“Mas Aris terlalu agresif mungkin. Ya disesuaikan lah, Mas. Nara mungkin belum bisa mengimbangi ritme Mas Aris, jadi ya ngalah dikit.”Wajah Aris memanas mendengar nasihat dokter Oki yang harus dipanggilnya malam-malam karena Dinara tiba-tiba saja pingsan dalam gendongannya. Suasana panik itu sudah berlalu satu jam yang lalu, ketika Aris dengan sekuat tenaga berteriak memanggil siapa saja pekerja yang ada di rumah besar itu saat menyadari bahwa Dinara pingsan.“Non Nara abis nonton film horor, Pak?”“Apa Non Nara baru olahraga?”“Kalo lagi kaget atau ketakutan Non Nara memang sering langsung pingsan begini.”Beberapa pertanyaan sopan namun penasaran dari pekerja senior di rumah Dinara membuat kepala Aris pusing. Tak ada satu pun dugaan pekerja senior itu yang diiyakannya mengingat Dinara bukan sedang mengalami semua itu. Bagaimana mungkin ia mengatakan bahwa Dinara mungkin saja sedang ketakutan berlebihan atas kemauannya malam ini.Aris memang sejak tadi sudah menyiratkan inginnya mal
[Gimana kabarmu, Alea? Kata Pras kamu minta perpanjangan cuti?]Sebuah pesan masuk ke nomor Alea pagi ini. Kemarin ia memang bercerita pada Pras mengenai kondisi ayahnya yang masih memerlukan dirinya. Keputusannya untuk membawa sang ayah berobat ke Singapura membuat Alea mengorbankan banyak hal. Selain permintaannya pada Aris untuk diberi pinjaman, ia juga masih harus memohon perpanjangan cuti meski tak memiliki keberanian untuk mengatakannya langsung pada Aris.Pras kini menjadi tempatnya bercerita, tempatnya berkeluh kesah ketika Aris bukan lagi miliknya. Pras yang memang sejak awal mengetahui semua yang terjadi antara dirinya dan Aris, maka lelaki mudah itu menjadi orang yang paling tepat untuk Alea berbagi cerita. Namun kini ia justru menyesali mengapa Pras menyampaikan ceritanya pada Aris, salah satunya rencana dan keinginannya untuk memperpanjang waktu cuitnya ini.[Kabarku baik, Mas. Soal perpanjangan cuti, aku nggak akan ajukan kalo emang Mas Aris nggak setuju.]Dari Pras, Ale
Gelisah menunggu Aris kembali, Dinara memilih menyusul ke ruang kerja Aris. Ia tadi sudah meminta pria itu untuk kembali namun setelah beberapa jam Aris belum juga kembali. Menginap selama beberapa hari di istana Oma Lili membuat Dinara sudah terbiasa dengan kehadiran Aris. Gadis itu bahkan sudah terlelap sekali sebelum kembali terbangun dan belum juga menemukan keberadaan Aris.Apa pria yang tadi salah tingkah saat dipanggilnya sayang itu memang sengaja tak ingin sekamar dengannya? Berkali-kali Dinara meraih ponsel hendak menghubungi Aris setelah kemudian memilih untuk datang ke ruang kerja Aris yang dulunya adalah ruang kerja papinya.Pintu ruang kerja Aris yang tak tertutup rapat membuat Dinara bisa mendengar dengan jelas bahwa di dalam sana Aris sedang berbicara lewat telepon. Awalnya tak ada rasa penasaran pada gadis itu, sebelum kemudian mendengar pembicaraan sepihak Aris pada seseorang di seberang sana yang sedang terhubung dengan Aris lewat telepon.“Tulip butuh orang kayak ka
“Gila kamu, Nara! Enam bulan itu bukan waktu yang sebentar!”Sarapan pagi Aris dan Dinara pagi ini diwarnai dengan perdebatan mengenai keikutsertaan Dinara dalam pertukaran mahasiswa.“Enam bulan doang, Om! Dan sekali lagi Nara tekankan, Nara nggak akan mundur. Om Aris nggak liat Nara udah susah payah sampai bisa dapat penghargaan nilai tertinggi kemarin?” Dan jawaban Dinara ini pun sudah kesekian kalinya diucapkan gadis itu.Aris mengeraskan rahangnya dengan helaan napas berat berkali-kali. Sudah lama ia tak melihat Dinara yang seperti ini, dan pagi ini sifat keras kepala gadis itu kembali terlihat ketika ia memberi larangan untuk Dinara mengikuti pertukaran mahasiswa.Beberapa bulan yang lalu, ia sering sekali menghadapi Dinara yang seperti ini ketika gadis itu selalu saja menghadirkan masalah karena kenakalan dan pergaulannya di luar sana. Kenakalan yang belakangan disimpulkan Aris sebagai pemberontakan gadis itu akan semua yang sudah terjadi dalam hidupnya. Akan tetapi, beberapa w
Bersama Dinara rupanya akan lebih menguras tenaganya, berbeda dengan saat ia bersama Alea. Karena saat bersama Alea, justru dialah yang menjadi pusat perhatian gadis itu. Alea bisa mengatur semua tentangnya, memahami semua inginnya, menyiapkan semua kebutuhannya. Bersama Alea ia bisa bermanja dan menikmati kedewasaan gadis itu. Tapi bersama Dinara sebaliknya, gadis dua puluh tahun itulah yang bermanja. Mungkin hidupnya memang akan lebih berat bersama Dinara, tetapi kini ia justru merindukan kemanjaan gadis itu.“Udah dulu ya, Nara. Om ada tamu.” Aris bergerak hendak mengakhiri panggilan ketika mendengar ketukan di pintu ruang kerjanya.“Om.”Gerakan Aris terhenti ketika masih mendengar Dinara memanggil.“Maafin Nara. Tadinya Nara pikir Om Aris akan bangga kalo Nara lulus pertukaran mahasiswa itu. Nara belajar mati-matian ikut tes itu waktu Om Aris lagi di Bali supaya Nara bisa bikin Om Aris bangga, sebagai ucapan terima kasih Nara karena Om Aris udah bekerja dan berjuang untuk Tulip.”
Suasana cozy terasa kental begitu Dinara menginjakkan kakinya di sebuah Twin House, sebuah coffeeshop yang menjadi venue sebuah acara anniversary. Selain kenyamanan yang tercipta sejak tiba di Twin House, genggaman tangan Aris juga menjadi salah satu sumber rasa nyaman di dada Dinara. Bagaimana tidak, pria yang bergaya casual semi formal itu mengalirkan rasa hangat pada telapak tangan lebar yang sejak tadi menggenggam erat tangan Dinara.Sebuah sambutan dari pemilik acara malam ini semakin membuat rasa nyaman itu mengalir mengisi dada Dinara, sepasang suami istri yang terlihat begitu mesra. Pria tampan yang tak pernah lepas menatap mata sang istri, dan wanita cantik yang kelihatan bersinar dengan senyuman tak pernah putus menghiasi wajah cantiknya. Ucapan selamat datang dan perkenalan singkat bagi Dinara begitu berkesan. Ia lalu mengingat bagaimana malam itu Aris tiba-tiba meneleponnya dari Bali lalu menyatakan rasa rindunya setelah bertemu dengan pasangan ini.“Om Aris bener.” Dinara
“Ini di mana, Om?” Dinara mengerjapkan mata.Sepanjang jalan setelah semburat merah menghiasi pipi Dinara tadi, gadis itu memang memilih tak lagi bicara banyak hingga kemudian tertidur. Lalu saat Aris menepuk lembut pipinya, Dinara menggeliat dan memindai sekitar, menyadari bahwa Aris membawanya ke sebuah tempat asing.“Ini panti asuhan.”“Panti asuhan?” Dinara mengeryitkan keningnya.Aris tersenyum getir, ini tentu pertama kalinya Dinara menginjakkan kaki di tempat seperti ini. Tempat di mana asal usul Aris berada.“Maaf bawa Nara ke sini.” Aris menggumam. “Om hanya sedang kangen keluarga. Tadi ... di perayaan Mas Ivan, Om ngeliat bagaimana mereka dikelilingi keluarga yang saling memeluk. Dan itu bikin Om tiba-tiba saja merindukan asal-usul Om.” Aris menghela napas, menatap bangunan panti yang sudah banyak sekali mengalami perubahan.Sejak hidupnya mapan apalagi sejak memegang Tulip, Aris memang tak pernah putus mentransfer uang dalam jumlah yang tak sedikit untuk ‘rumah masa kecilny
“Nara panggil apa tadi?” Aris menatap dalam.“Om Aris.” Dan tatapan teduh itu belakangan selalu menghadirkan getaran aneh yang tak mampu diartikan Dinara.Aris menggaruk bagian bawah telinga. “Ah, terserah Nara mau panggil apa. Tapi Nara milik Om Aris malam ini.”Dinara sidah tak bisa bernapas dengan benar lagi, ketika Aris memangkas jarak dan membuat ujung hidung pria itu berada tepat di wajahnya.“Rileks, Nara.” Aris berbisik, dan bisikan itu justru membuat napas Dinara semakin pendek-pendek.Dada Aris bergemuruh, ia tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya malam ini jika ia belum bisa menaklukkan Dinara. Lampu hijau yang diberikan Dinara memang menjadi golden tiketnya malam ini, tetapi ia tahu persis bahwa napas pendek-pendek Dinara juga tak bisa diabaikan.Aris menghentikan seluruh aktifitasnya sesaat, menyeka bibirnya yang baru saja menjelajah sesuka hati pada pemilik bola mata indah yang kini berada dalam kuasanya.“Tatap Om, Nara,” pinta Aris.Dinara menurut, menatap mata sarat
“Mana ada dokter yang begitu, Om.”“Huhh! Tapi empat puluh hari itu lama, Naraaa! Gimana nasib Om coba?”Dinara mencibir. “Dih! Biasanya juga banyak ide banyak cara banyak ....” Kalimat Dinara tak selesai, karena pria yang sedang digodanya itu kini menarik tangannya dengan sedikit paksaan.“Ikut Om!”“Ke mana?”“Kamar mandi.”“Hah?!”“Tanggung jawab, Nara! Kamu bikin Om jadi kepikiran banyak ide banyak cara.”“Ck!”“Nara ....” Aris kembali memanggil.“Hmm.”“Kalo kata Mama mata cokelat ini dari ibu kandung Om, sekarang Nara tau kan dari mana nakal dan liarnya Om?”Dinara menautkan alis.“Kayaknya itu warisan dari laki-laki nakal dan liar yang sudah membuat Om terlahir ke dunia.”Ada nada getir dari suara Aris, dan Dinara yang memilih untuk segera menetralkan suasana.“Tapi ... kayaknya Nara harus berterima kasih ke orang itu, Om.” Dinara menghampiri lebih dekat. “Karena Nara suka Om Aris yang nakal dan liar seperti ini,” bisiknya lagi.Aris menggigit bibirnya, kegetiran itu sudah berl
Sambil mengenggam selembar foto di tangan kirinya, Aris menggenggam surat itu dengan tangan kanannya lalu mulai membaca.-Aris anakku, wanita cantik di foto ini adalah ibu kandungmu, Nak. Namanya Cecilia, jangan tanyakan mengapa Mama bisa menemukan identitasnya, Papamu melakukan semua itu ketika menyadari betapa Mama menyayangi Aris seperti Mama menyayangi Aldo. Sekarang Aris tahu kan dari mata bola mata cokelat Aris? Ya, itu dari garis keturunan ibumu, Nak.Jika Aris membaca surat ini, itu artinya Mama sudah tak ada lagi di dunia. Mama sengaja hanya memberikan selembar foto ini untuk Aris, tanpa menyertakan keterangan apa pun tentang Cecilia, karena Mama dan ibumu sudah saling berjanji saat kami bertemu.Cecilia meminta agar kamu tak mencarinya, Nak. Bukan karena dia tak menyayangi Aris, tetapi karena ia tahu bahwa Aris sudah menemukan keluarga yang jauh lebih berarti dari pada hanya sekadar ikatan darah. Ibumu sudah memiliki keluarga dan bahagia dengan keluarga barunya, sedan
“Ulangi sekali lagi, Dok.”“Ini alatnya mungkin rusak.”“Coba di bagian yang ini, Dok.”Hanya suara perintah Aris yang terus menerus terdengar di ruang USG sebuah rumah sakit internasional dengan tenaga dokter kelas atas. Dokter wanita yang memeriksa Dinara bahkan harus sesekali menyeka peluhnya ketika mendapati tatapan mematikan Aris.“Ini sudah dicoba berkali-kali, dan kondisi bayinya memang sedang memeluk lutut.” Dokter dengan name tag Rindy itu kembali menjelaskan sambil mengusap kening.Permintaan kliennya kali ini cukup membuatnya repot. Hasil USG harus memperlihatkan jenis kelamin sang bayi, sementara posisi bayi yang terlihat di layar tak menampakkan jenis kelaminnya.“Nggak baik buat Ibunya kalo terlalu lama bersentuhan dengan alat-alat ini.” Sang dokter masih berusaha mengingatkan klien VVIP yang sangat sulit untuk dikendalikan itu.“Tapi aku mau tau jenis kelamin anakku, Dokter Rindyyy!” Aris mendelik menatap papan nama wanita berjubah putih itu.Sayangnya, tatapan tajam Ar
Rambut Aris yang masih basah namun sudah tersusun rapi sedikit mengganggu Dinara. Jika saja tak sedang mengibarkan bendera perang, ia tentu sudah akan mengacak-acak kembali rambut pria itu.“Masih marah?” Tanpa sungkan Aris duduk di sofa di samping Dinara. “Padahal omelet buatanku sudah dihabisin.” Aris masih menggumam menatap piring kosong di atas meja.“Omeletnya nggak enak.”“Oiya? Nggak enak aja ludes gitu.” Aris terkekeh.“Ck! Nanti Nara bayar omeletnya!”Aris terkekeh, menempelkan punggungnya di sofa tanpa melepaskan pandangan matanya dari Dinara.“Seksi ...,” gumamnya. “Om rasanya pengen gigit kamu, Nara. Udah belum merajuknya?”Merasa kemarahannya sama sekali tak berarti bagi Aris, Dinara menoleh dengan tatapan tajam.“Keluar dari kamar Nara, Om. Nara mual cium parfum Om Aris.”Akan tetapi, Aris justru semakin tertawa lebar. “Jangan memutarbalikkan fakta Nara sayang. Bukannya tiap malam Nara tidur meluk kaos Om?”Blush! Pipi Dinara merona merah. Beberapa malam ini ia memang ti
“Maaf ...,” ucap Pras sesaat setelah melepaskan bibirnya dari Alea. Gadis itu hanya menatap pasrah. Dari sekian banyak interaksinya dengan Pras, ini adalah untuk pertama kalinya Pras melakukan hal seekstrem ini padanya.Dada Aris bergerak naik turun sepeninggal Pras dan Alea. Ciuman sepasang kekasih itu ternyata mempengaruhinya dengan begitu kuat. Ia masih bisa melihat Alea meliriknya sekilas tadi. Dulu ciuman seperti itu sudah menjadi kebiasaannya dengan Alea setiap hari, maka Aris dengan jelas-jelas merindukan itu. Pria itu menyugar kasar rambutnya. Hanya Dinara yang bisa membuat gejolak di dadanya ini berhenti, tapi bagaimana ia bisa membujuk wanita hamil yang masih marah padanya itu?***Oma Lili kini sudah berada di rumah. Kondisi Dinara yang tengah hamil tak memungkinkan wanita itu setiap hari bolak balik ke rumah sakit, maka Aris memutuskan Oma Lili-lah yang kembali ke rumah dengan semua peralatan medis yang masih melekat di tubuh wanita renta itu. Sejak Oma Lili kembali ke rum
“Ini perbuatan salah satu penggilamu.”Aris menyipitkan mata memperhatikan beberapa berkas yang disodorkan Alea di atas meja kerjanya.“Dokter Oki?” gumam Aris.“Ya. Dia yang mengirim foto-foto itu ke Nara. Belakangan ini dokter Oki mengirim orang untuk mengikutimu, lalu membidik momen-momen seperti yang ada di foto yang dilhat Nara.”Aris menghela napas berat. Ia bukan tak mencurigai dokter kepercayaan ibu angkatnya itu, tetapi kedekatan dan jasa dokter Oki pada keluarga Oma Lili selama ini juga tak bisa diabaikannya begitu saja.“Oke, makasih atas kerja kerasmu, Alea.” Aris mengangguk pada gadis cantik di depannya. “Ehhh! Tapi tunggu! Bukannya aku nyuruh Pras untuk menyelidiki ini? Kenapa kamu yang melaporkan?” Mata Aris beralih menatap sosok pria yang lebih memilih berdiri mengambil jarak beberapa meter dari meja kerjanya.“Kamu udah ngasih beban pekerjaan terlalu banyak ke Pras, Mas. Dia nggak bisa memiliki kehidupannya sendiri dengan tanggung jawab yang Mas Aris bebankan, padahal
Terbangun dengan Aris di sampingnya, Dinara tersenyum mendapati pria yang semalaman mengingkari janjinya untuk tak membuatnya kelelahan itu masih tertidur lelap. Jemari Dinara bergerak, mengelus pelan rahang Aris yang terasa kasar oleh rambut rambut halus yang tumbuh di sana.“Morning, Wife.” Aris menggeliat, mengubah posisi tidurnya lalu kembali melingkarkan lengannya memeluk Dinara.“Nara lapar, Om. Pengen makan omelet.”Mata Aris membuka malas. “Om masih ngantuk, Nara. Kamu sih semalaman udah bikin Om kelelahan.”Dinara meraih bantal, lalu memukul kepala Aris dengan kesal. “Om tuh yang keterlaluan!”Aris tertawa. “Ntar malam lagi, ya.” Tangannya mengelus perut Dinara. “Senang ditengokin Daddy kan, Nak?” Bujukin Mommy ya biar diizinin sering sering nengokin kamu.”“Nggak! Nara mau konsultasi ke dokter kandungan dulu, Om.”“Ya udah, nanti
“Ris.” Dinara sudah keluar dari ruang VVIP di mana Oma Lili dirawat ketika Aris masih di dalam. Beberapa menit yang lalu, Dinara mengeluh mual dan kesemutan di sana sehingga Aris memutuskan untuk membawa wanita hamil itu untuk pulang.Aris menaikkan alisnya, menunggu dokter Oki kembali bicara.“Kamu yakin mau bawa Oma pulang?”“Ya. Aku dan Nara nggak bisa selalu berada di sini. Kondisi Nara juga lagi hamil dan kamu liat sendiri dia masih sering mual seperti tadi. Akan lebih baik jika Oma di rumah saja, Nara bisa punya waktu lebih banyak bersama Oma.”Dokter Oki mengangguk angguk. “Aku akan mengurusnya.”“Oke, makasih.” Aris menepuk pundak dokter Oki, tetapi baru saja hendak melepas tangannya dari pundak dokter Oki, Aris menghentikan langkah ketika wanita itu menahan punggung tangannya di sana.“Oma Lili mungkin tak akan bertahan lama lagi, Ris. Organ organ vitalnya sudah sanga
Menghadapi sosok renta yang ternyata masih terbaring seperti sebelumnya di atas ranjang rumah sakit, Aris terlihat kesal menatap dokter Oki.“Aku nggak bohong, tadi Oma merespon.” Dokter Oki yang seolah tahu kekesalan Aris, menjelaskan tanpa ditanya.“Dokter gadungan.” Meski hanya menggumam, tetapi suara Aris bisa terdengar jelas oleh dokter Oki dan Dinara.Bugh!Aris hanya meringis ketika dokter Oki meninju lengannya. “Jangan bicara sembarangan! Kurasa kamu tahu mengapa Oma Lili bertahun-tahun menggajiku sebagai dokter pribadinya. Karena beliau tak pernah salah menilai orang, kecuali ....”Aris menggerakkan alisnya naik, menoleh pada dokter Oki yang bicara padanya dengan suara yang sangat pelan.“Kecuali salah menilai anak angkatnya.” Dokter Oki lanjut bicara.Dokter Oki memang sudah bertahun-tahun menjadi dokter keluarga Oma Lili. Wanita yang usianya hanya terpaut beberapa tahun di baw