"Bu, kami, maksudnya aku dan Dinda, kami tidak akan bisa bersama." Rayyan membuka percakapan dengan wanita yang sedang mencuci sayuran.
Rayyan tak ingin mengikuti permainan yang dibuat Dinda. Tidak akan baik membiarkan gadis itu buang-buang waktu. Sedangkan ia yakin apa yang telah menjadi keputusannya. Lagi pula ia tak berniat merubahnya.
"Kenapa? Bukankah kau ingin melamarnya?" Wanita paruh baya tersenyum pada sang putra, tangannya masih sibuk dengan sayuran berwarna hijau.
"Tidak lagi, Bu."
"Kesalahpahaman sering mengacaukan segalanya. Tapi ibu pikir dia anak baik terlepas dari sikap manjanya."
"Apa ibu membelanya, karena apa yang sudah ia lakukan? Ayolah, Bu! Rayyan juga bisa belikan ibu semua itu. Tapi ibu sendiri yang menolak. Katanya mubazir, yang lama masih bagus, masih bisa digunakan."
"Tidak, tentu saja. Kenyamanan putraku lebih penting. Tapi setidaknya pertimbangan sekali lagi, ibu lihat dia serius menyukaimu." Bu Rina kini menghen
Rayyan memandang kartu nama yang di letakkan di samping komputernya. Kiara Anarulita itulah nama yang tertera di sana dan dia adalah seorang akuntan publik. Nama yang unik dan pekerjaan yang bergengsi. Dilihat dari garis wajahnya, gadis itu memang memiliki darah campuran. Semoga saja ia baik-baik saja setelah insiden kemarin, harap Rayyan.Pemuda berkaus dengan celana santai kemudian gelang kepala dengan apa yang ia pikirkan. Apa gunanya mengingat gadis asing itu? Ia kembali fokus pada layar di depannya. Melanjutkan aktivitas yang sempat terjeda, ia sedang menikmati rancang terbarunya. Masih lama untuk sampai di garis pinish, ia masih di separuh perjalanan. Membutuhkan pengujian lanjutan dan analisis program sebelum software ini siap untuk diperkenalkan pada khalayak umum.Rayyan bisa duduk di depan layar berjam-jam. Sang ayah bukan hanya berhasil menularkan hobinya. Anak itu bahkan kini telah berhasil membuat namanya dikenal di dunia maya. Karna di dunia nyata ia lebi
Rayyan memeluk erat dua bocah. Matanya berkaca-kaca, tetapi tinjunya tergenggam erat. Kemarahan menggelegak di dada bidang itu. Apa masalahnya? Kenapa menolak pernikahan baik-baik? Tidak ada yang akan mempersulit mereka, bahkan ia dan ibunya bersedia membantu sebanyak yang diperlukan. Namun, dengan pergi begitu saja meninggalkan dua bocah yang adalah anak kandungnya sendiri, takkah hati lembut sebagai wanita baik-baik saja? Apa cinta bisa semembutakan itu?Lalu kini ke mana mereka berdua akan pergi? Seindah apa dunia yang bisa membuat seorang ibu melepaskan tangan anak-anaknya? Rayyan tak habis pikir. Sangat ingin rasanya mematahkan leher pria yang merampas ibu bagi keponakannya. Akan tetapi, ada yang lebih penting untuk dilakukan sekarang, yakni menenangkan Affa dan Affiyah. Ia juga harus membuat cerita yang lebih masuk akal bagi ibunya, karena jika tidak bisa-bisa wanita berhati lembut itu pingsan."Malam ini kita nginap di rumah nenek, ya." Rayyan menyibak rambut Af
"Tapi, suami. Asal tahu aja, Afifah sahabat dinda sejak MI, kami belajar bersama. Dinda tak akan rela ia mendapatkan sembarang suami. Ia pantas untuk pria yang hebat." Wanita yang duduk bersisihan dengan Ammar bicara lembut."Rayyan juga begitu, Din. Kami bukan cuma teman, tapi sudah seperti saudara kandung. Walaupun memang di tubuh kami mengalir darah yang berbeda." Pemuda tampan yang bersandar di tempat tidur tak mau kalah.Gadis bermata jeli merengut, mengira sang suami hanya mengikut-ngikuti ucapannya."Yang kulihat dia tak begitu," ungkap Maryam."Tak begitu gimana?" Ammar menggeser tempat duduknya. Membiarkan jaraknya dan sang istri semakin dekat. Bahkan mata itu kini menatap lekat wanita berwajah bulat."Aku sedikit khawatir Abahnya Afifah syok melihat penampilan Rayyan. Bukankah keluarganya pasti berharap putri solehahnya akan berjodoh dengan pria yang--.""Yang apa coba?" tanya Ammar memotong ucapan sang istri."Setidak
Di mobil, Ammar beberapa kali memeriksa wajah istrinya dengan ekor mata. Pemuda itu serba salah sekarang. Rayyan yang berotak encer dan mudah nyerap pelajaran zaman dulu, entah kenapa sekarang bisa menjadi pikun. Apakah ini pengaruh usia? Atau sang teman sengaja tak ingin bekerja sama? Anak itu, andai saja mereka hanya berdua tadi? Ammar pasti akan mengajaknya bergulat.Lagi pula bukankah semalam ia sudah wanti-wanti agar bersiap-siaplah. Memberikan kesan baik dipertemuan pertama itu penting. Pasti Rayyan sengaja, bisik Ammar dalam hati.Lalu kini bagaimana tanggapan gadis yang duduk di kursi belakang? Ia pasti mengira mereka benar-benar datang untuk meminta bunga dari Bu Rina, seperti alasan yang diberikan Maryam."Rayyan, dia sebenarnya--" Ammar baru akan menjelaskan sesuatu, tetapi jari kaki sang istri di balik kaus telah memijaknya.Ammar hanya bisa menoleh pada Maryam, yang ditatap seolah-olah tak terjadi apa-apa."Hati-hati bawa mobilnya, Su
"Pemilik baru?" Rayyan menautkan alis. Reaksi wajahnya tak bisa ditebak."Anda keluarga Bu Rima?" Lelaki enam puluh tahunan menatap pemuda yang masih mematung. Tatapannya penuh selidik.Cakra tak menjawab, hanya sepasang mata itu menatap lekat pada bagunan dua tingkat yang berdiri kokoh."Saya permisi dulu. Masih harus menurunkan barang-barang." Pemilik baru rumah megah undur dari hadapan Rayyan.Pemuda dua puluh tujuh tahun hanya bisa mengangguk. Sekali lagi ini tak salah. Kak Rima boleh saja menjual rumah ini. Mungkin wanita itu punya alasan sendiri. Ia mungkin merasa lebih aman menabung untuk menggunakan uangnya nanti untuk anak-anak. Itu haknya. Namun, entah kenapa Rayyan sulit menerima. Rumah yang memiliki sejarah penting bagi kakak kandungnya, kini telah beralih kepemilikan. Seandainya kakak iparnya bicara padanya, ia yang akan mengamankan istana tersebut. Berapa pun uang yang dibutuhkan kak Rima? Selama dalam kesanggupannya, ia akan membayarnya.
"Jangan salah paham. Aku hanya memanfaatkanmu." Karla berhenti, menatap pemuda yang berjalan di sampingnya."Aku tak salah paham. Aku mengerti," ujar Rayyan cuek."Tapi terima kasih." Bagaimanapun Karla tahu yang harus diucapkan pada pemuda yang telah melepasnya, meski sementara dari Gery."Baiklah. Aku pergi." Rayyan melangkah lebar meninggalkan Karla."Tunggu." Suara gadis tinggi semampai menahan langkah pemuda berambut sebahu."Kau menolak ganti rugi waktu itu, setidaknya aku harus mentraktirmu kali ini.""Ah, aku masih kenyang. Baru sudah makan." Rayyan tersenyum lebar. Namun, bersamaan dengan ucapan mengatakan ia kenyang, perutnya tak berkompromi. Suara cacing di dalam sana bergurau nakal. Apa yang terjadi embuat pemuda berambut sebahu menyugar rambut. Bagaimanapun ia tak nyaman bersama orang asing. Apa lagi seorang gadis."Ayo! Aku tahu makanan enak di sekitar sini." Karla melangkah mendahului, memandu.Kini R
Seperti biasa, saat bosan memelototi layar komputer, Rayyan beranjak dari kamar. Pekerjaan seperti yang digelutinya tak bisa dilakukan saat fokus teralih. Jika sedang berkonsentrasi Rayyan bisa menghabiskan berjam-jam. Namun, saat tidak mood, ia memilih beristirahat.Saat keluar kamar, Rayyan merasa heran. Tidak biasanya rumah lengang setelah keberadaan dua kurcaci kembar. Apa keduanya sedang tidur siang? Saat tak melihat keponakannya di kamar, pemuda itu memutuskan keluar. Padahal tadinya ia ingin bermain-main dengan keduanya. Itu cukup untuk mengembalikan semangat.Akhirnya ia memutuskan pergi ke pesantren. Sudah beberapa hari tak melihat keadaan di sana.Tentu saja sebagai penyempurna penyamaran, Rayyan tak pernah datang ke pondok dengan kenderaan roda empat. Ia lebih memilih naik ojek. Jam-jam sebelum salat asar di sini sangat lengang. Karena seluruh santri masih sibuk di kelasnya. Selepas zuhur mereka memiliki jadwal materi pengembangan diri. Setiap s
Malam bergerak pasti mengikuti pergerakan waktu. Atap bumi gelap tanpa bintang yang biasanya berpendar indah. Sedangkan di sebuah kamar temaram, tampak sosok tubuh yang bergerak gelisah. Suara keluar dari lisannya tak terdengar jelas, keringat kini memenuhi wajah yang biasanya tenang. Wajah berhidung mancung dan memiliki pesona di senyum dan tatapan matanya. Mimpi itu sepertinya datang lagi. Mimpi yang sering mengusik secara berulang, terutama di masa lalu."Mungkin ia telah kehilangan ayah, tapi ia punya kakak laki-laki. Jadi jangan sekali-kali mengganggunya atau aku akan membuat hidung kalian berdarah." Bentakan itu tak terdengar main-main. Terlebih yang mengatakannya adalah anak bertubuh jangkung dengan tatapan mata tajam. Tubuhnya juga terlihat kekar di bandingkan anak seusianya."Dik, dengar! Tak ada yang salah dari menjadi yatim. Ayah akan terus mengawasi kita dari sana. Atau begini saja, apa yang ingin kau beritahu pada ayah, kau sampaikan saja pada kakak." Suara
Jam kerja baru saja dimulai. Di sebuah kantor yang tak terlalu besar, tapi terlihat ekslusif. Beberapa orang saja penghuni ruang berarsitektur unik itu, dan mereka terlihat sibuk dengan tugasnya masing-masing. Di antara beberapa orang yang telah saling mengenal dengan baik tersebut, terlihat wajah asing. Sepertinya ini kali pertama ia berada di sini. Ia adalah seorang pemuda. Perawakannya gagah dengan wajah di atas rata-rata. Tatap matanya memperlihatkan dengan jelas, bahwa ia sosok yang cerdas.Meski dalam biodatanya tertulis jelas, jika ia harus dipertimbangkan ke mana saja ia memasukkan surat lamaran. Nyatanya ia harus menunggu begitu lama untuk menemui pemilik kantor kecil ini. Sebuah kantor akuntan yang belum terlalu lama berdiri. Pemiliknya adalah seorang gadis cantik, yang masih baru di bidang ini. Gadis itu bernama Karla. Seorang akuntan publik lulusan master luar negeri. Walaupun belum bisa dikatakan matang, tetapi sepeakterjangnya patut diperhitungkan. Itu tentu saja
Malam bergerak pasti mengikuti pergerakan waktu. Atap bumi gelap tanpa bintang yang biasanya berpendar indah. Sedangkan di sebuah kamar temaram, tampak sosok tubuh yang bergerak gelisah. Suara keluar dari lisannya tak terdengar jelas, keringat kini memenuhi wajah yang biasanya tenang. Wajah berhidung mancung dan memiliki pesona di senyum dan tatapan matanya. Mimpi itu sepertinya datang lagi. Mimpi yang sering mengusik secara berulang, terutama di masa lalu."Mungkin ia telah kehilangan ayah, tapi ia punya kakak laki-laki. Jadi jangan sekali-kali mengganggunya atau aku akan membuat hidung kalian berdarah." Bentakan itu tak terdengar main-main. Terlebih yang mengatakannya adalah anak bertubuh jangkung dengan tatapan mata tajam. Tubuhnya juga terlihat kekar di bandingkan anak seusianya."Dik, dengar! Tak ada yang salah dari menjadi yatim. Ayah akan terus mengawasi kita dari sana. Atau begini saja, apa yang ingin kau beritahu pada ayah, kau sampaikan saja pada kakak." Suara
Seperti biasa, saat bosan memelototi layar komputer, Rayyan beranjak dari kamar. Pekerjaan seperti yang digelutinya tak bisa dilakukan saat fokus teralih. Jika sedang berkonsentrasi Rayyan bisa menghabiskan berjam-jam. Namun, saat tidak mood, ia memilih beristirahat.Saat keluar kamar, Rayyan merasa heran. Tidak biasanya rumah lengang setelah keberadaan dua kurcaci kembar. Apa keduanya sedang tidur siang? Saat tak melihat keponakannya di kamar, pemuda itu memutuskan keluar. Padahal tadinya ia ingin bermain-main dengan keduanya. Itu cukup untuk mengembalikan semangat.Akhirnya ia memutuskan pergi ke pesantren. Sudah beberapa hari tak melihat keadaan di sana.Tentu saja sebagai penyempurna penyamaran, Rayyan tak pernah datang ke pondok dengan kenderaan roda empat. Ia lebih memilih naik ojek. Jam-jam sebelum salat asar di sini sangat lengang. Karena seluruh santri masih sibuk di kelasnya. Selepas zuhur mereka memiliki jadwal materi pengembangan diri. Setiap s
"Jangan salah paham. Aku hanya memanfaatkanmu." Karla berhenti, menatap pemuda yang berjalan di sampingnya."Aku tak salah paham. Aku mengerti," ujar Rayyan cuek."Tapi terima kasih." Bagaimanapun Karla tahu yang harus diucapkan pada pemuda yang telah melepasnya, meski sementara dari Gery."Baiklah. Aku pergi." Rayyan melangkah lebar meninggalkan Karla."Tunggu." Suara gadis tinggi semampai menahan langkah pemuda berambut sebahu."Kau menolak ganti rugi waktu itu, setidaknya aku harus mentraktirmu kali ini.""Ah, aku masih kenyang. Baru sudah makan." Rayyan tersenyum lebar. Namun, bersamaan dengan ucapan mengatakan ia kenyang, perutnya tak berkompromi. Suara cacing di dalam sana bergurau nakal. Apa yang terjadi embuat pemuda berambut sebahu menyugar rambut. Bagaimanapun ia tak nyaman bersama orang asing. Apa lagi seorang gadis."Ayo! Aku tahu makanan enak di sekitar sini." Karla melangkah mendahului, memandu.Kini R
"Pemilik baru?" Rayyan menautkan alis. Reaksi wajahnya tak bisa ditebak."Anda keluarga Bu Rima?" Lelaki enam puluh tahunan menatap pemuda yang masih mematung. Tatapannya penuh selidik.Cakra tak menjawab, hanya sepasang mata itu menatap lekat pada bagunan dua tingkat yang berdiri kokoh."Saya permisi dulu. Masih harus menurunkan barang-barang." Pemilik baru rumah megah undur dari hadapan Rayyan.Pemuda dua puluh tujuh tahun hanya bisa mengangguk. Sekali lagi ini tak salah. Kak Rima boleh saja menjual rumah ini. Mungkin wanita itu punya alasan sendiri. Ia mungkin merasa lebih aman menabung untuk menggunakan uangnya nanti untuk anak-anak. Itu haknya. Namun, entah kenapa Rayyan sulit menerima. Rumah yang memiliki sejarah penting bagi kakak kandungnya, kini telah beralih kepemilikan. Seandainya kakak iparnya bicara padanya, ia yang akan mengamankan istana tersebut. Berapa pun uang yang dibutuhkan kak Rima? Selama dalam kesanggupannya, ia akan membayarnya.
Di mobil, Ammar beberapa kali memeriksa wajah istrinya dengan ekor mata. Pemuda itu serba salah sekarang. Rayyan yang berotak encer dan mudah nyerap pelajaran zaman dulu, entah kenapa sekarang bisa menjadi pikun. Apakah ini pengaruh usia? Atau sang teman sengaja tak ingin bekerja sama? Anak itu, andai saja mereka hanya berdua tadi? Ammar pasti akan mengajaknya bergulat.Lagi pula bukankah semalam ia sudah wanti-wanti agar bersiap-siaplah. Memberikan kesan baik dipertemuan pertama itu penting. Pasti Rayyan sengaja, bisik Ammar dalam hati.Lalu kini bagaimana tanggapan gadis yang duduk di kursi belakang? Ia pasti mengira mereka benar-benar datang untuk meminta bunga dari Bu Rina, seperti alasan yang diberikan Maryam."Rayyan, dia sebenarnya--" Ammar baru akan menjelaskan sesuatu, tetapi jari kaki sang istri di balik kaus telah memijaknya.Ammar hanya bisa menoleh pada Maryam, yang ditatap seolah-olah tak terjadi apa-apa."Hati-hati bawa mobilnya, Su
"Tapi, suami. Asal tahu aja, Afifah sahabat dinda sejak MI, kami belajar bersama. Dinda tak akan rela ia mendapatkan sembarang suami. Ia pantas untuk pria yang hebat." Wanita yang duduk bersisihan dengan Ammar bicara lembut."Rayyan juga begitu, Din. Kami bukan cuma teman, tapi sudah seperti saudara kandung. Walaupun memang di tubuh kami mengalir darah yang berbeda." Pemuda tampan yang bersandar di tempat tidur tak mau kalah.Gadis bermata jeli merengut, mengira sang suami hanya mengikut-ngikuti ucapannya."Yang kulihat dia tak begitu," ungkap Maryam."Tak begitu gimana?" Ammar menggeser tempat duduknya. Membiarkan jaraknya dan sang istri semakin dekat. Bahkan mata itu kini menatap lekat wanita berwajah bulat."Aku sedikit khawatir Abahnya Afifah syok melihat penampilan Rayyan. Bukankah keluarganya pasti berharap putri solehahnya akan berjodoh dengan pria yang--.""Yang apa coba?" tanya Ammar memotong ucapan sang istri."Setidak
Rayyan memeluk erat dua bocah. Matanya berkaca-kaca, tetapi tinjunya tergenggam erat. Kemarahan menggelegak di dada bidang itu. Apa masalahnya? Kenapa menolak pernikahan baik-baik? Tidak ada yang akan mempersulit mereka, bahkan ia dan ibunya bersedia membantu sebanyak yang diperlukan. Namun, dengan pergi begitu saja meninggalkan dua bocah yang adalah anak kandungnya sendiri, takkah hati lembut sebagai wanita baik-baik saja? Apa cinta bisa semembutakan itu?Lalu kini ke mana mereka berdua akan pergi? Seindah apa dunia yang bisa membuat seorang ibu melepaskan tangan anak-anaknya? Rayyan tak habis pikir. Sangat ingin rasanya mematahkan leher pria yang merampas ibu bagi keponakannya. Akan tetapi, ada yang lebih penting untuk dilakukan sekarang, yakni menenangkan Affa dan Affiyah. Ia juga harus membuat cerita yang lebih masuk akal bagi ibunya, karena jika tidak bisa-bisa wanita berhati lembut itu pingsan."Malam ini kita nginap di rumah nenek, ya." Rayyan menyibak rambut Af
Rayyan memandang kartu nama yang di letakkan di samping komputernya. Kiara Anarulita itulah nama yang tertera di sana dan dia adalah seorang akuntan publik. Nama yang unik dan pekerjaan yang bergengsi. Dilihat dari garis wajahnya, gadis itu memang memiliki darah campuran. Semoga saja ia baik-baik saja setelah insiden kemarin, harap Rayyan.Pemuda berkaus dengan celana santai kemudian gelang kepala dengan apa yang ia pikirkan. Apa gunanya mengingat gadis asing itu? Ia kembali fokus pada layar di depannya. Melanjutkan aktivitas yang sempat terjeda, ia sedang menikmati rancang terbarunya. Masih lama untuk sampai di garis pinish, ia masih di separuh perjalanan. Membutuhkan pengujian lanjutan dan analisis program sebelum software ini siap untuk diperkenalkan pada khalayak umum.Rayyan bisa duduk di depan layar berjam-jam. Sang ayah bukan hanya berhasil menularkan hobinya. Anak itu bahkan kini telah berhasil membuat namanya dikenal di dunia maya. Karna di dunia nyata ia lebi