Rimba duduk di kursi sebuah kafe tempat yang dulu sering didatanginya dengan Emely. Dia sengaja meluangkan waktu sepulang kerja, dan meminta izin pada Ravi juga Aline.
Wanita cantik dengan rambut sebahu itu, tersenyum semringah saat mendapati Rimba yang sudah duduk manis menunggu kedatangannya.
Emely begitu tampil percaya diri. Pakaian yang menempel di tubuhnya, menonjolkan kecantikan kulit juga wajahnya.
“Sudah lama?” tanyanya ramah.
“Belum, mungkin sekitar sepuluh menit,” jawab Rimba.
Emely tersenyum dan menarik kursi di depan lelaki berkemeja biru itu.
“Tumben minta ketemu? Apa kamu juga kangen, sama kayak aku?” Emely mencondongkan tubuhnya mendekati lelaki di depannya.
Rimba tertawa kecil.
“Bukan, bukan itu. Aku ke sini … karena ingin membicarakan sesuatu sama kamu,” jawab
“Gimana, Mas?” tanya Aline, saat Rimba baru saja selesai makan malam. Dia sengaja menahan diri, padahal dari saat suaminya pulang tadi, dia sudah tak sabar ingin menanyakannya.“Seperti dugaan Ravi, Emely memang keras kepala. Dia seperti orang gila. Obsesinya terlalu besar,” jawab Rimba, yang meletakan sendok garpu di piringnya.“Dia bersikeras ingin aku menerimanya. Gila saja, kalau aku harus berhubungan dengan istri orang.”“Jadi, kalau dia sudah bercerai dari Ravi, kamu mau menerimanya?” selidik Aline.“Bukan begitu maksudku, Sayang. Dia masih sendiri aja aku gak mau, apalagi sekarang dia sudah jadi istri orang, gila aja kalau aku mau nerima dia,” jawab Rimba dengan wajah kesal.“Aku ingin pergi jauh dari sini. Tapi aku gak tau apa kamu akan setuju atau nggak,” ucap Rimba sambil menatap sang istri.“Pindah maksudnya?” Aline tampak kebingungan.“Iya. Pergi jauh dari sini, dan gak pernah ketemu sama orang-orang itu lagi. Aku sudah capek. Selalu saja ada masalah. Wajah jelek masalah,
Rimba mengembus napas berat.“Itulah yang menjadi beban beratku, Pa. Dia sudah menikah, tapi masih saja mengejarku,” jawab Rimba.“Ok, Papa ngerti tanpa kamu harus jelaskan lebih detail. Jadi, sekarang apa rencanamu ke depannya?”“Aku mau kembali ke desa tempat aku tinggal saat kecelakaan pesawat dulu. aku berencana membeli lahan di sana. Aku mau buka tempat perkemahan,” jawab Rimba. “Aku juga berencana mendirikan sekolah di sana, supaya anak-anak di sana tidak susah mendapat sekolah yang bagus dan dekat dari rumah mereka,” pungkas Rimba. Darwis manggut-manggut.“OK, Papa setuju. Kamu bilanng saja, berapa uang yang kamu butuhkan untuk itu.” Darwis tampak setuju dan yakin dengan keputusan menantunya."Ah, itu tidak perlu, Pa. aku masih punya sedikit tabungan. Dan aku juga berencana menjual rumah yang kami tempati saat ini
Aline menggeliat saat Rimba bercanda dan menggelitiknya di ranjang saat hendak beranjak tidur."Mas, stop! Udah, geli!" pekik Aline diiringi tawa."Mas, cerita dong, gimana dulu saat kamu lihat aku pertama kali,” ucap Aline berusaha mengecoh suaminya agar menghentikan aksinya.“Buat, apa?”“Aku mau tau,” rengeknya.Rimba tersenyum. “Aku malu,” jawabnya, lalu mengeratkan pelukannya.“Kok, malu segala? Aku kan udah jadi istrimu, Mas. ayo, dong.” Aline kembali merengek.“Mau diceritain yang mana?”“Yang mana aja. Gimana kamu hidup tanpa orang tua—““Aku punya orang tua, Sayang,” potong Rimba.“Ya, tapi kan, mereka gak ngurus kamu,” protes Aline.“Walaupun begitu, kan ada Nenek sama Kakek yang ngurus aku.”“Ah, udah, ah. Kamu itu, bikin sebel,” sergah Aline. Rimba tertawa.“Apaan, sih kamu itu. Udah punya anak tiga, masih aja manja.” Rimba mencubit hidung istrinya pelan.Wajah Aline memberengut, membuat Rimba menjadi semakin gemas.“Dulu, saat kuliah itu aku ikut MAPALA. Aku sering bange
Aline menoleh pada Rimba dan mengacungkan foto itu untuk menunnjukan kalimat yang tertulis di sana. Rimba mengulum senyum.“Udahan, ah, malu. Itu jaman alay,” ucapnya hendak mengambil buku dari tangan Aline.“Apaan, sih. Diem, deh, jangan ganggu.” Aline menepis tangan suaminya.“Kalimat ini buat aku maksudnya?” tanya Aline mengerling nakal. Rimba terkekeh sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Ya … siapa lagi?” jawabnya dan menutup mukanya dengan bantal. Giliran Aline yang mengulum senyum.Dia mulai membaca setiap bait kalimat yang tertulis di lembar pertama buku itu.Teruntuk JuwitakuDirimu yang seketika mengalihkan duniakuSiapa gerangan nama indah yang tersemat di dirinya?Ingin aku bertanya, namun sejuta ragu menghadangAkankah dia memiliki rasa yang sama dengan yang
Aline dan Rimba duduk santai di hammock yang tergantung di antara pohon pinus. Aline tersenyum melihat putra putrinya yang berlarian di area perkemahan milik mereka.“Kadang, rasanya seperti mimpi saat melihat mereka adalah anak-anakku dari wanita yang dulu begitu aku impikan. Jangankan berpikir untuk menikah denganmu, menjadi pacarmu saja aku bahkan tidak berharap,” ucap Rimba.“Tidak berharap? Kamu tidak berharap jadi pacarku?” tanya Aline heran.“Maksudku, aku sama sekali tak berani membayangkannya. Kamu tau ‘kan, saat harapan hanya angan-angan, semua akan terasa lebih menyakitkan.”“Abis, kamunya gak ada keberanian, sih. Coba kalau kamu lebih berani.”Rimba terkekeh mendengar ucapan istrinya.“Aku mana berani, Sayang. Rasa percaya diriku anjlok saat lihat kamu. Jangankan kamu, orang tuaku sendiri tak pernah menginginkan aku,” jawab Rimba dengan wajah sendu. Aline mengusap pipi suaminya.“Tuhan punya skenario terhebat untuk menyatukan kita. Kalau dulu aku langsung jatuh cinta sama
“Iya.” Rimba mengangguk. “Dulu saat dia melihatku di tempat karate, dia langsung meminta aku yang melatihnya. Ok, aku sanggupi. Padahal awalnya pelatih dia itu Riny. Walau gak enak, akhirnya Riny menyerahkan Emely padaku.”“Terus? Dia emang beneran latihan karate?” ALine terlihat sangat penasaran.“Emh, gimana ya. dia malah banyak ngeliatin aku, sih.Hhahaha.” Rimba tergelak saat mengingat jika Emely sama sekali terlihat gak niat berlatih karate.“Terus, dia maksa dianter pulang sama aku. Gila aja, pokoknya. Yang lebih gila lagi, dia minta diantar jemput. Sampai banyak yang mengira kami pacaran.”“Lah, kamunya juga mau aja antar jemput dia, gimana gak disangka pacaran,” potong Aline sinis.“Abisnya kalau aku gak mau, dia ancam mau bunuh diri.”“Ish, ancamannya. Cuman gert
“Aline, pamit dulu, ya, Ma. Maaf ngerepotin,” pamit Aline setelah berpelukan dengan sang Mama.“Nggak, kok. Mama malah seneng dititipin cucu-cucu Mama. Mama udah kangen banget sama mereka. Eeh, kamu tiba-tiba mau nitipin mereka. Bikin Mama seneng aja,” jawab Retno dengan wajah semringah.“Kalian memang butuh waktu berdua. Karena kalian belum sempat berbulan madu. Masalah datang silih berganti. Mama salut sama kegigihan kalian.” Retno mengelus pipi putrinya. “Kenapa kalian gak pergi yang agak jauhan aja? Mama sama Papa gak masalah kalaupun dititipin anak-anak agak lama.”“Terima kasih banyak, Ma. Mungkin nanti kalau Reynad sudah lebih besar. Aku takut kalau dia ada apa-apa. Reynand masih terlalu kecil untuk ditinggal jauh,” ucap Aline.Retno mengangguk paham.Rimba dan Aline berpamitan. Ketiga anaknya sengaja dibawa jalan-jalan oleh sang kakek berkeliling komplek. Rencananya setelah Aline dan Rimba pergi, Darwis dan Retno akan membawa cucunya ke arena bermain juga ke kebun binatang.Ra
“Ih, kok kamu tau, sih? Aku beneran jadi kangen sama mie ayamnya Mas Joko,” pekik Aline.“OK, nanti kita tunggu sampai kedainya buka. Jama sepuluhan biasanya,” ungkap Rimba.“Ih, kamu masih inget, Mas? keren,” pekik Aline lagi.“Aku bahkan tahu, kalau kamu sering pake sweter pink,” ucap Rimba setelah meneguk air putih yang disediakan pedagang nasi uduk.“Wow, kamu bener-bener secret admirer dan pecinta sejati,” ucap Aline terkagum-kagum.“Iya, dong. Dan aku telah berhasil membuat wanita itu menjadi milikku selamanya,” bisik Rimba takut didengar orang-orang yang juga sedang sarapan di sana.“Ayok. Kita lihat bagaimana dulu aku menatapmu dari kejauhan,” ajak Rimba dan bangkit dari tempat duduknya.Aline tersipu malu untuk sesaat. Dia benar-benar tidak menyan
Ravi menyiapkan pesta pernikahannya yang kedua kali. Jika pernikahannya yang pertama cintanya tak berbalas, berbeda dengan yang kali ini. Ravi adalah cinta pertama bagi gadis itu. Banyak tetangga yang tak menyangka dengan jodoh Rina yang begitu dekat. Apalagi lelaki itu adalah tetangga baru dan banyak diidamkan oleh anak-anak gadis mereka. Rimba sengaja menyewakan sebuah tempat yang banyak dipakai oleh artis terkenal untuk merayakan pesta pernikahan sahabatnya itu. Ravi sempat menolak, tetapi Rimba bersikukuh ingin ikut membantu di hari bahagia kawannya. “Gue bener-bener bahagia denger lu mau kawin. Akhirnya elu bisa move on juga dari mantan istri lu. Makanya gue mau ikut rayain. Anggap aja ini sedikit kado dari gue sama Aline,” ucap Rimba di telepon. “Gue sewain kalian WO yang bagus. Nanti kalian tinggal bilang ke mereka mau seperti apa,” lanjut lelaki tegap itu. Ravi sampai geleng-geleng kepala mendengarnya. Tak disangka Rimba ternyata memiliki hati yang baik dan jiwa dermawan
“Iya, Mas. Mmh, jadi, apakah Mas Ravi mau jadi pacar saya?” tanya Sari penuh percaya diri.“Eh, apa? Pacar apa?” Ravi pura-pura kaget dan tak mengerti.“Pacar saya. Apa Mas Ravi mau jadi pacar saya?”“Lho, memangnya kamu mau sama mantan napi seperti saya?”“Lha, kan Mas Ravi nggak bersalah. Mas Ravi berbuat seperti itu untuk menolong orang lain. Saya justru salut sama Mas Ravi,” ucap Sari.“Oh, begitu.”“Iya, Mas. Mmh, jadi gimana? Mas Ravi mau, kan, pacaran sama saya?” Sari kembali bertanya.Ravi tertawa pelan dan menggeleng.“Maaf, sari. Saya memang putus dengan Rina sebagai pacar, karena saya akan segera melamarnya jadi istri saya,” jawab Ravi dengan senyuman sinis.“Lho? Kok, begitu? Tadi kata
Pak Udin tiba-tiba mendaratkan tamparannya di pipi Ravi saat lelaki itu mengantar Rina ke rumahnya. Lelaki berkaos hitam itu kaget dan memegangi pipinya yang terasa perih.“Ada apa ini, Pak?” tanya Rina tak kalah kaget.“Rupanya itu yang kalian lakukan di belakang Bapak, hah? Berbuat mesum di ladang. Mana dua temanmu itu? Apa mereka sengaja meninggalkan kalian berdua di ladang sana, supaya bisa berbuat zina?” tuduh Pak Udin membuat Ravi dan Rina saling melempar pandangan tak emngerti. Bagaimana Pak Udin bisa tahu?“Maaf, Pak, jika perbuatan saya mengecewakan Bapak. Saya dan Rina memang memiliki hubungan lebih dan saya berniat untuk segera melamar Rina menjadi istri saya,” ujar Ravi tulus. Rina bernapas lega mendengar Ravi mengatakan itu, tetapi Pak Udin malah semakin naik pitam.“Jangan mimpi! Aku tidak akan pernah memberikan putriku pada mantan penjahat. Kamu ini pernah d
Setelah Aline puas berbelanja, Rimba kembali ke hotel tempatnya menginap setelah sebelumnya mengantar Ravi ke rumahnya. Mereka sengaja memakai satu mobil agar bisa ngobrol banyak. Rimba dan Ravi saling timpal bercanda. Kebersamaan yang sangat mengasyikan walaupun Ravi harus menutup kios bunganya untuk sementara.Rina sengaja meminta Rimba menurunkannya dan Ravi di pinggir jalan agak jauh dari rumah. Ravi mengerti, jika kekasihnya itu ingin membicarakan sesuatu.Ada sebuah gubuk di tengah kebun tak jauh dari sana dan Rina mengajak Ravi ke sana. Mereka duduk di bale-bale bambu gubuk itu. Ravi terdiam menunggu Rina bertanya. Namun, gadis itu tak kunjung berucap.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” ucap Ravi memecah kesunyian. Rina menoleh.“Apa Mas Ravi tidak ingin menceritakan semuanya sama Rina?” tuntut gadis itu dengan mata mulai berkaca-kaca.“Aku baru
“Eh, keasikan ngobrol, sampai lupa ngenalin Rina.” Ravi menarik lengan gadis itu menuju Rimba juga Aline.“Wah, wah, baru aja ngomongin move on, ternyata elu udah move on duluan.” Rimba tergelak. Namun, tangannya terulur pada gadis yang menatapnya itu. Sebagai wanita normal, Rina juga kagum dengan ketampanan wajah Rimba yang tampak meneduhkan. Kebaikan hati begitu terpancar jelas dari sana. Apalagi tadi dia bisa melihat bagaimana sikap Rimba pada istrinya. Sungguh seorang suami idaman.“Rina,” ucap gadis itu malu-malu.“Aku Rimba, temennya Ravi. Dan ini Aline, istriku,” balas Rimba yang menyambar pinggang sang istri. Aline tersenyum ramah pada gadis yang baru ditemuinya itu.“Kebetulan sekali kedatangan kami ke Lembang kali ini. Selain bulan madu yang ke sekian kalinya, melihat rumah Nenek, juga ketemu sama kawan lama.” Rimba terkekeh.
Setiap seminggu sekali ada mobil boks yang datang dari perkebunan tanaman hias yang mereka biasa sebut ‘PT’. Bukan satu jenis saja, Ravi menjual aneka bunga, dari aglonema, alocasia, juga aneka anggrek.Setiap akhir pekan, banyak wisatawan yang berlibur ke daerah Lembang dan para pedaganng tanaman hias akan laris diserbu pengunjung.Setelah hari itu, Ravi dan Rina diam-diam berpacaran. Rina yang meminta agar Ravi tak mengatakan pada siapapun. Dia takut jika Sari memusuhinya. Awalnya Ravi tidak setuju, karena dia justru merasa risi dengan keberanian dan kegenitan Sari yang selalu mengganggunya ketika bertemu. Namun, Rina bersikukuh memaksanya, akhirnya Ravi pun menerima syarat itu.“Mas, ada singkong goreng,” ucap Rina membuuyarkan lamunan Ravi yang tengah menyiram bunga-bunganya.Ravi langsung menoleh pada Rina yang membawa nampan berisi sepiring singkong goreng yang masih pan
Ravi membuka apllikasi chat berwarna hijau. Bolak-balik dia membuka layar percakapan dengan Rina, tetapi ketika hendak mengetik, kembali dia urungkan dan menutupnya. Sedangkan Rina yang melakukan hal yang sama, dia bahagia ketika melihat tulisan di bawan nama ‘Mas Ravi’ sedang mengetik. Rina harap-harap cemas dengan apa yang akan dikirimkan padanya. Namun, harapannya pupus ketika status yang sedang mengetik itu kembali mati.“Mas Ravi, ayo dong. Masa harus Rina yang duluan bilang suka,” ucapnya sambil berbaring di atas kasur. Matanya tak lepas dari foto profil Ravi yang terpasang di whatsapp-nya.“Sejak pertama kali lihat Mas Ravi, entah kenapa jantung Rina selalu berdebar kencang. Rina juga pengen selalu deket sama Mas Ravi,” gumamnya dengan wajah bersemu merah.“Tadi siang Rina nggak sengaja bilang suka sama Mas Ravi, apa Mas Ravi juga suka sama Rina?” tanyanya ngomong se
“Wah, temenmu itu sepertinya tau kalau buat dua orang. Dia bungkusnya banyak banget,” kata Ravi menyodorkan piring yang telah diisi pada Rina. Gadis itu menerima dan mengucapkan terima kasih.“Ada salam dari Sari buat Mas Ravi,” ucap Rina di sela suapannya. Ravi langsung menghentikan kunyahan dan menoleh pada gadis di sampingnya.“Waalaikum salam,” jawab Ravi terkekeh.“Maaf kalau boleh tanya,” ucap Rina ragu. Ravi kembali menoleh dan mengerutkan dahinya.“Iya? Tanya saja jangan ragu,” jawabnya dan kembali menyuap.“Sari titip pesen buat nanyain. Apa Mas Ravi sudah punya pacar?” tanya Rina dengan wajah polos. Namun, wajahnya tak urung memerah.Ravi tertawa kecil dan meraih gelas berisi air minum. Dia meneguk isinya sebelum menjawab pertanyaan Rina.“Ini pertanya
“Sari,” ucapnya malu-malu.“Ravi,” sahut lelaki tegap itu membalas uluran tangan Sari. Saat tangan itu bertautan, jantung Sari semakin berdebar kencang.Sejenak mereka diam karena bingung dan merasa kaku. Namun, akhirnya Ravi memecah kekakuan dengan berpamitan untuk ke warung.“Jika kalian masih mau mengobrol, silakan. Saya mau ke warung dulu, mau beli sarapan,” ucap Ravi.“Eh, mau beli sarapan, ya? Ini, kan, warung ibu saya. Mas Ravi mau nasi kuning? Saya bikinin, ya,” cerocos Sari mendahului langkah lelaki berkaos hitam itu. Dia juga bergegas membungkus nasi kuning lengkap dengan oseng-oseng dan telur balado.“Ini spesial buat Mas Ravi.” Gadis itu menyerahkan bungkusan nasi dalam keresek.“Terima kasih,” ucap Ravi. “Saya juga sekalian mau beli telur sekilo dan mi instan sepuluh bi