“Maaf?” suara yang keluar dari bibir Alana. Tiba-tiba muncul mengagetkan Zeline dan Bude Mey yang tengah berseteru.
Dua orang yang saking sengitnya sampai tak sadar bahwa Alana dan Layla sudah berdiri di sebelahnya. Sudah tidak lagi menunggu di pinggir jalan. Sudah masuk melewati pagar. Berdiri tepat di depan mobil sedan putih klasik milik Bude Mey yang terparkir.
“Ada masalah ya, Zel?” tanya Alana ke arah Zeline yang susah payah menahan emosi. Mendengus, meremas tangannya sendiri kuat-kuat. “Kalau misal enggak boleh, nggak apa kok. Aku sama Layla bisa cari kos-kosan lain. Tadi banyak rumah kos yang masih kosong sepanjang jalan.”
Bude Mey menatap dua orang asing yang ada di depannya. Menatap dari bawah sampai atas. Menatap dengan benar semua detail mereka. Hanya dari itu saja perempuan patuh baya ini tahu bahwa mereka bukan orang kota.
Justru Alana dan Layla lah yang seharusnya ia tolong, bukan Zeline.
“Eh, enggak kok Nak. Enggak,” balas Bude Mey dengan menarik senyum terbaik di bibirnya. “Ini tadi kan Zeline janjian dari pagi. Eh ternyata baru dateng sore. Makanya ini tadi Bude marahin dia, biar tahu rasa. Duh, maaf ya udah bikin salah paham.”
Alana tersenyum. Tak mengira akan seramah itu perempuan yang dari tadi tampak marah-marah ke Zeline.
“Oh begitu ya tante. Eh iya kenalkan tante,” balas Alana sambil menjulurkan telapak tangan. Bude Mey kembali tersenyum, menjulurkan tangannya juga, menjabat tangan Alan.
“Saya Alana, dan perempuan di sebelah saya ini namanya Layla,” ucap Alana memperkenalkan diri.
“Layla, tante.” Senyum yang hangat terukir jelas di bibir Layla saat ganti menyambut uluran tangan Bude Mey.
“Kenalin saya Bude Mey. Ya kalau agak susah, panggil Bude saja nggak papa. Kalian ini dari daerah mana? Kayak dari luar kota ya? Mana mirip lagi udah seperti kakak beradik kalian berdua itu,” tanya Bude Mey.
“Iya Bude, jadi kami kebetulan dari desa. Desa Rambugunung namanya, mau kuliah di Universitas Pembangunan ceritanya Bude,” jawab Layla polos.
Tersenyum lebar, tidak tampak lagi raut curiga di wajah Layla. Mau bagaimanapun Bude Mey telah menyambut mereka berdua dengan baik bukan? Dan itu yang sangat Layla hargai.
“Oh jadi begitu ceritanya.” Bude Mey mengangguk-anggukan kepala. “Eh mari-mari silakan masuk,” lanjutnya kemudian.
Tentu saja Alana dan Layla langsung antusias. Mengekor tubuh perempuan bertubuh gemuk itu dari belakang. Menaiki dua anak tangga kecil sebelum tiba di pintu masuk.
Namun mata Layla belum bisa lepas dari Zeline. Perempuan itu masih berdiri mematung di tempatnya. Menundukkan wajah, menghela napas panjang. Membiarkan tiga orang lainnya melewati tubuhnya begitu saja. Siapa yang tidak merasa aneh melihat itu.
Tubuhnya baru bergerak setelah semua orang masuk ke dalam rumah. Setelah membuang muka ke jalan raya, tangannya mengusap wajah, seperti tengah menghapus air mata.
Baru kemudian berbalik, tersenyum ke arah Layla. Menyusul mereka masuk.
“Ya beginilah rumah Bude, Nak Layla dan Nak Alana. Rumahnya sudah lumayan tua. Tapi masih terawat semua kok. Listrik air dan semua fasilitas lengkap. Kurangnya, rumah ini hanya punya dua kamar tidur, sedangkan kalian bertiga,” terang Bude Mey.
Tubuhnya baru muncul lagi dari dalam kamar dengan dua toples makanan ringan di tangannya. Duduk dengan tenang di ruang tamu, bergabung dengan tiga perempuan yang usianya jauh lebih muda itu.
“Bagus kok Bude, Alana suka. Mana dingin rumahnya nggak panas. Tapi Bude, emm ... itu,” ucap Alana ragu. Menyenggol lutut Layla yang ada di sebelahnya, memberi kode.
“Ehehehe .... soal harga Bude.” Layla meneruskan kalimat Alana. Sahabatnya satu itu memang sering menyusahkan. “Kalau boleh tahu berapa harga sewa rumah ini satu tahunnya Bude?”
“Oh soal harga ya. Begini, karena kalian bertiga, sementara tempat ini sangat strategis. Dekat dengan kota, bahkan kalian juga cukup berjalan kaki kalau ingin ke kampus. Rumah ini saya sewakan lima juta pertahun.” Kalimat Bude Mey terpotong.
Menyorot mata tiga orang perempuan di depannya. Terutama Layla dan Alana, yang kini berbinar-binar senang dengan angka yang barusan mereka dengar itu.
“Oh maaf-maaf, maksud saya dua puluh juta. Saya baru ingat tadi suami saya mengirim pesan, dan ya. Harga itu yang benar, dua puluh juta per tahun,” lanjut Bude Mey. “Harus dibayar lunas di bulan pertama yah. Hehehe …”
Kalimat susulan yang seketika merubah mimik muka Alana dan Layla bersamaan. Menjadi tertekuk, kaget sekaligus bingung.
“Hehehe .... Bude pasti sedang bercanda kan? Masa’ dari lima juta tiba-tiba jadi dua puluh juta?” jawab Alana refleks.
Bude Mey tersenyum miring. “Oh tidak, Nak Alana. Bude nggak pernah bercanda soal nominal. Dan Bude juga punya beberapa kenalan pemilik rumah kos di sekitar sini kok kalau kalian keberatan dengan nominal itu.”
Alana dan Layla seketika menelan ludah. Perempuan di depannya ini? Bukankah tadi sangat ramah kepada mereka? Tapi kenapa tiba-tiba jadi mengerikan? Kenapa jadi merubah angka sewa jadi sangat jauh perbandingannya?
Alana dan Layla hanya bisa saling tatap satu sama lain. Angka sebesar itu sangat mustahil mereka dapatkan dalam satu bulan. Tidak mungkin mereka tawar juga. Wajah Bude Mey serius, dan dari kalimatnya perempuan itu tidak akan pernah menerima tawar menawar.
“Deal!” jawab Zeline tiba-tiba.
Perempuan yang sedari tadi hanya terdiam itu kini ikut angkat suara. Membuat kaget tiga orang perempuan lainnya. Membuat mereka bertiga memutar kepalanya. Menatap heran Zeline yang masih belum juga menurunkan tangannya.
“Ayo bikin janji Bude. Dua puluh juta, deal? Kalian berdua tak usah bingung. Aku akan tanggung lima belas juta. Kalian berdua lima juta sisanya,” lanjut Zeline.
Menatap tajam Bude Mey dengan bola matanya yang sipit. Tersenyum miring seakan tak ingin dikalahkan. Zeline lebih tahu apa yang direncanakan Bude Mey. Dan memang hanya dia yang tahu.
Angka dua puluh juta itu hanya karangan perempuan di depannya itu agar Layla dan Alana tak jadi tinggal di tempat ini. Angka dua puluh juta itu dengan mudah akan memukul mundur Alana dan Layla bersamaan setelah ia tahu mereka berdua hanya lah anak muda yang datang dari desa.
“Kenapa jadi ragu Bude? Salah nyebut nominal lagi ya? Cek HP dulu deh mending. Kali aja harganya ganti lagi. Uang segitu kecil bagi saya,” jawab Zeline.
Kalimatnya terdengar pedas bagi Layla dan Alana. Bagaimana pun kehidupan di desa mengajari mereka untuk selalu hormat dengan orang yang umurnya jauh di atas mereka. Tapi yang barusan ini?
Mendengar pertanyaan Zeline, Bude Mey justru terkekeh.
“Tidak. Tidak ada yang salah,” jawabnya sambil meraih tangan Zeline. Mereka berdua berjabat tangan. “Deal! Rumah ini dan semua barang di dalamnya saya sewakan pada kalian bertiga dengan harga dua puluh juta. Kalian bisa menempati rumah ini sejak detik ini juga.”
“Alhamdulillahhh ….!!!!”
Semua orang bersorak, terlebih Alana dan Layla. Kalimat itu yang dari tadi ingin sekali mereka dengar. Akhirnya mereka tak harus kebingungan lagi ke mana harus menginap malam ini. Akhirnya mereka menemukan tempat tinggal sekaligus teman baru di kota ini.
Tapi tawa itu hanya sesaat saja bagi Layla. Perempuan itu semakin merasa aneh dengan Zeline. Siapa sebenarnya wanita ini? Siapa sebenarnya Zeline? Sampai-sampai mencari uang sewa lima belas juta dalam satu bulan ia tanggung sendiri.
Perbincangan mereka di ruang tamu berakhir saat terdengar adzan maghrib berkumandang. Mereka bertiga membubarkan diri tak lama kemudian.
Bude Mey pergi meninggalkan rumah dengan sedannya. Sementara Layla dan Alana pergi menunaikan Ibadah Salat Maghrib.
Sementara Zeline harus kembali ke masjid mengambil motor dan koper milik Alana sekaligus menunaikan ibadah Salat Maghribnya di sana.
Hingga waktu bergerak semakin cepat. Cahaya matahari sempurna tenggelam di ufuk langit sisi barat. Sinar matahari berganti sinar lampu yang mulai menyala. Menerangi rumah, menerangi jalan, menerangi kehidupan manusia-manusia malam.
“Kalian malam ini aku tinggal dulu ya,” ucap Zeline tiba-tiba.
Mereka bertiga tengah berkumpul di dalam satu kamar. Satu kamar yang mereka sepakati bersama jadi kamar tidur. Dan satu kamar sisanya jadi tempat beribadah sekaligus tempat tas-tas kosong mereka.
“Lah, mau ke mana Zel?” tanya Alana.
“Iya, baru juga belum ada satu hari di sini. Kok udah mau pergi aja,” timpal Layla.
Layla dan Alana sedang sibuk membongkar barang bawaan mereka. Memasukkan satu per satu baju dan pakaian lainnya ke dalam almari.
“Ye ... kan cuma gua di sini yang belum ambil baju ganti. Gua mesti pulang dulu. Ambil pakaian seperti kalian,” jawab Zeline sambil memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas. Berdiri ringan, meraih kunci motor di atas meja ruang tamu. “Udah dulu ya, gua cabut dulu.”
Dan begitulah, Zeline pergi begitu saja. Melenggang meninggalkan Alana dan Layla yang kini saling tatap.
Alana mengangkat bahu bingung. Tapi sebentar kemudian sudah kembali sibuk dengan tumpukan baju yang ada di depannya. Toh lagi pula itu alasan yang logis kan? Zeline perlu baju ganti untuk besok.
Namun berbeda dengan Layla. Perempuan itu masih larut dalam tanda tanya besar di atas kepalanya. Tidak mungkin perempuan itu kalau hanya mengambil pakaian. Apalagi ini sudah malam. Keperluannya itu tidaklah mendadak bukan? Ia bisa lakukan esok hari. Toh sedikit pakaian yang ia bawa di motor juga masih cukup buat malam ini saja.
Ada yang tidak beres dengan Zeline. Ada sesuatu yang perempuan itu sembunyikan dari Alana dan Layla.
##
Sementara itu di tempat yang sudah jauh dari rumah Bude Mey, tubuh Zeline menunggangi motornya. Bergerak cepat melewati padatnya jalanan kota. Dua roda motornya terus berputar. Membawa tubuhnya di sebuah gedung besar berlantai lima.
Tubuh ramping tinggi dengan wajah yang cantik itu melangkah cepat. Mengabaikan meja resepsionis. Menuju lift yang kemudian sudah mengantarkannya hingga lantai paling atas gedung apartemen mewah ini.
Menggesekkan kartu ke kunci yang ada di sebelah pintu. Hingga membuat pintu mewah di depannya terbuka otomatis.
Seorang laki-laki yang umurnya tak jauh dari umur Bude Mey tampak sedang menikmati waktu menonton TV. Kepalanya berputar, seketika mendengar pintu terbuka. Tersenyum lebar, melihat tubuh Zeline yang berjalan ke arahnya dengan muka tertekuk.
“Oh sayang aku sudah kembali. Hey, kenapa kamu? Apa yang terjadi? Siapa yang membuatmu sedih sayang?” ucapnya sambil masih belum berpindah di tempatnya.
Masih duduk di sofa menghadap televisi dengan tubuh setengah telanjang. Hanya berbalut selembar handuk, di pinggang hingga lututnya.
Zeline melompat ke pelukan laki-laki itu. Menyentuh tubuh telanjang Om Firman dengan jari-jari lentiknya.
“Zeline lagi sedih Om Firman. Sedih banget,” ucapnya mengiba. Bermain-main di bagian sensitif tubuh laki-laki itu yang sudah tak tertutup handuk.
“Kasian ... sedih kenapa sih sayang?” tanya pria itu. Melingkarkan tangannya, menghujani kening Zeline dengan kecupan-kecupan lembut.
“Em ... Om Firman ada uang lima belas juta nggak? Zeline mau pinjam buat sewa rumah. Kan Zeline mau kuliah. Nggak mungkin dong kalau terus tinggal di sini. Kan jauh kampus ke sini,” terang Zeline.
Membuat laki-laki itu terkekeh. Membuat perut gendutnta ikut bergoyang mengikuti gerakan naik turun kepalanya yang mulai ditumbuhi rambut putih.
“Buat apa, sayang?” tanya laki-laki itu lagi di ujung tawanya.
“Ih Om Firman! Kan Zeline udah cerita tadi uangnya mau buat apa. Kok tanya lagi sih,” protes Zeline. Kini semakin menekuk sebal wajahnya.
“Bukan itu maksudku sayang. Buat apa harus pinjam kalau kau bisa dapetin itu sekarang juga?”
Kalimat laki-laki itu barusan seketika membuat Zeline kaget. Matanya terbelalak, pipinya mengembang memerah. Duduk dengan muka cerah penuh antusias. Seperti anak kecil yang baru dibelikan kembang gula.
“Yang bener? Ih Om Firman jangan bohong ya. Awas bohong!”
Laki-laki bernama Firman itu mengangguk mantap. Melepas kaca mata tebal yang menggantung di daun telinganya. “Tapi ada syaratnya?”
“Jangan susah-susah,” protes Zeline lagi.
“Enggak,” jawab laki-laki itu singkat. Tangannya bergerak meraih ujung ikatan handuknya. Menariknya, membiarkan kain itu lolos dari tubuhnya. Membiarkan tubuhnya telanjang bulat di depan Zeline.
“Tiga malam, layani aku tiga malam sampai pagi.”
Zeline, menelan ludah. Ia sering melayani laki-laki di depannya ini. Tapi tiga malam berturut-turut? Bagaimana caranya berkelit dari Alana dan Layla?
Bersambung ...
Tak banyak yang bisa dilakukan Zeline. Ia hanya butuh uang itu segera. Dan inilah satu-satunya cara yang bisa ia lakukan. Apa pun itu namanya yang jelas Zeline tak akan membiarkan kehilangan merenggut lagi impian yang sudah ada di depan mata.Impian untuk memiliki sahabat.Dari dulu, sejak kecil perempuan hidup tanpa seorang teman. Hidup bergelimang harta dan kaya raya dan membuatnya dijauhi banyak teman. Tak ada yang mau berteman dengannya. Perempuan paling cantik anak orang kaya. Saking kayanya sampai teman sebayanya minder.“Kau melamun lagi sayang?” ucap laki-laki yang ada di depan tubuh Zeline. Menarik mundur tubuhnya sedikit menjauh agar bisa melihat wajah perempuan yang tengah tak menentu itu.Zeline hanya bisa menggeleng. Tanpa ia sadari ternyata sedari tadi laki-laki itu tengah mengamati dirinya. Bahkan hingga tak menikmati apa yang sedang dilakukan Zeline padanya. Tak menikmati pijatan lembut jemari Zeline di batangnya.“Aku ke belakang dulu deh, Om.” Zeline memaksa senyum.
‘AAHHHHHH.....’Bibir Zeline tak bisa lagi menahan desahannya. Persis saat ujung batang itu masuk. Membuka lubang kewanitaannya, membuatnya meringis keenakan.Tidak sakit? Tentu saja tidak.Zeline sudah terbiasa dengan batang besar milik Baskara tak akan kesakitan hanya dengan menampung batang milik Om Firman. Ukuran milik Baskara dua kali lebih besar, dua kali lipat lebih panjang.Tapi apa Om Firman tahu tentang hubungan Zeline dengan Baskara? Tentu saja tidak. Zeline masih menutupi hubungannya dengan pria itu rapat-rapat. Selama ini Om Firman adalah orang yang memnuhi kebutuhan Zeline. Sumber uang yang tak terbatas banyaknya. Tak akan mungkin Zeline memberitahu Om Firman tentang pria itu.“Aaahhh ... itu enak sekali, Daddy! Uuuummmhhh ....,” lenguh Zeline sekali lagi. Membuka kedua pahanya lebih lebar. “AAAHHHH ... Habiskan semuanya, Daddy!”Mendengar kalimat Zeline barusan Om Firman jadi lebih liar. Menyeringai tersenyum miring, menatap perempuan di bawahnya dengan tatapan penuh na
Matahari pagi ini terasa terbit jauh lebih cepat. Sinarnya lembut merambat jatuh ke jari-jari rumput. Tercetak di bulir-bulir sisa embun. Merambat di permukaan dedaunan, aspal yang masih dingin, atau dingin percakapan pagi hari.Ibu-ibu yang berbelanja di depan kompleks perumahan. Anak-anak berseragam merah putih yang sibuk dengan tali sepatu sambil membuka mulut. Bersiap menerima suapan nasi ke sekian kali dari perempuan di sebelahnya.Perempuan yang kemudian menghardiknya karena lagi-lagi bangun kesiangan.Sementara kehidupan justru baru menetas di rumah berpagar hitam dengan pohon mangga besar berdiri tegak menantang langit. Sinar matahari yang berhasil terurai lewat sela-sela daunnya. Jatuh mengetuk jendela kaca
Perempuan itu berjalan hingga depan pintu. Layla seolah ingin benar-benar memastikan bahwa perempuan yang tidur di sofa itu benar Zeline. Masalahnya, dari sekujur tubuhnya dibalut selimut tebal warna biru sampai kepala. Tidur melingkar seperti seambruk jemuran kering yang ditutupi selimut di atasnya.Alana yang tak sabar akhirnya ikut berdiri. Mengekor Layla dari belakang, berjalan berjinjit mengendap-endap sampai di tempat Layla berdiri.“Sssstttt…. !!!!” Layla berdesis menyuruh diam Alana yang gemetaran di belakangnya.“Aku takut, La!” Alana mencengkeram lengan Layla. “Gimana kalau maling? Sudah deh… makanya mending kita cari kos-kosan yang lain saja,” rengeknya.
Di SMA dulu, siapa juga yang tidak kenal Wulan dan Catur. Dua besti yang sering diledek para guru dengan nama CaturWulan. Tapi bukan perkara nama itu yang bikin para guru geleng-geleng kepala. Melainkan betapa seringnya mereka berdua masuk ke kantor BP. Mereka berdua adalah ratunya bikin ulah.Alana yang akrab dengan semua orang sering mendengar cerita-cerita nakal mereka. Mulai dari ikut mabok di hajatan orang kampung sampai yang paling parah, pamer bekas luka di leher mereka. Ya, untuk ukuran anak SMA kelakuan mereka ini aib. Tapi Alana yang polos saat itu tak sungguh-sungguh mengerti apa yang dibanggakan dari bekas merah-merah membiru di leber.Namun pagi ini Alana menemukan jawabannya. Sialnya, belum cukup Alana sempurna menghitung jumlahnya tiba-tiba Zeline membuka matanya.
“Yok berangkat!” ucap Alana sambil dari belakang Layla. Tubuh tinggi rampingnya melompat melewati satu anak tangga yang sekaligus jadi tempat duduk bagi Layla.Perempuan yang masih sibuk mengikat tali sepatunya itu tolah-toleh kebingungan saat tiba-tiba tubuh Alana melewatinya begitu saja. Panik dan berakhir menyudahi ikatan tali sepatunya sembarangan.“Loh ... loh ..., Al. Tunggu !!” pekik Layla menyadari ia sudah ditinggal Alana melenggang.“Nggak mau… “ Alana justru memperepat langkah kakinya. “Kejar aku kalau bisa, La!! Hahaha… “Tubuh kecil Alana sudah hampir sampai pagar depan rumah sebelum akhirnya Layla hampir berhasil menyamai langkah Alana. Me
“Nanti kamu bakal paham, Nduk. Sebaiknya jangan ikut campur urusan orang kalau memang dia tidak minta tolong sama kita. Sebab nggak semua orang seapes atau seberuntung kita. Jadi solusi yang kita kasih tidak serta merta digunakan. Bantu semampumu, jangan terlalu banyak cari tahu apalagi ikut campur tangan ya. Setiap orang punya urusan pribadinya masing-masing.”Terhitung tiga tahun sudah kalimat dari bapak itu didengar Layla. Tiga tahun waktu yang tidak sesingkat yang sekarang Layla rasakan. Layla baru sadar apa maksud kalimat Bapaknya tiga tahun lalu itu sekarang. Kejadian yang dulunya disebabkan cuma karena perkara sepele.Diana adalah teman Layla sekelas yang paling pendiam. Dia tak punya banyak teman, bahkan dari jumlah jari tangan kana Layla masih banyak jumlah jarinya. Diana le
Benar-benar, kali ini Layla benar-benar dibuat kesal oleh Alana. Mengejar perempuan itu yang lari gesit sudah lebih dulu kabur, berlari meninggalkan Layla.Terbirit-birit menghindar mengulang kejadian kekanakan mereka sebelum berangkat ke kampus tadi. Meski pada akhirnya lagi dan lagi Alana bukan tandingan Layla. Layla tetap bisa menangkap gadis berbadan ramping yang tak pernah kerja berat itu.Mengapit lehernya dengan lipatan siku. Bergelayut hingga Alana minta ampun.“Nggak! Nggak bisa gitu! Kamu juga harus belajar masak dong, Al!” Layla mengumpat setelah melepas apitan lengannya.“Ya sudah ayok masa
“Lu jadi tanyain soal siapa Zeline ke orangnya langsung gitu?” Alana menelisik wajah Layla dengan tatap penasaran. “Gila lo, La.”Di tempat duduknya, Layla mengangguk mantap. “Nggak ada cara lain kan, Al? Tapi emang mungkin harus pelan-pelan, Al. Dia nggak bakal mau langsung ngaku. Tapi mungkin firasat lo di chat Whatsapps itu benar. Tadi Zeline rada gelagapan, pas gua bilang kalo gua udah tahu siapa dia.”Alana menghela napas panjang. “Itu artinya kita masih belum bisa tahu siapa dia ya.”“Lebih tepatnya, Zeline belum mengakui. Hhmmm…”Layla berdeham panjang. “Belum mengakui bukan berarti kita nggak tahu ‘kan? Bukannya kita udah bisa menarik kesimpulan kan sebenarnya? Bahwa Zeline sebenarnya adalah seorang pe—““Nggak boleh gitu, La. Nggak baik berasumsi soal orang lain,” potong Alana cepat. “Itu jahat banget. Bisa aja memang Zeline sebelumnya udah
“Zel! Eh, Nggak usah bercanda lo! Ah, lu parah. Kelewatan bercandanya,” sergah Layla. Masih tak percaya, masih menggeliat mencoba meloloskan dirinya dari cengkeraman tangan Zeline yang sudah di depan mendahului lagkah kakinya.Zeline seolah tak peduli lagi dengan apa yang dikatakan bibir Layla. Lebih tepatnya, Zeline tak mau tahu soal itu. Zeline hanya mau tahu bagaimana caranya menyeret Layla yang bertubuh lebih berisi ke meja resepsionis rumah sakit setinggi dada di depan pintu masuk.“Mbak saya mau…. “Belum sempat Zeline menyelesaikan kalimatnya, dua orang perawat dengan seragam serba hijau langsung melemparkan tatapan bingung. Dua orang di depan Zeline saling tatap. Sebelum salah satu dari mereka menyadari ada Layla di belakang Zeline.“Oh, mbak ini kan yang semalam ya?” Pegawai rumah sakit yang akhirnya sadar bahwa yang diseret Zeline adalah Layla berujar. Membenahi kaca matanya yang tadinya menggantung di
“Oh my god!” Zeline melongo tak percaya. Matanya berhenti berkedip untuk waktu yang cukup lama. Melongo tak percaya, tak bisa berhenti menatap kosong wajah Layla di depannya. “Itu bukan angka yang sedikit, La. Ka-kamu nggak lagi bercanda kan?”Layla menggelengkan kepala. Memijat dahinya dengan dua jari telunjuknya. “Gu–gua, gua nggak tahu harus minta tolong pada siapa lagi, Zel. Lo harapan terakhir gua.”Zeline menghela napas panjang. Memejam, memikirkan banyak hal. Ia tak tahu harus berkata apa lagi soal ini. Bukannya tidak mau membantu Layla. Bukan pula karena ia tak ada uang segitu di rekening.“Kumohon, Zel.”Suara Layla yang mengemis menambah kemelutpikiran Zeline. “Kumohon… “ rintihnya.Persoalan ini sungguh rumit jika ingat dari mana Zeline mendapatkan uangnya, dari jasa haram melayani laki-laki hidung belang. Zeline tahu betul betapa susahnya mencari uang yang terkumpul di rekeningnya. Betapa susah melayani Om Firman dan laki-laki lain di 2 tahun belakangan ini dengan semua per
Layla memutar leher berpaling ke arah Zeline. Mati-matian Layla menelan rasa sedihnya hanya untuk terlihat tegar di depan Zeline. Namun tetap saja wajah polosnya yang tampak basah tak bisa berbohiong. Sejak semalam saat sekonong-konyongnya Layla pulang ke kampung, ia masih saja menangisi bapaknya.Namun tentu saja Zeline harus tetap tersenyum. Harus, tidak boleh tidak. Ia tak mau membuat Layla semakin terpuruk dengan ujian yang menimpanya.Lagipula, dua perempuan itu sudah menangis. Zeline tak ingin menyusul. Ia tak ingin meneteskan air matanya di sini. Sekuat hati Zeline harus menahan air matanya. Kedua kakinya melangkah mendekat. Tubuh kuning langsat ramping itu melenggang dengan keranjang buah berpita cantik di tangannya.Sampai Zeline cukup dekat, Layla melepaskan Alana. Ganti memeluk tubuh Zeline yang lebih tinggi dari dirinya. Wajahnya melekat di dada Zeline. Sementara Zeline yang baru datang hanya bisa melingkarkan tangan kirinya. Tangan kanannya masih si
“Zel, ntar mampir dulu yak?”Pintu rumah terbuka, kedua engsel pintu depan yang entah kapan terakhir diminyaki berteriak kencang, memekakkan telinga.“Emmm… kayaknya kita juga harus cari tukang secepatnya deh.” Alana menelisik ke sela di antara papan kayu dan gawang pintu. “Ah tapi nanti deh kapan-kapan kalau urusan Layla udah kelar.”Tubuh Alana muncul dari balik pintu, kepalanya tetap menunduk, ganti mendongak ke dalam tas selempang warna merah miliknya. Berbicara pada Zeline di depannya tanpa melihat. Alana sibuk memeriksa satu persatu barang bawaan yang ia perlukan. Bahkan saking hebohnya ia sampai ikut membawa kamera kecil. Kamera teman setia membuat vlog mini pribadi untuk followers tercintanya.“Hah, mampir?” pekik Zeline. “ Mampir ke mana dah? Eh gila, udah hampir jam tujuh loh. Udah kesingan ini kita. Lu malah pake segala acara ngajak mampir,” cecar Zeline tak puas. Mengangk
“Bentar.” Alana menarik lengan Zeline. Menghalangi langkah Zeline sebelum bergerak lebih jauh meninggalkannya. “Lo yakin?” Matanya tak bisa lepas dari gadis yang bahkan tubuhnya belum berputar sempurna itu. “Ini jam sebelas malam loh, Zel. Dan dari kota ke desaku mungkin 3 sampai 4 jam.”Zeline menghela napas, menghembuskannya pelan. Melunakkan hatinya sendiri, melunakkan semua kepanikannya. “Gu-Gue mulai berpikir kalau memang aku lah penyebab semua kerumitan ini, Al.” Zeline menutup kalimatnya dengan sebuah senyum kecut.“No!” Alana memekik. Mengangkat tubuhnya, berdiri memeluk Zeline yang diam tak bergeming. Memeluk gadis itu, merapatkan tubuhnya. “Kita punya masalah masing-masing, Zel. Bukan karena kemudian masalah Layla nambah trus lo jadi nyalahin diri lo sendiri. Itu nggak fair, Zel.” Dahi Alana mengerut.“Tapi benar kan, Al? Sejak kalian tinggal bersamaku semua masalah seakan ja
“La! La! Lo kenapa, La?” pekik Zeline.Sejak pesan whatsapps itu tiba mendarat di ponselnya ia mendadak jadi gusar. Bagaimana tidak, Layla tidak menyebutkan pertolongan macam apa yang ia perlukan. Mau tidak mau Zeline langsung angkat kaki dari kursi bar. Berlari secepat yang ia bisa menerobos lantai dansa dan semua orang yang berkerumun di depannya.“Lo di mana sekarang, La? Bilang ke gua!”Sementara gadis yang Zeline panggil dari tadi masih sesenggukan. Bibirnya seolah tercekat, tangisan itu menghentikan semua kalimatnya. Habis, terbendung di tenggorokan, tak berhasil diucapkan. Hanya tersengar suara isak tangis dan tarikan napas berat.“Oke-oke Lu tenang dulu sekarang. Ambil napas dalam-dalam, La. Teriak yang kencang kalo perlu,” ucap Zeline lagi. “Kalau udah tenang lu cerita pelan-pelan.”Zeline masih berdiri di depan tembok diskotik. Dari luar sini, orang-orang yang lalu lalang tampak memperhatika
Gemerlap lantai bar malam ini terasa berbeda. Bukan seperti malam-malam sebelumnya saat Zeline datang. Mencari keramaian menghabiskan waktu mencari uang-uang kecil dari laki-laki hidung belang yang mau minum berdua dengannya. Malam ini bukan malam perayaan. Malam ini adalah malam di mana Zeline ingin menukar semua masalah di dalam kepalanya dengan gelas-gelas berisi alkohol.Alunan musik remix memekakkan telinga. Harum berbagai parfum yang bercampur keringat menusuk-nusuk hidung. Zeline baru juga sampai, baru sekitar lima menit yang lalu.Lantai dansa tak lagi jadi tempat favorit baginya. Zeline lebih tertarik memilih kurai bar setinggi pinggangnya. Duduk berlama-lama di sana, menikmati tiap shoot alkohol yang dipesannya pada bartender dengan tangan penuh tatto yang ada di depannya.“Kenapa lagi lu? Putus sama cowo?” sapa laki-laki yang mengenakan kemeja putih polos terlipat hingga siku berbalut celemek hitam yang diikat di pinggang dan lehernya.
Namun yang tidak Zeline tahu adalah dengan siapa ia berhadapan, dengan siapa ia berbicara menuturkan semua kisah hidup yang ia jalani. Sama tidak tahunya Zeline dengan seberapa kejam Arya Baskara yang sebenarnya. Hingga dua belah pihak itu kemudian saling menciptakan kemelut. Seperti gotong royong menciptakan badai yang lebih besar di muara hati Zeline.Persis di usianya ke dua puluh tahun. Persis tiga tahun setelah ia angkat kaki dari rumah kemudian bertemu hidup dan keluarga yang lebih menyayanginya. Bencana besar kembali datang.Malam itu, makan malam yang hangat di ruang makan yang disirami lampu jingga lengkap dengan lilin yang tersusun di atas meja. Mereka bertiga yang duduk memutar. Tangan ditangkupkan, jari-jari saling isi di sela jari tangan satunya. Memejamkan mata, memanjatkan doa sebelum makan.Dan persis saat doa selesai, mata terbuka, cahaya putih menembak dari luar. Cahaya yang menyilaukan mata, memenuhi seisi ruangan, masuk lewat jendela. Zeline