Kevin berusaha tak terpancing. Sekarang dirinya harus profesional. Harus bisa mengesampingkan perasaannya pada Alifa. Di dalam kelas dan lingkungan kampus, Alifa adalah mahasiswinya."Selamat siang Pak Kevin," sapa Lili begitu berpapasan dengan Kevin di koridor."Siang!" Kevin membalas singkat tanpa senyum.Lili merasakan hatinya langsung mengkerut. Dia berpikir mengapa Kevin bersikap berbeda pada Alifa? Toh Lili dan Alifa sama-sama mahasiswi apalagi Alifa sudah menikah."Nggak usah bengong!" Zizi menepuk bahu Lili. Lili berjingkat kaget dan balas menepuk Zizi dan mensejajari langkah gadis itu. "Zizi, kenapa sikap Pak Kevin ke Alifa beda banget ya?" tanya Lili mulai ingin tahu.Zizi mengangkat bahunya. "Ya bedalah, Alifa dan Pak Kevin kan sahabatan sebelum Pak Kevin nikah!" jawabnya santai."Ni-nikah?" tanya Lili. Bukan hanya hatinya yang mengkerut. Bahunya juga ikut meluruh. Zizi mengangguk pelan. "Iyaa, tapi istrinya sudah meninggal. Makanya Pak Kevin balik ke sini. Biar bisa deket
Ucapan Farrel yang seolah menuduh Alifa sengaja berciuman dengan Kevin, sungguh membuat hati wanita itu terluka. Alifa langsung memalingkan wajahnya yang berembun. Dia tidak ingin bertemu pandang dengan Farrel yang masih menatapnya dengan tatapan tajam."Sejak kapan Kevin jadi dosen di sini?" tanya Farrel lirih. Alifa mengusap pelan sudut matanya. "Hampir seminggu." Alifa menjawab lirih.Farrel tersenyum miring. "Hm, ada saja caranya untuk mendekati kamu, ya? Sepertinya benar-benar nggak rela dia, kalau kamu bersamaku?" sindirnya."Aku nggak minta dia menggantikan Bu Aline!" Alifa menyahut ketus."Tapi pasti kamu senang kan, setiap kali bertemu dengannya? Sampai lupa kalau setiap saat suami kamu memikirkan keadaan istrinya?" Farrel bertanya dengan nada meninggi kemudian menggeleng pelan."Seandainya kamu nggak melihatku tadi, apa kira-kira yang terjadi? Kalian ciuman lagi?"Plak!Alifa melayangkan tamparannya ke pipi Farrel. Laki-laki itu memejamkan matanya sesaat. Lalu, Farrel menatap
"Mas boleh kan aku ikut?" rayu Alifa. Wanita itu mensejajari langkah Farrel yang seolah tidak melihat keberadaannya. "Mas, boleh ya, Mas?" ulangnya.Alifa ingin mengakhirinya. Dia yang cerewet itu tidak tahan jika didiamkan oleh Farrel walaupun laki-laki itu tetap memperhatikan dirinya.Farrel menghentikan langkah sejenak dan menatap istrinya dengan tatapan curiga. "Aku itu kerja, Fa. Kamu ikut mau ngapain? Mending kamu pulang dan tidur!" sahutnya acuh.Alifa menghentakkan kakinya ke lantai. "Pelit amat. Dikira aku itu anak kecil. Padahal cuma pengin ikut saja sekalian aku mau makan sama Zizi dan Evita." Alifa kembali menggerutu."Kalau sama Zizi mending ajak ke Cafè Biru karena Danang di sana. Nanti setelah ini aku nyusul." Farrel memberikan usulan."Aku laper Mas. Pengin makan sama kamu. Dicuekin suami itu ternyata bikin laper juga."Farrel menarik sebelah alisnya ke atas. "Hm, masa iya? Aku pikir kamu seneng aku diamkan. Biar bisa bebas."Farrel berkata santai."Iiihh ulangi terus. T
"Mas tunggu, Mas!"Alifa mempercepat langkahnya. Laki-laki itu menoleh sebentar, kemudian mengacungkan beberapa dagangannya ke arah Alifa."Mbak mau beli?" tanyanya penuh harap.Alifa masih diam. Jarak mereka hanya sekitar dua meter. Alifa meneliti penampilan laki-laki tersebut. Bodynya dan cara berjalannya...Laki-laki itu memang memakai masker dan berkacamata, juga berambut gondrong. Namun, Alifa tidak mungkin lupa akan gesture orang tersebut. Gesture orang yang bersamanya hampir tiga bulan dalam atap yang sama."Kenapa Mbak? Jadi, bagaimana? Jadi, beli nggak, kalau nggak saya keliling lagi. Permisi Mbak," laki-laki itu mengangguk samar dan kembali berlalu.Bergegas, Alifa mengikuti, lalu menarik tangan laki-laki tersebut dan melepaskan maskernya. Sedetik kemudian, dipeluknya dengan erat tubuh jangkung itu.Di sana, Novi, dan Evita ternganga. Namun, tidak bagi Zizi. Dia hanya menggaruk rambutnya melihat interaksi Alifa dan Farrel yang menyamar sebagai penjual baju. Zizi memang sudah
"Honey moon?" ulang Kevin dengan raut wajah berbeda.Zizi langsung mengangguk. Rasanya senang sekali melihat wajah Kevin berubah masam. Evita memilih diam karena dia tidak memiliki hobi bergosip seperti Zizi. "Mereka honey moon, Pak. Mungkin besok baru kembali, kalau nggak lanjut ke Bali!" Zizi menambahkan.Evita menyikut lengan sahabatnya itu. Dia menatap Kevin yang semakin menunjukkan wajah keruh. Namun, Zizi tidak peduli. Dia sengaja menyiramkan bensin di atas api. Bagi Zizi, yang terpenting Alifa dan Farrel bahagia dan dia bisa mendapatkan Danang."Oh, oke."Hanya kata itu yang keluar dari mulut Kevin. Dia menatap sekilas pada Evita yang mengangguk santun. Ucapan Zizi membuat Kevin terbakar api cemburu."Sial! Kenapa aku sakit hati mendengar Alifa honey moon?" gumamnya sambil melangkah gontai menuju kelas.Kevin memijit pelipisnya. Dia sudah berusaha menerima kenyataan jika semua tak lagi sama seperti dahulu, namun faktanya hati tak bisa selalu diajak kompromi.*Yogyakarta.Alifa
Alifa menyikut dengan kuat dada laki-laki tersebut. Doni kembali terhuyung ke belakang. "Apa kamu nggak lebih bajingan dari suamiku, Doni? Hanya laki-laki bajingan juga yang beraninya dengan perempuan. Kamu nggak ada apa-apanya dibandingkan Mas Farrel!" Alifa mengakhiri kalimatnya dengan senyuman mengejek."Sialan kamu, Lif. Aku nggak peduli, dia harus merasakan bagaimana rasanya kehilangan orang yang dicintainya. Itu yang aku inginkan, Lif!" Doni tersenyum miring, kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Alifa terbelalak, ketika laki-laki itu mengeluarkan sebuah pisau lipat dan mengacungkan padanya.Alifa mundur beberapa langkah dengan waspada. Tatapan matanya mengikuti pergerakan Doni. "Tolong! Tolong!" Alifa tak ingin celaka. Ada janin di rahimnya yang terlebih dahulu harus dia pikirkan. Teriakan Alifa mengundang beberapa orang mencari keberadaannya.Doni yang tak ingin dihajar massa, langsung melarikan diri. Laki-laki itu memanjat pagar dan melompat keluar dari tempat pa
"Nggak adil banget! Aku nggak mengerti apa-apa, malah menjadi sasaran. Cepat kalian lapor polisi, Mas!" seru Alifa jengkel. Farrel mengangguk tegas, kemudian mengusap-usap bahu istrinya untuk menenangkan. "Iya, Sayang. Kami pasti lapor polisi. Aku harus bertemu Mas Bintang dulu," ucapnya pelan.Alifa mengangguk lemah. Berkali-kali dia mendengus kasar. Menyesalkan kejadian yang hampir mencelakai diri dan calon bayi mereka. Alifa juga merasakan, semenjak menikah selalu ada saja cobaan dalam rumah tangga mereka. "Gini, Lif. Kalau malam pas Gundul ngelatih, kamu jangan di rumah sendirian. Lebih aman kalau kamu di rumah Budhe Halimah atau di rumah Pak Bintang." Danang memberikan saran. Dia juga merasa kasihan pada Alifa yang menjadi sasaran Doni.Alifa mengangguk sekali lagi. "Berasa aku istri seorang buronan saja kalau kayak gini. Mas, Mas. Makanya, kalau punya teman itu pilih-pilih lah. Pemakai narkoba dijadikan teman. Ngrepotin hidup saja!" gerutunya jengkel."Iyaa, paham. Lagian, seka
"Aku pergi dulu, Vit. Nanti aku telepon Pak Kevin."Evita melangkah mensejajari langkah Alifa. "Aku ikut kamu, Lif. Kebetulan aku sudah kosong." Alifa menoleh sekilas pada Evita dan mengangguk."Vit, Vita!" Evita dan Alifa menghentikan langkah mereka ketika sampai di dekat anak tangga menuju ke lantai satu. "Dipanggil Pak Kevin, suruh cepat. Beliau mau ada kelas lagi soalnya. Daripada dimanyunin dosen ganteng!" seru seorang mahasiswi setengah berlari mengejar Evita dan Alifa.Evita menoleh pada Alifa meminta persetujuan. Alifa langsung mengangguk. "Pergi saja, Vit. Kayaknya penting!""Lif, aku nanti nyusul ya, kayaknya ini masalah tugas kemarin deh. Kenapa sih, sahabat kamu itu ngeselin, Lif?" gerutu gadis berhijab pashmina itu terkikik."Paling alasan saja. Sudah pepet saja, dia baik kok, sudah ya, bye!" Alifa menepuk pelan bahu sahabatnya. Evita membalikkan badan sembari berdadah-dadah ceria."Ojek Mbak?" tanya seorang tukang ojek yang baru saja tiba di tempat pangkalan ojek. Tanpa p
Tanpa berucap apa-apa, Agus segera berberes. Sedangkan Nur sibuk dengan si Kembar di dampingi Bu Aminah. Bayi berusia 1,5 bulan itu memang sangat menggemaskan. Bu Aminah dan anak-anak melepas kepergian si Kembar dengan mata berkaca-kaca. Tetapi mereka tidak bisa menahannya. Si Kembar memiliki keluarga dan rumah. Sebelum berangkat ke rumah sakit, Brian terlebih dahulu menghampiri Agus dan memeluk laki-laki itu. Brian menatap Agus dan menepuk pelan bahu laki-laki itu. "Perjuangkan rumah tangga kalian. Jangan sampai si Kembar kehilangan kasih sayang utuh dari orang tuanya, Gus," pesannya.Agustus mengangguk samar. "Terima kasih, Yan. Terima kasih, sudah menjaga si Kembar dan Nur. Kalau nggak ada kalian, aku nggak tahu nasib mereka," ucap Agus sambil melirik ke arah Nur dan kedua anaknya.Brian terkekeh kemudian pamit pada Agus dan Nur untuk ke rumah sakit. Laki-laki itu sengaja berangkat lebih pagi dengan alasan ada pasien yang hendak melahirkan. Padahal, Brian tidak ingin melihat kepe
"Kamu jangan khawatir gini, Yan. Sudah, ah. Berangkat dulu," pamit Agus lagi. Brian tidak bisa lagi mencegah temannya itu. Agus juga menolak diantar dengan alasan laki-laki itu ingin menyendiri. Brian hanya bisa mengangguk pasrah.Nuraini menunduk dalam tidak berani membalas tatapan mata Brian. Sesekali laki-laki itu meliriknya sambil makan. Pandangan Nur bertemu dengan Bu Aminah yang duduk di sebelah Brian."Agus kok lama pulangnya? Apa dia bilang pergi ke mana gitu, Nur?" tanya wanita itu.Nuraini menggeleng lemah. "Ndak, Bu. Cuma pamit ke klinik," jawabnya. Nuraini beralih memandang Brian. "Em, Mas. Tangan Mas Agus kenapa ya, kok bisa begitu?" tanyanya lirih.Dia merasa bodoh. Suami sendiri terluka, tetapi dirinya tidak tahu. Brian mengangkat sebelah alis mendengar pertanyaan konyol itu."Aneh banget. Kamu itu istrinya, Nur. Seharusnya kamu tanya, kenapa dia begitu? Kalau dia nggak datang ke Jakarta, Agus juga nggak luka begitu!" jawab Brian ketus.Bu Aminah langsung menoleh dan m
"Apa maksud Mas Brian bicara begitu?" tanya Nur lirih.Brian menggeleng samar, kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sedangkan Nur, mendongak menatap laki-laki itu. Nuraini berharap dirinya salah dengar tentang pernyataan Brian."Aku nggak perlu mengulangi apa yang aku katakan, Nurkodir. Yang aku minta, pulanglah, dan perbaiki hubungan kalian. Cayenne dan Panamera nggak pantas menjadi korban keegoisan orang tuanya," ucap laki-laki itu masih dalam nada ketusnya.Nuraini mengangguk samar, kemudian bangkit dari tempat duduk. Brian mengarahkan pandangan pada beberapa anak yang tengah berkumpul di gasebo bersama guru les."Lihatlah mereka. Anak-anakku itu sewaktu kecil masih bisa aku bohongi tentang orang tuanya. Tapi setelah mereka besar dan sekolah, mereka selalu menuntut jawaban yang sama, Nur. Selalu menanyakan keberadaan orang tua kandungnya. Jangan buat Cayenne dan Panamera mengalami hal serupa dengan mereka," tunjuk Brian pada anak-anaknya. Nasihat si Kaku, pemilik mulut judes itu
"Cayenne, Panamera?" tanya Agus lirih.Brian mengangguk antusias. Dia mempersilakan Agus duduk sembari menunggu Bu Aminah. Rupanya, Bu Aminah membantu Nur memandikan Cayenne dan Panamera.Dada Agus berdesir mendengar tangisan bayi dari dalam kamar tamu. Laki-laki itu beranjak mendekati pintu yang sedikit terbuka. Sedangkan Brian sibuk dengan Axel dan Aruna, anak angkatnya yang berusia satu setengah tahun. "Iya, sebentar ya, Sayang. Gantian Adek Cayenne, dong!""Sudah, Nur, cepat susuin. Biar Ibu yang pakaiin Cayenne baju. Lagian, kamu itu disuruh stok ASI kok susah banget. Maunya tiap hari diomelin Brian. Apa nggak panas, dengerin Brian ngomel?" goda Bu Aminah sambil tertawa kecil.Nuraini menggeleng pelan. "Sudah biasa, Bu. Mas Brian cerewet, tapi perhatian sama si Kembar," ucap Nur sambil melangkah mendekati pintu hendak menutup pintu tersebut.Wanita itu tertegun. Begitu juga laki-laki yang berdiri di depan pintu. Keduanya mematung. Mata laki-laki itu memerah. Pipinya basah. Nurain
Semakin lama memandang wajah mungil Panamera, semakin merasa aneh. Memang wajah bayi itu akan berubah-ubah. Akan tetapi, apa ini kebetulan?Brian meletakkan kembali Panamera, ketika bayi itu mulai menangis. Sedangkan Cayenne sudah tidur sejak beberapa menit yang lalu. Mendengar anaknya menangis, Nur bergegas mendekat."Kayaknya haus, Nur. Kamu harus banyak makan sayur, Nur. Bayi kamu butuh banyak nutrisi, kamu dengar?" ucap Brian kembali ke mode datar dan ketus.Nuraini mengangguk. Dia segera meminta izin membawa Panamera ke kamar dan menyusuinya. Kedua bayi kembarnya itu sangat rakus ketika menyusu. Brian memang tergolong cerewet jika menyangkut anak-anaknya dan juga si Kembar."Alhamdulillah ya, Nak. Kita mendapatkan keluarga baru yang sangat baik. Om Brian dan Eyang sangat sayang pada kalian. Jangan sedih ya, Nak, kalian pisah dari Ayah. Nanti Bunda ketemuin kalian kalau sudah waktunya."Nuraini tersenyum dan mencium pipi Panamera dengan sayang. Nur memerhatikan wajah Panamera yang
Dengan langkah lelah, Agustus tidak berhenti mencari keberadaan sang istri. Dia juga sudah menyebar beberapa foto Nuraini. Namun keberadaan Nur benar-benar seperti ditelan bumi. Agustus tertunduk lesu di peron stasiun. Selama dua minggu di Jakarta tidak membuahkan hasil. Laki-laki itu memutuskan kembali ke Ponorogo. Kini Agus tidak punya semangat hidup. Dia juga tidak bersedia dicalonkan menjadi kepala desa kembali.Bahkan, Agus lebih banyak menghabiskan waktu di toko. Terkadang dia juga tidak pulang dan memilih tidur di toko. Pulang ke rumah hanya akan membuat hatinya semakin diliputi rasa bersalah. Melihat barang-barang milik Nur, hati laki-laki itu kembali tercabik-cabik sakit.Agustus mengusap kedua matanya yang basah. Teringat dosa-dosanya di masa lalu. Dosa-dosa yang pada akhirnya mendzolimi wanita sebaik Nuraini.Sudah tiga bulan, Agus menekuni ilmu agama di pondok pesantren. Dia hanya pulang ke rumah seminggu sekali. Jika pulang, Agus memilih tidur di rumah Nenek Kanti. Di si
"Anak angkat, Buk?" ulang Nur tertarik.Bu Aminah mengangguk. Dia melirik pada kedua anak yang berlari kecil menuju ke rumah. Ada mendung di wajah wanita paruh baya itu mengingat masa kecil Brian yang memprihatinkan."Dulu, nasib Brian kecil sangat menyedihkan, Nur. Dia nggak pernah tahu sosok ayahnya sampai saat ini. Ibu hanyalah perempuan ... perempuan, nggak berguna, Nur." Bu Aminah mengusap-usap kedua matanya yang basah. Nuraini terdiam. Menceritakan masa kecil Brian yang pahit adalah hal berat. Namun, juga membuat wanita paruh baya itu lega karena terlepas dari rasa sakit yang dipendam selama hampir 30 tahun seorang diri.Brian Kahfi Marcelino, adalah anak yang terlahir tanpa kasih sayang sang ayah. Aminah muda hanyalah orang kampung. Dia datang ke Jakarta mencari pekerjaan sebagai ART. Namun, tragisnya wanita berparas ayu itu menjadi korban kebiadaban anak majikannya sendiri. Aminah muda yang cantik diperkosa anak majikannya sehingga hamil. Mengetahui ARTnya hamil, sang majika
Pak Sopir memundurkan mobilnya. Laki-laki itu juga turun dari mobil, membantu mengangkat tas pakaian milik Nur. Selanjutnya, membukakan pintu untuk wanita itu."Maaf, Pak, kita mau ke mana?" tanya Nur begitu mobil sudah melaju cukup jauh dari stasiun Pasar Senen.Laki-laki kaku di samping kemudi itu melirik center mirror. "Mau ke tukang penadah orang hamil!" jawabnya santai dan ketus.Nuraini terperangah. Dia sedikit memajukan badan dan menatap Pak Sopir yang justru tersenyum geli. Melihat kecemasan di wajah Nur, laki-laki muda berkacamata pemilik mulut judes itu tersenyum sinis."Nyalimu besar juga, ya? Datang ke Jakarta dalam keadaan hamil tanpa tujuan jelas?" sindirnya.Nuraini mendengus lirih. Memang benar, dia hanya bermodalkan nekad untuk menjauhi suaminya. Nur juga terpaksa ikut mobil laki-laki bermulut judes itu. Rencananya setelah itu, Nuraini akan mencari kontrakan dan pekerjaan.Mobil melaju pelan ketika memasuki komplek perumahan elite. Nuraini memperhatikan kanan kiri jal
Air mata Nur kembali menetes. Pandangannya buram ke luar jendela kereta yang semakin jauh meninggalkan Jawa Timur. Ikut meninggalkan kenangan indahnya bersama Agus.Laki-laki yang dulu diharapkan mampu menjadi imam yang baik. Laki-laki yang diharapkan menjadi tempatnya berlindung. Namun, justru dialah yang menorehkan luka hati. Lelah menangis, Nur tertidur. Kepalanya terkulai ke sisi kiri.Nur mengerjap kaget ketika merasakan telapak tangan seseorang menyangga kepalanya. Nuraini segera memperbaiki posisi duduk. Kakinya sedikit pegal karena terlalu lama duduk. Dia melirik ke arah laki-laki yang duduk di sampingnya. Laki-laki itu hanya menoleh sekilas dengan sikapnya yang dingin."Ma-maaf, Pak. Sa-saya tidak sengaja," ucap Nur tidak enak hati.Laki-laki itu mengangguk pelan dan tersenyum sekilas. "Nggak apa-apa. Mau ke mana?" tanyanya datar. Laki-laki berkaca mata itu melirik perut Nur yang membuncit. Merasa diperhatikan, Nur segera merapikan bagian depan kardigannya."Mau ke Jakarta,