"Lin, pokoknya saya mau nikah!" Astaga! Kesambet apa Pak Bos ini. Pagi-pagi sudah bikin heboh saja. "Nikah, ya, nikah aja, Pak," jawabku dengan suara lirih. Saat ini kami hanya berdua. Aku sedang mengerjakan laporan, sementara beliau mempermainkanku. Bagaimana tidak? Tadi Pak Yogi yang memintaku segera menyelesaikan pekerjaan, tetapi sekarang malah diminta mendengarkan curhatannya. Sungguh terlalu. "kalau mau nikah,menurut kamu yang harus saya pilih? Wanita muda dan cantik, apa dewasa dan keibuan?" Sebuah pertanyaan dilontarkan oleh Pak Yogi. Aku tetap fokus pada data di depan mata, meski telingaku tetap saja mendengarkan pada pertanyaan Pak Yogi. Penasaran juga orang yang ditaksir Pak Bos ini. "Kalau menurut saya, yang harus Bapak pilih, ya, wanita yang bisa diterima sama Arya," jawabku. Akhirnya aku mengangkat wajah demi melihat Pak Yogi yang berdiri di samping mejaku. Arya adalah anak dari pak Yogi. Jadi, menurutku lebih adil kalau dia yang disuruh memilih. Seorang dud
Perkenalkan namaku Linda Anggraini, gadis cantik berumur dua puluh tujuh tahun. Iya, memang terbilang cukup dewasa untuk wanita yang masih melajang, tapi memang belum ketemu jodoh, mau gimana lagi?Aku baru satu tahun menjadi asisten pak Yogi, sebelumnya selama hampir enam tahun aku menjadi asisten adiknya pak Yogi, bu Najwa namanya. Wanita cantik, baik dan tersabar yang aku kenal. Setelah menikah dengan pak Dafa dan memiliki putra tampan, sekarang bu Najwa sudah pindah ke kota lain.Sifat pak Yogi sangat berbanding terbalik dengan bu Najwa, orangnya ngeselin, angkuh dan juga kejam. Tapi anehnya itu hanya berlaku sama aku, sama pegawai yang lain beliau ini baik banget. Entahlah, apa salahku padanya."Udah mau pulang?" tanya Budi, petugas kebersihan di resort ini."Iya, kerjaan udah beres. Mau cepet pulang, udah kangen sama kasur," jawabku.Aku memang kos di sini karena jarak rumah Mamaku dan tempat kerja lumayan jauh."Oke deh, ati-ati kalau gitu." Aku memberi hormat pada Budi lalu m
"Kamu belum ngerjain tugas?" tanyaku pada anak pak bos."Udah semua, kemarin dibantuin tante Najwa," jawabnya dan hal itu membuatku sedikit kesal. Bukankah tadi bapaknya bilang kalau anaknya punya banyak tugas dan perlu bantuan?"Terus kamu ngapain ke sini?" Meski kesal, tapi aku tetap harus bersikap manis pada bos kecil ini karena sikapnya tidak se-menyebalkan bapaknya."Papi yang nyuruh. Padahal tadi aku mau main sama Tasya, mumpung dia lagi main ke sini sama adek Davin," jelas Arya.Kok semakin lama aku semakin emosi ya. Sepertinya ini memang disengaja oleh pak Yogi supaya aku tidak jadi pulang kampung, tapi untuk apa?"Kamu mau makan apa?" tanyaku pada Arya.Sebenarnya Arya sudah cukup sering bermain ke sini saat bapaknya ada pekerjaan mendadak, apalagi cucu dari pemilik kos ini adalah teman satu kelas Arya."Adanya apa?" Arya meletakkan tas di atas kursi tamu, "kata Papi, aku nggak boleh ngerepotin mbak Linda. Aku dikasih uang, kalau mau apa-apa pesen aja lewat online, nggak bole
"Siapa?" tanya temanku."Maaf ya, kami harus pamit. Bapaknya sudah mau jemput. Nanti kamu wa aja ya," ujarku tak enak hati. Kami baru bertemu belum ada setengah jam, tapi aku harus pergi. Memang berat kalau punya bos kejam."Iya, nanti aku wa. Ini istri aku juga udah nunggu di mobil. Kapan-kapan kita ngumpul bareng, ada beberapa teman kita juga yang tinggal di kota ini," jelasnya.Aku mengangguk lalu melambaikan tangan seraya berlalu menggandeng tangan kecil Arya.Sesampainya di depan gerbang, aku melihat mobil pak bos sudah terparkir di sana. Pagar sudah terbuka, aku lalu melajukan mobil untuk masuk ke parkiran kos. Arya segera berlari menghampiri bapaknya."Aku mau ketemu Fadil dulu, Papi tunggu di sini sama mbak Linda," pamit Arya.Pak Yogi hanya tersenyum lalu mengangguk tanda mengizinkan anaknya."Duduk," ucap pak Yogi setelah Arya sudah masuk ke rumah Fadil."Saya mau masuk dulu, pak," ucapku pada pak Yogi karena aku harus memasukkan jajanan yang tadi kubeli."Tadi pacar kamu? H
"Ini, makan punya Papi aja. Kamu masih kecil, nggak boleh makan mi instan banyak-banyak."Senyumku memudar setelah mendengar ucapan pak bos pada anaknya, gagal sudah mendapat lima puluh ribu lagi.Arya duduk di pangkuan bapaknya lalu menyantap mi instan buatanku dengan lahap. "Harusnya nggak pa-pa sekali-sekali makan mi, kan nggak sering juga, pak," ucapku lirih."Ini aja udah cukup. Kamu harus belajar jadi ibu yang baik, masak makanan sendiri, jangan sering-sering makan makanan instan. Kasian anakku kalau kamu keseringan kasih makanan instan," ucap pak Yogi.Lah, apa hubungannya aku makan makanan instan sama anak pak Yogi. Memang dia mau jadiin akau baby sitter Arya?"Saya mau masuk, kalau pulang tinggal pulang aja, nggak usah pamitan. Mangkuknya taruh di meja aja." Kuhentakkan kaki lalu masuk ke kamarku.Belum juga menutup pintu, langkahku sudah terhenti karena panggilan pak Yogi."Apaan lagi sih, Pak? Saya mau mandi," protesku."Ambilin minum dulu, makan kasih makan doang, minumny
"Kenapa diem? Kamu beneran pacaran sama Budi?" tanya pak bos lagi.Aku diam bukan karena benar, tapi karena tidak menyangka pak bos akan bertanya hal sekonyol itu."Enggak, pak," jawabku."Jujur aja deh!" "Beneran, Pak, saya nggak pacaran sama Budi. Emang kenapa sih? Bapak masuk tiba-tiba nanya hal aneh. Saya lagi makan siang, laper banget, pak," ucapku memelas, berharap beliau akan membiarkanku makan dengan tenang."Kalau enggak, ngapain Budi tadi ke sini? Keluar dari sini dia senyum-senyum sambil liat hape. Habis ngapain kalian?""Apaan sih, Pak? Budi ke sini mau nganterin makanan dari Bapak. Kalau nggak percaya, Bapak bisa tanya langsung sama Budi. Saya kasih tau ya, Pak, Budi itu udah mau nikah.""Nikah sama kamu?"Ya Tuhan.... Kenapa akhir-akhir ini pak bos jadi gampang marah sih? Kayak cewek lagi pms, dikit-dikit marah, curigaan. Beri hamba kekuatan lebih untuk menghadapi hambamu yang pemarah itu, Ya Tuhan."Enggak, Pak. Dia mau nikah sama Nia. Bapak inget Nia nggak?" tanyaku p
Di pikiranku saat ini sedang berputar-putar. Siapa sebenarnya yang ingin bertemu denganku? Seingatku selama ini aku tidak melakukan kesalahan, baik di rumah maupun di tempat kerja."Siapa sih yang mau bertemu dengan saya? Jangan main rahasia-rahasiaan deh, Pak," ucapku pada pak Yogi, kesal juga karena dari tadi beliau hanya diam."Nanti juga tau sendiri." Sudah, memang sudah itu saja jawaban pak Yogi.Sebab sangat kesal, aku akhirnya memalingkan wajah ke kiri untuk melihat suasana sore di sepanjang perjalanan. Dulu pernah setiap hari lewat sini waktu aku tinggal bersama bu Najwa selama beberapa bulan, mendampingi beliau yang susah tidur setiap malam. Perjuangan berat kami lalui berdua, hingga bu Najwa memberi hadiah dengan merenovasi rumah Mama di kampung. Sebaik itu memang bu Najwa padaku."Turun! Jangan ngelamun terus," ucapan pak Yogi membawaku kembali ke alam sadar.Mengenang masa lalu membuatku tidak sadar kalau kami sudah sampai di pekarangan rumah pak Yogi. Aku segera turun unt
"Belum tau sih, mbak. Beliau kapan hari itu pernah ngomongin soal perempuan yang lagi disuka, katanya seumuran sama aku. Nah, pas rapat kan bu Sarina merhatiin pak Yogi terus, aku kira orangnya dia, secara bu Sarina kan hampir seumuran sama aku, pas aku tanyain malah aku kena marah sama pak Yogi," jelasku."Kenapa kok kena marah?" Bu Najwa justru tertawa mendengar jawabanku."Katanya gini, 'mana ada saya bilang kalau saya suka janda? Lagian memang siapa yang tahan dengan pesona saya. Banyak wanita yang mengejar-ngejar saya, tapi anehnya saya kok malah suka sama cewek yang nggak peka!'Makin keras suara tawa bu Najwa."Kok ketawa sih, mbak. Harusnya mbak Najwa kasian sama aku, tiap hari dimarah-marahi, disalah-salahin terus. Pak Yogi sekarang itu makin sensi sama aku. Apa-apa salah pokoknya yang aku lakuin di mata beliau." "Emang susah sih, Lin, kalau duda berpengalaman suka sama cewek nggak peka. Harusnya dari awal aku udah bisa nebak kalau mas Yogi bakal suka sama tuh cewek. Secara
Ini." Pak Yogi menyerahkan satu kardus lumayan besar, entah isinya apa. Beliau bilang ini titipan dari mama.Aku menerimanya dengan senang hati, rasanya cukup berat, aku jadi semakin penasaran dengan isinya."makasih. Bapak mau masuk dulu?" tawarku."Bisa nggak sih, kalau panggilannya diganti?""Hah, maksudnya diganti gimana?" Kenapa harus diganti? Bukannya di mana-mana anak buah memanggil bosnya dengan sebutan bapak."Saya ini calon suami kamu, masak panggilnya BAPAK. Berasa saya ini orang tua kamu," jelas pak Yogi."Mau dipanggil apa?""Ya terserah. Mau panggil Mas, Kakak, Abang, atau Sayang juga boleh," ujarnya.Aku harus memanggil dengan sebutan apa? Sementara selama ini aku sudah nyaman dengan sebutan bapak."Lebih enak dipanggil Mas Yogi atau Bang Yogi?" Sedikit aneh saat mengucapkannya, tapi aku akan berusaha."Sayang aja, kedengerannya lebih enak," jawabnya."Sayang? Terus pas banyak orang manggil Yang, gitu? Malu sama umur lah, Pak. Diketawain banyak orang nanti," ucapku. "U
Mengerjakan laporan sambil menyimak pesan di grup alumni. Grup sedang ramai membahas perceraian salah satu teman seangkatan yang ketahuan selingkuh, lalu viral di dunia maya karena istrinya melabrak pelakor. Beruntung dia tidak satu kelas, jadi aman pergibahan di grup kami. [Dasar memang lakiknya doyan cewek murahan, makanya sampek kegoda.] Tulis Arina, dia memang masih saudara dengan perempuan korban perselingkuhan itu. [Iya, padahal juga nggak ganteng-ganteng banget. Kaya juga nggak, tapi kok banyak tingkah.] Timpal Diana. [Greget banget aku. Kalau aku jadi ceweknya, udah tak bunuh dia. Emang dari dulu udah tukang selingkuh!] Tulis Nanda penuh emosi, dia memang salah satu mantan dari lelaki itu dan mereka putus karena si lelaki selingkuh. Mungkin masih dendam. Aku hanya menyimak, selama ini tidak tahu kehidupan mereka. Beberapa tahun tidak ikut reuni, bukan karena tidak mau, tapi karena selalu bertepatan saat banyak pekerjaan yang tidak bisa ditinggal. [Cieee, yang udah pen
I love you." Sayup-sayup aku mendengar suara bisikan itu. Entah itu benar atau aku hanya berhalusinasi karena sudah sangat mengantuk?Aku tidak tahu jam berapa pak Yogi mematikan video call, yang jelas tadi saat bangun pukul lima, panggilan sudah diakhiri.Aku sudah mandi dan gosok gigi, beres-beres kamar juga sudah kulakukan. Menyapu kamar dan mencuci baju juga sudah, sekarang waktunya membuat sarapan.Membuat nasi goreng dari sisa nasi kemarin, sayang kalau tidak dimanfaatkan. Beruntung masih punya sawi sisa membuat mi kemarin, tidak lupa aku beri taburan bawang goreng dan telur mata sapi di atasnya. Sepertinya aku akan membawa sisa nasi goreng untuk bekal karena masih cukup banyak.Aku sudah siap berangkat kerja, baju sudah rapi, badan wangi, muka sudah dipoles bedak dan kaki sudah terbungkus sepatu. Tidak lupa tas aku sampirkan di pundak dan membawa bekal yang sudah kusiapkan.Menutup pintu kamar, aku lalu berjalan ke depan untuk menunggu pak Yogi menjemput."Nggak bawa motor lagi
"Mama nggak salah kok, Mama pasti ingin yang terbaik buat aku. Makasih ya, Ma," ucapku. Mama adalah sumber bahagiaku dan aku nggak mungkin bikin mama kecewa."Mbak besok nggak usah pulang, nanti aja kalau acara lamaran. Nanti Budhe tambah marah kalau lihat mbak pulang bareng pak Yogi. Mama tutup dulu ya, mau tutup toko dulu," pamit mama."Iya, Ma. Jangan capek-capek."Mama memutuskan sambungan telepon, aku lalu berjalan ke dapur miniku untuk membuat mi instan. Aku membuka laci lalu memilih mi goreng kesukaanku. Satu mi instan, aku beri irisan sawi, telur ayam dan aku juga memasukkan dua buah cabe rawit. Pasti mantap sore-sore begini makan mi goreng pedas.Keringat dingin mengucur dari dahi, kenikmatan yang sangat luar biasa memang mi instan ini. Baru saja selesai mencuci mangkuk, pintu kamar ada yang mengetuk."Mbak Linda sibuk nggak?" tanya Irma dan Reni saat aku sudah membuka pintu."Enggak sih, kenapa?""Anterin beli baju buat besok, Lulu sama Riska juga ngikut," pinta Reni."Kenap
Wajah pak Yogi semakin dekat, tangannya berpegangan pada jok yang aku sandari, sementara tangan satunya berusaha meraih pintu, mungkin untuk berpegangan? Dalam kondisi seperti ini, aku memilih memejamkan mata. Semoga Tuhan mengampuni dosaku."Ngapain tutup mata?" Aku segera membuka mata dan terkejut karena tidak ada sesuatu yang terjadi seperti perkiraanku."Hmm," aku tidak tahu harus menjawab apa."Saya mau bukain pintu, emang kamu pikir saya mau ngapain?" Pak Yogi sudah membuka pintu di sampingku."Aww!" pekikku karena pak Yogi menyentil dahiku."Pikiranmu ya, berbahaya!"Wajahku rasanya sangat panas, malu sekali dan ingin segera menutup wajahku dengan bantal. Dasar pak Yogi, kenapa nggak buka pintu dari luar saja, pikiranku kan jadi ke mana-mana."Dasar perawan! Nanti kalau sudah halal, sekarang tahan dulu," ujarnya. Kenapa jadi aku yang terkesan aku yang tidak sabaran!"Siapa juga yang mikir ke sana. Saya mau turun!" Aku lalu segera turun dari mobil, bisa-bisa aku bertambah malu
Pukul sembilan kami berpamitan pada pak Bram, aku dan pak Yogi harus segera ke resort. Masih banyak laporan akhir bulan yang harus diselesaikan."Besok ada undangan nikahan, kamu pergi sama saya," ucap pak Yogi saat kami sudah sampai di resort.Aku mengangguk saja, karena memang kami mendapat undangan yang sama.Hari ini pekerjaan selesai dengan tepat waktu. Aku memilih memesan ojek online karena pak Yogi tidak bisa mengantar. Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, akhirnya ojek yang aku tunggu sampai juga."Mbak Lin, tumben pulang cepet," sapa Ruri, gadis cantik yang saat ini sedang menempuh pendidikan di salah satu universitas."Iya nih, kerjaan nggak banyak. Kamu mau ke mana?" Kulihat dia sudah cantik dalam balutan gaun merah muda."Mau ada acara keluarga, bentar lagi dijemput kakak," jelasnya. Meski sudah berstatus mahasiswi, tetapi wajah Ruri tetap imut seperti anak baru gede."Mbak masuk kamar dulu ya, salam buat keluargamu," ucapku.Entah apa yang di cari oleh Ruri, anak orang
"Linda pulang dulu, Tante." Aku mencium punggung tangan bu Sandra."Harusnya kamu nginep di sini aja, temenin Mama," pinta bu Sandra."Nggak bisa, Ma. Nanti kalau Yogi khilaf gimana?" ucap pak Yogi."Mama kunci pintunya. Linda di sini buat temenin Mama, bukan buat kamu," jawab bu Sandra."Tapi kan ....""Mungkin lain kali, Tante. Linda juga nggak bawa baju ganti, besok mau ada rapat pagi-pagi," jelasku.Akhirnya bu Sandra pasrah dan membiarkanku pulang di antar pak Yogi. Sekarang sudah pukul delapan, tapi jalanan masih cukup ramai."Kamu cantik," ujar pak Yogi.Yang benar saja, pak Yogi bisa mengatakan itu padaku?"Tumben?""Dipuji malah ngeledek. Nggak jadi muji aja," ucap pak Yogi yang membuatku tidak bisa menahan tawa. Lucu sekali kalau pak bos ngambek."Jangan ngambekan, nanti gantengnya luntur," ujarku."Belajar gombal dari mana? Aku kira cewek batu nggak bisa gombal." Memang ya, kalau orang nyebelin itu sampai kapanpun akan tetap begitu."Makasih. Bapak nggak usah turun, saya m
"Wih, nggak sabar mau cobain." Pak Yogi lalu duduk di hadapanku."Arya mau lauk apa?" tanyaku, piring milik Arya masih berisi nasi saja."Ayam sama sayur lodehnya dikit aja," jawabnya. Aku cukup heran, anak orang kaya tapi mau makan sama sayur lodeh. Aku menyerahkan piring berisi nasi dan lauk pada Arya."Ambilin punya Yogi sekalian, sambil belajar jadi istri ya," ucap bu Sandra yang lebih terdengar seperti godaan.Pak Yogi mengulurkan piring kosongnya padaku. Aku mengisinya dengan nasi. "Mau lauk apa?""Sayur lodeh sama tempe aja," jawabnya.Aku menyerahkan setelah piring sudah terisi, lalu aku mengisi piringku sendiri."Enak juga, bisa nih, tiap hari dateng ke sini buat masakin," ujar pak Yogi."Tidur sini aja Lin, daripada di kos sendiri. Di sini kamu bisa temenin Mama. Mama udah nggak balik ke singapura," ujar bu Sandra."Jangan lah, Ma, nanti Yogi khilaf. Nanti aja kalau sudah sah, dia tinggal sini," jawab pak Yogi. Kok aku deg-degan ya?"Beneran ya, Mama nggak mau tinggal di si
Kuembuskan napas secara perlahan, berharap degup jantungnya bisa lebih pelan. Andai bisa memilih, ingin rasanya aku pergi dari sini. Bayang penolakan semakin menghantui."Assalamualaikum, Tante," ucapku menyapa Bu Sandra.Beliau menatapku, lalu seulas senyum muncul di bibirnya. "Waalaikumsalam." Bu Sandra lalu meletakkan ponselnya, berdiri lalu berjalan mendekatiku. "Ih, anak cantik. Lama ya kita tidak bertemu."Bu Sandra memelukku erat, beliau menepuk-nepuk punggungku dengan pelan. Hatiku rasanya seperti dipenuhi bunga-bunga. Bu Sandra selama ini memang sebaik ini. Di usia beliau yang genap tujuh puluh tahun, beliau masih terlihat cantik dan bugar. Sangat menyukai olahraga senam, membuat beliau tampak awet muda."Iya, Tante," jawabku. Sebenarnya saat ini aku sangat tegang, tidak tahu harus mengucapkan apa.Selama hidup dengan Bu Najwa, beberapa kali aku bertemu dengan Bu Sandra. Pembawaan beliau yang tenang selalu memancarkan aura positif dalam dirinya. "Masuk yuk, katanya Yogi, kam