"Nur, Nuraini!" "Mbak Nur, Mbak Susi! Tolong buka pintunya!"Nuraini bergegas membuka pintu depan. Setengah berlari, dia mendekati pagar rumah yang terkunci. Nuraini menatap tiga orang berpakaian lusuh terkena lumpur yang berdiri di luar pagar."Ada apa, Paklek?" tanya Nur sambil membuka pintu pagar. "Masuk dulu, Paklek," lanjutnya."Ndak usah, Nur. Nganu, Nur. Pak Agus..."Dada Nur berdebar-debar mendengar nama suaminya disebut. Apalagi ketiga orang itu terlihat ragu saat ingin mengatakan sesuatu."Ada apa, Paklek? Ada apa, Budhe?" tanya Nur lagi pada ketiganya."Pak Agus di rumah sakit, Mbak. Tadi kecelakaan!" Seorang ibu memberitahu dengan hati-hati.Nuraini terperangah. Wanita itu berpegangan pada pagar. Lututnya terasa lemas. Perempuan paruh baya yang berdiri di depannya, lantas mendekat. Dia memegang bahu Nur yang bergetar karena tangis."Budhe, M-mas Agus kecelakaan di mana? Bagaimana keadaannya?" tanyanya parau."Jangan cemas. Pak Agus sudah di tangani Pak Dokter. Ayo kalau m
Bu Mirna langsung melotot mendengar nama-nama calon cucunya. Bagaimana tidak? Anak orang diberi nama jenis mobil? Bu Mirna menoyor gemas dahi Agustus."Kamu itu!" sentaknya. Bu Mirna menggeleng samar lalu melanjutkan ucapannya, "Memangnya nggak ada nama yang lain apa, to, Gus? Ada-ada saja!" Wanita itu menggerutu kesal.Agus dan Nur kembali berpandangan, kemudian sama-sama terkikik. Memang ide itu melintas begitu saja karena Agus menyukai nama-nama yang unik."Biar nanti di sekolah, gurunya nggak salah panggil si Twins, Bu." Agus beralasan. Bu Mirna mencibir. Wanita itu menyambar tasnya kemudian bangkit. Dia melirik ke arah April yang ikut senyum-senyum seperti halnya Agus dan Nuraini."Hati-hati, Bu, di jalan," pesan Agus lirih. "Terima kasih, sudah mau menyempatkan waktu menjenguk anak lanang paling ganteng ini!" lanjutnya sedikit keras.Bu Mirna tak menanggapi ucapan unfaedah laki-laki itu. Namun, diam-diam dia mengakui, semenjak Agus menikahi Nuraini, anaknya itu berubah jauh. Ti
Air mata Nur mengambang. Baru kali ini dia mendengar Agus membentaknya. Wanita itu berjingkat kaget ketika mendengar pintu depan ditutup sedikit kasar. Nuraini segera keluar dari kamar mengikuti Agus sampai di car port. Laki-laki itu menatapnya sekilas, selebihnya memilih memasuki mobil."Mas! Buka dulu!" pinta Nur sambil mengetuk kaca mobil.Agus menurunkan kaca mobil. Namun dia tidak mau menatap istrinya. Nuraini segera mengulurkan tangan. Wanita itu meraih tangan sang suami dan menciumnya takzim. Hati Agus terasa diremas sakit melihat perlakuan sang istri. Dia telah membentak wanita itu, namun Nur tetap menghargainya. Nuraini yang berusia jauh lebih muda, tetapi dengan cepat mampu memposisikan sebagai istri yang berbakti kepada suaminya.Tanpa terasa, Agus membandingkan perlakuan Nur dan Susan. Dulu jika mereka tengah bertengkar, Susan tak segan berkata dengan nada tinggi. Bahkan berani membentak Agus. Memang benar, masih banyak wanita berhati mulia di bumi ini. Salah satunya Nur
Kening Agus berkerut. "Salah aku?" ulangnya dengan mata menyipit.Nuraini kembali mendengus kasar. Dia memalingkan wajah dari suaminya itu. Melalui ekor mata, Nur melihat Agus tersenyum sambil menggelengkan kepala. Laki-laki itu pun meraih kepala sang istri dan menciumnya."Iya, maaf. Nanti kalau si Kembar sudah lahir, kamu harus masuk kuliah, Nur. Aku yang akan menjaga si Kembar.""Memangnya Mas sanggup ngatasi, kalau si Kembar nangis barengan minta susu?" tanya Nur sangsi. Bibir wanita itu mencebik seolah meremehkan kemampuan Agus. Kembali Agus tersenyum, kemudian mengangguk mantap."Bisaaa!" jawabnya yakin. "Namanya jadi ayah itu ya harus belajar otodidak, Nur. Prakteknya pakai anak sendiri. Ya, kali, pakai anak orang lain," lanjutnya menggoda."Nggak usah mikir ke mana-mana, Mas!" sentak Nur kembali cemberut. "Awas saja kalau sampai ngasih sinyal ke mereka!" ancamnya."Iya, iya. Aku kan bukan free WiFi, Nur," kekeh Agus sembari mulai melajukan mobilnya pelan.Nuraini kembali mend
Agustus menghentikan mobil di depan rumah Bu Halimah. Laki-laki itu menoleh pada Nur yang bersiap untuk turun. Agus mengulurkan tangan pada sang istri lalu mencium kening wanita itu."Jangan kecapekan ya, Sayang. Pulang dari kantor desa aku jemput," ucap laki-laki itu lirih.Nuraini mengangguk, lalu mencium punggung tangan sang suami. "Mas, hati-hati. Aku turun dulu. Mereka sudah pada ngumpul," ucapnya. Laki-laki tampan itu mengangguk. Dia mengikuti arah pandangan Nur ke halaman rumah Bu Halimah yang luas. Di sana telah ramai anak kecil. Termasuk Bianca, anaknya Alisha yang menuntun si kecil Alfa. Kedua bocah berusia hampir sepantaran itu berjalan tertatih dan sesekali terjatuh. Di belakang mereka, Farrel mengikuti anak dan keponakannya. Sesekali laki-laki jangkung itu membungkuk, membantu Alfa dan Bianca bangkit."Ya Allah, lucunya mereka, Mas. Bianca cantik banget. Alfa ganteng banget. Mereka terlahir dari bibit-bibit unggul," puji Nuraini sambil mengusap perutnya.Agustus terkeke
Belok? Tidak. Tidak semua orang yang bersikap dingin dan tidak mau menjalani hubungan dengan lawan jenis dalam waktu lama itu belok atau tidak normal. Termasuk Agus. Nur sangatlah yakin, suaminya itu laki-laki normal.Hanya saja, Agustus type laki-laki yang tidak mudah jatuh cinta dan selektif. Sepanjang acara ulang tahun Alfa, Nuraini lebih banyak diam. Setiap kali mendengar kata "gay, tidak normal, dan belok" Nur menjadi lebih sensitif. Dari dulu, dia terus menyakinkan diri jika Agus tidak seperti yang mereka katakan."Eh, Nur. Tuh, dijemput Pak Su!" Alisha menepuk pelan bahu Nuraini.Bukan hanya Nur yang mengikuti arah telunjuk Alisha, akan tetapi beberapa tamu undangan. Mereka senyum-senyum menggoda Nur yang langsung berwajah merona."Ciee, romantisnya Pak Lurah. Pak Agus memang bikin iri!" celetuk ibu-ibu sambil menyuapi cucunya.Agus terkekeh. Dia mendekati Alfa yang tengah duduk di antara Bianca dan Sofia. Agus lantas duduk di belakang ketiga anak itu. Dia menunduk, merangkul
"Iya, cepat, Mas! Jelasin, ada apa sebenarnya?" ulang Nur lagi dengan suara meninggi.Agustus memejamkan mata. Laki-laki itu menunduk dalam diam. Merasa tidak ada jawaban, Nur memegang kedua lengan Agus dan menggoyangkannya."Kenapa Mas diam? Buka lemari itu!" tunjuknya pada lemari berwarna putih gading itu. "Dulu Mas melarangku membukanya. Ada apa sebenarnya?" cecar Nur lagi. Wanita hamil itu menatap Agus dengan pandangan kabur karena tangis. Agus mengambil kunci lemari yang dia letakkan di dalam vas bunga. Dengan gerakan lemah dia mengulurkan kunci tersebut pada Nur.Nuraini tidak sabar untuk mengetahui isi lemari tersebut. Di situ, kembali matanya disuguhi pemandangan tidak biasa. Beberapa pakaian Sigit tergantung dan terlipat rapi di lemari rahasia itu. Dan juga...Foto Sigit dan Agus tergeletak di bawah gantungan baju. Keduanya terlihat mesra. Nur mengambil foto itu dan mengarahkan pada Agus."Apa ini, Mas? Apa ini?" tanyanya masih dengan nada tinggi. Kedua mata Nur menangkap
Bahu Agus meluruh mendengar permintaan cerai dari Nur. Dia berharap istrinya itu hanya emosi sesaat dan belum siap menerima kenyataan."Aku mohon, Nuraini, jangan minta cerai. Kamu boleh minta apa saja, asal jangan minta cerai, Sayang." Agus menekan suaranya supaya tidak didengar oleh orang lain.Nuraini memalingkan wajah. Rasanya muak sekali melihat laki-laki munafik di dekatnya itu. Nur menatap ke arah kantong infus yang menggantung di sebelah kirinya. Dia bersyukur ketika seorang perawat mendekat hendak mencopot selang infus.Dengan hati-hati, Agus menuntun Nuraini memasuki mobil. Dia tidak peduli dengan sikap tak acuh wanita itu. Agus menoleh sebentar sebelum melajukan mobilnya."Kita pulang ke rumah dulu, ya, Sayang," pinta Agus di tengah perjalanan."Terserahlah!" jawabnya tak acuh. "Mas Agus kan orang berkuasa makanya seenaknya sendiri!" lanjutnya masih dengan nada ketus.Agus berusaha bersabar. Laki-laki itu menarik napas pelan, kemudian mengangguk lemah. Dia memilih diam dari
Tanpa berucap apa-apa, Agus segera berberes. Sedangkan Nur sibuk dengan si Kembar di dampingi Bu Aminah. Bayi berusia 1,5 bulan itu memang sangat menggemaskan. Bu Aminah dan anak-anak melepas kepergian si Kembar dengan mata berkaca-kaca. Tetapi mereka tidak bisa menahannya. Si Kembar memiliki keluarga dan rumah. Sebelum berangkat ke rumah sakit, Brian terlebih dahulu menghampiri Agus dan memeluk laki-laki itu. Brian menatap Agus dan menepuk pelan bahu laki-laki itu. "Perjuangkan rumah tangga kalian. Jangan sampai si Kembar kehilangan kasih sayang utuh dari orang tuanya, Gus," pesannya.Agustus mengangguk samar. "Terima kasih, Yan. Terima kasih, sudah menjaga si Kembar dan Nur. Kalau nggak ada kalian, aku nggak tahu nasib mereka," ucap Agus sambil melirik ke arah Nur dan kedua anaknya.Brian terkekeh kemudian pamit pada Agus dan Nur untuk ke rumah sakit. Laki-laki itu sengaja berangkat lebih pagi dengan alasan ada pasien yang hendak melahirkan. Padahal, Brian tidak ingin melihat kepe
"Kamu jangan khawatir gini, Yan. Sudah, ah. Berangkat dulu," pamit Agus lagi. Brian tidak bisa lagi mencegah temannya itu. Agus juga menolak diantar dengan alasan laki-laki itu ingin menyendiri. Brian hanya bisa mengangguk pasrah.Nuraini menunduk dalam tidak berani membalas tatapan mata Brian. Sesekali laki-laki itu meliriknya sambil makan. Pandangan Nur bertemu dengan Bu Aminah yang duduk di sebelah Brian."Agus kok lama pulangnya? Apa dia bilang pergi ke mana gitu, Nur?" tanya wanita itu.Nuraini menggeleng lemah. "Ndak, Bu. Cuma pamit ke klinik," jawabnya. Nuraini beralih memandang Brian. "Em, Mas. Tangan Mas Agus kenapa ya, kok bisa begitu?" tanyanya lirih.Dia merasa bodoh. Suami sendiri terluka, tetapi dirinya tidak tahu. Brian mengangkat sebelah alis mendengar pertanyaan konyol itu."Aneh banget. Kamu itu istrinya, Nur. Seharusnya kamu tanya, kenapa dia begitu? Kalau dia nggak datang ke Jakarta, Agus juga nggak luka begitu!" jawab Brian ketus.Bu Aminah langsung menoleh dan m
"Apa maksud Mas Brian bicara begitu?" tanya Nur lirih.Brian menggeleng samar, kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sedangkan Nur, mendongak menatap laki-laki itu. Nuraini berharap dirinya salah dengar tentang pernyataan Brian."Aku nggak perlu mengulangi apa yang aku katakan, Nurkodir. Yang aku minta, pulanglah, dan perbaiki hubungan kalian. Cayenne dan Panamera nggak pantas menjadi korban keegoisan orang tuanya," ucap laki-laki itu masih dalam nada ketusnya.Nuraini mengangguk samar, kemudian bangkit dari tempat duduk. Brian mengarahkan pandangan pada beberapa anak yang tengah berkumpul di gasebo bersama guru les."Lihatlah mereka. Anak-anakku itu sewaktu kecil masih bisa aku bohongi tentang orang tuanya. Tapi setelah mereka besar dan sekolah, mereka selalu menuntut jawaban yang sama, Nur. Selalu menanyakan keberadaan orang tua kandungnya. Jangan buat Cayenne dan Panamera mengalami hal serupa dengan mereka," tunjuk Brian pada anak-anaknya. Nasihat si Kaku, pemilik mulut judes itu
"Cayenne, Panamera?" tanya Agus lirih.Brian mengangguk antusias. Dia mempersilakan Agus duduk sembari menunggu Bu Aminah. Rupanya, Bu Aminah membantu Nur memandikan Cayenne dan Panamera.Dada Agus berdesir mendengar tangisan bayi dari dalam kamar tamu. Laki-laki itu beranjak mendekati pintu yang sedikit terbuka. Sedangkan Brian sibuk dengan Axel dan Aruna, anak angkatnya yang berusia satu setengah tahun. "Iya, sebentar ya, Sayang. Gantian Adek Cayenne, dong!""Sudah, Nur, cepat susuin. Biar Ibu yang pakaiin Cayenne baju. Lagian, kamu itu disuruh stok ASI kok susah banget. Maunya tiap hari diomelin Brian. Apa nggak panas, dengerin Brian ngomel?" goda Bu Aminah sambil tertawa kecil.Nuraini menggeleng pelan. "Sudah biasa, Bu. Mas Brian cerewet, tapi perhatian sama si Kembar," ucap Nur sambil melangkah mendekati pintu hendak menutup pintu tersebut.Wanita itu tertegun. Begitu juga laki-laki yang berdiri di depan pintu. Keduanya mematung. Mata laki-laki itu memerah. Pipinya basah. Nurain
Semakin lama memandang wajah mungil Panamera, semakin merasa aneh. Memang wajah bayi itu akan berubah-ubah. Akan tetapi, apa ini kebetulan?Brian meletakkan kembali Panamera, ketika bayi itu mulai menangis. Sedangkan Cayenne sudah tidur sejak beberapa menit yang lalu. Mendengar anaknya menangis, Nur bergegas mendekat."Kayaknya haus, Nur. Kamu harus banyak makan sayur, Nur. Bayi kamu butuh banyak nutrisi, kamu dengar?" ucap Brian kembali ke mode datar dan ketus.Nuraini mengangguk. Dia segera meminta izin membawa Panamera ke kamar dan menyusuinya. Kedua bayi kembarnya itu sangat rakus ketika menyusu. Brian memang tergolong cerewet jika menyangkut anak-anaknya dan juga si Kembar."Alhamdulillah ya, Nak. Kita mendapatkan keluarga baru yang sangat baik. Om Brian dan Eyang sangat sayang pada kalian. Jangan sedih ya, Nak, kalian pisah dari Ayah. Nanti Bunda ketemuin kalian kalau sudah waktunya."Nuraini tersenyum dan mencium pipi Panamera dengan sayang. Nur memerhatikan wajah Panamera yang
Dengan langkah lelah, Agustus tidak berhenti mencari keberadaan sang istri. Dia juga sudah menyebar beberapa foto Nuraini. Namun keberadaan Nur benar-benar seperti ditelan bumi. Agustus tertunduk lesu di peron stasiun. Selama dua minggu di Jakarta tidak membuahkan hasil. Laki-laki itu memutuskan kembali ke Ponorogo. Kini Agus tidak punya semangat hidup. Dia juga tidak bersedia dicalonkan menjadi kepala desa kembali.Bahkan, Agus lebih banyak menghabiskan waktu di toko. Terkadang dia juga tidak pulang dan memilih tidur di toko. Pulang ke rumah hanya akan membuat hatinya semakin diliputi rasa bersalah. Melihat barang-barang milik Nur, hati laki-laki itu kembali tercabik-cabik sakit.Agustus mengusap kedua matanya yang basah. Teringat dosa-dosanya di masa lalu. Dosa-dosa yang pada akhirnya mendzolimi wanita sebaik Nuraini.Sudah tiga bulan, Agus menekuni ilmu agama di pondok pesantren. Dia hanya pulang ke rumah seminggu sekali. Jika pulang, Agus memilih tidur di rumah Nenek Kanti. Di si
"Anak angkat, Buk?" ulang Nur tertarik.Bu Aminah mengangguk. Dia melirik pada kedua anak yang berlari kecil menuju ke rumah. Ada mendung di wajah wanita paruh baya itu mengingat masa kecil Brian yang memprihatinkan."Dulu, nasib Brian kecil sangat menyedihkan, Nur. Dia nggak pernah tahu sosok ayahnya sampai saat ini. Ibu hanyalah perempuan ... perempuan, nggak berguna, Nur." Bu Aminah mengusap-usap kedua matanya yang basah. Nuraini terdiam. Menceritakan masa kecil Brian yang pahit adalah hal berat. Namun, juga membuat wanita paruh baya itu lega karena terlepas dari rasa sakit yang dipendam selama hampir 30 tahun seorang diri.Brian Kahfi Marcelino, adalah anak yang terlahir tanpa kasih sayang sang ayah. Aminah muda hanyalah orang kampung. Dia datang ke Jakarta mencari pekerjaan sebagai ART. Namun, tragisnya wanita berparas ayu itu menjadi korban kebiadaban anak majikannya sendiri. Aminah muda yang cantik diperkosa anak majikannya sehingga hamil. Mengetahui ARTnya hamil, sang majika
Pak Sopir memundurkan mobilnya. Laki-laki itu juga turun dari mobil, membantu mengangkat tas pakaian milik Nur. Selanjutnya, membukakan pintu untuk wanita itu."Maaf, Pak, kita mau ke mana?" tanya Nur begitu mobil sudah melaju cukup jauh dari stasiun Pasar Senen.Laki-laki kaku di samping kemudi itu melirik center mirror. "Mau ke tukang penadah orang hamil!" jawabnya santai dan ketus.Nuraini terperangah. Dia sedikit memajukan badan dan menatap Pak Sopir yang justru tersenyum geli. Melihat kecemasan di wajah Nur, laki-laki muda berkacamata pemilik mulut judes itu tersenyum sinis."Nyalimu besar juga, ya? Datang ke Jakarta dalam keadaan hamil tanpa tujuan jelas?" sindirnya.Nuraini mendengus lirih. Memang benar, dia hanya bermodalkan nekad untuk menjauhi suaminya. Nur juga terpaksa ikut mobil laki-laki bermulut judes itu. Rencananya setelah itu, Nuraini akan mencari kontrakan dan pekerjaan.Mobil melaju pelan ketika memasuki komplek perumahan elite. Nuraini memperhatikan kanan kiri jal
Air mata Nur kembali menetes. Pandangannya buram ke luar jendela kereta yang semakin jauh meninggalkan Jawa Timur. Ikut meninggalkan kenangan indahnya bersama Agus.Laki-laki yang dulu diharapkan mampu menjadi imam yang baik. Laki-laki yang diharapkan menjadi tempatnya berlindung. Namun, justru dialah yang menorehkan luka hati. Lelah menangis, Nur tertidur. Kepalanya terkulai ke sisi kiri.Nur mengerjap kaget ketika merasakan telapak tangan seseorang menyangga kepalanya. Nuraini segera memperbaiki posisi duduk. Kakinya sedikit pegal karena terlalu lama duduk. Dia melirik ke arah laki-laki yang duduk di sampingnya. Laki-laki itu hanya menoleh sekilas dengan sikapnya yang dingin."Ma-maaf, Pak. Sa-saya tidak sengaja," ucap Nur tidak enak hati.Laki-laki itu mengangguk pelan dan tersenyum sekilas. "Nggak apa-apa. Mau ke mana?" tanyanya datar. Laki-laki berkaca mata itu melirik perut Nur yang membuncit. Merasa diperhatikan, Nur segera merapikan bagian depan kardigannya."Mau ke Jakarta,