"Mbak Linda, gabung ya," ucap Irma, aku mengangguk."Mbak, aku tadi ketemu ibunya mas Hasan," ungkap Irma setelah dia duduk di sampingku."Terus?""Beliau tadi nanyain, mbak Linda masih kos di sini apa enggak. Pas aku jawab masih, beliau titip salam buat mbak Linda," jelasnya."Waalaikumsalam," jawabku."Maaf ya mbak, aku cuma nyampein salam aja. Aku jadi nggak enak sama mbak Linda.""Nggak apa-apa, Ir, kamu nggak salah kok. Kamu kan cuma nyampein salam, dan aku juga udah jawab. Cuman, lain kali kalau ibunya mas Hasan tanya gitu lagi, kamu jawab aja kalau mbak Linda udah pindah atau keluar dari kos," jelasku."Siap, mbak. Kalau gitu aku masuk dulu ya, mau belajar besok ujian," ucap Irma, dia lalu masuk ke dalam rumah.Tidak berselang lama, Ruri keluar dari kamarnya. Ruri duduk di sebelahku dengan membawa satu paper bag, entah berisi apa."Buat mbak Linda," ucap Ruri seraya menyerahkan paper bag itu padaku.Aku menerimanya. Meski kecil, paper bag ini cukup berat. "Apa ini?""Hadiah bua
"Udah sana masuk. Saya mau pulang," ucap pak Yogi.Aku berjalan dengan gontai. Pak Yogi yang biasanya galak dan pemarah, kenapa bisa bersikap seromantis itu?"Dari mana, Mbak?" tanya Irma."Dari ambil ini," aku menunjukkan kantung kresek yang kubawa."Wih, beli martabak nggak bilang-bilang. Mau dong, Mbak," pinta Irma.Aku lalu mengajak Irma untuk duduk di teras depan kamarku, ada juga beberapa ank kos yang berada di luar kamar aku ajak sekalian. Kami menikmati martabak manis dengan senda gurau.Karena mata sudah sangat berat, aku akhirnya pamit lebih dulu untuk beristirahat. Perut kenyang, pasti ujung-ujungnya mengantuk.***"Pagi mbak Linda," sapa Budi."Pagi juga, Bud. Eh, kamu nikahnya tanggal berapa? Kok udah nyebar undangan?" tanyaku pada Budi."Tanggal lima belas, mbak Linda bisa dateng kan?"Tanggal lima belas, berarti satu minggu lagi. Aku masih punya waktu untuk menghadiri pernikahan Budi dan Nia sebelum aku kembali ke kampung halaman."Semoga bisa ya, Bud. Acaranya pagi kan
"Mas Yogi mau design yang gimana?" tanya Sandi.Sandi menyalakan layar komputernya. Pak Yogi duduk di samping Sandi, dan aku duduk di samping pak Yogi.Sandi menunjukkan beberapa referensi design undangan. Ternyata pak Yogi ke sini untuk memesan undangan, kok jantungku jadi berdebar ya?"Kamu suka yang mana?" tanya pak Yogi padaku.Aku melihat beberapa contoh yang Sandi tunjukkan. Karena hanya gambar, aku jadi bingung memilih yang mana?"Ada contoh fisiknya?" tanya pak Yogi, pas sekali dengan apa yang aku pikirkan."Ada. Bentar aku ambilin," ujar Sandi, ia lalu beranjak dari duduknya dan berjalan menuju ruangan tempat ia keluar tadi.Sandi kembali dengan membawa beberapa contoh undangan, ia lalu menyerahkannya pada pak Yogi."Kamu yang pilih." Pak Yogi menyerahkannya padaku.Aku menerimanya dan memilah undangan mana yang menurutku bagus. Ada tiga contoh undangan yang aku pilih, satu berwarna krem, satu berwarna biru dan satu lagi berwarna abu-abu."Ini bagus semua, aku bingung milih y
"Pak!" panggilku agak keras karena pak Yogi tetap diam menatapku."Kenapa?" tanyanya dengan pandangan masih mengarah padaku."Nggak cocok ya aku pakek baju ini?" tanyaku.Pak Yogi meneliti penampilanku dari atas sampai bawah, beliau lalu mendekat padaku."Cantik." Pak Yogi membelai rambutku. Beliau mendaratkan kecupan singkat di puncak kepalaku."Pak, jangan sering-sering bersikap manis kayak gini, nanti saya diabetes," ujarku.Pak Yogi membelai pipiku dengan punggung jarinya, menatapku lekat hingga membuatku sadar akan sesuatu. "Pak.""Hmmm.""Pak. Munduran, banyak yang liatin tuh, malu," ucapku. Pak Yogi segera menjauh dariku setelah sadar dengan tatapan pegawai butik di sekitar kami. Hampir saja kami memberikan tontonan yang kurang pantas.Aku segera mengganti gaun ini dengan baju yang tadi aku pakai, membawanya menuju meja kasir untuk dibayar oleh pak bos. Enak juga ya kalau jadi orang kaya, belanja nggak perlu mikir berapa harganya. Sementara aku beli dalaman di pasar saja masih
Pak Yogi menyerahkan sebuah kartu kepada kasir, kasir lalu menerimanya dan menggeseknya. Enak sekali jadi orang kaya, mau beli apa tinggal gesek saja."Ayo, kamu mau beli apa lagi?""Udah, Pak, Bapak saja mau beli apa? Saya antar," jawabku."Kita beli sepatu sama tas," putusnya."Sepatu yang dari bu Sandra kemarin masih ada yang belum saya pakek," jelasku."Itukan yang beliin Mama, sekarang saya yang beliin, jadi beda. Udah ayo, ikut aja," jelas pak Yogi, dia lalu menggenggam tanganku menuju counter tas dan sepatu."Kamu pilih sendiri, saya tunggu di sini," ujar pak Yogi lalu beliau duduk di kursi yang sudah disediakan.Aku berjalan perlahan, berkeliling melihat apa yang sangat aku inginkan. Kalau menuruti apa yang aku inginkan, semuanya aku ingin membawanya, tapi kan itu nggak mungkin.Berkeliling beberapa kalipun aku tetap tidak mendapat apapun, dari sekian banyak sepatu dan tas, tidak ada yang harganya di bawah lima ratus ribu. Sedari tadi yang aku lihat selalu harga di atas satu j
"Tante." Oh, aku lupa kalau ini dekat dengan rumah mas Hasan, jadi kemungkinannya sangat besar aku bertemu dengan ibu mas Hasan."Ya ampun, nggak nyangka bisa ketemu sama kamu di sini. Udah lama banget Tante pengen ketemu sama kamu, tapi nggak bisa-bisa. Selalu sibuk kerja atau lagi pulang kampung. Kamu apa kabar?"Wow, ramah sekali ibu mas Hasan ini. Sangat jauh berbeda dengan sikapnya yang dulu, kemana ibu mas Hasan yang galak dan pemarah itu?" Baik, Tante.""Tambah cantik ya sekarang. Tante boleh duduk di sini ya?" Tanpa menunggu jawabanku, ibu mas Hasan langsung duduk di sebelahku. Aku melihat pak Yogi sudah menghentikan kegiatannya menyuap bakso."Maaf, Tante ....""Nggak perlu minta maaf, justru Tante yang mau minta maaf sama kamu atas sikap Tante selama ini. Mungkin Tante sudah keterlaluan sama kamu, tapi sebenarnya Tante itu sayang sama kamu," ucapnya. Mimpi apa sampai ibu mas Hasan yang dulu sangat membenciku, sekarang bisa begitu baik padaku."Maaf ya, Tante buru-buru, dit
"Sayang banget, Pak, tinggal sebulan lagi.""Dua minggu lagi kamu saya pulangin," ungkapnya."Kok dua minggu? Kan akadnya satu bulan lagi. Saya masih harus kerja, Pak. Kasian Mama kalau semua biaya beliau yang nanggung," jelasku."Ada saya, Lin. Kamu juga nggak percaya kalau saya kaya? Tau gitu tadi saya bayarin sekalian warung baksonya!""Bukan gitu, Pak. Saya cuma nggak mau dibilang matre. Saya mau uang untuk acara nikahan nanti pakai uang saya sendiri," jawabku."Kamu itu nggak matre, kebetulan aja saya banyak uang. Kalau kamu matre, pasti udah dari dulu kamu mempan saya kodein." Pak Yogi menghentikan mobilnya karena kami sudah sampai di depan kos.Aku tertawa mendengar jawaban pak Yogi. Bukannya nggak peka, hanya berhati-hati. Logikanya memang sangat langka orang kaya raya mau sama gadis miskin, tapi kalau masalah cinta dan takdir memang tidak bisa disalahkan."Kenapa nggak seminggu sebelum akad baru dipulangin?""Kalau bisa aja saya maunya sekarang kamu balik ke rumah Mamamu, tap
"Mbak Linda." Aku baru saja membuka pintu kamar saat kulihat malaikat kecil itu tersenyum manis di depanku."Kangen," ucapku. Aku memeluk tubuh kurusnya. Anak lelaki ini sudah membuatku jatuh hati sejak pertama bertemu.Dia anak yang manis, seringnya kami bertemu membuat kami cukup akrab."Mbak Linda cantik banget hari ini," pujinya dan aku tersipu. Pantas saja anak ini manis sekali, ternyata papinya juga sangat manis."Makasih. Kamu juga ganteng banget, ini baju baru?"Aku belum pernah melihat dia berpakaian serapi ini, biasanya aku hanya melihatnya memakai celana pendek dan kaos. Hari ini Arya memakai kemeja lengan pendek, celana bahan panjang dan sepatu. Tampan sekali calon anakku ini. Apakah nanti aku juga bisa punya anak setampan ini?"Iya, baru beli kemarin sama Papi. Mbak Linda suka?""Suka. Ganteng banget kamu pakai baju kayak gini." Aku mencubit pipi Arya gemas.Mata Arya berbinar. Anak manis ini memang selalu menggemaskan."Lama banget!" Pak Yogi sudah duduk di kursi kemudi
"Ya Allah, anak Mama, akhirnya mau nikah juga," ujar mama saat aku baru tiba di rumah."Assalamualaikum, Ma," aku meraih tangan mama lalu menciumnya."Waalaikumsalam. Sampai lupa. Masuk dulu yuk," ajak mama.Aku membantu mama masuk ke rumah dengan tongkat di tangan kirinya. Arman dan Arlan membantu membawa beberapa barangku, aku hanya membawa yang sekiranya tidak diperlukan lagi, sementara baju, sepatu dan barang-barang yang masih bisa dipakai dibawa pak Yogi ke rumahnya."Duduk, Sayang, pasti capek banget ya." Mama mengajakku duduk di kursi ruang tamu."Aku masukin kamar aja ya, Mbak," ujar Arlan."Iya, yang di motornya Arman, taruh di meja makan aja."Arlan dan Arman masuk ke dalam, aku duduk bersama wanita terhebatku."Mama nggak nyangka kalau kamu bakal nikah secepat ini, perasaan baru beberapa bulan lalu kamu masih nggak punya pacar. Jodoh memang nggak bisa ditebak ya, ternyata jodoh kamu yang selama ini ikut jagain kamu," ujar mama."Ini semua juga berkat doa Mama, semua kebaika
Aku segera ke belakang untuk beribadah."Mbak, aku tiduk sini aja. Mbak tidur di ranjang," ujar Arya. Ia sudah merebahkan diri di kasur lantai."Kamu aja yang tidur di ranjang, kamu kan tamu.""Nggak lah, aku kan cowok. Kata Papi, cowok itu harus ngalah sama cewek. Aku udah biasa ngalah sama Tasya," jelasnya.Pak Yogi memang pintar dalam mendidik anaknya. Terbukti Arya menjadi pribadi yang sopan dan pengertian, atau ini didikan maminya dulu? Kalau didikan pak Yogi sepertinya nggak sebagus ini.Sorenya pak Yogi benar-benar tidak pulang, dengan terpaksa aku membawa Arya bersama anak kos untuk berjalan-jalan, kata mereka sebagai kenangan sebelum kami berpisah.[Uangnya sudah kutransfer, traktir anak-anak sepuasnya. Tanya juga sana anak lelakimu apa yang mau dibeli.]Pesan masuk dari pak Yogi. Aku lalu membuka aplikasi M-banking dan ternyata benar sudah masuk uang sebesar lima juta.Hah, lima juta? Aku sampai dua kali mengeceknya, tidak percaya kalau pak Yogi mentransfer uang sebanyak it
"Maaf mbak, tadi Arya kelepasan," ujar Arya, ia lalu menampakkan gigi kelincinya.Jantungku sudah berdebar, eh, dia malah bilang begitu. Padahal sudah senang saja tadi."Sini, mbak ambilin makan. Suka pedes kan?"Daripada pikiranku ke mana-mana, lebih baik aku mengajak Arya makan saja."Suka. Semua masakan mbak Linda aku suka," ujarnya dan membuat senyumku mengembang.Arya makan dengan lahap, di piringnya bahkan tidak ada nasi yang tersisa."Makasih, makanannya enak banget. Arya mau nonton tivi boleh?""Boleh," jawabku.Arya menyalakan televisi, sementara aku membereskan bekas makan kami.Saat sedang menonton televisi bersama Arya, ponselku berbunyi. Panggilan video masuk dari pak Yogi. Aku segera merapikan rambutku yang berantakan, lalu menerima panggilan."Assalamualaikum." Salam dari pak Yogi yang terlihat begitu tampan dengan kaos polo warna hitam."Waalaikumsalam," jawabku."Kamu lagi ngapain?""Lagi nonton tivi sama Arya. Baru selesai makan. Pak Yogi sudah di rumah bu Najwa?""S
Pukul tujuh pagi aku sudah berada di resort, berangkat dengan sopir karena pak Yogi harus mengantar Arya ke sekolah. Arya memang tidak mau berangkat sekolah dengan sopir selagi ayahnya tidak ada pekerjaan di luar kota."Mbak Linda apa kabar?" tanya pak Damar saat kami sudah berada di ruang rapat. Pak Yogi katanya akan tiba dalam lima menit."Baik, pak Damar. Kabarnya mbak Rania gimana?""Baik juga. Mbak Linda dapet salam dari istri saya sama si kembar.""Salam balik ya, Pak. Saya kemarin lihat storynya mbak Rania. Cantik-cantik banget ya si kembar."Belum sempat pak Damar menjawab, pak Yogi sudah masuk ke ruangan."Maaf agak telat, jalanan sedikit macet. Bisa langsung kita mulai?"Pak Damar mengangguk.Kami segera memulai rapat karena sebentar lagi pak Damar harus ke luar kota. Tidak ada yang berbelit-belit, pak Damar adalah orang yang sepaham dengan pak Yogi, jadi semua berjalan dengan lancar.Pak Damar berpamitan, beliau di antar oleh pak Yogi menuju mobilnya. Aku kembali ke ruangan
Sudah bersih-bersih dan bersiap akan tidur, ponsel di sebelahku berbunyi, tanda panggilan masuk. Nama bos galak tertera di layar. Beruntung pak Yogi tidak pernah melihat namanya di ponselnya, kalau tahu pasti beliau akan marah."Assalamualaikum," ucapku."Waalaikumsalam. Sudah mau tidur?" Suara pak Yogi dari seberang."Iya, ada apa Pak?""Nggak apa-apa. Kalau mau tidur ya tidur aja, teleponnya nggak usah dimatiin. Mau ganti video call bisa kan?""Saya mau tidur, Pak. Udah nggak dandan, malu," jawabku.Bagaimana bisa aku melakukan panggilan video dengan pak Yogi, sementara sekarang aku hanya memakai baju tidur tanpa lengan."Biarin aja, nanti juga setiap hari aku liat kamu kayak gitu," jawabnya. Beberapa detik kemudian panggilan sudah beralih ke video.Aku segera meraih sweater yang ada di samping ranjang dan buru-buru memakainya, baru setelah itu aku menerima panggilan video dari pak Yogi."Emang di situ dingin? Mau tidur aja pakek sweater segala," ujarnya."Nggak sih, saya udah biasa
"Silahkan pesanannya," ujar pemilik warung.Kami menikmati makan sore ini, pak Yogi terlihat sangat menikmati makanannya."Mie-nya beda, nggak kayak biasanya," ucapnya."Emang biasanya gimana?" tanyaku dengan serius karena aku belum pernah makan di sini."Biasanya enak.""Yang ini nggak enak? Perasaan punyaku enak kok," ujarku. Ini bahkan lebih enak dari mie ayam keliling yang biasa aku beli di depan indekos."Yang ini enak banget karena makannya ditemenin sama kamu," ucapnya yang sukses membuat pipiku memerah.Haduh, sekarang kok semakin pintar gombalin ya. Bapak duda satu ini memang sangat meresahkan."Udah ah, cepetan abisin makannya, keburu maghrib nanti," ucapku. Sebenarnya aku takut pada kondisi jantungku kalau pak Yogi merayu terus."Minggu ini kamu nggak usah pulang, minggu depan aja sekalian. Undangannya tiga hari lagi jadi, nanti kamu bawa sekalian yang buat temen-temen kamu," ujar pak Yogi.Aku mengangguk. Kami sekarang sudah berada di depan kos. "Besok Bapak ada pertemuan
Yogi, kamu kok bisa ada di sini?" tanya mbak Mia menghampiri pak Yogi.Sepertinya mereka cukup akrab, pak Yogi menerima uluran tangan dari mbak Mia."Kamu juga ngapain di sini? Bukannya ikut suamimu ke jakarta?"Mbak Mia duduk di samping pak Yogi. "Udah balik gue, laki gue udah bikin usaha di sini. Ya ampun nggak nyangka banget bisa ketemu di sini. Kamu ngapain di sini? Sama Nadia?"Pak Yogi menatapku sebentar, lalu beralih pada mbak Mia lagi. "Nadia udah nggak ada dari dua tahun yang lalu," jelasnya."Ya ampun, maafin ya, beneran aku nggak tau. Terakhir reuni empat tahun lalu kamu masih sama dia. Kok gak ada yang kabarin aku ya? Oh, iya lupa. Hape aku ilang dua tahun lalu, jadi nggak punya kontak temen-temen. Baru kontekkan lagi beberapa bulan ini sebelum pulang. Aku turut berduka ya," ucap mbak Mia."Kamu udah kenal sama Linda?"Mbak Mia menatapku lalu tersenyum, beberapa detik beliau sempat terpaku lalu tersadar kembali."Kenal dong. Dia yang baru aja aku dandanin. Katanya mau prew
"Masih banyak, Bapak masih mau?" Kenapa aku jadi salah tingkah begini?"Ya kan, saya yang minta dibawain sarapan. Ya pasti saya makan."Aku lalu menyuapi pak Yogi lagi, sampai nasi di kotak bekal habis tidak bersisa.Sepertinya aku memang harus cepat-cepat pulang kampung, kamu terus-terusan seperti ini, aku takut kena serangan jantung karena setiap hari dibuat berdebar."Katanya Bapak sudah nggak jemput saya?" Aku ingat kemarin pak Yogi bilang kalau aku akan dijemput sopirnya."Nggak jadi. Nanti sopir saya jatuh cinta sama kamu," ucapnya."Astaga, Bapak. Saya itu setia, nggak akan selingkuh kalau sudah punya pasangan. Bapak nih, suka sembarangan kalau ngomong." Kesal sekali dengan ucapan pak Yogi."Saya tau. Lagian nggak mungkin juga kamu sia-siain orang seperti saya, nggak mungkin kamu bisa dapet yang lebih baik dari saya."Kepedean pak Yogi sudah melampaui ambang batas, sudah terlalu berlebihan. Aku lebih memilih diam daripada menanggapi ucapan ngelantur pak Yogi.Kami sudah sampai
"Ini cuma simbol, yang mengikat kita itu cinta," ucap pak Yogi.Ya Tuhan, tolong lindungi hatiku agar tidak meleleh. Kenapa semakin ke sini sikap pak Yogi semakin romantis, kalau seperti ini bisa-bisa aku yang khilaf."Pakek ini, kalau ada yang deketin, bilang kalau kamu udah ada yang punya," ujarnya lalu mengecup punggung tanganku."Udah buruan masuk, bahaya kalau berduaan terus, takut entar si Ai nulis yang iya-iya," lanjut pak Yogi.Aku turun setelah mencium punggung tangan pak Yogi. Pak Yogi melambaikan tangan dan melajukan mobilnya setelah aku membuka gerbang, aku lalu masuk dan mengunci pintu gerbang.Semua pintu kamar kos sudah tertutup dan beberapa pintu terasnya sudah mati, pertanda penghuni di dalamnya sudah terbuai mimpi.Aku membuka pintu kamar, masuk lalu menutup dan mengunci pintunya kembali. Duduk di kursi kecil untuk melepas sepatu, lalu menaruhnya di rak.Berjalan perlahan menuju kamar mandi untuk membersihkan muka, menggosok gigi dan mengosongkan kantung kemih.Menat