amelia mengeryit ketika seorang santriwati mendekat sambil memberikan serangkai bunga mawar bercampur anyelir. Amelia tahu, bunga itu dari Inno.Haznia mengambil selembar kertas kecil yang terselip di antara bunga-bunga itu. Lalu menyodorkan pada Amelia.["Aku kembalikan Gabriele. Terima kasih sudah bersabar menghadapi sikapku. Bismillah ya, Sayang. Jangan menangis lagi, Amelia."]"Mas Inno," gumam Amelia tercekat. Dia memindai sekitar, namun tidak mene
Amelia menepis tangan Haznia kemudian beranjak. Wanita itu bertemu pandang dengan Danu di depan pintu. Amelia langsung memalingkan pandangan. Dia berlari ke rumahnya, lalu memasuki kamar.Dia menumpahkan tangis di situ. Tidak peduli dengan panggilan Haznia, Danu, dan Evan. "Mel, buka pintunya sebentar. Aku ingin bicara, Sayang!" bujuk Danu pelan.Amelia mengusap kasar air matanya. "Mas Danu juga tahu hal ini, kan? Kenapa kalian semua jahat?" teriaknya dari dalam kamar."Makanya, buka pintu dulu." Danu terus membujuk, namun Amelia tidak peduli.Dia benar-benar kecewa pada semua orang. Semuanya! Jika Evan dan Haznia tahu alasan Inno selingkuh dengan Daniela, tentu Umi, dan Irfan juga tahu. Begitu juga orang tua Inno.Tubuh Amelia meluruh di tepi ranjang. Dia memeluk lutut dan membenamkan wajah di sela-sela lutut. "Kenapa kamu lakukan ini, Mas? Kenapa? Apa begini cara Mas Inno melindungi aku dan Gabriele? Bagaimana kalau seandainya Mas nggak kembali?" Di depan pintu, Evan menatap Danu
Laki-laki itu masih belum mau beranjak dari tempatnya. Telapak tangannya mengusap-usap kepala seekor kucing. Dia mengambil kucing itu dan memangkunya."Lho, Nak Danu, kok nggak masuk? Malah duduk di sini?" tanya Bu Rini.Danu tersenyum, kemudian menoleh ke arah Inno yang masih bercengkerama dengan Gabriele. Rupanya Inno belum menyadari kedatangan Danu. Dia masih asyik menjelaskan beberapa hal pada puteranya itu."Inno, ada Nak Danu, malah di situ!" panggil Bu Rini.Sontak Inno menoleh. Laki-laki itu menatap Danu dan tersenyum canggung. Gabriele berdiri di samping Inno sambil berpegangan bahu papanya."Zio Danu!" "Hai, Ganteng. Kamu lagi main apa sih, asyik banget?"Gabriele nyengir kecil. Dia menoleh pada papanya. Inno langsung bangkit dan menuntun Gabriele mendekati Danu."Silakan masuk, Mas. Maaf nggak denger," ucap Inno datar.Danu mengangguk mengerti. Laki-laki itu menunduk dan mengusap kepala Gabriele. Kemudian pandangan kedua orang yang sama-sama berjuang mendapatkan Amelia itu
"Inno, bertahanlah Inno. Ingat, Gabriele menunggumu di Indonesia. Jemput kembali anak dan istrimu, Inno! Devi sopravvivere. Hai sentito Nonno? Non lasciare che cio che facciamo invano!" ( Kamu harus bertahan. Apa kamu dengar Kakek? Jangan sampai apa yang kita lakukan sia-sia!)Suara samar-samar itu perlahan semakin jelas. Ketika aku membuka mata, senyum Kakek dan Nenek langsung menyambutku. Hampir tiga bulan aku tidur di atas brankar rumah sakit. Bahkan aku sendiri tidak tahu jika sampai berada di fase itu.Yang aku ingat, dua kali tembakan menembus bahu dan lengan atasku. Dokter mengatakan, salah satu peluru mengenai pembuluh darah yang terhubung ke paru-paru. Aku juga sempat koma. Hal itu pula yang membuat pihak rumah sakit dan keluargaku menutup semua akses informasi.Aku juga tidak tahu bagaimana nasib anak dan mantan istriku. Apa mereka aman? Tunggu, mantan istri? Menyebut kata itu, hatiku sakit. Aku tidak pernah mengira, apa yang kami lakukan akan membuat istriku menggugat cerai
Antara kesal dan gemas karena sikap seenaknya Inno, itulah yang dirasakan Amelia. Sepertinya, Inno sengaja mencari keributan. Amelia tidak habis mengerti, semakin tua, Inno malah semakin menyebalkan.Amelia meminjam handphone Umi untuk menghubungi Inno. Danu memperhatikan tingkah panik Amelia, hanya menggaruk pelipis sembari tersenyum penuh arti."Hallo, assalamualaikum, Umi!" sapa Inno di seberang sana."Waalaikumsalam salam. Mas bawa Gabriele ke mana? Mas sengaja culik Gabriele, ya?" tuduh Amelia seenaknya.Terdengar decakan lirih dari sana. "Ngapain nyulik anak sendiri? Lagian emaknya enak-enakan pacaran, nggak mikirin anak di rumah. Salah gitu, aku bawa jalan-jalan anakku?" balas Inno sembari terkekeh. Amelia langsung mendengus kasar. Tak jauh darinya, Danu menggelengkan kepala samar mendengar perdebatan kedua orang itu."Ya sudah, cepat bawa pulang!" titah Amelia tegas.Di seberang sana, Inno justru tertawa. "Suka-suka aku dong, mau cepat pulang atau nggak. Sudah, nggak usah gang
Amelia memberontak. Dia mendorong kasar tubuh Inno sehingga pelukan laki-laki itu terlepas. Amelia menatap tajam pada Inno yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah.Kurang ajar sekali mantan suaminya ini. Namun anehnya, tanpa disadari, Amelia juga membalas ciuman itu. Merasa menang, Inno menyunggingkan senyum satu sudut. Hanya sekilas.Amelia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Dia mengutuk dirinya sendiri yang tanpa sadar mengikuti kemauan Inno. Dan dia mengutuk kekurangajaran laki-laki tampan itu."Pergi Mas, pergi!" usir Amelia sambil menangis.Inno tidak menggubris. Laki-laki itu menangkupkan telapak tangan di depan dada. Dia tidak ingin mengulangi kesalahan lagi jika tidak mau Amelia semakin muak padanya."Maafkan aku, Sayang. Habisnya kamu nggak mau diam, sih. Makanya, kalau suami ngomong itu dengerin dulu!" ucap Inno santai."Mantan, ingat itu!" sentak Amelia marah. "Dan buang jauh-jauh panggilan itu. Mas nggak berhak lagi memanggilku begitu!" lanjutnya dengan suara
"Mas Inno..." Amelia memanggil lirih nama mantan suaminya itu.Danu mengikuti arah pandangan Amelia. Kedua laki-laki itu saling pandang dalam diam. Danu bisa melihat luka di mata Inno. Selanjutnya, Inno menatap Amelia dengan dada terasa sesak. Wanita tercintanya, dilamar laki-laki lain di depan mata. Begini rasanya? Teramat sangat sakit. Itulah yang dirasakan Amelia ketika melihat sang suami tidur dan berciuman dengan Daniela.Inno melangkah maju dan berdiri tepat di depan Amelia. Wanita itu langsung memalingkan pandangan. Luka di hati wanita itu kembali basah."Gabriele di rumah, Mas!" ucap Amelia lirih tanpa mau menatap wajah mantan suaminya.Inno tidak menjawab. Laki-laki itu masih menatap Amelia penuh arti, kemudian menatap Danu. Dia tersenyum kaku pada Danu."Selamat, Mas. Bahagiakan Amelia," ucap Inno parau.Danu masih bergeming. Inno kembali menatap Amelia, hanya beberapa detik, kemudian membalikkan badan. Tenggorokan Amelia tercekat melihat langkah Inno yang menjauh. Rasa sak