Entah pukul berapa keduanya memejamkan mata. Setelah peristiwa ciuman kedua mereka tadi malam, Farrel tidak melepaskan Alifa dari pelukannya. Jadi, mereka semalam tidur dalam keadaan saling berpelukan.Sama halnya dengan Alifa, Farrel memang belum bisa menerima sepenuhnya akan perjodohan ini. Akan tetapi, berkali-kali Farrel menegaskan dalam hati. Dia tidak akan menikah untuk kedua kali. Cinta itu memang belum ada di antara mereka. Farrel ingin mencoba menjalaninya dengan ikhlas. Karena itu adalah bukti baktinya pada kedua orang tuanya. Bukankah pernikahan karena perjodohan di zaman orang tuanya dulu adalah hal yang lazim? Dan mereka bisa mempertahankan pernikahan itu sampai tua. Farrel juga ingin seperti mereka. Saat ini memang perasaannya pada Alifa masih sebatas seorang teman. Atau adik? Entahlah.Farrel tak ingin memikirkan hal itu. Tidak ada salahnya belajar mencintai Alifa karena memang gadis itulah istrinya. Jodoh pilihan orang tuanya. Bahkan mungkin memang jodoh pilihan Tuhan
Farrel langsung mendelik tak suka. "Enak saja, memang aku Kakanganmu? Panggil aku, Mas. Mas Farrel Sayang!" ucapnya tegas tak ingin dibantah.Alifa bergumam lirih sambil menggaruk telinganya. "Mas Farrel, Sayang." Rasanya panggilan itu sangat lucu. "Iya, Sayang. Manggilnya yang ikhlas!" titahnya tegas.Alifa melengos dengan wajah memerah mendengar perintah dari laki-laki itu. Memanggil 'Mas' saja sangat aneh, apalagi ditambah kata 'Sayang'. Melihat wajah memerah Alifa, Farrel tersenyum.Farrel senyum-senyum melihat Alifa yang salah tingkah. Ini hanya soal panggilan, tetapi sudah membuat wajah istrinya itu memerah. Bagaimana jika menyangkut permintaan yang lain? Farrel menepuk dahinya sendiri, menyadarkan pikirannya yang melanglang buana.Farrel menjulurkan tangannya menyentuh bibir Alifa. Sesaat Alifa terkesiap. "Rambut, nanti ikut kemakan." Alifa melirik ke arah jemari tangan Farrel yang menunjukkan sehelai rambut."Kenapa bisa masakan ada rambutnya? Bukan aku, Rel, yang masak!" Far
Farrel berusaha mencerna ucapan istrinya. Belajar mencintai? Benarkah wanita dalam pelukannya ini benar-benar siap akan status dan kehidupan barunya?Akhirnya, Farrel memutuskan mengangguk. "Kita saling belajar mencintai karena pernikahan ini untuk selamanya, Fa. Aku berharap kamu nggak akan meninggalkan aku."Farrel mendongak dengan mata terpejam. Dia yakin cinta di antara mereka akan datang seiring berjalannya waktu. Farrel juga berharap, Alifa tidak akan pernah meninggalkan dirinya jika suatu saat nanti Alifa menyadari laki-laki seperti apa suaminya itu.Alifa membenamkan wajahnya di dada suaminya.Alifa masih sulit untuk percaya jika dirinya sekarang menjadi istrinya Farrel. Dia masih ingat betul beberapa bulan lalu memaki Farrel di halaman balai desa. "Bagaimana kalau nama kamu dan namaku yang tertulis di Lauhul Mahfudz, Lif?" tanya Farrel waktu itu. Alifa tahu, Farrel yang slengekan itu asal bicara. Ya, laki-laki di depannya itu mana pernah serius? Apalagi, di depan para sahab
Farrel mendekatkan wajahnya ke telinga Alifa, laki-laki berambut biru itu berbisik, "Belajar ngulek sama aku sajalah, Fa, yang cepat!" ucapnya kemudian mencuri ciuman di pipi Alifa.Alifa mendelik dan mendadak otaknya langsung mengerti maksud dari laki-laki itu. "Farrel!" Bersamaan dengan itu, cubitan kuat mendarat di perut laki-laki tersebut. Alifa langsung melengos dan meninggalkan suami jahilnya itu."Kita ke pasar saja, kamu di sini masih mau beli apa lagi?" tanya Farrel sambil mengembalikan beberapa bungkus bumbu instan yang sama. Alifa menatap ke arah tangan Farrel yang menata kembali bungkusan bumbu itu di rak, sesuai dengan jenis dan mereknya."Jangan dikembalikan semua, Rel. Aku butuh ini!" cegahnya."Iya, itu kan aku sisain yang beda-beda, kamu ngambilnya sama-sama semua. Memang setiap hari mau masak nasi goreng dan gulai ayam?" Alifa cengengesan sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "He he, ya nggak sih," jawabnya. "Eh, Rel sebentar, aku ke sana dulu!" Tanpa menung
Dengan antusias, Alifa memperhatikan Bu Halimah memasak. Dengan sabar, wanita paruh baya itu mengajari menantunya. Dia juga menunjukkan bumbu-bumbu untuk setiap masakan yang berbeda. Tak lupa, Alifa juga mencatatnya.Bu Halimah tersenyum, melihat keseriusan Alifa yang ingin belajar memasak. Berbeda dengan ibunya, Farrel lebih banyak memprotes daripada mengajari. Alifa berkali-kali mendapatkan teguran dari ibunya. Sedangkan Alifa, memilih bersikap tak peduli dengan cibiran sang suami yang berniat menggodanya."Lebih baik kamu, ke mana begitu kek, Mas!" usirnya gregetan.Farrel terkekeh kemudian meninggalkan kedua wanita beda usia itu. "Awas, kalau keasinan, Fa!" ucapnya lantang sembari berlalu."Jangan dengarkan, Fa. Farrel memang kalau ngomong seenaknya," ucap Bu Halimah."Saya sudah hafal, Buk." Alifa menjawab jujur. Kini, mereka sudah berada di meja makan. Alifa merasa canggung ketika harus duduk semeja dengan kedua mertuanya. "Kamu jangan sungkan, Fa. Di sini juga rumah kamu. Seb
Farrel melengos. Dia melewati istrinya begitu saja. Laki-laki jangkung itu berjalan cepat meninggalkan wanita itu. Alifa yang didera perasaan bersalah segera mengejar dan menangkap tangan Farrel."Mas!" Farrel menghentikan langkah tanpa menoleh. Alifa memposisikan diri di depan laki-laki tersebut. Ditatapnya manik hitam Farrel. Melihat raut kecewa di wajah Farrel, Alifa hanya bisa berucap lirih, "Maaf, Mas. Maaf..." Hanya kata itu yang terucap dari bibirnya. Semua kalimat dan kecerewetannya hilang begitu saja.Farrel melirik malas pada Alifa lalu membuang pandangannya. "Aku ngerti," ucapnya acuh. "Aku ngerti, semua ini sulit kamu terima, Fa. Begitu juga dengan aku. Tapi, bukankah kamu memintaku belajar mencintaimu? Hh." Farrel kembali menjeda kalimatnya dan tersenyum satu sudut. "Beginikah belajar saling mencintai? Dengan cara pisah kamar?""Mas, ak-aku...""Ya sudahlah, terserah kamu, Fa!" sahut Farrel kemudian melepaskan tangan istrinya dari tangannya.Alifa termangu, dia menatap
Farrel menghentikan langkahnya di ambang pintu ketika mendengar Alifa memanggilnya. "Mas!" Dengan ragu, Farrel kembali mendekat.Alifa merubah posisinya setengah duduk dan mengamati Farrel yang kini berdiri di samping tempat tidur. Terlihat gurat kelelahan di wajah suaminya itu. Dia bergegas turun dari tempat tidur dan berdiri di depan Farrel."Sudah malam, kamu tidurlah. Aku juga mau tidur," ucapnya pelan."Mas Farrel sudah makan? Kok perginya lama banget?" tanyanya khawatir.Farrel menatap sekilas istrinya kemudian menunduk memperhatikan penampilannya sendiri. "Aku sudah makan, ya sudah kamu tidur!" ulangnya sambil mengusap kepala istrinya. Alifa mengangguk dan memegang tangan Farrel. "Maaf ya, Mas. A-aku..." Farrel memotong ucapan Alifa dengan anggukan. "Nggak perlu minta maaf. Ya, sudah kamu tidur. Kita bicarakan lagi besok," pungkasnya kemudian melangkah keluar kamar dengan menutup pintu pelan.Sepeninggal Farrel, Alifa bukannya tidur, dia justru mondar-mandir dengan gelisah. R
Tawa Bintang dan Alisha pecah mendengar ucapan Farrel. Berbeda dengan kedua orang tersebut, Alifa hanya mampu menatap geram pada Farrel yang cengengesan."Dasar, semprul!" makinya kesal. "Kalau ngomong itu yang benar, Mas. Nggak usah mengada-ada!" sahut Alifa ketus. "Sssttt, jangan berisik lah, Fa." Farrel menempelkan telunjuknya di depan bibir. "Ayo pulang, kita lanjutkan di rumah!" imbuhnya.Alifa mencibir kemudian meneliti penampilan Farrel. Pakaian laki-laki itu setengah basah oleh keringat, seperti Bintang. Alifa melongo. Jadi, suaminya itu tadi sengaja lari pagi bersama Bintang dan akhirnya bertemu di sini untuk membuatnya malu?"Farrel memang kurang ajar," bathinnya."Pulang, malah bengong. Nanti pingsan ogah gendong lagi!" "Ciee, sudah main gendong-gendongan!" seru Bintang spontan."Berisik, deh Mas Bin!" sentaknya kesal. "Mas Farrel pulang saja, aku mau belajar masak dulu!" imbuhnya sembari melirik Farrel."Kamu belajar masak di sini, sekarang? Terus aku nungguin kamu di ru
Tanpa berucap apa-apa, Agus segera berberes. Sedangkan Nur sibuk dengan si Kembar di dampingi Bu Aminah. Bayi berusia 1,5 bulan itu memang sangat menggemaskan. Bu Aminah dan anak-anak melepas kepergian si Kembar dengan mata berkaca-kaca. Tetapi mereka tidak bisa menahannya. Si Kembar memiliki keluarga dan rumah. Sebelum berangkat ke rumah sakit, Brian terlebih dahulu menghampiri Agus dan memeluk laki-laki itu. Brian menatap Agus dan menepuk pelan bahu laki-laki itu. "Perjuangkan rumah tangga kalian. Jangan sampai si Kembar kehilangan kasih sayang utuh dari orang tuanya, Gus," pesannya.Agustus mengangguk samar. "Terima kasih, Yan. Terima kasih, sudah menjaga si Kembar dan Nur. Kalau nggak ada kalian, aku nggak tahu nasib mereka," ucap Agus sambil melirik ke arah Nur dan kedua anaknya.Brian terkekeh kemudian pamit pada Agus dan Nur untuk ke rumah sakit. Laki-laki itu sengaja berangkat lebih pagi dengan alasan ada pasien yang hendak melahirkan. Padahal, Brian tidak ingin melihat kepe
"Kamu jangan khawatir gini, Yan. Sudah, ah. Berangkat dulu," pamit Agus lagi. Brian tidak bisa lagi mencegah temannya itu. Agus juga menolak diantar dengan alasan laki-laki itu ingin menyendiri. Brian hanya bisa mengangguk pasrah.Nuraini menunduk dalam tidak berani membalas tatapan mata Brian. Sesekali laki-laki itu meliriknya sambil makan. Pandangan Nur bertemu dengan Bu Aminah yang duduk di sebelah Brian."Agus kok lama pulangnya? Apa dia bilang pergi ke mana gitu, Nur?" tanya wanita itu.Nuraini menggeleng lemah. "Ndak, Bu. Cuma pamit ke klinik," jawabnya. Nuraini beralih memandang Brian. "Em, Mas. Tangan Mas Agus kenapa ya, kok bisa begitu?" tanyanya lirih.Dia merasa bodoh. Suami sendiri terluka, tetapi dirinya tidak tahu. Brian mengangkat sebelah alis mendengar pertanyaan konyol itu."Aneh banget. Kamu itu istrinya, Nur. Seharusnya kamu tanya, kenapa dia begitu? Kalau dia nggak datang ke Jakarta, Agus juga nggak luka begitu!" jawab Brian ketus.Bu Aminah langsung menoleh dan m
"Apa maksud Mas Brian bicara begitu?" tanya Nur lirih.Brian menggeleng samar, kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sedangkan Nur, mendongak menatap laki-laki itu. Nuraini berharap dirinya salah dengar tentang pernyataan Brian."Aku nggak perlu mengulangi apa yang aku katakan, Nurkodir. Yang aku minta, pulanglah, dan perbaiki hubungan kalian. Cayenne dan Panamera nggak pantas menjadi korban keegoisan orang tuanya," ucap laki-laki itu masih dalam nada ketusnya.Nuraini mengangguk samar, kemudian bangkit dari tempat duduk. Brian mengarahkan pandangan pada beberapa anak yang tengah berkumpul di gasebo bersama guru les."Lihatlah mereka. Anak-anakku itu sewaktu kecil masih bisa aku bohongi tentang orang tuanya. Tapi setelah mereka besar dan sekolah, mereka selalu menuntut jawaban yang sama, Nur. Selalu menanyakan keberadaan orang tua kandungnya. Jangan buat Cayenne dan Panamera mengalami hal serupa dengan mereka," tunjuk Brian pada anak-anaknya. Nasihat si Kaku, pemilik mulut judes itu
"Cayenne, Panamera?" tanya Agus lirih.Brian mengangguk antusias. Dia mempersilakan Agus duduk sembari menunggu Bu Aminah. Rupanya, Bu Aminah membantu Nur memandikan Cayenne dan Panamera.Dada Agus berdesir mendengar tangisan bayi dari dalam kamar tamu. Laki-laki itu beranjak mendekati pintu yang sedikit terbuka. Sedangkan Brian sibuk dengan Axel dan Aruna, anak angkatnya yang berusia satu setengah tahun. "Iya, sebentar ya, Sayang. Gantian Adek Cayenne, dong!""Sudah, Nur, cepat susuin. Biar Ibu yang pakaiin Cayenne baju. Lagian, kamu itu disuruh stok ASI kok susah banget. Maunya tiap hari diomelin Brian. Apa nggak panas, dengerin Brian ngomel?" goda Bu Aminah sambil tertawa kecil.Nuraini menggeleng pelan. "Sudah biasa, Bu. Mas Brian cerewet, tapi perhatian sama si Kembar," ucap Nur sambil melangkah mendekati pintu hendak menutup pintu tersebut.Wanita itu tertegun. Begitu juga laki-laki yang berdiri di depan pintu. Keduanya mematung. Mata laki-laki itu memerah. Pipinya basah. Nurain
Semakin lama memandang wajah mungil Panamera, semakin merasa aneh. Memang wajah bayi itu akan berubah-ubah. Akan tetapi, apa ini kebetulan?Brian meletakkan kembali Panamera, ketika bayi itu mulai menangis. Sedangkan Cayenne sudah tidur sejak beberapa menit yang lalu. Mendengar anaknya menangis, Nur bergegas mendekat."Kayaknya haus, Nur. Kamu harus banyak makan sayur, Nur. Bayi kamu butuh banyak nutrisi, kamu dengar?" ucap Brian kembali ke mode datar dan ketus.Nuraini mengangguk. Dia segera meminta izin membawa Panamera ke kamar dan menyusuinya. Kedua bayi kembarnya itu sangat rakus ketika menyusu. Brian memang tergolong cerewet jika menyangkut anak-anaknya dan juga si Kembar."Alhamdulillah ya, Nak. Kita mendapatkan keluarga baru yang sangat baik. Om Brian dan Eyang sangat sayang pada kalian. Jangan sedih ya, Nak, kalian pisah dari Ayah. Nanti Bunda ketemuin kalian kalau sudah waktunya."Nuraini tersenyum dan mencium pipi Panamera dengan sayang. Nur memerhatikan wajah Panamera yang
Dengan langkah lelah, Agustus tidak berhenti mencari keberadaan sang istri. Dia juga sudah menyebar beberapa foto Nuraini. Namun keberadaan Nur benar-benar seperti ditelan bumi. Agustus tertunduk lesu di peron stasiun. Selama dua minggu di Jakarta tidak membuahkan hasil. Laki-laki itu memutuskan kembali ke Ponorogo. Kini Agus tidak punya semangat hidup. Dia juga tidak bersedia dicalonkan menjadi kepala desa kembali.Bahkan, Agus lebih banyak menghabiskan waktu di toko. Terkadang dia juga tidak pulang dan memilih tidur di toko. Pulang ke rumah hanya akan membuat hatinya semakin diliputi rasa bersalah. Melihat barang-barang milik Nur, hati laki-laki itu kembali tercabik-cabik sakit.Agustus mengusap kedua matanya yang basah. Teringat dosa-dosanya di masa lalu. Dosa-dosa yang pada akhirnya mendzolimi wanita sebaik Nuraini.Sudah tiga bulan, Agus menekuni ilmu agama di pondok pesantren. Dia hanya pulang ke rumah seminggu sekali. Jika pulang, Agus memilih tidur di rumah Nenek Kanti. Di si
"Anak angkat, Buk?" ulang Nur tertarik.Bu Aminah mengangguk. Dia melirik pada kedua anak yang berlari kecil menuju ke rumah. Ada mendung di wajah wanita paruh baya itu mengingat masa kecil Brian yang memprihatinkan."Dulu, nasib Brian kecil sangat menyedihkan, Nur. Dia nggak pernah tahu sosok ayahnya sampai saat ini. Ibu hanyalah perempuan ... perempuan, nggak berguna, Nur." Bu Aminah mengusap-usap kedua matanya yang basah. Nuraini terdiam. Menceritakan masa kecil Brian yang pahit adalah hal berat. Namun, juga membuat wanita paruh baya itu lega karena terlepas dari rasa sakit yang dipendam selama hampir 30 tahun seorang diri.Brian Kahfi Marcelino, adalah anak yang terlahir tanpa kasih sayang sang ayah. Aminah muda hanyalah orang kampung. Dia datang ke Jakarta mencari pekerjaan sebagai ART. Namun, tragisnya wanita berparas ayu itu menjadi korban kebiadaban anak majikannya sendiri. Aminah muda yang cantik diperkosa anak majikannya sehingga hamil. Mengetahui ARTnya hamil, sang majika
Pak Sopir memundurkan mobilnya. Laki-laki itu juga turun dari mobil, membantu mengangkat tas pakaian milik Nur. Selanjutnya, membukakan pintu untuk wanita itu."Maaf, Pak, kita mau ke mana?" tanya Nur begitu mobil sudah melaju cukup jauh dari stasiun Pasar Senen.Laki-laki kaku di samping kemudi itu melirik center mirror. "Mau ke tukang penadah orang hamil!" jawabnya santai dan ketus.Nuraini terperangah. Dia sedikit memajukan badan dan menatap Pak Sopir yang justru tersenyum geli. Melihat kecemasan di wajah Nur, laki-laki muda berkacamata pemilik mulut judes itu tersenyum sinis."Nyalimu besar juga, ya? Datang ke Jakarta dalam keadaan hamil tanpa tujuan jelas?" sindirnya.Nuraini mendengus lirih. Memang benar, dia hanya bermodalkan nekad untuk menjauhi suaminya. Nur juga terpaksa ikut mobil laki-laki bermulut judes itu. Rencananya setelah itu, Nuraini akan mencari kontrakan dan pekerjaan.Mobil melaju pelan ketika memasuki komplek perumahan elite. Nuraini memperhatikan kanan kiri jal
Air mata Nur kembali menetes. Pandangannya buram ke luar jendela kereta yang semakin jauh meninggalkan Jawa Timur. Ikut meninggalkan kenangan indahnya bersama Agus.Laki-laki yang dulu diharapkan mampu menjadi imam yang baik. Laki-laki yang diharapkan menjadi tempatnya berlindung. Namun, justru dialah yang menorehkan luka hati. Lelah menangis, Nur tertidur. Kepalanya terkulai ke sisi kiri.Nur mengerjap kaget ketika merasakan telapak tangan seseorang menyangga kepalanya. Nuraini segera memperbaiki posisi duduk. Kakinya sedikit pegal karena terlalu lama duduk. Dia melirik ke arah laki-laki yang duduk di sampingnya. Laki-laki itu hanya menoleh sekilas dengan sikapnya yang dingin."Ma-maaf, Pak. Sa-saya tidak sengaja," ucap Nur tidak enak hati.Laki-laki itu mengangguk pelan dan tersenyum sekilas. "Nggak apa-apa. Mau ke mana?" tanyanya datar. Laki-laki berkaca mata itu melirik perut Nur yang membuncit. Merasa diperhatikan, Nur segera merapikan bagian depan kardigannya."Mau ke Jakarta,