‘AAHHHHHH.....’
Bibir Zeline tak bisa lagi menahan desahannya. Persis saat ujung batang itu masuk. Membuka lubang kewanitaannya, membuatnya meringis keenakan.
Tidak sakit? Tentu saja tidak.
Zeline sudah terbiasa dengan batang besar milik Baskara tak akan kesakitan hanya dengan menampung batang milik Om Firman. Ukuran milik Baskara dua kali lebih besar, dua kali lipat lebih panjang.
Tapi apa Om Firman tahu tentang hubungan Zeline dengan Baskara? Tentu saja tidak. Zeline masih menutupi hubungannya dengan pria itu rapat-rapat. Selama ini Om Firman adalah orang yang memnuhi kebutuhan Zeline. Sumber uang yang tak terbatas banyaknya. Tak akan mungkin Zeline memberitahu Om Firman tentang pria itu.
“Aaahhh ... itu enak sekali, Daddy! Uuuummmhhh ....,” lenguh Zeline sekali lagi. Membuka kedua pahanya lebih lebar. “AAAHHHH ... Habiskan semuanya, Daddy!”
Mendengar kalimat Zeline barusan Om Firman jadi lebih liar. Menyeringai tersenyum miring, menatap perempuan di bawahnya dengan tatapan penuh nafsu.
Memajukan pinggulnya, membenamkan batang miliknya pelan-pelan. Zeline bisa merakan tiap senti batang itu mengisi lubang vaginanya. Kepalanya yang lebih besar, kulit yang bergesek dengan bagian dalam lubangnya. Urat-urat yang terasa menyembul di balik lapisan kulitnya.
Hingga laki-laki itu berhenti sebentar. Batang miliknya sempurna tenggelam. Terbenam seluruhnya ditelan lubang milik Zeline.
“Ahhhh ....” Laki-laki itu mendesah sekali lagi. Mengerang, puas setelah semua batangnya berhasil menyibak dua lapisan bibir Zeline yang sudah basah.
Sementara di bawah Zeline memejamkan matanya. Membuka lebih lebar pahanya. Menahan lututnya yang dilipat, ditahan dengan dua tangannya. Membiarkan Om Firman menyaksikan pemandangan indah di depannya.
Tubuh telanjang Zeline yang berkeringat pasrah ditaklukkan olehnya. Tubuh Zeline yang menggeliat mencari posisi terbaik yang bisa ia dapatkan.
Membuat laki-laki di atasnya leluasa bergerak. Menarik sedikit demi sedikit batangnya keluar. Menyisakan kepalanya, kemudian menenggelamkannya lagi.
Keringat yang mengucur, udara AC yang tak lagi terasa. Desahan dan lenguhan yang keluar dari bibir mereka berdua. Kini menambah panas permainan. Zeline menahan pinggulnya. Bergerak mengimbangi permainan laki-laki yang kini merunduk di atasnya.
Menuju dua bibir Zeline, mengecupnya. Lihat pemandangan itu, satu perempuan muda melayani laki-laki paruh baya yang lebih pantas jadi ayahnya sendiri.
Bibir mereka berpagutan. Terlepas saat Zeline memekik, melenguh, mendongakkan kepalanya. Tangan Om Firman bermain di dadanya. Dua jarinya bermain di ujung buah dadanya. Memelintir daging kecil kenyal merah muda kecoklatan di sana. Membuatnya kegelian menggeliat seperti cacing kepanasan.
“AHHHH.... Kau menikmatinya sayang?” Bibir Om Firman tak bisa diam.
Ia menagih jawaban itu langsung pada Zeline. Menagih jawaban seolah ingin menelanjangi Zeline lebih jauh. Bahwa di umurnya yang sudah separuh abad, ia masih bisa menggagahi seorang gadis.
Zeline menelan ludah. Membuka matanya, melihat wajah laki-laki di depannya yang meringis keenakan. “Harder daddy! Harder!” balas Zeline.
Kalimatnya seketika membuat gerakan memompa Om Firman semakin cepat. Semakin mudah karena lubang vaginanya yang semakin licin. Zeline hanya bisa mengerang. Menikmati sedikit kenikmatan yang menyerbunya di bawah sana.
Mau bagaimana pun, dari sekian banyak batang kejantanan laki-laki, milik Om Firman adalah yang paling sedikit memberikan kenikmatan. Tidak Zeline ungkiri, milik laki-laki itu paling kecil dari yang lain.
Tapi ini soal pekerjaan. Ini soal uang yang bisa Zeline dapatkan dari wira usaha tubuhnya. Zeline harus profesional, Zeline harus bisa memuaskan laki-laki di depannya ini dengan tubuh yang ia punya.
Termasuk saat tiba-tiba gerakan Om Firman memelan, hingga surut dan benar-benar berhenti. Tangan besar laki-laki bertubuh tambun itu meraih tangan Zeline, sedetik sebelum ia sendiri menidurkan tubuhnya ke belakang.
Zeline yang sudah paham apa yang laki-laki itu mau mengimbangi gerakannya. Menarik tangan Om Firman agar tubuhnya terangkat. Membalikkan keadaan mereka berdua. Zeline ganti di atas sedang pria paruh baya itu kini di bawahnya, tanpa harus melepaskan dua kelamin mereka yang masih bertaut.
Om Firman melenguh keenakan sembari membenahi posisinya. Meluruskan kedua kakinya, menopang tubuh Zeline yang kini duduk persis di atas pinggulnya.
Pinggul yang sekaligus jadi panggung bagi tubuh telanjang ramping Zeline. Pemandangan yang selalu disuguhkan pada pria mana pun yang memesan jasanya.
Sejenak Zeline membenahi rambut panjang yang berantakan menutupi wajahnya. Menyingkirkannya, mengaitkan pada daun telinganya. Kedua tangannya bergerak, menopang tubuh di dada Om Firman. Sekaligus seakan tengah memamerkan buah dadanya pada pria itu.
Buah dada berkulit kuning langsat dengan ujung merah muda kecoklatan yang sudah menegang. Menari-nari memancing gairah Om Firman.
Apa lagi saat bergelantungan, sensasi yang Zeline rasakan semakin bertambah saat ia mulai bergerak. Memaju mundurkan pinggulnya, membuat batang itu keluar masuk dari lubang miliknya. Membuat cairan yang membasahi lubangnya kini luruh membasahi pinggul Om Firman.
Zeline bergerak lagi, lebih cepat, lebih ganas.
Mengangkat pinggulnya sedikit, menurunkan dengan secepat mungkin. Terlihat seperti tengah menikamkan benda itu ke dalam lubang miliknya hingga titik paling dalam. Menghunuskannya lagi, menancapkannya lagi.
Sampai gerakan teratur itu terdengar seperti suara tepuk tangan. Terdengar menyelip di antara desahan dan lenguhan yang keluar dari mulut mereka berdua. Zeline mengatur tempo, sementara Om Firman bergerak mengimbanginya.
Tangannya tak bisa tinggal diam, apalagi melihat buah dada Zeline yang melambai di depan matanya. Meremas lembut dua bongkah buah dada itu dengan kedua tangannya. Sesekali mencubitnya sampai membuat Zeline memekik keenakan.
Zeline menggeliat lebih cepat. Memaju mundurkan pinggulnya, bergoyang naik turun seperti penari striptes yang diberi panggung.
Keduanya tengah mabuk dengan kenikmatan yang bercampur di antara mereka. Kenikmatan yang saling dibagi, saling sulang dua tubuh berkeringat mereka yang kini jadi satu.
Sampai kemudian Zeline merundukkan tubuh lelahnya. Tubuh ramping dengan keringat bercucuran itu jatuh bersimpuh, menindih Om Firman di bawahnya. Melingkarkan tangannya di antara lehernya.
Om Firman yang gemas mengambil alih permainan. Meremas pantat Zeline yang pas di telapak tangannya. Menggoyangkan pinggulnya, mengangkat tubuh Zeline sedikit ke atas, menurunkan lagi. Membenamkan batangnya dengan cepat.
Hingga Zeline merasakan batang keras itu lebih tegang dari sebelumnya. Semakin kuat dan semakin panas. Keluar masuk lubangnya dengan leluasa. Persis saat Om Firman mengerang. Zeline tahu, laki-laki ini hampir sampai.
Dengan sedikit tenaganya yang tersisa mengangkat tubuhnya. Menyangganya dengan kedua tangannya di dada Om Firman. Bergoyang dengan tempo yang terus ia percepat.
Gerakan yang erotis, desahan, lenguhan, tubuh rampingnya yang indah. Aroma birahi yang kental tercium menyesaki ruangan. Dari atas Zeline bisa melihat laki-laki itu meringis seiring ia bergerak lebih cepat lagi. Menguatkan otot-otot vaginanya hingga terasa mencengkeram kuat.
Membuat sekujur tubuh Om Firman seakan ikut menguat. Semua syarafnya menegang, termasuk kedua kakinya yang tengah Zeline tunggangi. Persis ketika wajah laki-laki itu tengadah. Matanya terpejam, mengerang, meringis, mengangkat pinggulnya. Menancapkan sedalam mungkin kejantanannya.
Hingga akhirnya, laki-laki itu mencapai puncak klimaksnya. Zeline jelas merasakan sesuatu membasahi lubangnya. Persis sedetik sebelum Om Firman akhirnya mengurangi gerakannya. Beberapa kali menyembur, saking banyaknya hingga meluruh keluar dari lubang milik Zeline.
Tubuh ramping yang akhirnya terkulai lemas. Tidur menindih tubuh gemuk pria di bawahnya. Tersengal, mengatur napas bersamaan dengan Om Firman yang melingkarkan tangannya di pinggang ramping Zeline.
Tersenyum puas, mengecup lembut pipi Zeline. Perempuan yang masih tak bergeming dengan rambut yang acak-acakan. Masih terpejam, terkulai lemas, membiarkan rasa lelahnya mengendap lebih dulu. Membiarkan batang yang masih diremas lubang miliknya pelan-pelan mengecil.
Semakin mengecil hingga akhirnya tercabut dengan sendirinya.
“Yang barusan itu luar biasa bukan?” ucap Om Firman setelah tenaganya terkumpul lagi.
Zeline tersenyum, balas mengecup pipi Om Firman. Mengerling, sebelum tubuh telanjangnya bergulung turun dari tubuh besar berperut tambun itu.
“Lagi-lagi kau keluar di dalam sayang. Lihatlah, ini banyak sekali,” protes Zeline. Mengambil lembar tisu dari meja di sebelah kasurnya. Membuka pahanya mengelap cairan yang masih keluar, meluruh pelan-pelan dari lubangnya.
“Bukankah itu tak masalah katamu?” tanya Om Firman. Tangan besar itu beringsut, melingkar, memeluk tubuh Zeline yang masih kerepotan di sebelahnya. “Kau bilang sudah rutin minum pil KB bukan?”
Zeline yang tak ingin membuat laki-laki di sebelahnya kecewa menyudahi kegiatannya. Membalas pelukan Om Firman. Tidur miring merapatkan tubuhnya.
“Tak apa sayang, tapi aku hanya takut ketagihan,” godanya sambil meringis. Menggesekkan ujung hidungnya dengan ujung pria paruh baya itu. Bermain-main di sana, membuat Om Firman terkekeh pelan.
“Kau bisa menghubungiku kapan pun kalau kau mau kan?” tanya laki-laki itu lagi.
Zeline menggeleng, membuang teduh sorot matanya pada laki-laki di depannya. “Kan kamu juga tahu sayang sebentar lagi aku semakin sibuk. Urusan kampus dan lainnya.”
“Emmm .... itu urusan kecil,” jawab Om Firman. Kembali menelentangkan tubuhnya yang sebelumnya miring. “Serahkan semuanya padaku. Nilaimu, tugasmu, semua biar aku yang selesaikan.”
“Hah??” Seketika Zeline membulatkan pupil matanya. “Serius ini?”
Om Firman mengangguk. Mengusap garis wajah Zeline dengan lembut. Terpesona dengan cantik paras wajahnya. “Aku bersumpah, tenanglah sayang. Kau hanya perlu memberikan tugasnya padaku dan semuanya akan beres. Nilaimu akan keluar sempurna.”
“Tanpa syarat?” telisik Zeline lagi.
Pertanyaan yang kemudian membuat laki-laki itu tergelak. Terkekeh, menertawakan Zeline yang kini menekuk wajahnya. “Nanti kupikirkan lagi syaratnya. Aku sebenarnya ingin memintamu untuk tinggal bersamaku di apartemen. Tapi kau sendiri yang bilang bahwa kau sudah menemukan tempat tinggal bukan?”
Zeline menghela napas panjang. Tenaganya sudah cukup terisi untuk hanya sekedar mengangkat tubuhnya. Duduk melamun di pinggir ranjang. Meraih botol air mineral di atas meja, meneguk airnya.
“Apa pun syaratnya nanti, bolehkah aku meminta satu hal sayang?” tanya Zeline membuang lamunannya pada tembok kosong di depannya.
Om Firman tahu ada yang sedang mengganggu pikiran Zeline. Ia menyusul mengangkat tubuhnya, beringsut duduk, memeluk Zeline dari belakang. Melingkarkan tangannya di pinggang gadis itu.
“Katakan sayang, just say it!” Om Firman merapatkan tubuhnya, meletakkan dagunya di pundak Zeline. Menghela napas, menyalurkan kehangatan dari tubuh tambunnya.
“Zeline minta kamu buat tidak membocorkan pekerjaan Zeline ini pada siapa pun. Zeline tak siap untuk menerima itu Om. Zeline nggak pengen Layla dan Alana pergi dari rumah itu hanya karena tahu siapa sebenarnya Zeline dan pekerjaan Zeline. Zel–Zeline pengen punya temen,” terang Zeline.
Suaranya bergetar, serak, parau akibat air mata yang tak terasa sudah meluruh dari sudut matanya. Tertahan di kantung matanya, menunggu saat jatuh membasahi pipi.
“Ssst .... it’s okay dear, it’s okay ...,” bisik Om Firman lembut di depan daun telinga Zeline. Mengusap lengan perempuan di depannya itu, menenangkannya. “Aku bakal lakuin itu tanpa syarat apa pun. Percaya sama aku.”
Kalimat terakhir membuat Zeline seketika memutar tubuhnya. Menelisik mata pria di depannya, membuka lebar-lebar kedua lengannya, dan mereka pun berpelukan.
Paling tidak, untuk detik ini rahasia Zeline akan terjaga rapat-rapat. Sebab Zeline tahu, Baskara mungkin juga tak akan suka apabila tahu hubungannya dengan Om Firman.
Zeline tak mau kehilangan sumber uangnya begitu saja.
Bersambung ....
Matahari pagi ini terasa terbit jauh lebih cepat. Sinarnya lembut merambat jatuh ke jari-jari rumput. Tercetak di bulir-bulir sisa embun. Merambat di permukaan dedaunan, aspal yang masih dingin, atau dingin percakapan pagi hari.Ibu-ibu yang berbelanja di depan kompleks perumahan. Anak-anak berseragam merah putih yang sibuk dengan tali sepatu sambil membuka mulut. Bersiap menerima suapan nasi ke sekian kali dari perempuan di sebelahnya.Perempuan yang kemudian menghardiknya karena lagi-lagi bangun kesiangan.Sementara kehidupan justru baru menetas di rumah berpagar hitam dengan pohon mangga besar berdiri tegak menantang langit. Sinar matahari yang berhasil terurai lewat sela-sela daunnya. Jatuh mengetuk jendela kaca
Perempuan itu berjalan hingga depan pintu. Layla seolah ingin benar-benar memastikan bahwa perempuan yang tidur di sofa itu benar Zeline. Masalahnya, dari sekujur tubuhnya dibalut selimut tebal warna biru sampai kepala. Tidur melingkar seperti seambruk jemuran kering yang ditutupi selimut di atasnya.Alana yang tak sabar akhirnya ikut berdiri. Mengekor Layla dari belakang, berjalan berjinjit mengendap-endap sampai di tempat Layla berdiri.“Sssstttt…. !!!!” Layla berdesis menyuruh diam Alana yang gemetaran di belakangnya.“Aku takut, La!” Alana mencengkeram lengan Layla. “Gimana kalau maling? Sudah deh… makanya mending kita cari kos-kosan yang lain saja,” rengeknya.
Di SMA dulu, siapa juga yang tidak kenal Wulan dan Catur. Dua besti yang sering diledek para guru dengan nama CaturWulan. Tapi bukan perkara nama itu yang bikin para guru geleng-geleng kepala. Melainkan betapa seringnya mereka berdua masuk ke kantor BP. Mereka berdua adalah ratunya bikin ulah.Alana yang akrab dengan semua orang sering mendengar cerita-cerita nakal mereka. Mulai dari ikut mabok di hajatan orang kampung sampai yang paling parah, pamer bekas luka di leher mereka. Ya, untuk ukuran anak SMA kelakuan mereka ini aib. Tapi Alana yang polos saat itu tak sungguh-sungguh mengerti apa yang dibanggakan dari bekas merah-merah membiru di leber.Namun pagi ini Alana menemukan jawabannya. Sialnya, belum cukup Alana sempurna menghitung jumlahnya tiba-tiba Zeline membuka matanya.
“Yok berangkat!” ucap Alana sambil dari belakang Layla. Tubuh tinggi rampingnya melompat melewati satu anak tangga yang sekaligus jadi tempat duduk bagi Layla.Perempuan yang masih sibuk mengikat tali sepatunya itu tolah-toleh kebingungan saat tiba-tiba tubuh Alana melewatinya begitu saja. Panik dan berakhir menyudahi ikatan tali sepatunya sembarangan.“Loh ... loh ..., Al. Tunggu !!” pekik Layla menyadari ia sudah ditinggal Alana melenggang.“Nggak mau… “ Alana justru memperepat langkah kakinya. “Kejar aku kalau bisa, La!! Hahaha… “Tubuh kecil Alana sudah hampir sampai pagar depan rumah sebelum akhirnya Layla hampir berhasil menyamai langkah Alana. Me
“Nanti kamu bakal paham, Nduk. Sebaiknya jangan ikut campur urusan orang kalau memang dia tidak minta tolong sama kita. Sebab nggak semua orang seapes atau seberuntung kita. Jadi solusi yang kita kasih tidak serta merta digunakan. Bantu semampumu, jangan terlalu banyak cari tahu apalagi ikut campur tangan ya. Setiap orang punya urusan pribadinya masing-masing.”Terhitung tiga tahun sudah kalimat dari bapak itu didengar Layla. Tiga tahun waktu yang tidak sesingkat yang sekarang Layla rasakan. Layla baru sadar apa maksud kalimat Bapaknya tiga tahun lalu itu sekarang. Kejadian yang dulunya disebabkan cuma karena perkara sepele.Diana adalah teman Layla sekelas yang paling pendiam. Dia tak punya banyak teman, bahkan dari jumlah jari tangan kana Layla masih banyak jumlah jarinya. Diana le
Benar-benar, kali ini Layla benar-benar dibuat kesal oleh Alana. Mengejar perempuan itu yang lari gesit sudah lebih dulu kabur, berlari meninggalkan Layla.Terbirit-birit menghindar mengulang kejadian kekanakan mereka sebelum berangkat ke kampus tadi. Meski pada akhirnya lagi dan lagi Alana bukan tandingan Layla. Layla tetap bisa menangkap gadis berbadan ramping yang tak pernah kerja berat itu.Mengapit lehernya dengan lipatan siku. Bergelayut hingga Alana minta ampun.“Nggak! Nggak bisa gitu! Kamu juga harus belajar masak dong, Al!” Layla mengumpat setelah melepas apitan lengannya.“Ya sudah ayok masa
“Jadi berapa semuanya, Bang?” tanya Alana kepada laki-laki di depannya yang sudah sempurna memasukkan semua barang belanjaannya ke dalam kantong keresek. Persetan dengan apa yang ibu-ibu kompleks katakan Layla cukup sadar diri kalua d kota ini ia dan Alana cuma dua orang penduduk baru.“Jadi dua puluh tujuh semuanya,” jawab pria tiga puluhan tahun itu. Tersenyum, menggantikan kantong keresek merahnya pada Alana dengan tiga lembar sepuluh ribuan darinya. “Duh, yang tiga ribu abang kasih krupuk aja yang, Neng. Kagak ada kembalian soalnya. Rame banget dagangan hari ini. Uang kecil saya abis.”“Iya deh, Bang.” Kepalanya berputar-putar mengamati kerupuk-kerupuk yang dibungkus dan diikat jadi satu menggantung di sebuah paku. “Yang mana nih kerupuknya?” tanya Alana balik.Gerakan tubuhnya masih saja diamati oleh empat ibu-ibu di depannya. Tatapan yang bukan tatapan sep
Mulut Alana terbungkam rapat, gagap tak ada satu kalimat pun terbesit di kepalanya yang mampu menjawab pertanyaan Layla barusan. Kenapa?“Al ?!” Layla yang tak puas sampai menghentikan Langkah kakinya. Meremas lengan Alana agar dia berenti melangkah juga. “Kamu nggak lagi bercanda?”Alana menggeleng ragu setengah ketakutan.“Ya Tuhan, Al…. Shhhh…!!!” Layla berdesis kesal meraup wajahnya sendiri. “Kapan? Trus… trus kok bisa sih?? Al !! Kita kan berdua udah sama-sama tahu kalua rumah Bude Mey nggak beres. Zeline juga mulai nggak beres.”“I-iya maaf, La.” Alana tergagap. Kulit kuning langsatnya memerah menahan tangis. “A-aku nggak tahu kalau bakal jadi seserius ini.”“Ckkk….. “ Layla terduduk lemas di pinggir trotoar jalan. “Nggak harus buru-buru kayak gitu loh, Al. Kan kalau kamu belum bayar kitab isa cabut sewaktu-waktu
“Lu jadi tanyain soal siapa Zeline ke orangnya langsung gitu?” Alana menelisik wajah Layla dengan tatap penasaran. “Gila lo, La.”Di tempat duduknya, Layla mengangguk mantap. “Nggak ada cara lain kan, Al? Tapi emang mungkin harus pelan-pelan, Al. Dia nggak bakal mau langsung ngaku. Tapi mungkin firasat lo di chat Whatsapps itu benar. Tadi Zeline rada gelagapan, pas gua bilang kalo gua udah tahu siapa dia.”Alana menghela napas panjang. “Itu artinya kita masih belum bisa tahu siapa dia ya.”“Lebih tepatnya, Zeline belum mengakui. Hhmmm…”Layla berdeham panjang. “Belum mengakui bukan berarti kita nggak tahu ‘kan? Bukannya kita udah bisa menarik kesimpulan kan sebenarnya? Bahwa Zeline sebenarnya adalah seorang pe—““Nggak boleh gitu, La. Nggak baik berasumsi soal orang lain,” potong Alana cepat. “Itu jahat banget. Bisa aja memang Zeline sebelumnya udah
“Zel! Eh, Nggak usah bercanda lo! Ah, lu parah. Kelewatan bercandanya,” sergah Layla. Masih tak percaya, masih menggeliat mencoba meloloskan dirinya dari cengkeraman tangan Zeline yang sudah di depan mendahului lagkah kakinya.Zeline seolah tak peduli lagi dengan apa yang dikatakan bibir Layla. Lebih tepatnya, Zeline tak mau tahu soal itu. Zeline hanya mau tahu bagaimana caranya menyeret Layla yang bertubuh lebih berisi ke meja resepsionis rumah sakit setinggi dada di depan pintu masuk.“Mbak saya mau…. “Belum sempat Zeline menyelesaikan kalimatnya, dua orang perawat dengan seragam serba hijau langsung melemparkan tatapan bingung. Dua orang di depan Zeline saling tatap. Sebelum salah satu dari mereka menyadari ada Layla di belakang Zeline.“Oh, mbak ini kan yang semalam ya?” Pegawai rumah sakit yang akhirnya sadar bahwa yang diseret Zeline adalah Layla berujar. Membenahi kaca matanya yang tadinya menggantung di
“Oh my god!” Zeline melongo tak percaya. Matanya berhenti berkedip untuk waktu yang cukup lama. Melongo tak percaya, tak bisa berhenti menatap kosong wajah Layla di depannya. “Itu bukan angka yang sedikit, La. Ka-kamu nggak lagi bercanda kan?”Layla menggelengkan kepala. Memijat dahinya dengan dua jari telunjuknya. “Gu–gua, gua nggak tahu harus minta tolong pada siapa lagi, Zel. Lo harapan terakhir gua.”Zeline menghela napas panjang. Memejam, memikirkan banyak hal. Ia tak tahu harus berkata apa lagi soal ini. Bukannya tidak mau membantu Layla. Bukan pula karena ia tak ada uang segitu di rekening.“Kumohon, Zel.”Suara Layla yang mengemis menambah kemelutpikiran Zeline. “Kumohon… “ rintihnya.Persoalan ini sungguh rumit jika ingat dari mana Zeline mendapatkan uangnya, dari jasa haram melayani laki-laki hidung belang. Zeline tahu betul betapa susahnya mencari uang yang terkumpul di rekeningnya. Betapa susah melayani Om Firman dan laki-laki lain di 2 tahun belakangan ini dengan semua per
Layla memutar leher berpaling ke arah Zeline. Mati-matian Layla menelan rasa sedihnya hanya untuk terlihat tegar di depan Zeline. Namun tetap saja wajah polosnya yang tampak basah tak bisa berbohiong. Sejak semalam saat sekonong-konyongnya Layla pulang ke kampung, ia masih saja menangisi bapaknya.Namun tentu saja Zeline harus tetap tersenyum. Harus, tidak boleh tidak. Ia tak mau membuat Layla semakin terpuruk dengan ujian yang menimpanya.Lagipula, dua perempuan itu sudah menangis. Zeline tak ingin menyusul. Ia tak ingin meneteskan air matanya di sini. Sekuat hati Zeline harus menahan air matanya. Kedua kakinya melangkah mendekat. Tubuh kuning langsat ramping itu melenggang dengan keranjang buah berpita cantik di tangannya.Sampai Zeline cukup dekat, Layla melepaskan Alana. Ganti memeluk tubuh Zeline yang lebih tinggi dari dirinya. Wajahnya melekat di dada Zeline. Sementara Zeline yang baru datang hanya bisa melingkarkan tangan kirinya. Tangan kanannya masih si
“Zel, ntar mampir dulu yak?”Pintu rumah terbuka, kedua engsel pintu depan yang entah kapan terakhir diminyaki berteriak kencang, memekakkan telinga.“Emmm… kayaknya kita juga harus cari tukang secepatnya deh.” Alana menelisik ke sela di antara papan kayu dan gawang pintu. “Ah tapi nanti deh kapan-kapan kalau urusan Layla udah kelar.”Tubuh Alana muncul dari balik pintu, kepalanya tetap menunduk, ganti mendongak ke dalam tas selempang warna merah miliknya. Berbicara pada Zeline di depannya tanpa melihat. Alana sibuk memeriksa satu persatu barang bawaan yang ia perlukan. Bahkan saking hebohnya ia sampai ikut membawa kamera kecil. Kamera teman setia membuat vlog mini pribadi untuk followers tercintanya.“Hah, mampir?” pekik Zeline. “ Mampir ke mana dah? Eh gila, udah hampir jam tujuh loh. Udah kesingan ini kita. Lu malah pake segala acara ngajak mampir,” cecar Zeline tak puas. Mengangk
“Bentar.” Alana menarik lengan Zeline. Menghalangi langkah Zeline sebelum bergerak lebih jauh meninggalkannya. “Lo yakin?” Matanya tak bisa lepas dari gadis yang bahkan tubuhnya belum berputar sempurna itu. “Ini jam sebelas malam loh, Zel. Dan dari kota ke desaku mungkin 3 sampai 4 jam.”Zeline menghela napas, menghembuskannya pelan. Melunakkan hatinya sendiri, melunakkan semua kepanikannya. “Gu-Gue mulai berpikir kalau memang aku lah penyebab semua kerumitan ini, Al.” Zeline menutup kalimatnya dengan sebuah senyum kecut.“No!” Alana memekik. Mengangkat tubuhnya, berdiri memeluk Zeline yang diam tak bergeming. Memeluk gadis itu, merapatkan tubuhnya. “Kita punya masalah masing-masing, Zel. Bukan karena kemudian masalah Layla nambah trus lo jadi nyalahin diri lo sendiri. Itu nggak fair, Zel.” Dahi Alana mengerut.“Tapi benar kan, Al? Sejak kalian tinggal bersamaku semua masalah seakan ja
“La! La! Lo kenapa, La?” pekik Zeline.Sejak pesan whatsapps itu tiba mendarat di ponselnya ia mendadak jadi gusar. Bagaimana tidak, Layla tidak menyebutkan pertolongan macam apa yang ia perlukan. Mau tidak mau Zeline langsung angkat kaki dari kursi bar. Berlari secepat yang ia bisa menerobos lantai dansa dan semua orang yang berkerumun di depannya.“Lo di mana sekarang, La? Bilang ke gua!”Sementara gadis yang Zeline panggil dari tadi masih sesenggukan. Bibirnya seolah tercekat, tangisan itu menghentikan semua kalimatnya. Habis, terbendung di tenggorokan, tak berhasil diucapkan. Hanya tersengar suara isak tangis dan tarikan napas berat.“Oke-oke Lu tenang dulu sekarang. Ambil napas dalam-dalam, La. Teriak yang kencang kalo perlu,” ucap Zeline lagi. “Kalau udah tenang lu cerita pelan-pelan.”Zeline masih berdiri di depan tembok diskotik. Dari luar sini, orang-orang yang lalu lalang tampak memperhatika
Gemerlap lantai bar malam ini terasa berbeda. Bukan seperti malam-malam sebelumnya saat Zeline datang. Mencari keramaian menghabiskan waktu mencari uang-uang kecil dari laki-laki hidung belang yang mau minum berdua dengannya. Malam ini bukan malam perayaan. Malam ini adalah malam di mana Zeline ingin menukar semua masalah di dalam kepalanya dengan gelas-gelas berisi alkohol.Alunan musik remix memekakkan telinga. Harum berbagai parfum yang bercampur keringat menusuk-nusuk hidung. Zeline baru juga sampai, baru sekitar lima menit yang lalu.Lantai dansa tak lagi jadi tempat favorit baginya. Zeline lebih tertarik memilih kurai bar setinggi pinggangnya. Duduk berlama-lama di sana, menikmati tiap shoot alkohol yang dipesannya pada bartender dengan tangan penuh tatto yang ada di depannya.“Kenapa lagi lu? Putus sama cowo?” sapa laki-laki yang mengenakan kemeja putih polos terlipat hingga siku berbalut celemek hitam yang diikat di pinggang dan lehernya.
Namun yang tidak Zeline tahu adalah dengan siapa ia berhadapan, dengan siapa ia berbicara menuturkan semua kisah hidup yang ia jalani. Sama tidak tahunya Zeline dengan seberapa kejam Arya Baskara yang sebenarnya. Hingga dua belah pihak itu kemudian saling menciptakan kemelut. Seperti gotong royong menciptakan badai yang lebih besar di muara hati Zeline.Persis di usianya ke dua puluh tahun. Persis tiga tahun setelah ia angkat kaki dari rumah kemudian bertemu hidup dan keluarga yang lebih menyayanginya. Bencana besar kembali datang.Malam itu, makan malam yang hangat di ruang makan yang disirami lampu jingga lengkap dengan lilin yang tersusun di atas meja. Mereka bertiga yang duduk memutar. Tangan ditangkupkan, jari-jari saling isi di sela jari tangan satunya. Memejamkan mata, memanjatkan doa sebelum makan.Dan persis saat doa selesai, mata terbuka, cahaya putih menembak dari luar. Cahaya yang menyilaukan mata, memenuhi seisi ruangan, masuk lewat jendela. Zeline